PERTEMUAN PERTAMA

Aku menggulir layar tablet dan membaca semua informasi mengenai Puri Agung, yang sebetulnya sudah kubaca puluhan kali dan aku hafal setiap detilnya. Dia putri Randu Agung, Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya bernama Sagara Agung. Catatan hukum dan perbuatannya bersih. Ia tidak menonjol dalam prestasi apapun, tetapi nilai-nilai akademisnya sempurna.

Sepintas, dia adalah gadis cerdas yang tidak pernah membuat masalah.

Selama empat hari ini, aku mencoba mengumpulkan informasi lebih banyak seputar dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Penyelidikanku dimulai dari ayahnya, Randu Agung.

Dirah mempertemukanku dengan Randu begitu kami tiba di Istana Negeri Laut Pasir. Randu laki-laki yang dingin dan memancarkan kekuatan.

Saat melihat isi pikirannya, aku tahu ia memiliki kemampuan istimewa juga--ia bisa melihat menembus segalanya. Ia jenius dan tangan dinginnya mampu menciptakan berbagai terobosan teknologi luar biasa di bidang militer.

Itulah sebabnya kekuatan militer Negeri Laut Pasir semakin besar dan kuat sejak dipimpin langsung olehnya. Ia tangan kanan yang paling dipercaya Dirah untuk membantunya mengurus negeri tandus ini.

Atas rekomendasi Dirah, di hari itu juga aku dilantik menjadi Agen Pelindung dan diberi semua fasilitas terbaik mulai dari mobil hingga senjata dengan teknologi tercanggih. Randu juga sudah tahu Dirah akan menjodohkanku dengan putrinya, dan salah satu misiku adalah melindunginya.

Randu menerima semua itu dengan datar dan tanpa komentar. Pikirannya bahkan seperti tidak peduli. Ia lebih fokus mengawasi pergerakan musuh setelah ia mendapat informasi bahwa Negeri Lembah Merah berusaha menyusup dan menghancurkan Negeri Laut Pasir dari dalam.

Randu tipikal orangtua yang lebih suka mengurus pekerjaannya daripada anaknya yang masih remaja. Ia tidak dekat dengan Puri. Aku tidak bisa mendapat informasi apa-apa seputar Puri darinya, kecuali kesimpulan pribadi bahwa Puri mungkin saja mendapat kekuatan magis seperti itu karena Randu juga memilikinya.

Penyelidikanku beralih ke Sagara Agung. Sosok Saga mirip Randu. Jangkung, tegap, tampan dengan garis rahang tegas, mata tajam, dan rambut keriting. Ia seperti Randu versi remaja, namun kelakuannya sama sekali tidak mirip ayahnya. Setelah kuamati, ia ternyata jarang berada di rumah dan lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong di luar atau menginap di rumah teman-temannya.

Melihat tingkah Saga membuatku memutar bola mata--selera humornya receh, sikapnya kekanakan, dan ia tak punya pikiran selain bersenang-senang khas remaja yang tidak tahu apa tujuan hidupnya, dan tidak mau mencari tahu. Ia sering berulah dan malas belajar. Ia kadang berkelahi di sekolah dan di jalanan. Ia sudah dua kali tidak naik kelas.

Sangat kontras dengan adiknya yang rajin, cerdas, dan tidak pernah membuat masalah.

Aku memutuskan tak lagi menyelidiki Saga secara diam-diam, namun saat aku hendak pergi meninggalkan kafe tempatnya sedang nongkrong bersama gengnya, aku melihat isi benaknya yang berencana melanjutkan agenda rahasianya untuk meretas satelit negara malam itu.

Aku mengerutkan alis.

Malam itu aku nyaris tidak tidur. Aku duduk di kamarku, memantau tabletku yang sudah terkoneksi secara legal dengan satelit negara atas izin Dirah dan Randu, karena aku terdaftar sebagai salah satu Agen Pelindung Elit sejak hari pertama menginjakkan kaki di Negeri Laut Pasir.

Dan aku melihatnya--ada yang mengunduh komunikasi rahasia antara Presiden dan Randu, melalui komputer di rumah Randu... padahal malam itu, Randu sedang menginap di kantornya.

Jadi Saga meretas komputer ayahnya sendiri, yang tentunya memiliki sistem keamanan terbaik di seluruh negeri.

Aku pun melaporkan temuanku lewat pesan pribadi ke Randu malam itu, lalu mengabaikan sepenuhnya apa yang terjadi selanjutnya. Urusan mereka bukan urusanku, meski aku tak menduga, ternyata Saga mewarisi kejeniusan teknologi dari Randu, seperti halnya Puri mewarisi kekuatan magis dari Randu.

Selama tiga hari terakhir, aku berusaha menyelidiki Puri secara diam-diam. Aku membuntutinya hampir sepanjang hari--yang ternyata kegiatannya hanya pergi ke sekolah dan berdiam diri di rumah.

Aku menatapnya dari jauh saat ia berjalan kaki berangkat sekolah di pagi hari. Ia selalu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tak jarang ia ditemani sahabatnya yang bernama Laras, gadis berparas manis dengan rambut ikal yang selalu dikuncir, wajah kecil, dan mata besar ramah.

Kuamati sepanjang jalan Laras yang banyak bicara, sementara Puri tersenyum dan mendengarkan, tampak tulus dan tidak keberatan sama sekali.

Aku berkonsentrasi penuh untuk menjangkau pikirannya dari jauh. Benaknya riuh dengan kilasan masa lalu dunia. Ia tampak sangat tenang dan pandai mengatur fokus untuk tidak mudah terdistraksi jutaan kilasan itu. Ia memilah dan memilih kenangan mana yang relevan dan ingin dilihatnya, tapi ia tidak menutup atau mengusir kilasan lainnya seperti aku berkuasa mengusir pikiran-pikiran orang lain yang mencoba menghantuiku. Ia membiarkan semuanya mengalir.

Puri tidak banyak bicara. Temannya di sekolah hanya Laras, yang ternyata juga memiliki kekuatan bisa mendengarkan apa saja tanpa batas. Puri bisa mengetahui kemampuan temannya dan ayahnya dengan kekuatannya, namun tak ada satu pun yang mengetahui kemampuannya--kecuali Dirah dan aku.

Dirah benar. Puri bisa melihat semua masa lalu dan kebenaran. Ia juga merahasiakan kekuatannya dari siapapun, bahkan dari ayahnya sendiri. Ia sepertinya tidak sadar bahwa kekuatannya sangat menakjubkan dan bisa membuatnya dalam bahaya jika sampai diketahui musuh.

Sepulang sekolah, ia betul-betul hanya berdiam diri di rumah. Aku memarkir mobilku di seberang rumahnya, mengawasi pikirannya sampai larut malam. Di rumah ia hanya mengerjakan tugas, menonton film, membaca buku, mendengarkan musik, bermeditasi. Kegiatannya datar dan membosankan.

Tak heran aku merasakan hatinya sering diliputi kesepian. Ia juga masih merasa sedih dan rindu setiap kali mengingat ibunya yang meninggal enam tahun lalu karena kanker darah.

Aku menutup tabletku dan juga ingatanku beberapa hari terakhir. Untuk saat ini, misi melindunginya tampaknya tidak sulit. Ia gadis rumahan yang tertutup. Aku hanya perlu melindunginya selama dia berada di luar rumah--ia akan aman selama berada di rumah ayahnya yang dipasang sistem keamanan tingkat tinggi dan dijaga Agen Pelindung selama dua puluh empat jam. Dan kegiatannya di luar rumah ternyata hanya berpusat di sekolah yang jaraknya sepuluh menit dari rumah.

Bagaimana seseorang bisa tahan punya kehidupan datar dan sangat membosankan seperti itu?

Aku menghabiskan sisa susu di gelasku yang sudah dingin. Aku kira diriku yang paling tegar dan tangguh karena selalu berhasil bertahan dari pertempuran sekeras apapun. Kalau aku jadi dia, aku pasti tak sanggup hidup lagi. Hidup tanpa arti sama saja dengan mati buatku.

"Roti lapis daging panggang Anda, Tuan Arya," Kepala Pelayan Istana Negara, lelaki pendek dengan tubuh berisi dan wajah bundar putih bersih, Mada Brata, mengantarkan sarapan utama yang kupesan melalui tablet beberapa menit lalu. "Dan jus jeruk. Tuan Arya butuh lainnya lagi?"

"Tidak, terima kasih," jawabku singkat, sambil menggigit roti. Rasanya enak.

Mada membereskan gelas susu dan piring saji telur rebusku yang sudah licin. Aku bisa mendengar pikirannya tentangku.

Masih muda, tapi luar biasa tampan... dan lihat otot-otot itu... dia menarik sekali!

Aku nyaris memutar bola mataku. Aku mengusir hantu pikiran Mada dari benakku dan menghabiskan sarapanku sambil termenung memandang pekarangan berumput rapi.

Seminggu lalu, hidupku tidak senyaman ini. Makananku adalah roti kering atau ransum nyaris kadaluarsa yang baru sempat kumakan saat aku sedang tidak bergerilya, atau setelah memastikan markasku aman dari serangan musuh. Kadang aku tidak makan berhari-hari. Setelah semua itu, sekarang aku disuguhkan kehidupan yang berputar seratus delapan puluh derajat--tenang, cenderung membosankan, nyaman.

Meski nyaman, namun aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak terbiasa. Aku tidak boleh terlena. Pantang.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku beranjak mandi. Usai mengeringkan tubuh, kukenakan seragam yang ukurannya sangat pas. Aku mengancingi kemeja putih berlabel hitam dengan tulisan "Arya Balawa" sambil mematut bayanganku di cermin.

Ekspresiku datar seperti biasa. Tatapan mataku setajam elang dan bisa mengintimidasi. Tubuhku sedikit lebih berisi sejak aku berada di sini dan rutin makan sehari tiga kali.

Aku menelengkan wajahku dan menyeringai. Senyumku bisa menakutkan. Bagus. Dengan ini aku bisa mengusir siapa saja di sekolah nanti agar tidak mendekati Puri dan aku, tanpa perlu banyak bicara.

Kumasukkan dompet, tablet, dan ponselku ke dalam ransel. Kukenakan arloji khusus Agen Pelindung, dan kuselipkan sepucuk pistol perak mungil berpeluru penuh di balik botku. Ini saja sudah cukup sebagai alat penunjang misiku hari ini.

Saat aku berjalan menyusuri lorong-lorong menuju halaman depan Istana, aku berpapasan dengan beberapa pegawai pemerintah dan mendengarkan lintasan-lintasan pikiran mereka. Hanya seputar pekerjaan yang membosankan. Tidak ada kabar terbaru yang ganjil atau aneh.

Aku menyeberang halaman tengah menuju bangunan depan Istana. Air mancur bergemericik tenang. Bunga-bunga aneka warna bermekaran. Sepasang kupu-kupu kecil keemasan beterbangan serasi di udara hangat, melintas tanpa ragu tepat di depan hidungku.

Firasatku mengatakan, hari ini akan menjadi hari yang sangat damai dan membosankan.

Aku sudah melewati beberapa lorong di bangunan depan Istana dan hampir mencapai beranda, ketika kudengar Dirah memanggilku lembut, "Kamu sudah mau berangkat, Arya?"

Dirah melenggang keluar dari celah dinding yang terbuka--salah satu pintu lorong rahasia yang ada di Istana. Ia masih mengenakan mantel tidur satin warna ungu di atas gaun tidur berenda warna putih.

Meski baru bangun tidur, ia tetap tampak cantik dan anggun, dengan proporsi wajah sempurna, mata tajam, hidung mancung, dan bibir merah alami. Rambut hitamnya yang lurus dan tebal terurai agak berantakan di punggungnya.

"Ya," jawabku singkat, lalu melenggang tanpa menoleh lagi.

Kudengar Dirah mendesah. Pikiran dan pandangannya tertuju sepenuhnya padaku. Hatinya diliputi kasih sayang dan kesenduan.

"Hati-hati, ya," gumamnya lembut. "Kupercayakan dia padamu."

Aku mengangguk, dan dalam waktu singkat sudah mencapai mobilku yang terparkir rapi di garasi Istana.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, aku berhasil tiba dan memarkir mobilku di parkiran sekolah.

Orang-orang yang melihat mobilku berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk. Aku bisa mendengar pikiran mereka yang penasaran dan kagum, dan aku sepenuhnya mengabaikan semua itu.

Arloji menunjukkan waktu masih pukul tujuh lebih lima belas menit. Kelas dimulai lima belas menit lagi. Aku keluar dari mobilku, tak peduli tatapan dan bisikan orang-orang bahkan pikiran mereka saat aku berjalan menyusuri pekarangan dan aula depan, menuju gedung tengah tempat kelas pertama dimulai.

"Ya ampun, ganteng banget..."

"Siapa dia?"

"Murid baru, ya?"

"Orang asing?"

Bisikan dan pikiran mereka terdengar jelas di kepalaku, membuatku memutar bola mata.

Aku berjalan sambil menaksir bangunan sekitar. Aku sudah hafal denah gedung tua ini sejak pertama kali melihatnya. Tak ada yang istimewa. Terlalu banyak remaja dan hal-hal tak penting lainnya di sini.

Kalau aku bisa tahan digempur musuh dengan bom dan peluru, maka aku juga bisa tahan berada di tempat menyedihkan seperti ini.

Saat aku menyusuri lorong dan merenungkan kilasan pertempuran brutal yang pernah kujalani di masa lalu, sepasang gadis berjalan melewatiku dengan penuh semangat. Satunya berambut ikal dikuncir kuda, satunya berambut lurus panjang yang dibiarkan tergerai sampai punggung. Aku mengenali sosok-sosok itu dan mendongak.

Puri dan temannya, Laras.

Tiba-tiba hantu pikiran masa lalu merasuki benakku. Aku melihat diriku sendiri berdiri di masa dan tempat yang jauh. Tubuhku penuh luka. Aku memandang dalam ke satu titik, suaraku bergema, terdengar asing di kepalaku sendiri.

"Jika aku harus terlahir kembali, meski itu seribu tahun lagi, aku janji aku akan menemukanmu, dan aku akan kembali jatuh cinta padamu."

Aku terbelalak, kaget. Apa maksud semua itu?

Puri menghentikan langkahnya dan berbalik. Laras nyaris menabraknya dan menjerit kaget, tapi tak ada satupun dari kami yang memerhatikannya.

Puri menatapku nanar. Aku balas memandangnya, terguncang saat kilasan masa laluku membanjiri benaknya, dan secara alami merasuki kepalaku juga.

Ia melihatku berangkat sekolah pagi ini dengan dilepas Dirah di Istana. Ia menebakku sebagai murid baru di kelasnya. Ia tahu aku baru saja kembali ke Negeri Laut Pasir, dan aku sempat mengenyam pendidikan militer di Negeri Bukit Tinggi. Kilasan pertempuranku di Negeri Tanjung Agung yang sudah musnah juga melintasi pikirannya. Ia melihat segala aktivitas yang pernah kulakukan--berolahraga, bela diri, menembak. Ia bisa tahu aku sangat suka menerbangkan pesawat. Ia bahkan tahu aku terkadang memainkan gitar di malam hari sambil menulis puisi jika aku sedang sendiri...

Ia tahu namaku Arya Balawa, tanpa melihat label nama di seragamku.

Tak berhenti sampai di situ, ia tahu aku bisa membaca pikiran. Ia tahu aku selama ini bertahan hidup dengan mengandalkan kekuatanku.

Dan yang paling mengguncangku, aku bisa melihat benaknya menyaksikan aku lahir dari rahim Dirah Mahalini pada pertengahan November tujuh belas tahun lalu...

"PURI, AYO KITA SUDAH TERLAMBAT!" Laras menjerit dan menarik Puri pergi.

Puri tak punya pilihan selain mengikuti Laras. Wajahnya pucat pasi.

Sebelum dia menghilang di tikungan, aku bisa melihat diriku di masa ribuan tahun lalu sebagai ksatria yang berjuang di medan perang, lalu menghembuskan napas terakhirku di pangkuannya...

Aku membeku selama beberapa waktu. Napas dan detak jantungku seakan menyelinap lenyap entah ke mana. Tubuhku gemetar padahal udara tidak dingin sama sekali.

Semua yang dilihat Puri tentangku barusan benar-benar mengguncangku. Ia tahu semua masa lalu dan kebenaranku semudah menghirup napas. Termasuk masa lalu dan kebenaran yang tak pernah kuketahui, hingga aku menyaksikannya sendiri setelah kekuatanku menyentuh kekuatannya pagi ini...

Dirah Mahalini adalah ibu kandungku.

Sudah lama aku tidak merasa benar-benar terguncang dan kehilangan pijakan seperti ini. Dadaku terasa nyeri.

"Arya, mengapa kamu masih di sini?"

Dokter Kama menepuk bahuku lembut. Sosoknya jangkung dan tampan seperti biasa, mengenakan jas putih panjang, dengan wajah tirus dan rambut hitam lurus panjang yang hari ini dibiarkan tergerai. Matanya berkilauan di balik kacamatanya yang aku tahu merupakan kacamata dengan fitur khusus untuk Agen Pelindung Elit. Hari ini ia ada jadwal mengajar di Kelas Ilmu Penyembuhan, kelas pertama yang akan kuikuti beberapa menit lagi.

Wajahku sekaku batu saat menatapnya. Aku tak sanggup bicara.

"Ada apa?" tanya Dokter Kama, tatapannya menyelidik. "Apa semua baik-baik saja?"

Aku memaksa diriku menarik napas panjang dan kembali bergerak. "Ya, tak ada masalah..."

"Bagus. Ikut aku. Setelah ini kamu harus memperkenalkan diri pada teman-teman barumu di kelas."

Dokter Kama memasuki ruang kelas terlebih dulu. Aku menunggu di sisi luar pintu sambil memejamkan mata dan mengatur napasku. Aku bisa melihat dan mendengar hampir seisi kelas bergosip hal-hal receh, beberapa di antaranya membicarakanku.

Kubuang hantu-hantu pikiran itu jauh-jauh.

Aku mendengar Dokter Kama menyapa beberapa murid, termasuk Puri, yang tidak menyahut sama sekali.

Pikiran Puri kembali menghambur masuk benakku. Sesekali kilasan diriku sebagai ksatria yang terluka dan tewas di zaman lampau itu membayang. Sesekali lengang.

Tapi aku bisa merasakan, Puri terguncang berat. Tubuhnya gemetar. Napasnya putus-putus. Dadanya terasa sakit.

Sama sepertiku.

"Hari ini ada murid baru di kelas kalian. Ia pindahan dari Negeri Bukit Tinggi," kata Dokter Kama tenang. "Masuklah, Arya, dan perkenalkan dirimu dengan baik kepada teman-teman barumu."

Aku menarik napas dalam-dalam, dan melangkah masuk dengan kaku.

Seisi kelas memandangku penuh minat dan ingin tahu. Beberapa di antaranya bahkan terpesona.

Tapi aku tidak memedulikan mereka.

Sejak awal, tatapanku terkunci ke arah Puri, yang duduk persis di depan meja guru di sudut kelas.

Duduknya kaku. Wajahnya pucat pasi.

Ia balas menatapku. Air matanya menggenang.

"Namaku Arya Balawa. Kalian bisa memanggilku Arya. Senang bisa bertemu kalian," ucapku datar.

"Senang bisa bertemu denganmu juga, Arya," seru beberapa gadis. Beberapa murid lelaki mengejek.

Dokter Kama menyuruh seisi kelas untuk tenang dan mempersilakanku duduk di kursi kosong di sudut belakang kelas, lalu meminta semua murid fokus pada materi yang sudah disiapkannya di proyektor depan.

Aku berjalan dan duduk di kursiku, mengabaikan total segala jenis suara, tatapan, pikiran. Aku bahkan tidak mendengarkan penjelasan Dokter Kama sama sekali.

Pikiranku dan kekuatanku sepenuhnya tertuju hanya pada Puri Agung.

Isi kepalanya masih sama. Kilasan perang dan kematian itu berputar ulang bagai tayangan film yang cacat. Aku bisa merasakan sesuatu seperti bergeliat dan bangkit dalam hatinya, seperti emosi dan ingatan yang akhirnya kembali muncul setelah begitu lama dilupakan.

Saat kembali menyaksikan kilasan sosokku yang meregang nyawa, air mata Puri tumpah. Napasnya terputus. Ia terkulai lemas di kursinya.

Aku mendongak dan menatapnya lekat. Entah mengapa, hatiku cemas.

"Puri? Kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit?" Dokter Kama sudah berdiri di sebelah Puri, tangannya meraba kening dan mengecek denyut nadi di leher Puri

"Eh... apa es jus jeruk tadi pagi membuat perutmu sakit, Puri?" tanya Laras gugup. "Dokter... apa sebaiknya Puri kuantar ke klinik sekolah?"

Dokter Kama mengangguk. "Ya, sebaiknya begitu. Tolong ambilkan kursi roda."

Laras dengan cepat bangkit dan berlari keluar kelas. Tidak sampai lima menit, ia sudah kembali dengan sebuah kursi roda.

Dokter Kama memindahkan Puri dengan lembut dan hati-hati ke atas kursi roda, lalu mendorongnya keluar kelas menuju klinik.

Saat melihat Puri tak sadarkan diri dengan jejak air mata di pipinya, aku merasa batinku pedih dan merana.

Tapi kenapa...?

...***...

Terpopuler

Comments

Alta [Fantasi Nusantara]

Alta [Fantasi Nusantara]

Biasanya roti kering pun yang tidak berasa supaya tidak cepat haus, karena yang berasa akan membuat cepat haus. Apalagi yang rasa asin.

2024-04-25

1

Alta [Fantasi Nusantara]

Alta [Fantasi Nusantara]

Dih, kok gitu. Hanya karena dia tidak keluyuran bukan berarti tidak menikmati hidup/Grimace/ Aku adalah salah satu orang yg hidupnya kayak dia. Pulang sekolah ngeram di kamar mainan hp/Grin//Grin//Grin/

2024-04-25

1

Alta [Fantasi Nusantara]

Alta [Fantasi Nusantara]

Orang yang berkompeten, di saat melakukan hal yang bisa dibilang buang-buang waktu pasti karena ada sesuatu yang secara tidak sadar telah membut atensi alam bawah sadarnya 🤭🤭🤭🤭🤭.

2024-04-25

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!