MIMPI DAN PUISI

Aku berjalan limbung menyusuri padang tandus. Tak ada kehidupan apapun selain detak jantungku. Angin yang bertiup kencang menawarkan butir-butir pasir dan menggores kasar kulit keringku. Perih.

Tapi ada yang jauh lebih pedih. Lebih kering. Aku memejamkan mata. Luka itu menganga lebar, gelap, dalam di dadaku. Ada yang telah berkali menikamku. Namun aku tidak ingat siapa. Kapan. Bagaimana.

Sakitnya luar biasa. Dan aku tak punya apa-apa untuk mengobatinya.

Arya...

Aku membuka mata, tertegun.

Siapa?

Suara itu kembali memanggilku.

Arya... aku di sini...

Ada hantu yang merasuk samar dalam benakku. Sosoknya seperti diselimuti cahaya lembut. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Tapi aku merasa tak asing.

Lukaku berdenyut menyakitkan saat kakiku melangkah tergesa. Tanpa kuperintah, tubuhku memburu suara lembut yang terus memanggilku itu.

Dan aku tiba di sana. Di sebuah kuil kecil berdinding dan atap putih yang penuh ukiran magis. Seorang gadis sangat cantik berdiri di muka gerbang kuil. Rambutnya sewarna angkasa malam tanpa bintang, tergerai panjang menutupi punggung. Ia mengenakan gaun putih sederhana, kontras dengan kulitnya yang berwarna cokelat indah.

"Arya..."

Mata hitam lembut itu berkaca-kaca saat memandangku. Paras ayunya melembut sendu. Bibir tipisnya tersenyum saat menyebut namaku.

"Puri..."

Air mataku jatuh, entah mengapa. Aku ingin berlari, tapi otot-ototku begitu lemah. Kakiku terhuyung.

Puri melangkah tanpa ragu. Ia bersimpuh sesaat sebelum aku terjatuh. Aku mendarat dalam dekapan dan pangkuannya yang lembut dan hangat.

Sangat lembut dan hangat.

Sekujur tubuhku gemetar. Aku tidak pernah merasakan pelukan dan sentuhan selembut ini, sehangat ini, seumur hidupku. Lukaku berdarah lagi. Aku menggigil, ringkih seperti anak kecil, mengisak tanpa henti.

"Tidak apa-apa...," Puri berbisik lembut, air matanya menetes dan menyatu dengan linang di pipiku. "Aku di sini bersamamu sekarang..."

Gelegar asing menyambar kepalaku. Aku membuka mata dan menatap langit-langit kamar mewah dengan nanar.

Apa itu tadi?

Aku tergeletak selama semenit penuh. Tubuhku seakan beku. Benakku macet.

Gelegar petir kembali terdengar. Aku tersentak dan menegakkan punggung. Perlahan, terdengar suara hujan turun membasahi tanah di luar sana.

Petir? Hujan? Di negeri gersang ini?

Aku mengerjap, bengong. Ada setetes air mengalir membasahi pipiku. Aku mendongak.

Masa kamar Istana Negara bocor?

Tapi tidak ada tetesan hujan dari langit-langit kamar yang gelap. Kusentuh pipiku. Pangkal jejak basah itu berasal dari sudut pelupukku sendiri.

Kenapa aku menangis...?

Perlahan aku ingat sesuatu. Aku ingat aku tadi menangis dalam mimpi. Tapi mimpi apa itu?

Mimpi itu bagai tetes hujan yang perlahan jatuh dan hilang dari sela jemari. Aku memejamkan mata, berusaha keras menyatukan potongan gambar absurd dan mengingatnya.

Aku bermimpi terluka parah, dan menangis dalam pelukan Puri. Puri menghiburku. Dia berkata, dia bersamaku sekarang.

Aku membuka mata. Mengerjap seperti bocah tolol.

Mimpi apa itu?

Jantungku berdegup tak nyaman. Tenggorokanku terasa kering. Aku meluncur turun dari tempat tidur dan membuka kulkas kecil yang tersembunyi di bawah meja di sebelah ranjang. Aku asal mengambil kaleng, cepat-cepat membukanya, lalu menenggak isinya banyak-banyak.

Aku hampir tersedak. Rasanya pahit. Yang kuminum ternyata sekaleng kopi hitam murni, tanpa gula dan krimer sama sekali. Takaran ganda, pula.

Kulirik jam digital di atas meja. Masih pukul satu pagi. Aku ingat aku tidur pukul dua belas, setelah kesal lagi-lagi gagal merangkai rumus pemunah partikel bom elektrik. Itu artinya aku baru tidur satu jam.

Lalu entah karena petir, atau mimpi tak jelas itu, aku terbangun mendadak, kebingungan, kehausan, lalu keliru menyambar jenis minuman dingin di kulkas.

Aku menghela napas sambil memandang kopi kaleng yang tinggal separo isinya di tanganku. Jelas aku tak akan bisa tidur lagi setelah ini. Minuman ini sengaja kusimpan di kulkas kalau aku ingin membunuh kantuk dan berkeras menuntaskan sesuatu di sepanjang petang, seperti rumus dengan tingkat kesulitan terkutuk itu. Dan sejauh ini, racikan kopi kaleng ini sangat ampuh.

Ya sudah...

Aku menghabiskan sisa kopi, meremukkan kalengnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aku beringsut membuka pintu kamar yang langsung mengarah ke beranda paviliun.

Hujan betul-betul mengguyur deras. Rinai lebatnya mengaburkan pendar cahaya lampu-lampu taman dan bagian Istana lainnya. Aku menarik napas dalam-dalam. Aroma air yang menyentuh tanah dan akar rumput begitu khas dan menenangkan. Sudah lama sekali aku tak mencium wangi hujan seperti ini.

Aku tersenyum sangat lebar dan bahagia.

Tidak tidur lagi juga tidak masalah kalau begini...

Aku duduk cukup lama sambil memandang hujan, tanpa melakukan apa-apa. Napasku dalam dan teratur. Rasanya seperti sedang bermeditasi. Begitu damai dan menenangkan.

Sekitar pukul dua pagi, hujan berhenti. Namun aroma tanah basah itu masih awet. Perasaan tenang dan damai ini mewadahi banyak ilham. Aku beranjak masuk ke kamar, membuka salah satu pintu lemari kayu yang terkunci, lalu mengambil gitar yang tersimpan rapi di dalamnya.

Aku duduk kembali di beranda. Kudentingkan gitarku perlahan. Sudah lama sekali aku tidak memainkannya. Terakhir aku bermain gitar adalah saat aku berada di markas Pasukan Perdamaian, dua tahun lalu. Di malam hari yang masih aman dan damai bagi para pengungsi dan prajurit khusus seperti kami. Aku dan rekan-rekanku biasa duduk di sekitar api unggun, menikmati minuman hangat, mengobrol, tertawa. Kadang kumainkan gitar untuk menghibur semua orang. Kami bernyanyi bersama, lalu saling merangkul dengan gembira.

"Kamu jangan serakah begini, Arya," aku ingat ketua reguku, Bhre Prabumi, menggeleng saat pertama kali mendengarku memainkan gitar sambil menyanyi dengan sangat merdu, membuat semua orang terkesima. "Muda. Tampan. Pejuang. Jago main gitar dan nyanyi pula. Diborong semua. Kalau semua gadis menyukaimu, terus nasib kami bagaimana?"

Tawa pun membahana.

"Jangankan gadis. Laki-laki juga akan jatuh cinta padanya kalau melihatnya," rekanku yang lain berseru menggoda.

Aku membelalak. Yang lain terbahak.

Kenangan itu rasanya begitu jauh. Aku menerawang sendu. Jemariku memetik nada-nada. Musik melankolis mengalun alami, tanpa rencana sama sekali.

Tak bisa kupungkiri, kadang aku merindukan mereka. Karena merekalah yang pertama kali memelukku hangat. Menepuk punggungku dengan raut wajah bangga, seakan aku adalah keluarga kandung mereka. Menyayangiku apa adanya.

Kalian sudah beristirahat dengan tenang... sementara aku di sini, masih hidup dan berjuang... tapi, tidak apa... jika sudah waktunya, aku akan menyusul kalian... dan akan kuceritakan apa saja yang ingin kalian dengar... kita akan kembali bernyanyi dan bercerita seperti dulu, kawan...

Aku terus memetik nada-nada. Tiba-tiba aku sampai pada satu melodi baru yang lembut. Indah. Dalam seperti detak jantung.

Apa ini?

Aku mengeluarkan ponsel di saku celanaku, mencatat nada-nada baru itu.

Sebait sajak, entah dari mana, muncul begitu saja dalam benakku.

Ingin aku menyatakan cintaku

ketika dinding kuil putih

disentuh fajar perlahan

menumbuhkan iman

mengumandangkan kerinduan

terhadap suatu perjumpaan

yang begitu mendalam

Aku tertegun. Teringat mimpiku.

Meski aneh, aku tetap mencatat sajak itu, dan menyimpannya di ponselku. Aku kembali mendentingkan nada-nada. Sesekali bergumam pelan. Sesekali mencatat.

Pada pukul tiga pagi, alarm di meja sebelah tempat tidur dalam kamarku berdering. Aku menghela napas panjang.

Kusimpan gitarku di lemari. Kumatikan alarm. Seperti biasa aku mengganti kemeja kusutku dengan kaus olahraga, lalu berjalan menuju gym.

Setelah pemanasan ringan, kuputuskan untuk melatih dan mengasah kembali salah satu kemampuan beladiri khusus yang pernah kupelajari di Negeri Bukit Tinggi, yaitu ilmu meringankan tubuh.

Aku memutuskan berlatih di lapangan berumput tempat aku biasa menembak papan sasaran. Kubawa tiga buah barbel panjang dari gym, lalu kutata sedemikian rupa di atas tanah basah berumput wangi. Satu barbel diletakkan melintang. Dua barbel diletakkan berdiri, bertumpu pada salah satu pinggan beban, sejajar dan berjarak sekitar satu meter di sisi kanan dan kiri barbel pertama.

Aku mengatur napas dalam dan panjang, lalu melompat dan berjinjit di atas batang besi barbel yang tergeletak di rumput.

Aku bisa berdiri tegak dan seimbang, bahkan saat mengangkat satu kaki dan mulai memeragakan beberapa jurus dan teknik penolak serangan, beladiri khas Negeri Bukit Tinggi.

Bagai menari, aku lincah bergerak dan melompat di atas batang barbel, bertumpu hanya pada ujung jari kaki. Aku tak kesulitan saat melompat tinggi ke atas pinggan beban barbel yang berdiri tegak, lagi-lagi dengan berjinjit, tak jatuh sama sekali. Kuperagakan beberapa jurus, lalu kembali berpindah ke barbel lainnya. Terus seperti itu.

Setelah berlatih selama kurang lebih tiga puluh menit, aku melompat turun ke rumputan basah, memasang kuda-kuda, dan berlari secepat kilat mengelilingi lapangan rumput.

Sensasinya seperti terbang. Aku berlari dalam lompatan-lompatan panjang dan sangat cepat, yang menyentuh tanah hanya ujung jemari kaki telanjangku saja. Kuncinya adalah fokus dan pengaturan napas khusus. Aku sudah melatih teknik ini sejak usia tujuh tahun. Galang sendiri yang mengajariku. Sekarang, melakukan ilmu meringankan tubuh seperti ini semudah mengerjap bagiku.

Karena otak dan otot-ototku sudah sangat terbiasa melakukannya.

Bahkan setelah berlari dengan teknik khusus seperti itu selama tiga puluh menit, aku sama sekali tidak lelah. Aku berhenti saat fajar menjelang, lalu memutuskan berlatih menembak sebentar.

Pukul lima pagi, aku membereskan dan mengembalikan semua peralatan yang kupakai ke tempatnya. Aku melesat kembali ke kamarku, mandi dengan sangat bersih, lalu mengenakan seragam yang sudah dicuci bersih dan disetrika.

Aku mengernyit saat menyisir rambut. Selalu saja berantakan. Aku ingat pernah melihat ada gel rambut tersimpan di salah satu laci meja dekat tempat tidur. Kuambil gel itu, dan kuoleskan merata di rambut, lalu kusisir perlahan.

Lumayan. Rambutku jadi lebih rapi dan berkilau. Wangi juga.

Aku menyemprot parfum, menghirup wangi hutan basah dengan penuh sukacita. Aku tersenyum. Kemudian kukenakan perlengkapan Agen Pelindungku yang biasa sebelum berangkat--arloji perak, pistol khusus, sepatu bot anti-api. Aku juga mengantongi earpods kali ini. Jaga-jaga saja, siapa tahu perlu berkomunikasi secara darurat dan khusus dengan Randu atau Agen Pelindung lainnya.

Mada sudah menyajikan susu, jus, roti isi, dan potongan apel di meja depan yang sudah diganti baru. Ia mematuhi pesanku dengan baik sekarang. Aku selalu meninggalkan pesan yang sama setelah memesan makanan melalui tablet:

Letakkan semuanya di meja, lalu pergilah secepatnya. Ambil kembali piringnya satu jam kemudian. Jika sampai kamu bertemu dan bicara denganku lagi, kupastikan kamu pulang ke rumah sebagai mayat.

Aku menyeringai sambil melahap roti dan menenggak jus.

Setelah sarapan kilat, aku melesat ke garasi Istana. Kupanaskan mobilku sebentar, lalu meluncur, hampir mengebut, menuju rumah Randu.

Aku sampai dalam waktu singkat. Kulirik arlojiku. Masih pukul enam pagi.

Saat aku keluar dari mobil, aku bisa mendengar suara lonceng jam di kamar bernuansa pastel di lantai dua. Suaranya lembut dan nyaring. Kekuatanku dengan mudah merengkuh hantu pikiran yang baru saja membuka mata di dekat lonceng jam itu.

Hantu yang seakan bersinar lembut, hangat, persis seperti dalam mimpiku semalam.

Puri terbangun dengan gugup. Ia masih mengantuk. Namun dengan anggun ia meluncur turun dari tempat tidur. Ia tidak bermeditasi seperti biasa. Ia ingin segera pergi ke sekolah, berharap bisa bertemu Laras, dan tidak bertemu denganku sebelum pelajaran dimulai.

Aku tersenyum lebar. Ia masih gugup dan gelisah saat memikirkanku. Ini bagus. Emosinya akan menghalangi kekuatan magisnya. Ia tidak akan bisa menjangkau semua masa laluku. Aku selangkah lebih maju di depannya sekarang.

Kamu akan memenangkan hatinya.

Aku mengerjap saat suara Dirah menggema dalam ingatanku. Dan tepat saat itu, Puri melangkah keluar gerbang. Cahaya matahari pagi berkilau menimpanya. Wajahnya polos dan lembut. Rambut hitamnya tergerai indah. Bibir tipisnya begitu manis.

Dia sangat cantik.

...***...

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

Aku juga suka memetik gitar😁

2024-04-22

0

anjurna

anjurna

/Rose//Rose//Rose/ untuk Puri dan Arya.

2024-04-05

0

anjurna

anjurna

Arya-Arya/Facepalm//Facepalm//Facepalm/

2024-04-05

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!