Harapanku Adalah Kematian

“Hosh! Hosh! Hosh!”

Dalam lorong yang gelap gulita, terdengar suara napas sesuatu yang terengah-engah dari berbagai sisi. Tidak ada yang tahu dari mana sumber suara tersebut berasal. Tetapi, suaranya berada di sekitar tempat tersebut.

Bayangan seorang wanita yang berjalan menyeret kedua kakinya atau yang lebih dikenal dengan sebutan mengesot itu terlihat jelas pada sebuah tembok yang disoroti oleh cahaya. Celphius memperhatikan bayangan tersebut.

Dan tidak lama kemudian terdengar suara rintihan tangisan seorang wanita yang meminta tolong menggema dalam ruangan tersebut. Celphius masih bingung dari mana asalnya bayangan dan suara yang silih berganti itu.

“Hiks ... tolong ... tolong ... tolong aku ... ” Bayangan wanita itu menangis sembari menyeret kedua kakinya yang sepertinya tidak bisa digunakan.

“Jangan lari! Kau pikir kau mau ke mana?” Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dan bersamaan dengan itu, bayangan yang lain pun muncul saat itu.

Mendadak ...

PLAK!

Laki-laki itu memukul wajah wanita yang menangis tadi sampai tangisan tersebut berubah menjadi suara teriakan histeris. Seperti adanya bercak darah yang warna merah-merah itu. Entah itu suaminya atau bukan.

Tetapi, laki-laki itu terus melakukan sebuah penyiksaan pada wanita dalam genggaman tangannya sampai si sang wanita menjadi tidak berdaya dan kemudian pingsan. Wanita itu tidak tahan dengan rasa sakit di tubuhnya.

Seakan tidak ada kepuasan dalam dirinya setelah membuat wanita itu menjadi tidak berdaya, laki-laki itu terlihat memegang sebuah balok yang entah itu kayu atau benda tajam lainnya. Ia hantamkan pada kepalanya.

Darah menetes dari kepala si wanita dan membasahi lantai yang hingga sampai di kaki Celphius yang hanya sekadar melihat bayangan orang-orang itu. Aneh sekali. Kenapa darahnya justru terasa sampai ke kakinya sendiri?

GREP!

“Tolong ... tolong aku ... ”

Wanita itu kembali meminta sebuah pertolongan setelah memegang tangan Celphius yang masih mematung di sana. Bagaimana Celphius menolongnya? Dia saja tidak tahu siapa nama orang itu dan seperti apa wajahnya.

PRANG!

Celphius dikejutkan dengan suara pecahan sesuatu yang terbuat dari kaca bening. Dia yang membuka matanya melihat Ruby yang sudah menatap ke arah bawah tempat tidurnya seperti ada sesuatu yang menarik perhatian.

“Ruby!”

Gadis itu sontak menoleh dan menghentikan tingkah lakunya. “Oh, kamu sudah bangun? Maaf aku tidak bermaksud untuk membangunkanmu.”

Terdiam. Celphius tidak mengatakan apa pun untuk sejenak. “Apa yang sedang kau lakukan? Kau melihat apa di bawah tempat tidurmu?” tanyanya.

“Ah, tidak ada apa-apa, kok.” Ruby menggelengkan kepalanya menolak untuk memberi tahu Celphius. Seperti biasa, gadis itu kembali membohonginya.

Celphius yang sudah kehabisan kesabaran berdiri dari tempat duduknya untuk memeriksa apa yang sejak tadi diperhatikan oleh Ruby. Rupanya, ada pecahan gelas yang berserakan di lantai dan airnya juga berceceran.

“Kalau kau merasa kehausan dan membutuhkan air minum, sebaiknya kau membangunkanku saja daripada terus membuat kekacauan seperti ini.”

Dia terlihat sangat marah. Bukan karena Ruby tidak mau mengandalkannya tetapi karena Ruby yang sudah sering berbohong padanya dan hanya diam saat membutuhkan sesuatu. Apa gunanya bibir jika tidak digunakan?

Persis seperti sekarang, gadis itu hanya menundukkan wajahnya seperti menyesali perbuatannya namun akan mengulanginya di kemudian harinya lagi. Celphius keluar untuk membawakan sebotol air untuk Ruby.

“Ini, minumlah.”

“Terima kasih.”

GLEK!

Terasa menyegarkan meminum air putih dalam keadaan seperti itu. Ruby mencoba meletakkan botol tersebut namun Celphius tidak membiarkan hal seperti tadi terulang kembali. Lelaki itu membantu meletakkannya.

“Padahal aku bisa melakukannya seorang diri.” Ruby mengaku bisa melakukan apa pun sendirian. “Kenapa kamu bisa ada di rumah sakit?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, untuk apa kau meninggalkan rumah saat kondisimu masih belum stabil? Kau sudah gila?” tanya Celphius.

Tetapi, Celphius sendiri yang menyuruhnya untuk pergi. “Aku mengikuti ucapanmu. Kamu menyuruhku untuk pergi, jadi, aku pergi dari rumahmu.”

Ini salahnya. Celphius mengaku kalau dirinya telah mengatakan itu pada Ruby yang sangat polos dan bisa melakukan apa pun tanpa mengetahui arti di balik ucapannya. Sesuai janji, Celphius harus meminta maaf.

“Baiklah, aku memang mengatakan itu padamu. Tapi aku sama sekali benar-benar tidak bermaksud menyuruhmu meninggalkan rumah saat itu.”

“Kukira perempuan lebih peka dari pria dan saat itu aku memang sedang marah sebelum kau membuatku tambah lebih bingung. Jadi, aku mengatakan itu.”

“Jadi, aku minta maaf telah membuatmu meninggalkan rumah. Yang kuinginkan adalah kau yang meninggalkan kediamanku saat kondisimu sudah sembuh.”

“Setelah melihat kondisimu yang seperti ini setelah meninggalkan rumah malah justru membuatku khawatir. Bisa jadi ke depannya kau tidak akan selamat.”

Bisa saja kematian menghampiri Ruby sebelum mendengar permintaan maaf Celphius yang secara tulus dilontarkan padanya. Hal itu membuat Celphius lebih berhati-hati dalam berucap karena takut setiap kata menyakiti Ruby.

“Kamu tidak usah mengatakan hal semacam itu. Aku juga memang perlu untuk beradaptasi dengan baik sendiri. Aku tidak mau banyak merepotkanmu, Dewa.”

Dewa? Nama siapa itu? Celphius sampai mengerutkan alisnya. “Siapa Dewa? Kau mengenalnya dari mana dan siapa?” tanya Celphius semakin merasa bingung.

“Itu ... aku tunjukkan untukmu. Selama ini aku tidak tahu namamu siapa dan karena kamu sudah menyelamatkanku, jadi, aku memanggilmu dengan 'Dewa'.”

“Pfft! Hahaha...!”

Celphius tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan dari mana nama 'Dewa' itu berasal. Selama ini Celphius tidak pernah memperkenalkan diri pada Ruby jadi wajar saja jika Ruby bingung harus memanggilnya dengan apa.

Karena sekarang sudah begini sudah waktunya bagi Celphius untuk memperkenalkan diri. Dia akan mengatakan namanya kepada Ruby agar gadis itu bisa terbiasa memanggilnya dengan sebutan nama yang asli.

“Sekarang kau bisa memanggilku Celphius. Jangan panggil dengan sebutan 'Dewa' hanya karena aku sudah menyelamatkanmu. Itu terlalu berlebihan.”

Memanggil dengan nama itu hal yang bagus. Celphius juga bisa bertanya siapa nama Ruby yang sebenarnya. Gadis itu tidak mengalami hilang ingatan meskipun kepalanya diperban. Sudah pasti Ruby mengingat nama aslinya itu.

“Oh, Celphius. Aku baru mendengar namamu dan ternyata sangat menarik dan bagus juga. Terima kasih sudah memberitahukan namamu padaku.” Ia senang.

Sebetulnya Ruby sudah sangat lama ingin mengetahui nama penyelamatnya sejak pertama kali membuka mata. Namun, rasa gugupnya ternyata lebih mendahulukan niatnya sehingga niat itu terkubur dalam di hatinya.

“Kalau begitu, apa kita bisa berbagi nama? Kau sudah mengetahui siapa namaku dan aku juga perlu tahu siapa namamu sebenarnya. Kau bisa mengatakannya?”

Ruby terdiam sejenak. Wajahnya kembali menunduk menampilkan raut wajah kepiluan. Ada nama yang selalu membuatnya terlihat menyedihkan sampai rasanya tak mau mengenal nama itu dan ingin membuangnya jauh.

“Aku memang punya nama. Tapi belakangan ini kamu memanggilku dengan sebutan 'Ruby' sudah membuatku merasa nyaman. Jadi, namaku adalah Ruby.”

“Rasanya kamu tidak perlu tahu siapa namaku yang sebenarnya. Itu adalah nama terburuk yang tidak pernah aku inginkan. Tolong panggil aku Ruby saja, 'ya.”

Tetapi, Celphius ingin tahu nama aslinya untuk dimasukkan ke dalam daftar informasi untuk mengetahui kebenaran mengenai dirinya. Sulit juga mendapatkan namanya. Bagaimana cara Celphius bisa membujuk Ruby?

“Kau tidak perlu berpikir itu bagus atau tidak. Kau hanya perlu memberitahuku namamu yang sebenarnya. Siapa tahu aku bisa menemukan keluargamu.”

“Mereka semua pasti mengkhawatirkanmu karena sudah hilang berbulan-bulan. Apa kau tidak merindukan keluargamu? Di mana kau tinggal? Siapa ayahmu?”

Celphius banyak mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Apakah dia tak menyadari kalau raut wajah Ruby yang seperti itu membuat sang gadis tidak nyaman? Jemarinya bermain satu sama lain tanda gugup.

“Aku ... tidak bisa memberitahumu. Maafkan aku karena hanya bisa memanfaatkan secara sepihak. Padahal kamu sudah leluasa menyebutkan namamu padaku.”

Walaupun sadar keputusan ini tidak akan pernah berhasil, tetapi Celphius tetap ingin mencobanya. “Ya, tidak masalah. Beritahukan saja jika kau sudah siap.”

“Iya. Terima kasih sudah mengerti.”

Jangan merasa lega dulu. Semua pertanyaan ini masih belum berakhir. “Kenapa kau bisa terluka seperti ini? Katakan padaku siapa yang telah melukaimu?”

DEG!

Dan inilah pertanyaan yang paling mengguncang hati dan apa pun yang berada dalam tubuhnya. Tubuh Ruby terpaku membeku dengan tangan yang gemetaran. Saat mengingatnya, semua itu membuatnya ingin menangis.

“Ruby, katakanlah yang sesungguhnya. Dengan hanya kau diam seperti ini tidak akan membuat masalahnya cepat selesai. Kau beri tahu aku siapa orangnya, cepat!”

Gadis itu berpikir semuanya sudah berakhir jika tidak memberitahukan namanya pada orang lain. Sekalipun dia memang ingin meminta bantuan, tetapi Ruby memikirkan konsekuensi seperti apa yang akan terjadi nantinya.

Ada suatu rasa trauma yang membuat Ruby lebih banyak terdiam dan menutupi semua identitas dirinya. Entah itu karena suruhan dari orang lain atau keinginan dirinya sendiri yang memilih untuk merahasiakan identitasnya.

Demi menghindari pertanyaan itu tanpa menjawab, Ruby memilih untuk membaringkan tubuhnya dan menarik selimut menutupi seluruh tubuh—tidak termasuk di area kepala. Posisinya juga berlainan arah dengan Celphius.

“Apa-apaan ini? Kau menghindari pertanyaan dariku dan terus merahasiakannya sesuka hatimu? Kau benar-benar akan terus seperti ini selamanya?” tanya Celphius.

Ruby tidak menggubrisnya. Dia tetap terbaring diam menatap kosong ke arah depan sambil meneteskan air matanya. Sesakit apa pun dirinya seseorang tidak boleh tahu tentang kesakitan yang dialami oleh tubuhnya.

BRAK!

Suara pintu ruangan yang tertutup terdengar sampai menolehkan Ruby untuk memeriksanya. Rupanya, Celphius sudah keluar dari dalam ruangannya. Kini, hanya Ruby sendirian yang berada dalam keheningan kamar itu.

‘Bagaimana aku bisa memberitahumu semuanya? Aku saja tidak pernah tahu apa yang terjadi dan tiba-tiba saja semuanya menjadi seperti ini. Aku merasa ini salahku.’

‘Aku tahu kamu merasa tidak adil ketika kamu menolongku namun aku sama sekali tidak bisa memberi informasi apa pun tentangku, hidupku, dan duniaku.’

‘Saat semuanya berubah dalam sekali membuka mata, aku merasa sedang menemukan kehidupan baruku dan saat itulah aku bertemu denganmu. Aku sangat bersyukur.’

‘Tapi harapanku adalah kematian. Dan kamu menghancurkan harapanku yang ingin mati setelah sekian lama bertahan hidup dalam sebuah penderitaan hebat.’

‘Dan kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu bukan hanya mau membantuku tapi kamu justru sedang menggali kuburanmu sendiri. Itu sangat berbahaya.’

‘Sangat menyakitkan untuk berbicara denganmu karena aku hanya mengingat semua yang ternyata sangat membuatku sakit. Kesakitan ini, biar aku yang tahu.’

Ruby memilih untuk menyembunyikannya selama yang dirinya bisa. Jika Celphius ternyata sudah mengetahui kesakitannya maka itu bukan jadi tanggung jawab Ruby. Karena Celphius sendiri yang melangkah menuju jurang.

.

.

.

[SATU MINGGU KEMUDIAN]

7 PM

Mobil Celphius terparkir di halaman depan rumah ayahnya yang mulai sekarang akan ditinggali olehnya itu pun tidak bisa dijamin akan tinggal selamanya bersama mereka berdua. Celphius hanya sedang menepati janji.

Flavian memintanya untuk pulang walau hanya sesekali karena katanya suasana di rumah sangat tidak lengkap jika tidak ada Celphius. Padahal keberadaannya di sana sebelumnya pun sama saja seperti suasana tinggal sendiri.

‘Ini hanya untuk sementara waktu. Jika orang itu kembali mengusik kehidupanku aku tidak akan tinggal di sini dan membawa Flavian bersamaku,’ batin Celphius berkata.

Dia perlahan turun dari mobilnya dan menutup pintu kendaraan itu setelah mengambil tas berisi pakaian. Dia tidak perlu membawa banyak pakaian karena di dalam rumahnya juga masih terdapat sisa-sisa pakaian kemarin.

“Kakak, akhirnya kau sampai juga. Aku sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi.” Flavian dengan senang hati menyambut kakaknya. “Apa di jalan sangat macet?”

“Tidak juga. Aku hanya malas saja datang lebih awal karena itu membuatku tidak nyaman,” ketus Celphius membalas pertanyaan adiknya. “Aku mau ke kamar.”

“Kau mau langsung ke kamar begitu sampai? Apa kau tidak mau makan malam dulu baru setelah itu beristirahat?” Makanan sudah disiapkan di atas meja.

“Aku sangat lelah karena datang jauh-jauh kemari. Beda ceritanya kalau kau menjemputku, mungkin aku tidak akan terlalu kelelahan begini,” ujarnya tetap menolak.

Sikapnya itu menyebalkan sekali. Sebenarnya dari mana sikap Celphius itu berasal? Dari ayahnya? Sikap Tuan Cillian sepertinya lemah lembut. Atau dari ibunya? Ada suatu cerita kalau sifat ibunya itu sangat buruk sekali.

BERSAMBUNG

Episodes
1 Celphius Allen Blair
2 Pembuangan Mayat Hidup
3 Sekadar Perjodohan Bisnis
4 Jangan Membenci Kakakmu
5 Perhatian Seorang Kakak
6 Keluarlah Dari Rumah Ini!
7 THE KILLER
8 Jangan Tinggalkan Aku
9 Ruby Dengan Darahnya
10 Harapanku Adalah Kematian
11 Perjodohan yang Dibatalkan
12 Situasinya Semakin Membaik
13 Adanya Gangguan Kesehatan
14 Kejarlah Sebelum Terlambat!
15 Aku Akan Menunggumu
16 Hanya Sebatas Teman
17 Terlalu Banyak Merepotkan
18 Gudang yang Terbakar
19 Berbicara Tentang Pernikahan
20 Bukan Wanita Simpanan
21 Tiga Pemuda Asing
22 Siapa Nama Aslimu?
23 Melakukan Sebuah Transaksi
24 Ada Banyak Godaan
25 Berada Diujung Kehidupan
26 Celphius, Menikahlah Denganku
27 Terlalu Banyak Halusinasi
28 Menggulung Dalam Selimut
29 Keputusan Penuh Keraguan
30 Ini Sangat Menyakitkan
31 Pernikahan yang Mendadak
32 Menyentuh Tanpa Izin
33 Ungkapan Perasaan Sienna
34 Aku Membunuh Seseorang
35 Alat Pendeteksi Kejujuran
36 Ibumu Seorang Pelacur
37 Mengalami Patah Hati
38 Beda Orang Beda Sikap
39 Kali Ini, Bukan Halusinasi!
40 KESALAHPAHAMAN
41 Kedudukan Kekuasaan
42 Nyawa Menjadi Taruhan
43 Sebuah Penyadap Suara
44 Saling Menuntut Kebenaran
45 Penyembuhan Secara Pribadi
46 Hidup Setelah Mati
47 Perubahan yang Membingungkan
48 Cinta Bukanlah Kesalahan
49 Foto yang Sama
50 Berharap Pada Kematian
51 Tolong Selamatkan Aku
52 Amarah dan Dendam
53 Tercium Bau Busuk
54 Lautan Penuh Darah
55 Rencana Pengalihan Prioritas
56 Perasaan Tidak Nyaman
57 SEPENGGAL KISAH
58 Surat Pengajuan Kesepakatan
59 Ayahku Adalah Monster
60 Penyesalan yang Terlambat
61 Terbukanya Data Pribadi
62 Kesempatan Hidup Kedua
63 Tolong, Jagalah Adikmu
64 Penyusunan Rencana
65 Terlalu Menghayati Peran
66 Pengakuan Seorang Ibu
67 Di Mana Ibuku!
68 Visenya Althenia Milton
69 Sebuah Ciuman Terakhir
70 Hanyalah Istri Kontrak
71 Kehilangan Pasti Terjadi
72 Akankah Berakhir Bahagia?
73 Menunggu Kelahiran Flavian
74 Flavian Heinz Blair
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Celphius Allen Blair
2
Pembuangan Mayat Hidup
3
Sekadar Perjodohan Bisnis
4
Jangan Membenci Kakakmu
5
Perhatian Seorang Kakak
6
Keluarlah Dari Rumah Ini!
7
THE KILLER
8
Jangan Tinggalkan Aku
9
Ruby Dengan Darahnya
10
Harapanku Adalah Kematian
11
Perjodohan yang Dibatalkan
12
Situasinya Semakin Membaik
13
Adanya Gangguan Kesehatan
14
Kejarlah Sebelum Terlambat!
15
Aku Akan Menunggumu
16
Hanya Sebatas Teman
17
Terlalu Banyak Merepotkan
18
Gudang yang Terbakar
19
Berbicara Tentang Pernikahan
20
Bukan Wanita Simpanan
21
Tiga Pemuda Asing
22
Siapa Nama Aslimu?
23
Melakukan Sebuah Transaksi
24
Ada Banyak Godaan
25
Berada Diujung Kehidupan
26
Celphius, Menikahlah Denganku
27
Terlalu Banyak Halusinasi
28
Menggulung Dalam Selimut
29
Keputusan Penuh Keraguan
30
Ini Sangat Menyakitkan
31
Pernikahan yang Mendadak
32
Menyentuh Tanpa Izin
33
Ungkapan Perasaan Sienna
34
Aku Membunuh Seseorang
35
Alat Pendeteksi Kejujuran
36
Ibumu Seorang Pelacur
37
Mengalami Patah Hati
38
Beda Orang Beda Sikap
39
Kali Ini, Bukan Halusinasi!
40
KESALAHPAHAMAN
41
Kedudukan Kekuasaan
42
Nyawa Menjadi Taruhan
43
Sebuah Penyadap Suara
44
Saling Menuntut Kebenaran
45
Penyembuhan Secara Pribadi
46
Hidup Setelah Mati
47
Perubahan yang Membingungkan
48
Cinta Bukanlah Kesalahan
49
Foto yang Sama
50
Berharap Pada Kematian
51
Tolong Selamatkan Aku
52
Amarah dan Dendam
53
Tercium Bau Busuk
54
Lautan Penuh Darah
55
Rencana Pengalihan Prioritas
56
Perasaan Tidak Nyaman
57
SEPENGGAL KISAH
58
Surat Pengajuan Kesepakatan
59
Ayahku Adalah Monster
60
Penyesalan yang Terlambat
61
Terbukanya Data Pribadi
62
Kesempatan Hidup Kedua
63
Tolong, Jagalah Adikmu
64
Penyusunan Rencana
65
Terlalu Menghayati Peran
66
Pengakuan Seorang Ibu
67
Di Mana Ibuku!
68
Visenya Althenia Milton
69
Sebuah Ciuman Terakhir
70
Hanyalah Istri Kontrak
71
Kehilangan Pasti Terjadi
72
Akankah Berakhir Bahagia?
73
Menunggu Kelahiran Flavian
74
Flavian Heinz Blair

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!