Cosetta Elwood mengetikkan ‘gantungan kunci mercusuar’ dan ‘teh celup akar bunga dandelion’ di keyboard-nya. Jam delapan sebentar lagi tiba. Pengunjung terakhir baru saja meninggalkan toko pernak-pernik itu lima menit yang lalu.
Komputer tua itu membutuhkan waktu cukup lama untuk mematikan dirinya. Setelah Cosetta selesai merapikan kotak-kotak teh, menyejajarkan deretan boneka, dan mengunci pintu, komputer itu baru mati. Cosetta melepaskan celemeknya dan menutupkan terpal di atas komputer itu, jaga-jaga kalau sarang laba-laba di atas memutuskan untuk melepaskan cengkeramannya dari langit-langit toko.
Cosetta membuka pintu belakang yang menghubungkannya langsung dengan bagian dalam rumahnya. Mama sedang membaca buku di kursinya. Ia menoleh begitu melihat Cosetta.
“Sudah kamu tutup pintunya, Cosy?” tanya mama.
“Sudah, Ma,” kata Cosetta sembari menunjukkan untaian kunci di tangannya. Ia meletakkannya di atas rak kayu, kemudian berjalan menghampiri sang ibu. “Tumis jamurnya sudah dimasak, ya? Wangi sekali. Papa belum pulang?”
“Belum. Kalau lima belas menit lagi papa belum datang, kamu antarkan makanan ke mercusuar, ya. Hari ini jangkauan wilayah hutan yang perlu dicatat papa entah kenapa lebih banyak. Sekarang dia pasti masih lembur. Setelah itu, kita makan duluan,” kata mama.
Cosetta mengiyakan perkataan mama. Ia memutuskan untuk duduk di samping mama seraya ikut menghangatkan kaki di depan perapian. Musim dingin baru berakhir tepat sepuluh hari yang lalu. Meskipun bunga-bunga sudah mekar, dedaunan mulai tumbuh, dan burung-burung mulai beterbangan, tetapi udara dingin seakan segan untuk sirna.
“Mama baca buku apa?” tanya Cosetta. Mama memang menyukai membaca buku. Cosetta telah melihat koleksi buku mama yang memenuhi rak-rak di rumah nenek.
Mama tidak menjawab. Ketika Cosetta menoleh, mama sudah memejamkan mata.
Cosetta menghela napas. Halaman buku yang dibuka mama pun masih serupa dengan halaman kemarin yang ia baca. Mama pasti sudah lelah. Tak hanya mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi mama juga memproduksi teh akar dandelion untuk ikut dijual di toko pernak-pernik.
Cosetta menghampiri meja makan. Di sana sudah tersedia semangkuk tumis jamur dan salad sayur. Ia menyiapkan sebagian ke dalam kotak makan untuk ia kirimkan ke tempat papa bekerja.
Suara ombak yang berdebur menemani langkah kaki Cosetta menuju mercusuar. Cosetta dan keluarganya memang tinggal di kompleks mercusuar di tepi pantai. Papa bekerja sebagai penjaga mercusuar. Karena pekerjaan ini membutuhkan waktunya siang dan malam, maka tak ada pilihan lain selain membawa istrinya turut tinggal di sana.
Laut yang gelap di kejauhan terlihat seperti mutiara yang hitam legam. Meskipun Cosetta sudah seumur hidup tinggal di tepiannya, tetapi bulu kuduknya tetap berdiri. Laut dan daratan merupakan dua dunia yang sangat berbeda.
Mercusuar berwarna putih tersebut masih satu bangunan dengan rumah Cosetta, sehingga tak butuh waktu lama untuk mencapainya. Cosetta membuka pintunya. Ia segera dihadapkan dengan tangga melingkar yang menempel dengan dinding. Cosetta menaikinya, hingga beberapa saat kemudian, ia mencapai lantai dapur, baru kemudian ruang kerja sekaligus kamar ayahnya.
Cosetta mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Ayah pasti sedang sibuk.
Ia membuka pintu, dan menemukan sang ayah yang tengah mencatat di buku harian mercusuar. Buku itu merupakan buku yang sangat tebal, dan sepanjang hidupnya, Mr. Elwood telah mencatat dua seri sebelumnya.
“Cosy sayang, ya ampun, terima kasih. Letakkan saja di sana. Pekerjaan ayah sangat banyak sampai belum bisa pulang,” kata Mr. Elwood. Wajahnya mencerah melihat Cosetta, meskipun matanya lebih merah daripada biasanya. Ia menerima makanan yang dibawa oleh Cosetta, dan membuka tutupnya. “Duduklah, duduk. Ayah sangat bosan.”
Cosetta menuruti Mr. Elwood. Lagipula, mama juga sedang tidur di bawah. Ia duduk di salah satu kursi yang berada di dekat ayahnya. Dari kamar ayahnya, laut terlihat lebih luas dari biasanya. Sampai-sampai apabila melihatnya terlalu lama, Cosetta selalu merasa akan ditelan bulat-bulat oleh laut.
“Kata mama, ayah mencatat bagian hutan lebih luas, ya, dari sebelumnya?” tanya Cosetta.
Mr. Elwood menelan makanannya, kemudian menjawab, “Iya. Entah ada apa. Kata kepala kawasan hutan Fernshine, Mr. Chadwick, pada awal bulan April ini ayah harus memperluas radius pengamatan ayah. Duh, awalnya, pria itu malah meminta ayah mencatat sepanjang rute dari tepi hutan sampai kompleks mercusuar ini—”
“Itu jauh sekali!” Cosetta tak tahan untuk tidak menyela. “Padahal dia punya cukup banyak teman untuk membantunya.”
Keluarga Elwood memang tinggal di tepian hutan Fernshine, hutan yang merupakan kawasan lindung di negeri Irelia. Tak ada orang lain yang juga tinggal di dalam hutan seperti mereka. Untuk mencapai pemukiman, mereka harus mengendarai mobil menuju tepi hutan yang jaraknya berkilo-kilo meter. Tentunya tak semua orang mau untuk masuk ke dalamnya dan jauh dari riuhnya peradaban.
“Memang. Dia ini … ck ck, ayah rasa, lama-lama agak tak berperikemanusiaan.”
“Duh, dari dulu, Ayah! Tapi Ayah yang sejak dulu tidak merasa,” kata Cosetta.
Ayah hanya meringis. “Habisnya, Ayah suka melakukannya. Entah sudah berapa kali ayah katakan, tetapi ayah tak berminat pada semua pekerjaan yang biasa dikagumi di luar sana. Ayah terlalu malas berbasa-basi untuk menjadi pedagang, ayah juga rasanya tak berbakat jadi guru. Ayah selalu merasa kalau ayah pasti akan pilih kasih karena, hahaha, ada beberapa anak yang nakalnya tak bisa dinalar. Hanya kehidupan brutal dan keras yang mampu mengajarinya. Setelah lulus kuliah, ayah sampai merasa kebingungan, sampai akhirnya melihat lowongan kerja ini sebagai penjaga mercusuar ini. Sangat sempurna, kan? Jauh dari keramaian, menulis satu-dua jam, dan bisa mengamati alam seharian.”
“Iya sih, Ayah. Tapi ini sih, bukan jauh dari keramaian lagi. Menurutku lebih seperti mengasingkan diri,” kelakar Cosetta, yang apabila dipikirkan, sebenarnya ada benarnya juga.
“Tidak sejauh itu juga,” tawa Mr. Elwood. “Tapi ide bagus juga. Bercanda. Hahaha. Kalau menurut kamu, Cosy, bagaimana?”
“Bagaimana apanya, Ayah?”
“Kehidupan kita? Cosy pasti sadar kalau kehidupan kita sangat berbeda dengan kehidupan teman-teman sekolah kamu.”
Cosetta berpikir sejenak. Ayah juga tidak keberatan karena ia segera berfokus melahap makan malamnya. Laut yang terlihat tenang dan gelap membuat Cosetta merenungkan kehidupannya di Fernshine Lighthouse. Ia mengingat kembali perasaan-perasaannya yang muncul kala ia mengerjakan PR-nya, memberi makan ayam, atau ketika melihat bunga-bunga matahari mekar di ladang.
“Sebenarnya aku tidak pernah memikirkannya. Aku hanya bersyukur bisa tinggal bersama ayah dan ibu,” kata Cosetta dengan manis. “Meskipun kadang-kadang aku juga merasa kesepian. Melihat rumah teman-temanku, mereka semua punya tetangga. Aku jadi penasaran seperti apa rasanya …”
“Tapi, apa Cosy pernah berharap untuk pindah rumah?” tanya Mr. Elwood. Wajahnya menjadi lebih muram dan serius dibandingkan sebelumnya.
“Oh, tidak, Ayah,” jawab Cosy dengan jujur.
Ayah tersenyum sekilas. Ia telah menyelesaikan makannya, dan kini sedang mengelap bibirnya. “Jangan khawatir, Sayang. Ayah yakin pertengahan bulan April ini, kamu akan mendapatkan teman-teman baru.”
Matahari belum lama terbit ketika Cosetta harus membawa keranjangnya masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba saja, ibu berkata dengan wajah pucat kalau stok sayuran mereka sudah habis ketika Cosetta baru bangun tidur.
“Cosy, apakah kamu bisa ke hutan sekarang?” tanya ibu di ambang pintu pagi tadi. “Aneh sekali, kemarin Ibu lihat di kulkas masih ada bayam, tapi pagi ini berubah menjadi daun bawang. Ayahmu tidak mungkin bekerja tanpa sarapan yang layak, begitu juga denganmu. Bagaimana?”
Tentunya Cosetta menyanggupi. Perutnya sudah keroncongan. Meskipun udara sangat dingin, ia beranjak dari kehangatan selimutnya. Sebagai gantinya, jaket krem yang ia gantung di balik pintu kini ia kenakan di tubuhnya. Ia meraih keranjang dari dapur dan segera pergi keluar rumah.
Menjadi keluarga yang tinggal jauh dari pemukiman, tentunya mereka tidak semudah orang lain mendapatkan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, di belakang rumah, mereka menanam sayur mayur seperti bayam dan kubis. Tetapi mereka tumbuh lebih lama dibandingkan teman-teman mereka di desa. Mungkin karena letaknya yang begitu dekat dengan air laut. Sehingga hasilnya tidak terlalu bisa diandalkan.
Biasanya ibu akan berbelanja di desa seminggu sekali. Tetapi karena kesibukan yang meningkat akhir-akhir ini, Cosetta tidak yakin apakah ibu sempat berbelanja.
Hutan yang menyelebungi Fernshine Lighthouse terlihat lebih rimbun daripada hari kemarin. Pohon-pohon telah mengibaskan salju yang menghinggapinya dan kini muncul kembali dengan dedaunan yang hijau. Hamparan bunga lavender menutupi permukaan tanah.
Cosetta berjalan menyusuri jalan. Ayah telah memperingatkan supaya ia tidak berkelana terlalu jauh dari jalan itu. Meskipun hutan Fernshine relatif aman, tetapi resiko adanya hewan buas yang tidak teridentifikasi sebelumnya dan resiko tersesat bisa mengancam.
Sayangnya, meskipun sudah berjalan selama beberapa lama, ia belum juga menemukan tumbuhan yang bisa dimakan. Cosetta memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok lengannya. Sebentar lagi ia sudah harus mandi dan berangkat sekolah. Ia tidak mungkin pulang dengan tangan kosong. Setidaknya, ia menemukan cukup sayuran untuk dimakan pada pagi hari ini.
‘Sepertinya mereka enggan untuk tumbuh di tepi jalan,’ pikir Cosetta. ‘Hanya menjauh sedikit dari jalan seharusnya tidak apa-apa. Lagipula aku sering melakukannya, kan, kalau sedang berjalan-jalan dengan ayah dan ibu?”
Cosetta berjalan lebih dalam melalui megahnya pepohonan sembari matanya memeriksa satu persatu tumbuhan di dekatnya. Matanya memicing ketika melihat sekelebat bunga merah muda di balik batang pohon akasia. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekatinya.
Ah, akhirnya dapat!
Tumbuhan malva itu telah tumbuh tinggi menyambut musim semi tiba. Ibu pernah memasaknya beberapa kali, terutama jika bahan makanan sedang tidak mungkin untuk diambil dari desa. Cosetta tidak begitu suka, sih, dengan rasanya. Tetapi, ia akan memakannya dengan baik kali ini dibandingkan pergi ke sekolah dalam keadaan lapar.
Cosetta memetik beberapa batang dan meletakkannya di dalam keranjang.
Tiba-tiba, tumbuhan itu bergoyang. Rerumputan di bawahnya pun bergelombang. Jantung Cosetta berdegup kencang. Ia benci bertemu makhluk mengerikan seperti ular. Tetapi kakinya tidak bisa ia gerakkan.
Gumpalan bulu berwarna putih melesat keluar dari rumput. Setelah jaraknya jauh, hewan itu berhenti dan berbalik untuk menatap Cosetta dengan curiga. Dua telinga panjangnya ditegakkan. Melihat kelinci itu, Cosetta jadi lega.
“Hahaha. Kamu menyakiti hatiku, loh, karena aku bukan orang jahat yang akan menyakitimu,” tawa Cosetta dengan lega. Tanpa sengaja ia melihat daun-daun malva yang tidak menggugah selera, lalu melihat kelinci itu kembali. “Tapi kamu memberiku ide jadinya. Makan siang dengan sop kelinci pasti enak!”
Kelinci itu melompat pergi.
“Huh, seperti kamu tahu saja apa yang aku bicarakan,” kata Cosetta. Ia tak menghabiskan waktu lama-lama untuk mengejar kelinci itu. Mereka adalah makhluk yang gesit dengan empat kaki dan kaki belakang yang panjang dan kuat. Tidak adil kalau manusia seperti dirinya harus berkejaran dengan kelinci itu.
Cosetta kembali ke rumah dan menyerahkan keranjangnya kepada ibu.
“Terima kasih, ya. Kamu sangaaat membantu,” kata ibu seraya mengusap rambut Cosetta. Ia tersenyum dengan mata yang memancarkan kehangatan. “Kamu mandi dulu, setelah itu semoga saja bisa langsung makan.”
Tak ada waktu untuk bersantai. Cosetta segera mandi dan mengenakan seragam sekolahnya, berupa setelan kemeja putih serta tunik tartan yang mencapai lututnya. Setelah mengenakan kaus kaki dan meraih tasnya, ia keluar dari kamarnya.
Ayah baru pulang dari mercusuar. Ia kelihatan lebih segar setelah mandi pagi. Ia membawa semangkuk sayur yang sudah dimasak oleh ibu ke meja makan dan menyuruh Cosetta untuk segera mengambil piring. Wangi daun malva yang telah ditumis dengan bawang mengingatkan Cosetta kalau ia kelaparan.
Keluarga kecil itu akhirnya berkumpul di meja makan di ruang makan yang mungil itu. Cosetta berdoa sebelum makan, kemudian menyuapkan satu sendok tumis ke mulutnya. Rasa asin memenuhi mulutnya.
Di seberangnya, ayah telah menelan dengan wajah tersiksa. Ia merintih, “Sayang, bukankah … tumis ini rasanya terlalu asin?”
Ibu melihat ayah dengan tidak percaya. Ia bertanya pada Cosetta, “Memangnya benar terlalu asin, Cosy?”
Cosetta ragu sejenak, tetapi lidah adalah sesuatu yang paling sulit untuk dibohongi. Ia menelan makanannya, lalu berkata, “Iya, Ibu. Tidak seperti masakan ibu biasanya.”
Cahaya mata Mrs. Elwood meredup. “Oh, aneh sekali. Padahal ibu memberikan garam seperti biasanya. Ya sudah jangan dimakan kalau memang benar. Oscar, berikan uang saku lebih untuk Cosy hari ini supaya bisa beli makan siang di sekolah nanti.”
“Iya, tentu saja,” kata Mr. Elwood seraya memberikan sejumlah uang untuk Cosetta. “Beli makan yang enak, ya. Ibumu sepertinya sedang … tidak enak badan.”
“Aku baik-baik saja,” kata Mrs. Elwood seraya menyandarkan diri pada punggung kursi. Ia melipat tangannya dan alisnya bertaut. “Duh, duh, aku malah curiga kalau ada peri dapur tak berpengalaman yang memasukkan garam lagi ke dalam masakanku,” tawanya.
“Priscilla, kalau kamu berbicara seperti itu, aku malah yakin kalau kamu perlu diperiksa,” canda Mr. Elwood, yang selalu terheran-heran dengan imajinasi liar istrinya. Ah, seharusnya ia memahami resikonya sejak dulu ia menyukai gadis yang selalu menenggelamkan wajahnya pada buku-buku tebal di perpustakaan.
“Jangan berbicara sembarangan. Aku selalu sehat.”
Menit demi menit yang berlalu semakin mendekatkan Cosetta pada jam masuk sekolah. Ia menyimpan dengan cermat uang yang diberikan oleh ayah ke dalam saku tasnya. “Kalau begitu, aku berangkat dulu, ya.”
Ayah dan ibu bergantian menciumnya. Mereka mengantarkan Cosetta mengeluarkan sepedanya dari garasi.
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Mrs. Elwood.
Mereka melambaikan tangan ketika Cosetta telah mengayuh sepedanya menjauh dari Fernshine Lighthouse. Angin kencang dari laut menerpa wajah Cosetta seraya ia menempuh perjalanan menuju Desa Hartlefirth.
Cosetta mencatat resep yang telah dituliskan oleh Mr. Sterling di papan tulis. Eulalia Perkins, teman sebangkunya, juga sedang mencatat, meskipun sejak tadi ia terus-menerus menguap.
“Kamu tadi malam tidur jam berapa, sih?” tanya Cosetta.
“Aku lupa, Cosy. Kalau kuingat-ingat, mungkin sudah lewat tengah malam,” katanya dengan suara lamban. “Mrs. Cleardew membuat terlalu banyak ayam panggang dan memaksa kami menghabiskan semuanya. Lalu para orang dewasa itu mengobrol sampai malam. Jagung bakarnya sangat enak. Rasanya sayang kalau tidak aku habiskan meskipun malam sudah larut,” cerita Eula.
Mrs. Cleardew adalah tetangga keluarga Perkins. Cosetta sudah pernah bertemu dengannya. Wanita itu sangat baik dan senang memasak. Ia pernah memberinya sekotak kue cokelat yang sangat lezat. Cosetta bahkan masih mengingat rasanya sampai sekarang.
“Nah, anak-anak. Setelah menulis resepnya, silakan membuat kelompok ya, dua orang dua orang. Hari Kamis minggu depan, kue cokelat ini harus sudah dikumpulkan. Kalian boleh menambahkan variasi resep-resep lain,” kata Mr. Sterling seraya menumpuk buku-bukunya. “Kalau tidak ada yang mau ditanyakan, sampai sini dulu saja, ya. Selamat siang.”
Cosetta meregangkan jarinya, lalu menutup bukunya. Kerja kelompok sebenarnya menyenangkan, tetapi juga merepotkan. Ia harus pulang lebih lama dari biasanya. Cosetta menggelengkan kepala. Soal itu, nanti saja ia pikirkan. Lebih baik ia berkata pada Eula dulu kalau ia—
“Eula, ke kamar mandi, yuk. Ngantuk, kan? Habis ini kan pelajaran Fisika, jangan sampai ngantuk,” seorang gadis berambut pirang tiba-tiba melalui meja mereka. Maisie Cleardew.
“Oh iya, jangan sampai tiba-tiba disuruh jawab pertanyaan nanti,” kata Eula. Ia beranjak dari kursinya dan menoleh pada Cosetta. “Aku ke kamar mandi dulu, ya.”
Cosetta mengurungkan niatnya. Ia akan mengatakannya nanti.
✮⋆˙
Sekolah berakhir tepat jam dua belas siang. Matahari bersinar terik. Kucing-kucing yang ditemui Cosetta di jalan tengah bermalas-malasan di teras-teras rumah sembari menjilati bulu mereka.
“Sudah mau sampai, Eula?” tanya Cosetta.
Eula mengusulkan supaya mereka mampir dulu ke makan es krim sepulang sekolah. Namun, setelah bersepeda selama beberapa saat, kedai es krim yang dimaksud Eula belum juga terlihat.
“Sebentar lagi. Kamu capek, Cosy?”
“Enggak, dong.”
Eula tersenyum manis seraya memandang Cosetta. “Iya, ya? Bodohnya pertanyaanku. Kaki kamu kan sudah terbiasa mengayuh sepeda melintasi hutan. Ya ampun. Membayangkannya saja, aku sudah menyerah.”
“Duh, jangan bilang begitu,” tawa Cosetta.
“Tapi tetap saja, nanti waktu pulang, aku yang di depan, ya! Aku sungguh merasa tidak enak,” kata Eula.
“Iyaaa.”
Melihat Desa Hartlefirth, Cosetta merasa asing sekaligus familiar. Asing karena ia jarang melaluinya, dan familiar karena desa ini adalah pemukiman yang paling dekat dengan rumahnya. Ia melihat toko sayur di tepi jalan dan memutuskan untuk mampir saat pulang nanti.
“Nah, udah mau sampai, Cosy! Turun sini!”
Cosetta melihat kanan kiri. Hanya ada hamparan rumput dan ladang perkebunan sejauh yang ia lihat. “Di mana, Eula? Di sini?”
“Iya!”
“Enggak ada kedai es krim, tuh.”
Eula malah tertawa kencang. Cosetta menghentikan laju sepedanya di rerumputan. Eula melompat turun. “Duh, maaf ya, Cosy. Aku kira kamu tahu. Tapi sejak awal ‘kan aku enggak bilang ada kedai es krim. Maaf maaf. Kita duduk di bawah pohon situ, yuk, biar enggak kepanasan,” kata Cosetta seraya menunjuk pohon alpen yang letaknya tak jauh dari mereka.
“Ya ampun, aku kira ada kedainya. Terus … apa yang kamu maksud dengan makan es krim?” tanya Cosetta.
“Sebentar lagi, paman tukang es krim akan lewat. Rasanya sangat enak! Tapi dia jarang sekali mau masuk ke dalam desa. Padahal biasanya juga ada beberapa anak yang menunggu di sini. Duh, mungkin dia kira enggak akan ada yang beli kali, ya? Kalau aku bisa mengajak lebih banyak orang ke sini, mungkin paman es krim itu mau masuk ke dalam desa,” kata Eula dengan mata berbinar-binar.
Cosetta akhirnya mulai paham. Ia juga akhirnya setuju dengan harapan Eula. Desa Hartlefirth memang merupakan desa yang paling terpencil di kawasan Aetherwind, karena letaknya yang berada di tepi selatan dan berbatasan dengan tebing terjal menuju laut serta bersisian dengan hutan Fernshine. Meskipun hutan tersebut adalah hutan lindung yang sekaligus dibuka untuk wisata, namun Desa Hartlefirth adalah gerbang masuk terakhir yang akan dipertimbangkan oleh para turis. Oleh karena itu, wajar apabila para pedagang tidak terlalu menaruh harapan pada desa ini.
Dua puluh menit sudah berlalu ketika paman penjual es krim baru lewat dengan gerobaknya. Wajahnya terlihat terkejut melihat mereka, tetapi tidak mengatakan apa pun. Setelah Cosetta dan Eula mendapatkan es krim mereka masing-masing, pria itu baru berkata, “Kalian habis dari kota?”
“Tidak. Kami menunggu di sini untuk membeli es krim,” kata Eula.
“Oh, bukannya kalian harus jalan kaki lumayan jauh?” tanyanya.
“Tidak apa-apa. Asalkan bisa membeli es krim,” kata Eula seraya memberikan kode pada Cosetta untuk merahasiakan fakta bahwa mereka mencapai perbatasan desa menggunakan sepeda. “Kalau saja Anda juga berkeliling di desa kami, pasti akan lebih mudah bagi kami. Iya, kan, Cosy?”
“Iya. Sebenarnya banyak anak-anak di desa kami, biasanya mereka menyukai es krim,” kata Cosetta.
“Hmmm, begitu, ya?” gumam paman tukang es krim seraya merapikan tabung jualannya. “Sudah, ya. Aku pergi dulu.”
Pria itu pergi meninggalkan mereka di tepi jalan. Eula menggeleng-gelengkan kepala. “Ya ampun, dia benar-benar aneh.”
Mereka menikmati es krim sembari duduk di atas di atas rumput di bawah pohon alder. Cuaca sangat ramah siang ini. Rasa manis yang segar dari es krim juga membuat suasana menyenangkan. Eula bercerita tentang gosip-gosip yang semalam ia dengar dari percakapan antara ibunya dan Mrs. Cleardew. Baik seorang janda yang kabarnya sudah membunuh kucingnya sendiri, pemilik toko kue yang digosipkan sebagai penyihir, dan pemilik penginapan yang mendekati seorang pria yang usianya jauh lebih muda.
Semua kabar-kabar itu terdengar gila. Namun saat mendengarnya, Cosetta jadi teringat akan perkataan yang belum sempat ia sampaikan pada Eula siang tadi.
“Oh iya, Eula, kita sekelompok ‘kan, untuk tugas Keterampilan?”
Eula menoleh, dan sekilas, wajahnya memucat. “Oh, ya ampun. Aku sudah sekelompok dengan Maisie. Maaf, ya. Tadi dia mengajakku saat kita ke kamar mandi.”
Cosetta sebenarnya tidak menyangka dengan jawaban Eula. Karena sebelumnya, setiap ada tugas kerja kelompok, mereka selalu bersama. Cosetta terdiam sejenak, lalu memaksakan senyumnya. “Tidak apa-apa. Aku akan cari teman yang lain. Kamu tidak perlu meminta maaf.”
Eula tersenyum, meskipun matanya masih memancarkan rasa bersalah. “Aku benar-benar tidak terpikirkan tadi. Salahkan aku yang merasa tergoda dengan rumah Maisie yang seperti bakery. Aku sangat tidak setia kawan, ya?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!