"Tu-tuan Mahen," ucap Laura terbata.
Laura menyobek bajunya untuk membalut luka Mahen yang sekiranya sedikit membantu untuk mengurangi pendarahan, kemudian ia bergegas membawa lelaki yang masih tetap menjaga kesadarannya itu padahal perutnya penuh dengan darah.
Laura mengabaikan tubuh lelaki itu yang tak tertutupi apapun. Ia membaringkannya di tempat tidur dan tak tahu harus melakukan apa lagi. Laura menarik selimut dan menutupi tubuh pria itu. Ia kebingungan mencari kotak obat atau menghubungi siapa saja yang bisa membantunya.
"Aku harus bagaimana?" gumam Laura, ia terus memperhatikan wajah Mahen yang terlihat memucat dan matanya sudah tertutup entah sejak kapan.
Panik, Laura naik ke tempat tidur. Ia mencoba memeriksa pernapasannya dan ternyata lelaki tampan ini masih bernapas hanya saja terdengar tidak teratur.
"Oh Tuhan kirimkan pertolongan secepatnya," gumam Laura.
Ponselnya berdering, nama Zoya tertera di sana, dengan cepat Laura menjawabnya. Rupanya Zoya mengatakan jika tempat ini semakin tidak aman sebab ia tak sengaja mencuri dengar bahwa tempat ini akan segera diledakkan. Ia meminta Laura segera keluar, ia tidak ingin sahabatnya mati konyol di tempat ini.
Laura menyimpan ponselnya lalu ia menggigit bibirnya. Ia menatap lamat-lamat wajah tampan itu, ada desiran aneh saat ia melihat wajah tampan ini. Seperti pernah mengenalnya tetapi entah di mana. Tidak tega rasanya meninggalkan pria baik ini, tetapi ia juga harus menyelamatkan diri.
"Maafkan aku tidak bisa menolongmu Tuan Mahen. Terima kasih juga karena telah membeli keperawananku. Suatu saat jika kamu selamat maka aku berjanji akan memberikannya seperti kamu telah membayarku," ucap Laura kemudian ia mengecup dahi Mahen lalu berlari pergi.
***
Satu Minggu kemudian …
Mahen membuka matanya, samar-samar ia melihat nuansa putih dan mencium aroma obat-obatan. Ia langsung tahu jika ia berada di rumah sakit.
"Kamu sudah bangun Nak?" Suara itu jelas Mahen kenali, Keenan —ayahnya rupanya berada di rumah sakit ini.
Mahen menoleh dan mendapati ayahnya, Paman Leon, Eleanor dan Jack yang berada di sana. Ia tersenyum samar, berusaha memberitahu jika ia baik-baik saja.
"Jack panggil dokter," pinta Leon.
Jack pun keluar dan tak lama kemudian dokter segera datang bersama dua suster untuk memeriksa keadaan Mahen. Setelah dokter menyatakan jika kondisi Mahen telah baik-baik saja dan hanya akan melakukan pemulihan selama dua sampai tiga hari di rumah sakit barulah keluarga Mahen merasa tenang. Dokter pun berpamitan.
"Ayah, Paman, Bibi Lea, aku ingin berbicara empat mata dengan Jack," ucap Mahen.
"Dasar anak Keenan! Kamu itu baru saja membuka mata dan mau membahas bisnis? Tidak, Ayah tidak mengizinkan dan sekarang kamu sebaiknya istirahat," tegur Keenan, cukup kesal dengan putranya yang selalu saja mengutamakan pekerjaannya. Ia tidak mungkin mengatai Mahen sebagai anak setan sebab ia adalah ayahnya bukan setan.
Leon dan Lea menahan tawa, namun dengan cepat Leon memalingkan wajahnya saat Mahen memohon padanya lewat tatapan mata. Ia setuju dengan Keenan saat ini, Mahen butuh istirahat.
Hingga malam tiba, akhirnya Keenan pulang setelah Leon dan Lea pulang lebih dulu sore tadi. Tinggallah Jack yang menjaganya. Pria itu terlihat menunduk dan terus memasang wajah bersalah. Masih jelas diingatkannya saat ia menemukan Mahen di tempat tidur tiga menit sebelum ledakan itu terjadi, persis satu menit setelah Laura meninggalkan kamar itu.
Jika saja ia terlambat mungkin Mahen telah tewas bersama ledakan di club tersebut yang menewaskan banyak orang.
"Saya bersalah Tuan," ucap Jack sambil menunduk. "Harusnya saya tidak meninggalkan Anda," ucapnya lagi.
Mahen menggeleng. "Lupakan itu, apakah kamu menemukan siapa wanita yang mencoba untuk membunuhku?"
Jack mengangguk lalu ia menggeleng membuat Mahen heran. "Ada dua wanita malam itu yang masuk di kamar Anda, Tuan," ucap Jack.
Mahen terdiam, ia mencoba mengingat wanita-wanita itu. Ia mengingat jelas wanita yang mencoba untuk membunuhnya, tetapi tidak dengan wanita yang menolongnya malam itu.
"Di dekat pisau kami menemukan satu kalung, sepertinya ini bisa dijadikan petunjuk. Pisau itu juga sudah tidak bisa diidentifikasi sidik jarinya," ucap Jack yang kemudian mengeluarkan kalung tersebut.
Mahen terbelalak, ia menarik kalung itu dari tangan Jack dan memeriksanya. Jantung Mahen berdebar kencang, jelas ia mengenali kalung ini lalu ia mencoba mencocokkan dengan kalung yang selalu melingkar di tangannya.
"Temukan gadis yang sudah menusukku itu. Bawa dia padaku karena aku yang akan mengurusnya sendiri," titah Mahen, ia tidak bisa menahan rasa yang bergejolak di dalam hatinya. "Wanita yang datang kedua kalinya itu adalah wanita yang telah aku bayar, tidak perlu berurusan dengannya. Dia sempat menolongku," imbuh Mahen.
Jack mengangguk kemudian ia meminta anak buahnya untuk membawa wanita yang mereka duga sebagai sosok yang mencoba untuk membunuh Mahen.
'Apakah itu kamu Namira. Apakah kamu sangat membenciku hingga berniat untuk membunuhku? Maafkan aku, maafkan Kakak. Aku sudah mencarimu tetapi ternyata kita berada di negara yang sama. Kakak akan menebus semua kesalahan Kakak padamu,' gumam Mahen dalam hati.
Satu jam berlalu, pintu ruangan terbuka dan masuklah dua pengawal Mahen yang memegangi satu wanita yang sedang memberontak minta dilepaskan. Mahen menatapnya dengan harus, sesaat pandangan mereka beradu dan Mahen mengenali tatapan penuh kebencian itu. Hatinya ngilu.
"Lepaskan dia," titah Mahen.
Dua pengawal itu pun melepaskan tawanan mereka, Mahen segera mencabut paksa selang infus di tangannya lalu ia turun dari ranjang sambil tertatih berjalan ke hadapan wanita itu.
"Aku membencimu! Harusnya kamu sudah mati!" bentak wanita itu yang sepertinya tidak mengenal takut.
Jack hendak maju tetapi Mahen mengangkat tangannya sebagai tanda Jack tidak perlu ikut campur.
"Mengapa kamu membenciku?" tanya Mahen, dia sangat merindukan sosok di hadapannya ini.
"Kamu masih bertanya? Kamu menghancurkan keluargaku berengsek!" bentaknya lagi.
Mahen menunduk, ia tidak bisa menerima kebencian yang begitu besar dari wanita yang selama ini ia cintai tanpa henti. Mahen lalu mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apakah ini milikmu?"
Wanita yang sedari tadi terus membentak Mahen itu terdiam, ia hendak menarik kalung itu tetapi justru tangannya yang ditarik oleh Mahen dan ia langsung masuk ke dalam pelukan Mahen.
"Maafkan aku, maafkan aku. Aku akan menebus semuanya, aku akan memberikan kamu kebahagiaan. Maafkan aku," ucap Mahen.
Wanita yang berada di dalam pelukan Mahen itu tidak paham dengan perkataan lelaki yang hampir ia bunuh ini.
"Lepaskan, aku tidak akan tertipu," ucapnya mendorong tubuh Mahen.
"Tidak Namira, Kakak bersalah, maafkan Kakak," ucap Mahen lagi dengan pipi yang telah basah oleh air mata.
"Namira? Aku bukan Namira!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments