Flavian dan Tuan Cillian saling duduk menyamping di sofa yang berada di dalam kamar. Terlihat jelas raut wajah kegelisahan yang dimiliki oleh anak keduanya itu ketika dalam posisi kepala yang terus menunduk setiap waktu.
Dari awal Tuan Cillian sudah menduganya kalau anaknya tersebut masih memikirkan kejadian kemarin di mana dirinya sudah memukul wajah kakaknya sendiri. Tentu itu menjadi suatu kesalahan pertama untuknya.
“Apa kamu sedang memikirkan kakakmu, Nak?” tanya Tuan Cillian sedang membuat suasana dalam kamar terasa hidup karena di antara mereka hanya terdiam.
“Untuk apa aku memikirkannya, Ayah? Dia sudah bukan kakakku lagi. Semenjak dia membentak Ayah, aku sudah sangat membencinya,” geleng Flavian tak mengaku.
“Kamu jangan membohongi dirimu sendiri. Terlihat jelas dari raut wajahmu itu kalau kamu sedang memikirkannya. Kamu tidak bisa membohongi Ayah,” ucap Tuan Cillian.
Flavian menghela napasnya dengan panjang. Sudah tidak ada celah baginya untuk terus meratapi kebencian itu seorang diri dan membohongi perasaannya sendiri. Flavian hanya merasa kecewa pada kakak kandungnya.
“Aku sangat tak habis pikir, kenapa Kakak terus membela Ibu yang sudah meninggalkan kita daripada memercayai Ayah? Padahal Ayah benar-benar dapat di percaya.”
“Kakak hanya memikirkan diri sendiri dan mencampakkan Ayah lalu keluar dari rumah tanpa alasan yang jelas. Bukankah itu sangat keterlaluan? Dia itu kenapa, sih?”
Tidak dapat membendung semua rasa kecewa yang terbenam dalam hatinya. Tuan Cillian sangat mengerti betapa sayangnya Flavian kepada Celphius yang bahkan sampai ingin mengikuti jejak kakaknya dalam hal apa pun.
Namun, ketika semua sudah menjadi seperti ini rasa 'ingin' di hati Flavian terhadap kakaknya berubah menjadi kebencian dan kekecewaan. Dan itu semua hanya karena Celphius yang selalu membela ibu mereka.
“Rasa marahmu itu hanya akan membuatmu menderita. Kalian bersaudara, kalian jangan saling membenci satu sama lain. Ayah tahu bagaimana perasaanmu saat ini.”
“Ayah tidak apa-apa kalau kamu seperti ini gara-gara Ayah. Kakakmu masih kehilangan sosok seorang Ibu, jadi, kamu harus mengerti bagaimana kondisinya saat ini.”
“Kamu bahkan sampai memukul kakakmu di hadapan Ayah, apa kamu tidak berpikir kalau itu membuat hati Ayah sakit? Kedua anak Ayah rupanya saling membenci.”
Suatu kenyataan yang paling buruk melihat kedua anaknya saling melayangkan tangan mereka pada satu sama lain. Hati Ayah mana yang tidak sakit melihat anak-anak yang sudah seperti seorang gangster menyeramkan?
“Aku minta maaf, Ayah. Aku tidak bermaksud melakukan itu dan itu terjadi secara serentak ketika aku sedang sangat marah. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama.”
Flavian meminta maaf dan Tuan Cillian menganggukkan permintaan maaf itu. “Iya, Ayah sangat tahu. Kalau kamu sudah mengerti, kamu bicaralah dengan kakakmu.”
“Buat kakakmu juga mengerti dan bujuklah dia untuk kembali ke rumah. Kalau denganmu, kakakmu pasti akan mengikuti semua yang kamu ucapkan,” lanjutnya.
“Iya, Ayah. Aku akan berusaha.”
“Itu baru anak Ayah.”
.
.
.
DOENG!
Celphius dikejutkan dengan kondisi berdarah Ruby di mana dahinya terluka dan mengeluarkan darah berceceran di atas lantai. Saat Celphius memasuki kamar itu, Vernon sudah terlebih dahulu mengurus Ruby.
“Apa-apaan ini? Apa yang terjadi? Kenapa dengan Ruby, Vernon?!” pekik Celphius meminta penjelasan bodyguardnya untuk menjawab rasa perasaannya tersebut.
“Saya juga belum yakin, Tuan. Sejak tadi saya terus berada di luar kamar dan saat ada barang yang pecah, saya langsung masuk. Kondisi Ruby ternyata sudah begini.”
Kekonyolan macam apa itu? Tidak mungkin Ruby menyakiti dirinya sendiri? Celphius mendekati gadis itu untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kadang Ruby hanya bisa berbicara saat ada Celphius di dekatnya.
“Ruby, apa kau bisa menjelaskan semua kekacauan ini? Dari mana luka di dahimu? Apa yang kau lakukan sampai membuat dahimu terluka?” tanya Celphius dengan tegas.
“Aku tidak melakukan apa pun.” Ruby menjawab tak melakukan apa-apa pada dirinya sendiri. Aneh juga. Tidak mungkin Ruby menyakiti diri sendiri seperti itu, 'kan?
“Kalau kau tidak melakukan apa pun kenapa bisa sampai berdarah seperti itu? Tidak mungkin ada seseorang datang dan melukaimu ke sini!” Celphius masih memekik panik.
Vernon yang semakin paham akan situasi ini kemudian melerai pembicaraan Celphius dengan Ruby. “Tuan, Anda sebaiknya tidak terlalu keras memarahi Nona Ruby.”
“Aku tidak memarahinya! Aku hanya penasaran saja kenapa dia sampai terluka seperti ini sedangkan kau berada di dekatnya! Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
Pandangan mata Celphius yang mengarah sangat tajam kini tertuju kepada Vernon yang sejak tadi menjaga Ruby di rumah. Bukannya menuduh. Hanya saja Celphius merasa bodyguard itu lalai menjalankan tugasnya.
Sang bodyguard kemudian tertunduk saat majikannya terus memperhatikan gerak-gerik tubuhnya dengan pandangan yang berbeda. Vernon mencoba menjelaskan semua yang terjadi bahwa dia selalu ada di sana.
“Saya tidak ke mana-mana, Tuan. Saya selalu ada di luar kamar Nona Ruby dan menjaganya tanpa melewatkan satu detik pun. Saya sangat menghormati perintah Anda.”
“Hanya saja ... saya sedikit mendengar suara pecahan dan gelas yang berada di sekitar Nona Ruby sudah tergeletak di lantai. Nona Ruby juga pingsan pada saat itu terjadi.”
“Jadi, semua itu terjadi di luar dugaan saya. Saya sangat minta maaf telah melalaikan perintah Anda. Saya berjanji hal semacam ini tidak akan pernah terjadi lagi.”
Vernon sampai bersumpah seperti itu hanya untuk membuat Celphius percaya padanya dan memaafkannya. Karena semua itu berada di luar kendali Vernon, tak boleh ada siapa pun yang menyalahkan siapa dan bagaimana.
Satu-satunya saksi mata yang benar-benar mengetahui kejadian di dalam kamar dan peristiwa berdarahnya dahi Ruby adalah Ruby sendiri. Hanya ada dia seorang yang berada di dalam kamar seharian dan semalaman.
“Ruby, aku tahu kau sangat marah dengan semua ini. Tapi, bisakah kau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dari mana kau mendapatkan luka itu, hm?”
Celphius mencoba membujuk Ruby dengan lebih dalam akan godaannya. “Kau tidak perlu takut padaku. Aku yang telah menyelamatkanmu. Kau harus memercayai aku.”
Tetapi, Ruby tetap saja diam seperti tidak tahu apa pun. “Aku tidak mengerti apa maksudmu. Aku benar-benar tidak melakukan sesuatu yang membuatku begini.”
Ruby yang selalu seperti itu tidak akan memecahkan segala rasa penasaran Celphius yang menduga ada seseorang datang ke dalam rumahnya tanpa Vernon ketahui. Atau mungkin Ruby telah melukai dirinya sendiri?
“Vernon, apa kau sudah menghubungi Dokter?” Walau bagaimanapun, lukanya itu mungkin sangat dalam sampai darahnya berceceran di atas lantai kamarnya.
“Saya sudah menghubungi Dokter, Tuan. Luka di dahi Nona Ruby juga sudah diobati dan dibaluti dengan perban. Menurut Dokter, itu bukan luka dalam,” sahut Vernon.
“Baiklah. Kau keluar saja.”
“Iya, Tuan.”
Dan sekarang hanya ada mereka berdua yang berada di dalam kamar. Ruby masih tenang-tenang saja menghadapi rasa kecurigaan Celphius yang kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah tempat tidur.
Kemudian mengeluarkan sebuah plastik yang di mana di dalamnya terdapat beberapa makanan luar yang sempat di beli olehnya ketika mau pulang. Celphius ingat kalau di rumahnya ada Ruby yang kemalangan.
“Aku tidak tahu kau menyukainya atau tidak, tapi kau bisa membuangnya jika benar-benar tidak sesuai dengan seleramu,” ucap Celphius menunjukkan makanan tersebut.
“Di mana kamu membelinya?” tanya Ruby. Baru pertama kali Celphius membelikan makanan seperti itu dan menunjukkannya langsung. “Aku akan mencobanya.”
Ruby mengambil sebuah garpu untuk memudahkannya mengambil makanan berbahan dasar mie tersebut. Tetapi mendadak ... PRANG! Garpu itu terjatuh dan menimbulkan suara khas yang membuat Celphius terkejut.
“M, maafkan aku...! Aku benar-benar tidak sengaja menjatuhkannya...!” Suara Ruby yang gemetaran. Gadis itu hendak mengambil kembali garpunya sebelum Celphius.
SET!
Namun, lelaki itu yang lebih dulu mendapatkannya. “Ini sudah kotor. Kau membutuhkan garpu yang baru. Aku akan mengambilnya di dapur, jadi, tunggu sebentar.”
“I, iya.”
Takutnya sesuatu yang sudah jatuh dan kotor baik itu makanan ataupun barang bisa membuat orang sakit dan mengalami sesuatu yang mengerikan. Celphius harus menjaga kebersihan rumah dan gadis itu.
Dan tak lama kemudian, Celphius datang kembali membawakan garpu baru di tangannya dan membuang garpu yang tadi jatuh. Ruby hanya menunduk merasa sedih dan takut setelah membuat sebuah kekacauan.
Saat hendak mengambil garpu di tangan Celphius, lelaki itu menjauhkan barangnya dan mengambil makanan dalam pangkuan Ruby. Sang gadis menjadi terheran-heran dengan sikap serentak yang Celphius lakukan sekarang.
“Kenapa ... ”
“Biar aku saja.”
“Aku akan melakukannya dengan baik. Kamu tidak perlu repot-repot seperti ini,” ucap Ruby dengan hati-hati. Dia sudah merasa selalu merepotkan Celphius selama ini.
“Aku hanya tidak punya garpu ketiga. Jika kau kembali menjatuhkan barang terakhir ini, aku tidak bisa menggantinya dengan yang baru.” Hanya memikirkan itu.
Dan tentu saja itu hanya alasan biasa. “Sudah. Kau diam saja dan nikmati makanannya. Apa sudahnya untuk membuka mulutmu?” Celphius yang terus mengoceh.
Ruby hanya bisa terdiam. Ia turuti saja apa yang dikatakan oleh lelaki itu dan menikmati makanan yang sudah sengaja dibelikan. Jika Ruby sampai menolak makanan tersebut, entah apa jadinya dengan perasaan di tubuh Celphius.
Kapan lagi disuapi oleh seseorang seperti ini? Celphius melirik pada wajah Ruby yang melihat ke arah lain sehingga tidak memperhatikan Celphius sedang melihatnya. Raut wajahnya tampak sangat gelisah sekali.
Seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan namun tidak bisa dikatakan melalui kata-kata. Lihat saja. Air matanya sampai menetes-netes sembari mengunyah makanan itu. Ruby langsung menghapusnya dengan cepat.
‘Aku ingin tahu apa yang sedang kau sembunyikan. Sampai rasanya mau gila melihatmu yang terus seperti ini. Tapi, aku akan menunggu sampai kau mau mengatakannya.’
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments