Mrs. Elwood mengusir suaminya dari mercusuar. Pria itu beringsut menuju ruang tamu dengan wajah bingung. “Wajahku semengerikan itu, kah?” gumamnya ketika melewati tempat Cosetta berdiri, sama sekali tak menyadari kalau anaknya juga datang ke lokasi itu.
“Hei, hei, tenanglah,” bujuk Mrs. Elwood. Ia menyodorkan segelas air pada anak itu. “Minum dulu. Astaga, kamu mimpi apa, sih?”
Setelah minum air putih, dengan punggung yang terus dielus-elus oleh Mrs. Elwood, anak laki-laki itu sudah lebih tenang.
Ia melihat sekeliling, yang tentunya remang-remang karena hanya diterangi dengan bantuan cahaya lilin. Ia mengeratkan selimutnya. Napasnya kini sudah memelan.
“Akhirnya suaramu sudah muncul,” ucap Mrs. Elwood, nada kelegaan terdengar di telinganya. “Saat ini masih malam. Lebih baik kamu segera tidur. Pagi nanti, kamu pasti bisa mengatakan kepada kita dari mana asalmu. Kalau kamu berasal dari Pulau Elmderry, pasti kita akan membantumu mencapai rumahmu lagi.”
Ia mengangguk pelan. Tetapi sepertinya ia belum memiliki suasana hati untuk berbicara. Ia hanya membaringkan tubuhnya lagi dan menaikkan selimutnya.
“Air putih di meja sini, ya. Ada buah stroberi di atas meja. Kalau kamu lapar, kamu bisa memakannya,” kata Mrs. Elwood. “Pria tadi adalah suamiku, namanya Oscar. Tenang saja, ia bukan orang jahat seperti di dalam mimpimu. Bukannya ia yang menemanimu di sini setiap malam? Biar dia menemanimu lagi, ya. Kalau kamu ingin pergi ke kamar mandi, kamu bisa katakan padanya seperti biasanya.”
Melihat anak laki-laki itu mengangguk, Mrs. Elwood memanggil suaminya.
Malam kembali damai. Mrs. Elwood melihat Cosetta yang berdiri di belakangnya. “Kamu pasti kaget, ya? Hahaha. Ayo kembali ke rumah. Ibu juga kaget sekali, kukira ayahmu terpeleset di tangga.”
“Priscilla, kamu pikir aku setua itu?” tanya Mr. Elwood yang baru menyentuh pegangan tangga dengan tersinggung.
“Oh, Sayang. Jatuh dari tangga tak ada hubungannya dengan tua dan muda. Bayi saja sering melakukannya,” kata Mrs. Elwood. “Jangan nyalakan radio keras-keras, Sayang. Siapa tahu ‘anak itu’ membutuhkan sesuatu.”
Cosetta kembali ke kamarnya. Ia kembali berbaring di ranjangnya. Sembari melihat bulan di kaca jendela, ia merenung.
Satu buah kesadaran tengah mekar di rumah di tengah hutan ini. Entah cerita apa yang akan terungkap di kemudian hari?
✮⋆˙
Matahari baru memberikan sedikit sinarnya pada permukaan bumi ketika Cosetta pergi ke hutan. Setelah hujan deras selama beberapa hari ini, hutan seakan telah terlahir kembali. Begitu banyak bunga-bunga yang telah mekar, termasuk bunga merah buah stroberi. Sayangnya, belum ada yang berbuah.
Cosetta memetik beberapa tangkai parsley dan mugwort di bagian hutan yang tak jauh dari jalan. Namun, untuk mencapai lokasi bunga poppy, ia harus melalui lereng aliran air kecil yang licin dan berlumpur. Ia menjaga keseimbangannya supaya tak terpeleset dan berakhir dengan … ah, Cosetta tak mau membayangkannya.
Cosetta berpegangan pada dahan pohon yang menjulur di atasnya. Satu-satunya alasan mengapa Cosetta harus melalui jalan berlumpur ini adalah karena banyaknya dahan-dahan pohon (baik hidup dan mati) yang saling bertaut di tengah hutan. Rerumputan tinggi juga tak akan aman dilewati oleh makhluk rentan bernama manusia, entah ular jenis apa yang bersembunyi di dalam sana.
Selama ia bisa melihat kakinya, itu lebih aman.
Ia tersenyum ketika seekor angsa berenang di sebuah genangan air sungai yang membentuk sebuah kolam. Manis sekali. Pasti menyenangkan bisa hidup di dalam hutan tanpa memusingkan sekolah.
Karena terlalu fokus melihat angsa itu, ia jadi terkejut ketika melihat seekor ular berada tak jauh di depannya. Warnanya kuning, dan entah melihatnya atau tidak, tetapi melihat tubuh panjangnya yang meliuk sudah membuat jantung Cosetta berdegup berkali-kali lipat. Ia berhenti seketika.
Namun, lumpur di bawah kakinya terlalu licin. Jantung Cosetta seakan-akan meluncur duluan ke bawah sebelum tubuhnya ikut menyusul, kecuali ketika ia merasakan sebuah lengan menahan berat tubuhnya.
“Hati-hati.”
Cosetta menyeimbangkan tubuhnya. Setelah ia lebih tenang, ia menoleh ke belakang, dan mendapati wajah seorang anak laki-laki asing di sana. Setelah mengamatinya, ia menemukan potongan rambut hitam dan hidung mancungnya yang familiar.
“Kamu … kenapa di dalam hutan? Tidak pakai pakaian hangat pula,” kata Cosetta, mengingat anak laki-laki itu baru saja sembuh dari sakit. Bahkan semalam pun adalah kali pertamanya bersuara setelah berhari-hari ibu mengiranya bisu.
“Iya. Aku agak … bosan. Aku pasti tidur lama sekali, ya? Ular itu sudah turun. Kamu mau ke mana?”
“Aku mau mengumpulkan bunga poppy,” kata Cosetta, sedikit merasa canggung berbicara dengan pemuda yang baru dikenalnya.
“Oh. Aku boleh ikut?” tanyanya.
Cosetta menipiskan bibirnya. Pergi ke dalam hutan dengan seorang pemuda yang baru dikenalnya seperti memasukkan dirinya sendiri ke dalam sarang serigala. Tetapi ia tak melihat bahwa pemuda itu mampu menyakiti dirinya. Tubuhnya sangat kurus. Ia pasti akan menghabiskan staminanya sebentar lagi. Yang perlu ia takutkan adalah menyeret anak laki-laki itu keluar dari hutan ketika demamnya kambuh lagi.
“Baiklah.”
Untung saja letak ladang bunga poppy sudah tidak begitu jauh. Padang terbuka segera menyapa penglihatan mereka setelah sungai berkelok menjauh. Hamparan bunga poppy dengan warna putih dan merahnya menutupi salah satu sisi. Rumput-rumput tinggi yang masih hijau terletak di sisi yang lebih jauh. Cosetta memetik beberapa bunga dan ia masukkan ke dalam keranjang.
Cosetta merasakan hawa keberadaan pemuda itu di belakangnya, tetapi mengabaikannya. Kemunculannya di dekat sungai tadi sungguh mencurigakan. Meskipun ia telah menyelamatkannya, tetapi hal itu tak menghalangi Cosetta untuk berpikir bahwa …
Pemuda itu mengikutinya.
Setelah ia mengambil cukup bunga, Cosetta berdiri. Ia melihat pemuda itu berdiri dengan mata menyipit dan dahi berkerut. Cosetta mendekatinya.
“Apakah kamu masih pusing?”
“Pusing?” ujar pemuda itu. “Oh, tidak. Mataharinya terlalu menyilaukan.”
“Kalau begitu, ayo pulang.”
Mereka menyusuri sungai kembali dalam diam. Pada dasarnya, Cosetta bukanlah seseorang yang akan mengungkapkan apa yang ada di pikirannya secara impulsif. Ketenangan hutan membuatnya terbiasa untuk memikirkan sesuatu lebih lama baru mengungkapkannya di saat yang tepat.
Tetapi, tentunya, ia harus tahu namanya, kan?
“Siapa namamu?” tanya Cosetta, sambil melangkahkan kakinya dengan hati-hati pada tanah yang lebih padat.
“Cairo. Cairo Argoyle.”
“Oh.” Cosetta bereaksi singkat. Kemungkinan pemuda itu sudah mengetahui namanya. Ia pasti samar-samar mendengar kalimat-kalimat seperti, ‘Cosy, bantu ayah mengelap kaca, ya?’ atau ‘Cosetta, apa buburnya sudah matang?’ dalam tidurnya.
“Di sekitar rumahmu, benar-benar tak ada rumah lain, ya?” tanya Cairo.
“Hum. Kita ada di tengah hutan. Kalau kamu ingin kembali ke rumah asalmu, kamu harus pergi menyeberangi hutan menuju desa.”
“Iya. Sayang sekali, aku tak ingat rumah asalku di mana. Ini ada di mana?”
Cosetta menjelaskan pada Cairo, “Kita ada di wilayah Aetherwind, desa yang paling dekat dari sini bernama Hartlefield. Sekarang kamu ada di Hutan Lindung Fernshine.”
“Duh. Tak pernah dengar.”
Matahari sudah tinggi ketika mereka tiba di rumah. Cosetta meletakkan keranjangnya di meja makan.
“Cosy, anak itu hilang! Kemana perginya, ya? Ayahmu sudah mencari tapi tidak ketemu,” ucap Mrs. Elwood seraya melepas celemeknya setelah meletakkan piring di atas meja. Nadanya yang penuh kekhawatiran berubah menjadi kelegaan ketika melihat sosok pemuda yang masuk tak lama setelah Cosetta. “Oh, kau di situ? Lebih baik jangan pergi jauh-jauh karena kamu baru saja sembuh. Tenang saja, kamu pasti pulang. Setelah kamu memberitahu siapa dan di mana orang tuamu tinggal, urusannya akan mudah. Ayah Cosetta punya kenalan seorang pekerja di pelabuhan. Ia adalah orang yang bisa dipercaya,” sambung Mrs. Elwood, tanpa tahu bahwa Cairo sudah tak mengingat apa pun tentang masa lalunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments