MELARIKAN DIRI

Sesaat aku kehilangan kata-kata.

"Itu tidak akan terjadi," ketika aku bisa kembali bicara, nada suaraku dingin dan tegas.

Dirah mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"

"Aku tak akan menjalin hubungan dengan Puri. Sekalipun kami dijodohkan dan dinikahkan, aku tak akan menyentuhnya. Anak seperti itu tak akan pernah ada di dunia ini."

Dirah melongo sejenak, lalu ia terbahak.

"Kamu bukan anak kecil lagi... kamu bertarung seperti pria sejati... tapi astaga... kamu benar-benar naif dan tidak tahu apa-apa soal cinta, ya..."

Dirah membungkuk kehabisan napas, lalu mengusap air mata di sudut pelupuknya.

"Kamu pernah jatuh cinta tidak, sih? Pernah punya pacar?" tanya Dirah sambil menegakkan punģgungnya kembali.

Pertanyaan konyol. Tapi ekspresi Dirah sungguh-sungguh ingin tahu.

"Tidak. Tidak pernah," sahutku dingin.

"Pantas saja," Dirah tertawa geli. "Kamu tidak pernah dekat dengan perempuan sebelumnya. Makanya kamu bisa bicara begitu. Kalau kamu tidak percaya visiku kelak menjadi nyata, silakan saja. Tapi kalau kamu mau menggunakan logika, mudah saja--kamu akan menghabiskan banyak waktu bersama Puri. Kamu akan selalu memerhatikan dan memikirkannya karena kamu harus melindunginya sepanjang waktu. Bagaimana kamu tidak akan jatuh cinta dengannya jika kamu akan menghabiskan hidup dengan cara seperti itu? Lagipula, dia sangat cantik. Hatinya juga baik. Kamu yakin tidak akan tertarik dengan gadis seperti itu? Kamu yakin hatimu tidak akan bergetar saat melihatnya tersenyum atau menangis?"

Perkataan Dirah membuatku bungkam. Dirah tersenyum dan menggeleng.

"Sebagai prajurit, kamu harus bisa berpikir lebih jauh ke depan dan mengantisipasi segala kemungkinan. Kamu yakin tidak akan jatuh cinta dan menyentuhnya. Tapi bagaimana kalau ternyata kamu mencintainya dan menginginkannya? Bagaimana kalau pada akhirnya anak itu akan benar-benar lahir ke dunia? Apa yang akan kamu lakukan untuk mengantisipasinya?"

Aku menghela napas panjang.

"Jadi, menurut Anda, buah perak itu adalah solusinya? Tapi buah macam apa itu? Tak pernah ada satu pun yang pernah melihat sesuatu seperti itu sebelumnya..."

"Memang tak ada yang pernah melihat pohon atau buah semacam itu di masa sekarang. Tapi pohon dan buah semacam itu pernah tumbuh di masa lalu. Kamu bisa melihat buktinya di salah satu artefak yang ada di Museum Istana. Artefak yang ada di sana adalah peninggalan leluhur yang ditemukan di reruntuhan kuil kuno. Para ahli bahkan sudah memverifikasi keasliannya."

"Tapi itu hanya ukiran di atas batu," sergahku. "Bagaimana Anda bisa yakin itu sungguh tumbuh di masa lalu, bukannya kiasan atau dongeng yang diciptakan leluhur pada zaman itu?"

"Aku yakin itu benar, karena dalam visiku pohon itu tumbuh secara nyata," kata Dirah serius. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi walau dalam hal ini kita berseberangan, untuk bisa menemukan kebenarannya, kita harus meminjam kekuatan Puri. Hanya dia yang bisa melihat masa lalu. Hanya dia yang bisa mengungkap kebenaran tentang pohon itu. Dalam hal ini, kamu tentu setuju denganku, kan?"

Aku terdiam sejenak. "Ya, Anda benar..."

"Itulah kenapa aku sejak awal berkata, Puri adalah kunci untuk mencegah terjadinya kehancuran dunia. Bukan hanya soal kebenaran tentang musuh, tapi ia juga akan mengungkap kebenaran masa lalu dunia ini--semua kunci keselamatan kita ada di masa lalu. Pohon buah pengetahuan. Bahkan kekuatan magis yang kita miliki saat ini, pasti bersumber dari sesuatu di masa lalu. Jika kita berhasil menemukan semua kebenaran itu, kita bisa selamat dari peristiwa kiamat yang kulihat. Itu pasti."

Aku teringat kilasan masa lalu di benak Puri mengenai kehidupanku di zaman ribuan tahun lalu. Meski itu benar terjadi, aku sudah memutuskan untuk tidak memedulikannya. Tapi faktanya, dia memang bisa melihat masa lalu sejauh itu. Dia mungkin belum tahu semua penglihatan Dirah atau apa yang sedang, atau akan, menimpa dunia saat ini... namun jika dia tahu, kira-kira apa yang akan dilakukannya? Bisakah dia menemukan semua kebenaran itu tepat pada waktunya? Sanggupkah dia menjadi kunci pencegah kehancuran dunia?

Itu bukan tugas yang mudah. Aku tak yakin dia sanggup melakukannya. Jujur saja, dia kelihatan sangat rapuh dan lemah.

"Aku tahu, jalan ke depannya akan semakin tidak mudah," Dirah menghela napas. "Kita akan berperang. Walau kita bisa menang, tapi kita juga bisa mengalami banyak penderitaan dan kehilangan. Di saat seperti itu, kamu jangan sampai lengah dan hancur, Arya. Kamu harus tetap kuat untuk melindungi Puri, negeri ini, dunia ini. Tak ada orang lain yang bisa melakukannya selain kamu. Kalau kamu hancur, seluruh dunia ini pun hancur."

"Tenang saja. Aku tidak lemah," kataku dingin.

Dirah tertawa pelan.

"Kamu tidak bertanya kenapa aku melarangmu keluar Istana hari ini?"

Aku memandang Dirah tajam. Ia sengaja tidak memikirkan apa-apa saat ini. Tapi perasaannya penuh kesedihan dan kasih sayang yang tertuju padaku. Tatapan matanya seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.

Aku mengejang. Hatiku terpilin tak nyaman.

"Karena aku mabuk-mabukan semalam dan lalai menjalankan misi tadi pagi?" aku berusaha tak peduli dan menyesap anggurku.

"Ya... tapi aku tidak marah karena itu. Justru aku mencemaskanmu."

Aku menatap Dirah tak mengerti.

"Kamu selalu terlihat kuat di depan orang lain. Kamu selalu berusaha seperti itu. Tapi kadang kamu terlalu keras pada dirimu sendiri... bagaimanapun, kamu bukan sebongkah gunung es, Arya. Kamu manusia yang memiliki hati. Tidak apa-apa jika kamu merasa lelah atau sedih. Tidak apa-apa jika kamu rapuh dan terluka. Tapi jangan pernah menanggung semua itu sendiri. Jangan menyakiti dan menghancurkan dirimu sendiri dengan mengabaikan hatimu yang berharga. Kamu berharga, Arya, sama berharganya dengan segala sesuatu yang selalu kamu perjuangkan sampai sekarang. Tapi kamu tidak pernah melihat itu. Dan aku takut, itulah yang akan benar-benar menghancurkanmu suatu hari nanti."

Aku terdiam sejenak.

"Seorang prajurit tidak boleh lemah," kataku datar sambil menyesap anggurku. "Aku tahu aku telah berbuat bodoh semalam. Aku bersumpah aku tidak akan melakukannya lagi."

"Mengakui kelemahan bukanlah sifat lemah," ujar Dirah pelan. "Justru itu kekuatan yang sangat besar, karena itu artinya kamu mau jujur dan mengakui dirimu sendiri apa adanya. Jika suatu hari nanti ada yang membuatmu sedih dan terluka lagi, jangan pernah lari lagi, Arya. Dulu kamu mungkin selalu sendiri, itu gara-gara aku, maafkan aku... tapi sekarang aku ada di sampingmu. Aku akan menebus semua kesalahanku padamu. Bagilah kepedihan dan kerapuhan itu padaku. Aku akan ada di sisimu untuk menguatkanmu, sampai napas terakhirku."

Percakapan ini benar-benar membuatku merasa tertohok dan kian tak nyaman. Di saat aku tahu ia adalah ibu kandungku, membuatku terluka, dan aku berjuang keras mengabaikannya... mengapa sekarang dia malah mendekatiku dan berusaha merengkuhku seperti sifat alami seorang ibu?

Jika dia memang menyayangiku, ingin memelukku, dan mau menebus semua kesalahannya padaku, kenapa ia harus terus membohongiku, sampai sekarang?

"Kamu tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua kandungmu. Itu yang membuatmu begitu keras, dingin, dan tertutup seperti sekarang. Kamu pasti pernah bertanya-tanya, siapa sebenarnya orangtua kandungmu..."

Aku terkejut, sama sekali tak menyangka Dirah akan membuka topik ini.

Apakah dia akan mengakui semuanya sekarang?

Dirah menyesap anggurnya sedikit, lalu tersenyum lembut padaku. "Begini saja... jika kamu mau membuka hatimu padaku, aku akan memberitahu segalanya tentang orangtua kandungmu padamu. Bagaimana?"

Aku membeku sejenak. Kemudian kemarahan meletup dalam nadiku.

Dia ingin membuatku lemah seperti anak kecil yang menangis di pangkuan ibunya. Untuk apa? Agar ia bisa menguasaiku sepenuhnya? Jika dia memang tulus, dia akan memberitahu segalanya tanpa syarat! Tapi dia malah ingin bertransaksi denganku sekarang, setelah membuatku menderita untuk waktu yang sangat panjang!

Dia memainkan politik bahkan untuk anaknya sendiri. Menjijikkan!

"Apa ada hal penting lain yang masih ingin Anda sampaikan?" tanyaku dingin. "Jika tidak, izinkan aku undur diri. Aku masih punya beberapa hal yang harus kuurus malam ini."

Dirah mendesah, wajahnya sedih.

Kamu masih saja mau lari, Arya... tapi ini memang salahku... maafkan aku... tapi aku sungguh sangat menyayangimu... dan aku bisa melihatnya, kalaupun tidak sekarang, suatu hari nanti, kamu pasti akan membuka hati untukku... bagaimanapun, kita berbagi ikatan dan aliran darah yang sama... kamu dan aku tak akan terpisahkan...

Aku memandang Dirah tajam. Apa dia sengaja memikirkan itu supaya aku berubah pikiran? Tidak akan!

"Ya, ada," Dirah menenggak sisa anggur di gelasnya, lalu cegukan kecil. "Aku melihat Puri akan berusaha menolak dan menjauh darimu begitu ia tahu akan dijodohkan denganmu. Kamu harus bisa meyakinkannya untuk mau bekerja sama dengan kita. Ia sama keras kepalanya dengan Randu, tapi aku yakin, kamu akan bisa memenangkan hatinya."

Aku mengangguk datar. "Bukan masalah."

Malam itu, usai makan malam yang tidak menyenangkan, aku bergegas kembali ke kamarku, membuka brankas dan mengutak-atik tabletku. Berjam-jam aku sengaja berusaha keras memecahkan rumus bom yang bisa menghancurkan perisai elektrik, tapi nihil. Aku bekerja keras sampai pukul tiga pagi, sebelum akhirnya menutup pekerjaanku dan melempar tablet ke ujung tempat tidur sambil mengumpat.

Aku merebahkan diri setelah membuka semua kancing kemejaku. Aku sama sekali tidak mengantuk. Pikiranku rasanya terbelah sekarang. Setengahnya masih dipenuhi rangkaian rumus gagal yang membuatku mengutuki diri sendiri, setengahnya lagi terbagi antara visi Dirah dan perasaannya yang dituangkan padaku malam tadi.

Mengapa dia seperti itu? Batinku menggeram jengkel. Aku hampir tidak pernah mengenalnya seumur hidupku. Tahu-tahu dia muncul dan menyelamatkanku dari maut. Mengajakku bergabung bersamanya. Memberiku dukungan, perhatian, dan kasih sayang. Tapi di saat yang sama terus saja membohongiku, dan berusaha membuatku tunduk pada semua kemauannya.

Aku masih tidak tahu mengapa dia membuangku sejak lahir, dan tidak mengakuiku sebagai anak hingga detik ini. Apa dia malu? Apa baginya aku ini aib? Kalau benar begitu, mengapa dia mencariku dan membawaku ke sini? Apa karena dia sangat percaya dengan semua visi tidak masuk akal yang dilihatnya? Apa dia rela melakukan apa saja asal dia bisa menang dan tidak terbunuh musuh, termasuk memungut kembali anak yang sudah dibuangnya? Apa baginya aku ini hanya pion yang bisa dimanfaatkan lalu dibuang begitu saja setelah tidak berguna?

Kalau saja aku tidak ingat bahwa aku masih harus melindungi Puri, aku akan melesat saat ini juga ke mobilku, mengaktifkan mode terbangnya, dan melesat meninggalkan wanita terkutuk itu selamanya.

Kamu masih saja mau lari, Arya...

Suara Dirah kembali menggema dalam ingatanku.

Sial! Aku menampar pipiku sendiri untuk mengusir hantu kenangan itu dari kepalaku. Kuputuskan untuk bangkit dan bergegas mengganti pakaian dengan setelan olahraga, lalu berlatih keras di gym dan arena bela diri sampai matahari terbit.

Meski tidak tidur semalaman, fisikku baik-baik saja dan bugar. Darahku malah mengalir sangat lancar setelah berolahraga dan meninju berjam-jam. Meski begitu, emosiku tidak sepenuhnya membaik.

Justru memburuk.

...***...

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

5🌹utk Arya...

2024-04-14

1

Dewi Payang

Dewi Payang

Nak, hatimu sekeras batu karang

2024-04-14

1

Kasadasa

Kasadasa

Boro-boro pacaran, Bun, lha kerjaannya dulu dar der dor duaaarrr di medan perang

2024-04-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!