PERSIAPAN

Aku memarkir mobilku tepat di seberang gerbang rumah Randu, dan tepat waktu. Aku bisa mendengar dan meresapi semua hantu pikiran yang sedang berkonflik di kamar bernuansa pastel di lantai dua.

Puri dan Randu sedang bicara. Bahkan sedikit berdebat. Randu memberitahu Puri rencana Presiden Dirah menjodohkannya denganku. Puri marah dan panik saat mendengarnya. Ia bahkan ketakutan saat Randu berkata bahwa jika Puri tidak mau dijodohkan denganku, maka mereka semua akan mati.

Puri ingin tahu alasan di balik kata-kata itu. Tapi Randu menolak menjawab. Ia tak bisa bilang bahwa Negeri Lembah Merah berencana menyusup dan menghancurkan negeri ini dari dalam. Itu informasi rahasia negara. Ia juga tak bisa bilang bahwa Puri akan menjadi target utama musuh karena Puri adalah putrinya, dan aku dijodohkan dengannya agar aku bisa melindunginya dari ancaman maut seperti itu.

Randu tidak tahu tentang penglihatan Dirah, bahwa Puri akan diincar karena kekuatan magisnya. Tak ada yang tahu selain aku.

Puri tidak bisa memercayai apa yang baru saja didengarnya. Ia tidak terima dijodohkan. Ia berniat mengetahui rencana asli Dirah dan melawan balik.

Persis seperti yang diprediksi Dirah semalam.

Randu berhasil meyakinkan Puri untuk kembali ke sekolah besok. Puri berencana mengorek informasi seputar Dirah melalui diriku. Ia bertekad membaca semua masa laluku dengan Dirah.

Aku memutar bola mata. Tolol.

Tentu saja aku tidak sudi dikorek-korek seperti itu. Kemampuan magisnya tidak menyenangkan buatku. Tapi aku selalu selangkah di depan. Aku bisa mengetahui semua pikiran, isi hati, dan rencananya. Aku bisa mengantisipasinya dengan segala cara. Tentu yang paling jitu adalah dengan menyerang kelemahannya. Titik butanya.

Aku tahu kemampuan magis kami semua berbeda-beda. Tapi cara menggunakannya sama: kami perlu fokus dan ketenangan yang baik untuk bisa mengerahkan energi magis dan mengendalikannya. Buatku ini semudah memejamkan mata. Sementara untuk Puri... aku teringat saat ia larut dalam emosi hingga pingsan hanya karena melihat masa laluku yang mati di atas pangkuannya.

Fokus dan ketenangannya mudah hancur karena gejolak emosi. Dan ia hampir selalu emosi kalau teringat diriku. Itu kelemahannya. Titik butanya. Akan sangat mudah bagiku membelokkan kekuatannya.

Aku menyeringai. Menyenangkan juga bisa menang dengan mudah melawan kekuatan magis sebesar itu. Kurasa di seluruh dunia ini hanya aku yang bisa menang melawannya. Puri jelas tidak tahu apa yang akan dihadapinya besok.

Sekarang, tinggal memikirkan tempat yang aman untuk bisa bicara berdua dengannya, tanpa gangguan siapapun.

Aku menyalakan mesin dan meluncur dengan mulus ke jalan raya. Kuputuskan untuk kembali ke Istana, dan menunggu Randu di depan kantornya.

Randu muncul tiga puluh menit kemudian. Tampilannya sangat rapi dan necis. Wangi rempah hangat dari parfum yang dikenakannya merebak dan merasuki hidungku. Ia membuka pintu kantornya setelah menyentuh pola sandi pengaman di gagang pintu yang terbuat dari emas asli dengan sidik jarinya. Ia melangkah masuk setelah menyuruhku mengikutinya.

Ini kedua kalinya aku berada di kantor Randu. Yang pertama adalah saat Dirah memperkenalkanku dan merekomendasikanku sebagai Agen Pelindung Elit yang baru kepada Randu. Itu terjadi sepuluh hari lalu, dan tentu saja tak ada yang berubah sama sekali dari ruangan ini sejak detik itu.

Ruangan kerja Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir berbentuk persegi luas, dengan dekorasi warna gelap dan antik. Rak-rak kayu jati besar yang menyimpan berbagai jenis hiasan, benda, buku berjajar sangat rapi di sepanjang dinding. Aku melirik dan mengenali semua benda yang merupakan alat canggih yang bisa memata-matai, mengalihkan perhatian, menjadi perisai atau senjata mematikan jika fitur rahasianya diaktifkan.

Meja kerjanya sangat besar dan kokoh berada di seberang pintu masuk, kursinya yang bagai singgasana membelakangi panel dinding berlapis permadani dan panji Negeri Laut Pasir, dengan gambar garuda raksasa yang mencengkeram kalajengking dan ular. Beberapa patung zirah terbuat dari logam berdiri kaku di sudut ruangan. Sebuah kursi panjang terletak persis di seberang meja.

"Ada apa?" tanya Randu sambil duduk di kursinya dan menatapku tajam. Ia sudah tahu aku menunggu di sini sejak setengah jam lalu. Ia melihatku dengan kekuatan magisnya saat menyeruput kopi di meja makan di rumahnya.

"Bagaimana kabar Puri?" tanyaku halus setelah duduk tenang di kursi panjang.

Randu awalnya tak tahu aku sempat mampir di depan gerbang rumahnya saat ia sedang bicara dengan Puri, karena fokusnya hanya tertuju pada Puri saat itu. Ia tidak melepas kekuatannya. Ia baru tahu aku mampir saat hendak meninggalkan rumah dan Agen Pelindung yang berjaga di pos depan melapor padanya.

Randu tidak tahu aku bisa membaca pikiran. Ia berpikir aku mampir karena mencemaskan Puri.

"Puri baik-baik saja," kata Randu. "Besok ia akan bersekolah lagi. Kamu harus melindunginya begitu ia berada di luar rumah."

"Tentu," aku mengangguk. "Kujamin ia aman bersamaku. Apa dia sudah tahu tentang perjodohan kami?"

Randu mengangguk. "Ya."

"Bagaimana reaksinya?"

Randu terdiam sejenak. "Ia menerimanya dengan baik."

Aku tersenyum. Dalam hati aku tak mengerti kenapa aku tersenyum. Tapi setidaknya ini reaksi bagus untuk terus mengecoh Randu.

"Aku belum sempat memperkenalkan diri dengan pantas dan bicara banyak dengan Puri... ia tidak sehat saat pertama kali aku masuk sekolah, hingga ia harus mendapat perawatan dari Dokter Kama," tuturku halus. "Apa aku boleh bicara secara pribadi dengannya besok? Hanya berdua?"

Ekspresi Randu datar. Tapi aku bisa tahu pikiran dan perasaannya kian waspada. Ia belum sepenuhnya percaya padaku. Ia baru mengenalku kurang dari dua minggu. Di matanya, aku adalah orang asing.

Ia melantikku sebagai Agen Pelindung Elit karena Presiden Dirah, atasannya, yang memerintahkan demikian. Ia tahu prestasiku di Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi dan pertarungan mautku di Negeri Tanjung Agung selama hampir dua tahun. Ia terkesan dengan kemampuanku menciptakan teknologi perang dan menyelamatkan sandera anak tidak berdosa di Stasiun Ibukota tempo hari. Randu percaya aku kompeten untuk melindungi anaknya--tapi ia masih belum tahu dan belum yakin sifat asliku seperti apa.

Ketidakyakinan itu yang membuatnya ragu untuk membiarkan Puri bersama denganku dalam waktu lama, apalagi hanya berdua. Ia tidak mempermasalahkan tugas harianku melindungi Puri selama di luar rumahnya--yang hanya berkutat di sekolah dengan banyak saksi mata, dan ia tahu betul anaknya akan langsung segera pulang begitu lonceng kuno di gedung sekolahnya berbunyi. Tak masalah aku belum bisa dipercaya, karena situasi dan lingkungan yang ada bisa melindungi Puri dari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama dariku.

Sungguh rumit pemikiran orangtua yang kelewat protektif terhadap anaknya. Padahal sebelumnya kukira ia acuh dan dingin terhadap Puri. Ternyata aku keliru.

Meski begitu, Randu tahu pembicaraanku dengan Puri perlu dilakukan agar Puri merasa nyaman dan aku bisa melindunginya dengan baik. Dengan cara itu dia juga akan bisa menilaiku. Ia memutuskan menyetujui permintaanku.

"Tidak masalah," katanya singkat.

"Mungkin pembicaraan ini akan makan waktu. Aku perlu mengenal Puri lebih dekat, begitu pula sebaliknya. Apa boleh aku menjemputnya besok pagi dan langsung mengajaknya pergi? Supaya aku bisa mengantarnya pulang kembali sebelum sore. Aku tak ingin dia pulang larut malam kalau kami harus mengobrol sepulang sekolah..."

Aku memainkannya dengan sangat baik. Ayah mana yang lebih memilih putrinya dibawa laki-laki yang belum sepenuhnya dikenalnya sampai malam? Membolos sekolah sehari adalah opsi yang jauh lebih baik.

"Boleh saja. Tapi kamu akan mengajaknya ke mana?" tanya Randu, tatapannya tajam menyelidik.

"Untuk itu, aku minta saran Anda," kataku sopan. "Aku ingin mengobrol di tempat yang aman dan jauh dari kebisingan, atau terhindar dari ancaman serangan musuh. Aku bisa saja mengatasi apapun yang terjadi di luar sana dengan mudah--Anda sudah lihat sendiri bagaimana aku menangani kasus penyerangan di Stasiun Ibukota tempo hari. Tapi aku tak mau Puri terguncang jika mendadak menyaksikan kebrutalan seperti itu di jalan. Apa ada tempat yang betul-betul aman untuk itu?"

"Hanya ada tiga tempat seperti itu di ibukota dan sekitarnya," kata Randu datar. "Rumahku. Istana Negara. Hutan Bukit Barat."

Aku nyaris memutar bola mata. Mana mungkin aku memilih rumah Randu dan Istana Negara untuk mengobrol berdua dengan Puri? Terlalu banyak mata yang melihat dan telinga yang mendengar.

"Aku ingin mengobrol berdua saja dengan Puri--kurasa ada baiknya perjodohan ini tidak diketahui siapapun dulu sebelum Presiden mengumumkannya secara resmi, kan?" kataku tenang. "Ada terlalu banyak orang di rumah Anda dan Istana ini. Kurasa Hutan Bukit Barat adalah pilihan yang paling tepat. Bolehkah aku mengajak Puri ke sana?"

Randu menatapku tajam. Pikirannya bekerja dengan cepat.

"Boleh saja. Tapi aku akan mengirim Pasukan Pelindung untuk mengawal kalian, karena Hutan itu letaknya di luar ibukota. Pasukanku akan melindungi kalian selama di perjalanan. Begitu kamu dan Puri tiba di Hutan, kalian akan aman dalam lindungan Kubah Hutan."

Aku mengangguk. Randu merasa aman-aman saja membiarkan aku berdua dengan putrinya dalam Hutan, karena ia sendiri yang sudah membangun sistem keamanan Hutan itu sejak diciptakan bertahun-tahun lalu. Ia bertekad mengatur pengawal, mengawasiku dengan kekuatannya sepanjang hari besok, dan bersiap mengaktifkan sistem pengamanan dari jauh jika ada tanda-tanda aku mengganggu putrinya. Aku bisa melihat dalam benaknya, selain kubah elektrik, ada banyak pistol otomatis dan jebakan tersembunyi di pepohonan maupun lantai hutan. Randu bisa mengatur dan mengendalikan semuanya dari ponsel maupun komputer canggih yang tersimpan di bawah permukaan meja kerjanya yang kokoh.

"Aku akan membuatkan kode akses khusus untukmu agar besok kamu bisa melewati sistem keamanan Hutan dengan mudah. Puri pernah ke Hutan itu bersamaku saat masih kecil. Kode aksesnya masih terdaftar di sana, jadi ia bisa memasuki Hutan tanpa hambatan."

Randu menekan ponselnya dan permukaan mejanya bergeser terbuka. Seperangkat monitor dan alat canggih muncul ke permukaan, yang semuanya dibuat dengan tangannya sendiri.

"Berdirilah sebentar."

Randu memindai tubuhku cepat dengan salah satu alat, lalu memasukkan semua data lengkap diriku ke dalam sistem keamanan Hutan Bukit Barat. Termasuk data mobil kapsul putih yang akan kugunakan untuk berkendara ke sana besok.

"Kode aksesmu sudah jadi. Kau bisa pergi dengan Puri ke sana besok."

Aku mengangguk. "Terima kasih."

Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebelum aku kembali ke sekolah pukul tiga sore dan menjemput Kencana Wungu. Aku mengemudikan mobilku keluar Istana untuk berbelanja bahan-bahan pembuatan bom, seperti yang kurencanakan kemarin. Kusimpan semuanya dengan hati-hati dalam kontainer khusus di bagasi, lalu meluncur ke sebuah restoran paling sepi yang bisa kutemukan di ibukota. Aku makan siang sambil mencari beberapa hal melalui tabletku.

Aku menelusuri info tentang Hutan Bukit Barat, yang jaraknya sekitar lima belas kilometer di sebelah barat ibukota. Sungguh menakjubkan di bentangan padang pasir dan tanah kering ini bisa tumbuh hutan hijau rimbun yang menyelimuti permukaan bukit kecil, seperti zamrud yang berkilauan. Seluruh area hutan itu dilindungi kubah elektrik sepanjang waktu, tak sembarang orang bisa memasukinya.

Hutan kecil itu adalah hutan buatan yang berhasil dibangun Dirah dan Randu bahkan sebelum mereka menjabat Presiden dan Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir. Hutan itu sempat menjadi sumber air bersih, makanan, dan udara segar gratis bagi rakyat yang tengah kesulitan hidup di tengah kekeringan panjang dan pemberontakan.

Sekarang, hutan itu menjadi semacam konservasi alam dengan sumber air yang terus dialirkan melalui pipa-pipa panjang ke pemukiman penduduk sekitar, sampai ibukota. Ada danau kecil indah di dalam hutan itu yang tak pernah mengering karena pepohonan di sekitarnya tumbuh subur dengan baik. Saat melihat guratan kayu dan dedaunan rimbun itu, hatiku bergeliat rindu dan gembira. Belum-belum aku sudah bisa mencium hawa cemara, pakis, dan rumput segar yang terasa sangat familiar dalam ingatan indera-inderaku.

Setelah sekian lama, akhirnya besok aku akan kembali berada di alam. Rasanya seperti akan pulang ke rumah.

Aku menghabiskan jus jerukku dengan senang. Lalu aku menggulir layar dan membuka akses pencitraan satelit negara. Aku menelusuri beberapa titik dan menentukan tempat yang aman untuk menguji coba bom kancingku nanti.

Gurun Tengah. Padang pasir sangat luas, tandus, yang tak dihuni siapapun, dan membentang di wilayah tengah Negeri Laut Pasir. Aku bisa menggunakan mode terbang yang ada di mobilku untuk pergi ke sana dan meledakkan bomku dengan aman. Ada tebing batu-batu raksasa yang bisa jadi bahan uji daya destruktif bomku. Kurasa aku akan terbang ke sana di malam hari, saat aku tak harus menjalankan misi apapun, dan kembali ke ibukota sebelum fajar.

Tapi rencana itu sementara kusingkirkan dulu. Saat ini, ada hal yang lebih penting untuk kuurus. Sesuatu, yang menurut instingku, harus segera kuusut sebelum kondisi menjadi lebih buruk. Sesuatu yang dapat mengguncang keamanan negara, jika benih kekacauan kecil seperti penyerangan acak dan brutal di Stasiun itu tak segera dihentikan.

Sesuatu yang harus kutemukan dalam diri Kencana Wungu, gadis remaja yang kutemukan semalam di batas tipis antara hidup dan mati.

...***...

Terpopuler

Comments

Anita Jenius

Anita Jenius

Like buatmu. lanjutkan ya ceritanya

2024-04-13

0

Suryavajra

Suryavajra

wadidaw.. belanja di mana ini hehehehe 🤭🤭🤭

2024-04-05

1

F.T Zira

F.T Zira

2iklan dan 🌹 buat ka author

2024-03-31

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!