Sesampainya di rumah, Flavian mengetuk pintu kamar kakaknya yang katanya sudah pulang setelah pergi entah habis dari mana. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sehingga Flavian memutuskan masuk ke dalamnya.
“Kak?” Bagian dalam kamarnya sangat kosong seperti tidak ada seseorang di dalamnya. Flavian semakin menyusuri ruangan itu demi bisa menemukan sang Kakak yang entah ada di mana. “Di mana dia? Katanya sudah pulang.”
Apakah mungkin pelayannya salah melihat? Buktinya Celphius tidak ada di kamarnya bahkan suara air di kamar mandi pun tidak kedengaran ada orangnya. Biasanya kakaknya itu memang pulang selalu larut malam.
“Eh? Apa itu?”
Flavian melihat adanya sebuah paper bag yang tergeletak di atas meja. Saat dibuka, ternyata itu adalah pakaian wanita. Otomatis alis Flavian mengerut begitu saja karena terheran-heran adanya baju wanita di sana.
“Punya siapa ini? Kakak membeli ini? Tapi untuk siapa? Setahuku Kakak tidak punya pacar atau istri. Kenapa tiba-tiba membeli pakaian wanita?” Dirinya bertanya-tanya bahkan mencium bau pakaian itu. “Masih baru.”
CEKLEK!
Pintu kamar mandi terbuka dan mengeluarkan Celphius yang habis selesai membersihkan tubuhnya. Lelaki itu bertelanjang dada, memperlihatkan perut kotak-kotaknya yang membuat iri sang adik. Flavian mulai berseru.
“Kak.”
“Ngapain kau? Sedang apa kau ada di kamarku?” tanya Celphius. Dia mengambil paper bag yang dipegang oleh adiknya serta menenggelamkan lebih dalam baju-baju yang ada dalam tas itu. “Beraninya kau menyentuh ini.”
“Sejak kapan Kakak menyukai baju-baju wanita? Untuk apa Kakak membeli pakaian wanita itu? Seperti punya pacar saja.” Flavian sedang meledek kakaknya yang sudah 28 tahun tetapi masih berstatus lajang tak punya pacar.
“Kalau kau hanya ingin meledekku, sebaiknya kau keluar dari kamarku.” Celphius seperti acuh tak acuh dengan keberadaan adiknya atau kata-kata ledekkan yang sempat dilontarkan barusan. “Kau tidak mau pergi, 'ya?”
“Tunggu sebentar, Kak. Aku mau menanyakan sesuatu padamu dan aku membutuhkan saran darimu. Luangkan waktumu sedikit untukku,” pinta Flavian yang memohon agar sang Kakak mau menemaninya sebentar saja.
“Apa yang kau mau?” Celphius berjalan menuju lemari pakaian untuk memakai baju yang akan di pakainya hari ini. “Kalau kau masih mau menanyakan soal bagaimana kau harus bertindak, ikuti saja apa yang hatimu katakan.”
Flavian pun menjadi terheran-heran. “Memangnya Kakak tahu apa yang mau aku katakan? Perasaan aku masih belum mengatakan sesuatu. Kenapa Kakak sangat percaya diri sekali?” Seperti pakar cinta tersembunyi saja.
“Memangnya alasan apa yang membuatmu menemuiku dan berbicara empat mata seperti ini jika bukan untuk membahas masalah percintaanmu? Kau punya alasan selain itu sehingga harus datang padaku?” tanya Celphius.
Hm, benar juga. Setiap kali Flavian datang pada Celphius dan berbicara empat mata seperti ini pasti masalahnya adalah soal hubungannya dengan wanita itu. Padahal ia adalah lelaki tetapi bisa-bisanya masih banyak berpikir.
Maka, Flavian pun tidak bisa berbohong. “Iya, memang ini menyangkut soal masalah hidupku dengan Sienna. Kakak tahu? Tiba-tiba saja Sienna mengajakku menikah dan harus berbicara dengan keluarganya malam ini.”
“Kepercayaan diriku jadi menurun karena Sienna yang lebih dulu mengajak menikah bukan aku. Aku jadi banyak berpikir, apa aku memang selamban itu?” Flavian menghela napasnya karena sangat kesal.
“Kalau sudah tahu tidak usah ditanyakan lagi. Kau memang sangat lamban.” Kembali membalas ledekan meskipun masih memerlukan banyak waktu untuk membalasnya. “Kau tidak cekatan dan sangat polos!”
JLEB!
Setiap ucapan menusuk dengan dalam ke dalam jiwanya yang mudah rapuh itu, apalagi rapuh terhadap cinta percintaan. Flavian hanya bisa menerima keadaan karena mungkin dirinya memang sangat lamban seperti itu.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku memang harus berbicara pada orang tua Sienna kalau aku ingin menikahi anak mereka?” Dia bertanya pada kakaknya soal apa yang harus dia lakukan.
“Kau bodoh atau memang sangat bodoh? Aku sudah mengatakannya padamu kalau kau memang sangat menyukainya, kejarlah dia sebelum dimiliki orang lain. Ternyata kau memang sepicik ini,” sahut Celphius.
“Bisakah kau berhenti meledekku seperti itu? Walaupun kau bergumam sekalipun aku masih akan tetap mendengarnya, Sialan!” Flavian menjadi emosi karena Celphius terus menerus melontarkan ledekan.
“Sebaiknya kau menanyakannya pada Ayah karena dialah yang menentukan akan merestuimu atau tidak, bukan padaku. Kau pikir aku ayahmu?” Celphius saja tidak tahu arti cinta itu seperti apa malah bertanya padanya.
Rasanya percuma saja meminta saran dari kakaknya kalau tanggapannya saja sama dengan apa yang sudah diberitahukan dulu. Mengulangi ucapan yang sama itu sangat menjengkelkan ketika Flavian mendengarnya.
Ini cukup membuatnya malu karena sesuatu yang seharusnya tidak diketahui orang lain malah ditunjukkan dan justru meminta sebuah saran dari orang yang tidak peduli akan cinta. Benar-benar sangat memalukan.
“Tapi, untuk apa baju-baju wanita itu? Kenapa kau membeli baju wanita padahal kau sama sekali tidak dekat dengan siapa pun?” tanya Flavian masih menaruh rasa curiga akan baju wanita dalam paper bag itu.
“Bukan urusanmu.”
“Ah~ ” Pemuda itu mulai menunjukkan gelagat aneh yang siap memanas-manasi kakaknya. “Apa kau menyimpan seorang wanita untuk kau nikmati setiap malam? Makanya kau membeli pasangan baju wanita itu, hah?”
Celphius melirik tajam, tidak terima dengan sebutan yang adiknya katakan barusan. “Kau bilang apa? Memangnya apa yang kau ketahui dariku? Jika tidak pernah tinggal bersamaku sebaiknya perbaiki kata-katamu itu.”
“Sebaiknya Kakak jujur saja dan jangan pula berbohong tentang dirimu sendiri. Kita itu adalah pria. Sudah pasti tidak boleh memiliki satu wanita. Harus ada wanita simpanan yang memenuhi kebutuhan kita.”
“Itu yang membuat kita nyaman menikmati hidup ini. Kakak tidak perlu malu dan katakan saja yang sebenarnya terjadi. Kakak menyimpan wanita itu di mana? Apa di rumah barumu? Di mana itu?” tanya Flavian.
Ah, Flavian terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi kakaknya. Akibat hal itu, membuat Celphius serasa ingin menendangnya dan memakinya habis-habisan. Baju itu untuk Ruby. Bisa-bisanya disebut wanita simpanan.
Untuk sekarang mungkin masih aman-aman saja karena belum mencapai puncak di mana Celphius harus benar-benar memperingatinya. Lagi pula, Flavian itu masih adiknya. Celphius harus tahu nama dan tempat.
“Tidak ada yang mau mendengarkan ocehanmu di sini. Kau keluarlah dari kamarku karena aku ingin beristirahat dengan tenang.” Dia mengusir Flavian untuk keluar dari kamarnya dengan alasan ingin beristirahat.
“Apa kau mengusirku?”
“Benar. Jadi, pergilah.”
Flavian menghela napasnya, “Haa~ kau ini benar-benar. Padahal aku menginginkan saran khusus darimu tapi kau malah mengusirku dengan baik seperti ini. Bagaimana mungkin seorang Kakak melakukan ini padaku?”
“Jadi, kau ingin diusir dengan buruk?”
“Apa? Argh, tidak!”
Celphius sudah tidak tahan lagi. Dia doronglah pantat adiknya ketika sudah berada di ambang pintu dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Dia tidak akan lagi mau mendengarkan ocehan anak penuh cinta itu.
Dia lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur padahal rambutnya masih di bilang basah kuyup. Hal sepele yang tidak dipedulikan oleh Celphius. Tetapi sesaat kemudian, lelaki itu justru menyandarkan punggung di sana.
‘Baju itu untuk Ruby supaya dia bisa memakainya dan tidak memakai pakaian yang sama secara berturut-turut. Aku percaya diri membelinya meskipun sudah bukan tugasku melakukan itu,’ gumam Celphius membatin.
‘Tapi berani-beraninya Flavian menyebut Ruby sebagai wanita simpananku. Apa dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak pernah menunjukkan kesalahan sebesar itu? Entah mengapa tapi ini sangat membuatku marah.’
Dirinya sendiri pun merasakan kebingungan itu yang tidak pernah terbayangkan akan menjadi seperti ini. Rasa yang asing yang tak pernah muncul begitu saja. Begitu semuanya terasa, Celphius lebih cepat peka.
.
.
.
6:50 AM
Kedatangan Celphius di sambut dengan hangat oleh Ruby yang sudah menunggunya sejak lama. Bibirnya tersenyum manis dan mempersilakan sang tuan rumah untuk memasuki rumahnya. Tak lupa menutup pintunya lagi.
“Apa yang kau lakukan?”
“Apa?”
“Kenapa kau begitu menyambutku? Hal sederhana seperti itu tidak perlu kau lakukan.” Justru malah mengoceh tidak jelas setelah Ruby dengan senang hati membukakan pintunya untuknya. Celphius tampak tak suka.
“Mm ... aku hanya ingin melakukannya saja. Apa kamu tidak menyukainya? Apa aku tidak boleh melakukan itu karena termasuk ke dalam aturanmu?” tanya Ruby sangat polos. Dalam hatinya sangat bertanya-tanya sekali.
“Walaupun aku tidak melarangmu untuk melakukannya tapi kau tidak perlu susah-susah melakukan itu. Niatmu baik ingin menyambutku tapi aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Jadi, mengertilah, Ruby.”
“Oh, iya, baik.”
Mau bagaimana lagi? Celphius tidak menyukainya dan seharusnya Ruby bisa bertanya terlebih dahulu apakah dia harus melakukan sesuatu untuk menyambutnya atau harus bagaimana. Kesalahan ini pasti takkan terjadi.
“Ini. Pakailah sewaktu-waktu.”
Celphius memberikan sebuah paper bag yang sempat diperiksa oleh Flavian kemarin. “Kamu membelikanku pakaian lagi? Bukankah dulu kamu sudah membelikan pakaian untukku?” Pakaiannya bagus semua.
“Kenapa? Kalau kau tidak menyukainya kembali saja padaku. Aku akan memberikannya pada seseorang yang ada di kantor nanti,” ucap Celphius. Saat hendak mengambil paper bag itu, Ruby menariknya.
Seolah tidak mau jika barang yang sudah diberikan padanya malah diambil alih kembali. “Aku akan memakainya nanti.” Dan memutuskan untuk menjaganya. Barang yang sudah diberikan tak boleh ditolak.
Ruby akan menyimpannya dengan baik agar tidak mudah rusak atau kotor. Pakaian yang seperti itu pasti sangat mahal seperti pakaian yang sempat mereka beli di suatu tempat. Harganya membuat Ruby melongo tajam.
“Apa ... kamu mau sarapan dulu? Kebetulan aku sudah membuatkan sarapan untukmu kalau semisal kamu belum sempat sarapan di rumah,” ujar Ruby. Saat bersuara, nadanya sedikit berhati-hati agar tidak memalukan.
Itu pun jika Celphius belum sempat sarapan di rumah bersama keluarganya. Baru kemarin dibebaskan dari dalam kamar kemampuan memasak Ruby malah sudah diperlihatkan padanya? “Kau memasak?
Gadis itu mengangguk, “Iya. Aku sempat memasak selama beberapa tahun untuk seseorang, jadi, aku belum tahu bagaimana rasanya. Kamu boleh mencicipinya sedikit. Kalau tidak enak, tidak usah dilanjutkan makannya.”
‘Aku sudah sarapan.’ Matanya melirik pada Ruby yang memancarkan sinar penuh harap di matanya. ‘Tapi kalau aku tidak mencicipinya sedikit saja, tidak akan ada yang tahu dia sedang merasa sakit hati atau tidak, 'kan?’
Tidak masalah kalau untuk mencicipinya sebentar saja sebelum berangkat bekerja. Vernon pun masih belum kelihatan jadi masih punya waktu untuk mencicipi apa yang Ruby masak pertama kali untuk dirinya.
“Baiklah, aku akan mencicipi masakanmu.” Celphius berdiri ketika berkata akan mencicipi masakan buatan Ruby. Gadis itu pun terlihat sangat senang sekali. “Jadi, di mana kau meletakkan masakanmu itu?”
“Ah, di sini!”
Gadis itu mengantarkan Celphius ke arah dapur berada. Memang sudah tersedia berbagai makanan di atas meja dan apakah itu hasil buatan Ruby sendiri? Atau ada campur tangan Vernon karena ia juga pandai memasak?
“Ini semua buatanmu?”
“Benar. Aku menggunakan bahan masakan yang ada di dapur saja dan inilah hasilnya. Aku tidak memaksamu untuk mencicipinya. Kalau tidak enak, buang saja.” Kembali memperingati supaya tidak lupa.
“Tampaknya enak, tuh.”
Celphius duduk di kursi meja makan dan memandangi setiap makanan yang ada. Harus mana dulu yang perlu dicicipi pertama kali? Ruby sudah gemetaran berdiri di samping lelaki itu menunggu sebuah harapan.
Bagaimana kalau tidak enak? Bagaimana kalau Celphius tidak menyukainya dan memuntahkannya ke antara makanan yang lain? Ruby tidak pernah menilai masakannya sendiri jadi dia tidak tahu bagaimana rasanya.
Aneh sekali. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun meskipun makanannya sudah dimasukkan ke dalam mulutnya. Seharusnya Celphius mengatakan sesuatu dan menilai sendiri bagaimana rasa masakan Ruby.
“Kenapa kamu hanya diam saja? Apa makanannya tidak enak dan membuatmu sulit untuk merasakannya? Ah, muntahkan saja! Aku akan ambil plastik dulu!” Ruby panik sendiri. Dia mengira Celphius akan muntah.
“Wah, ini enak sekali.” Seruan Celphius membuat Ruby berhenti berjalan. Gadis itu menoleh dan menyaksikan ekspresinya. “Ini makanan terenak yang pernah kumakan sepanjang hidupku. Kau pandai sekali membuatnya.”
“Apa ... begitu?”
“Kenapa kau membuat makanan seenak ini? Kalau kau sembuh secepatnya pasti aku sudah merasakan makanan enak ini setiap hari.” Dia terlalu banyak memuji makanan itu sampai membuat pipi Ruby merah merona.
Rasanya baru pertama kali mendapat pujian seperti itu yang mampu membuat pipinya merona karena ada juga orang yang menyukai masakannya. Ruby yang malah terisak, menangis haru, membuat Celphius terkejut.
“Kenapa kau malah menangis? Bukankah aku memuji masakanmu dan rasanya lumayan sangat enak? Seharusnya kau merasa bangga dan senang, bukannya malah menangis seperti ini,” heran Celphius.
“Aku senang!”
Gadis itu malah terus menangis tersedu-sedu saking bahagianya. Celphius kembali berwajah datar dan menarik tubuh Ruby untuk menempel padanya. Lelaki itu melakukan sebuah pelukan demi menenangkannya.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments