KENCANA WUNGU

Aku sudah berada di sekolah sejak pukul enam pagi, menyantap banyak sarapan di kantin, lalu sengaja duduk di salah satu bangku besi panjang berkarat dengan cat putih gading yang sudah terkelupas di pekarangan tengah, menghampar antara aula depan dan lorong-lorong menuju gedung kelas.

Matahari bersinar semakin tinggi, panasnya terasa sangat menyengat. Tetapi aku bertahan dengan tenang. Aku sengaja duduk santai dan mengamati setiap orang yang lewat. Kebanyakan orang-orang itu melirikku dan langsung berbisik, entah dengan rekannya atau pikirannya sendiri.

Mereka sudah tahu siapa aku. Mereka sudah membaca berita penyerangan itu, dan banyak yang tak paham mengapa seorang Agen Pelindung Negara bersekolah di tempat ini. Mereka tak paham mengapa remaja asing seusia mereka sudah dilantik sebagai Agen Pelindung Negeri Laut Pasir. Mereka tak paham siapa Arya Balawa sesungguhnya.

Spekulasi dan gosip menyebar, seperti api yang berkobar. Ada hawa tidak percaya dan ketakutan menyebar di udara yang kerontang. Tatapan dan raut wajah mereka panik saat bertumbukan dengan pandanganku yang tajam. Langkah-langkah kaki mereka menyingkir gesit, seakan ingin menjauh dari sumber penyakit.

Aku menyeringai.

Tak lama kemudian, aku melihat Laras melintas cepat di lorong. Ia tahu aku duduk di sini, dan sengaja tidak mau memandangku. Bahkan kekuatannya tidak ingin menjangkauku. Ia takut dan benci padaku, dan ia berlari sendirian.

Aku meraup hantu-hantu pikirannya itu semudah mengerjapkan mata. Ia mematuhiku untuk tidak mendekati Puri lagi. Ia bahkan tidak bertemu Puri sama sekali hari ini.

Di mana Puri?

Setitik rasa panik menusuk batinku. Apa terjadi sesuatu padanya di jalan?

Laras sudah tidak mendampinginya lagi sekarang--harusnya aku tidak membiarkannya sendirian begitu ia melangkah keluar dari gerbang rumahnya. Harusnya aku datang ke rumahnya dan menjemputnya mulai tadi pagi.

Kenapa aku bisa sebodoh ini?

Aku berdiri, dan benar-benar panik saat arloji dan ponselku bergetar secara bersamaan. Sebuah pesan dari Randu baru saja masuk ke ponselku.

Puri tidak sekolah lagi hari ini. Kamu masih bebas misi. Dia tidak akan keluar rumahku sama sekali.

Aku terperangah. Lalu membalas pesan itu secepat kilat.

Kenapa dia? Apa dia sakit? Ada sesuatu yang bisa kubantu?

Beberapa detik kemudian, pesan balasan Randu muncul.

Dia sehat-sehat saja. Hanya stress. Dia bertingkah aneh sejak kaubawa pulang dalam keadaan pingsan. Apa terjadi sesuatu di antara kalian?

Aku menghela napas panjang. Rasa panik berubah menjadi jengkel sekarang.

Aku tidak melakukan apa-apa. Periksa saja kamera pengawas sekolah pada hari itu jika kamu tidak percaya, atau tanya Dokter Kama, atau tanya saja pada Puri langsung. Jika aku berbuat salah, aku pasti terbukti melakukannya.

Ingin sekali aku mengetik kalimat tambahan, "Lagipula kau ini seperti kamera pengawas hidup--masa kau tidak bisa melihat apa yang terjadi hari itu?" Tapi aku cukup pandai mengendalikan diri untuk tidak melakukannya.

Itu sangat bodoh dan kekanakan. Dan yang jelas-jelas bertingkah seperti itu adalah Puri, bukan aku.

Mau sampai kapan dia terjebak dalam melankolia masa lalu yang tak ada artinya itu? Sepertinya aku harus segera bicara dengannya, menegurnya dan meluruskan semuanya.

Dan, meski aku enggan, seperti kata Dirah, aku harus bisa memenangkan hatinya. Aku tak punya pilihan, jika itu satu-satunya jalan agar ia mau bekerja sama dan sanggup menjadi kunci keselamatan dunia dari tragedi akhir zaman yang sangat mengerikan.

Percaya tidak percaya, tapi apapun visi Dirah, yang dikatakannya selalu benar: aku harus bisa mengantisipasi segala kemungkinan. Dan di seluruh dunia ini, hanya Puri yang memiliki kekuatan untuk menjangkau masa lalu, dan menyaksikan kebenaran. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa meyakinkannya untuk berjuang bersama dan menang.

Aku menghela napas panjang. Harusnya itu tidak lebih sulit dari menyusup ke pangkalan militer yang dijaga sangat ketat dan diam-diam menanam bom di sana.

Saat aku memikirkan rencana untuk bisa mengajak Puri bicara berdua dengan aman, sesosok hantu pikiran berkelebat di benakku, menampilkan bayangan lelaki penyerang Stasiun Ibukota dan perasaan rindu mendalam yang menjalari batin hantu itu.

Aku mendongak. Gadis yang hampir bunuh diri semalam melintas pelan. Ia sibuk memikirkan mendiang ayahnya dan sepertinya berjalan otomatis saja menuju kelas pertamanya.

"Kencana Wungu... tunggu."

Seorang remaja lelaki dengan tinggi sedang, wajah bundar menawan dan pipi berbintik muncul. Potongan rambutnya sangat pendek dan rapi. Ia mengenakan jas biru halus dengan lencana bintang emas tersemat di bagian depan, pertanda ia adalah ketua siswa di sekolah membosankan ini.

Label nama di jasnya bertuliskan Candra Batara.

Gadis yang dipanggil Kencana Wungu itu menoleh.

"Candra...? Ada apa...?"

"Kamu melupakan sesuatu saat meninggalkan kelas di jam pulang kemarin," Candra mengulurkan sebuah kacamata persegi tipis berbingkai ungu. "Kamu tidak merasa kehilangan ini?"

Kencana mengerjap. "Oh. Kupikir hilang entah ke mana."

Candra menggeleng. Ekspresi dan pikirannya campuran antara kesal dan iba. "Kamu ini masih saja ceroboh... kamu bisa saja tertabrak kendaraan jika kamu berkeliaran di jalan semalam tanpa menggunakan kacamata ini. Kamu rabun senja. Tidak seharusnya kamu meninggalkan benda sepenting ini sembarangan. Kamu bisa terluka."

Kencana diam saja, tapi ekspresinya sedikit tegang.

Aku mendengus. Laki-laki bernama Candra itu tidak tahu kalau semalam Kencana hampir menabrakkan diri ke kereta cepat yang melintas, dan itu tak ada hubungannya sama sekali dengan rabun senjanya.

"Terima kasih...," kata Kencana pelan. Bisa kurasakan hatinya terharu.

Candra tersenyum. Aku bisa merasakan ia tulus dan memancarkan kasih sayang kepada Kencana. "Kembali kasih."

Aku mendengus lagi dan memutuskan pergi.

Sepasang gadis yang baru lewat di lorong menatapku yang melenggang meninggalkan bangku. Saat tatapan dinginku menusuk mereka, keduanya menjerit ketakutan dan lari, seakan melihat hantu.

Jeritan mereka membuat Candra dan Kencana menoleh. Tatapan keduanya jatuh ke arahku bersamaan. Hantu-hantu pikiran mereka sengaja kubiarkan masuk ke kerajaan benakku.

Candra mengerutkan alis. Arya Balawa? Si murid baru sekaligus Agen Pelindung itu?

Kencana menatapku nanar. Ia terguncang.

Kamu kan...

Ia berlari menyongsongku, wajahnya pucat pasi.

"Kamu Arya Balawa kan? Agen Pelindung yang muncul di situs berita tempo hari?" tanyanya gemetar.

Ia ingin tahu tentang ayahnya. Aku memandangnya dingin, tapi hatiku waspada.

"Ya."

Kencana terkejut saat mendengar suaraku. Ia memicingkan mata, berusaha mencocokkan figurku dengan kenangan semalam yang mengabur di matanya karena rabun senjanya.

Wajahnya memucat saat ia berkata, "Kamu kan yang semalam..."

Aku memandangnya lurus. "Ya."

Kencana menangis sekarang. Ia terguncang dan kebingungan. Emosinya yang membuncah tak karuan mengingatkanku pada Puri.

Apa semua perempuan memang suka bertingkah tak jelas begini?

"Kencana, kamu kenapa?" Candra menghampiri dengan cemas. Lalu tanpa gentar ia menatapku tajam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Kencana?"

"Aku tidak melakukan apa-apa," kataku dingin, lalu berjalan pergi.

"Tidak--tunggu!"

Kencana memegang lenganku. Sentuhannya hangat dan kuat, membuatku kaget.

"Apa-apaan...?" aku melotot.

"Aku perlu bicara denganmu," kata Kencana tak gentar. "Kapan kamu ada waktu?"

Aku menarik lenganku dan memasukkan kedua tanganku ke saku celana panjangku. Kuresapi semua hantu benaknya yang menuntut kebenaran dan keadilan di balik kematian ayahnya yang mengenaskan.

"Kalau mau bicara, jangan di sini," kataku tegas dan dingin. "Sepulang sekolah saja. Temui aku di mobilku di parkiran depan. Kita bicara di luar nanti."

Kencana terdiam sejenak, lalu mengangguk. Aku membuang pandang dan melenggang menuju aula depan.

"Kamu mau ke mana?" tegur Candra. "Kelas pertama sudah mau dimulai."

"Bukan urusanmu," sahutku tanpa menoleh.

Candra melangkah cepat dan mencegatku. Tatapannya tajam dan ia berseru tegas, "Aku ketua siswa di sini! Aku tak bisa membiarkan ada yang melanggar aturan sekolah di depan mataku!"

Aku menyeringai. Punya nyali juga si pendek ini.

"Skors saja aku. Pikirmu aku peduli?"

Candra tak gentar.

"Siapa kamu sebenarnya?" tuntutnya marah. "Kamu seorang Agen Pelindung Negara, tapi kenapa kamu bersekolah di sini? Kenapa kamu menjadi siswa di sini kalau hanya untuk melanggar aturan dan berbuat seenaknya begini?"

Aku menghela napas dan memutar bola mata. Ini semua gara-gara Dirah meloloskan berita sok pahlawan itu untuk dibaca seluruh dunia, yang katanya penting untuk membangun kepercayaan dan keamanan negara.

Meski nyatanya tak ada yang percaya padaku di sini. Semua ketakutan dan meragukanku. Jelas Dirah sok pintar dan keliru besar dengan strateginya kali ini.

Tapi aku tidak peduli sama sekali. Tak ada yang penting sekarang, selain misi utamaku melindungi Puri, dan misi rahasiaku menyelidiki kasus penyerangan gila itu, dimulai dari mengorek semua informasi yang bisa kudapat dari Kencana Wungu nanti.

"Ya, aku seorang Agen Pelindung, dan aku keponakan Presiden Dirah Mahalini. Mau tahu kenapa aku di sini? Untuk mencegah penyerangan dan pembunuhan."

Candra terkejut. "Apa?"

"Kamu tidak menduganya, kan? Itulah dunia nyata," aku tertawa pendek dan mengejek. "Kalian semua di sini terlalu lemah dan payah. Kalau kalian pandai menjaga diri, negara tak akan menempatkan Agen Pelindung sepertiku di sini. Pikirmu aku senang menghabiskan waktu dengan kegiatan tak berguna di tempat sampah seperti ini?"

"Tapi... apa maksudmu penyerangan dan pembunuhan? Di sini hanya sekolah biasa--"

"Semua kemungkinan bisa terjadi. Beberapa hari lalu saja ada penyerangan mematikan di stasiun yang jaraknya tak jauh dari sini. Apa kamu bisa jamin sekolah ini aman dari potensi seperti itu ke depannya? Kalau penyerangan brutal seperti itu terjadi di sini, apa yang akan kamu lakukan?"

Candra tak sanggup berkata-kata. Kencana membisu dengan wajah pucat pasi. Benak dan perasaan keduanya membeku sesaat.

"Ada panggilan khusus untukku. Aku harus pergi. Minggir," kataku dingin, lalu menoleh ke Kencana. "Nanti sore aku kembali. Kita bicara."

Candra mundur perlahan. Kencana mengangguk.

Aku pergi sambil mengusir semua hantu pikiran yang mengetuk pikiranku.

Benakku sekarang hanya tertuju pada Puri Agung.

...***...

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

5 iklan buat kak author

2024-04-15

1

Darien gap

Darien gap

makin rumit kerja arya

2024-04-25

0

anjurna

anjurna

Arya kok gitu.../Grievance//Grievance//Grievance/

2024-04-02

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!