SERANGAN BOM

Dokter Kama kembali sekitar lima belas menit kemudian. Puri tidak bersamanya. Jelas ia membutuhkan perawatan khusus di klinik.

Aku menghela napas panjang, tidak menyangka awal misiku jadi begini. Tapi keadaan aman dan baik-baik saja. Tidak ada situasi yang membahayakan nyawa. Jadi harusnya aku tetap bisa fokus dan tenang untuk melanjutkan misi...

Namun aku tidak bisa tenang. Begitu bel berbunyi, aku langsung melesat keluar kelas menuju klinik. Dan seseorang juga berlari menuju klinik dengan tergesa di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu betul siapa dia.

"Berhenti."

Aku memberi perintah, menghentikan lajuku dan berbalik. Laras menjerit saat ia hampir menabrakku.

"Kamu...," Laras kesulitan bicara. Ia tampak bingung dan ketakutan saat aku menatapnya dengan tatapan tajamku dan ekspresi sedingin es.

"Namamu Laras, kan? Mulai sekarang, kuperingatkan kamu. Jangan dekati Puri lagi."

Laras membelalak. "Apa?"

"Jangan dekati Puri lagi. Jauhi dia," aku melangkah maju. "Atau kubocorkan rahasiamu. Kamu punya kekuatan seperti sihir kan? Kamu bisa mendengar segalanya."

Wajah Laras pucat pasi. Tubuhnya seakan mengerut di bawah pandanganku yang menusuknya tanpa ampun. Benaknya bertanya-tanya bagaimana aku bisa tahu rahasianya.

"Jangan tanya bagaimana aku tahu," bisikku dingin. "Yang harus kamu tahu, aku bukan orang sembarangan. Aku adalah calon suami Puri."

Laras tampak seperti disambar petir. Otaknya bahkan tak lagi bisa berpikir.

"Ya, Puri sudah dijodohkan denganku. Aku adalah keponakan Presiden Dirah Mahalini. Dia akan menjadi menantu Presiden," sambungku tenang. "Karena itu, ia harus dijaga dan dilindungi dengan baik. Aku akan melindunginya. Ini perintah Presiden."

Aku tahu aku menang. Laras meneteskan air mata saat aku melanjutkan tanpa perasaan, "Jauhi Puri. Jangan sebarkan fakta perjodohan kami pada siapapun. Aku akan selalu mengawasimu. Jika sampai kamu melanggar, kamu akan merasakan akibatnya."

Laras menangis dan berjalan pergi. Aku memutar tubuhku dan berjalan menuju klinik sekolah.

Klinik kecil itu dijaga seorang perawat yang menatapku waspada saat aku masuk.

"Ada perlu apa?"

"Aku mau menjenguk temanku," jawabku datar. "Namanya Puri Agung. Dia dibawa ke sini oleh Dokter Kama setelah pingsan di kelas tadi. Boleh aku tahu apa yang terjadi padanya dan bagaimana kondisinya sekarang?"

"Ah, ya," perawat itu mengecek tabletnya. "Dia pingsan karena stress atau terguncang berat. Tapi selain itu, dia baik-baik saja. Dokter Kama sudah memberinya suntikan penenang. Dia sedang tidur sekarang, dan akan terbangun beberapa jam lagi."

Aku menghela napas panjang. "Boleh aku menjenguknya?"

Perawat itu memandangku dengan sorot mata aneh dan curiga. "Dia sedang tidak sadar. Kamu jenguk dan ajak bicara juga percuma."

"Tidak akan percuma. Aku pacarnya. Dia jadi begini gara-gara aku. Aku perlu minta maaf padanya. Aku yakin dia bisa mendengarku," aku mengucapkan kebohongan itu dengan ekspresi sedih yang meyakinkan.

Namun perawat itu bergeming sambil mengangkat alisnya. "Kamu bisa minta maaf setelah dia sadar nanti."

"Tidak bisa... setelah ini aku harus pergi. Dia pingsan karena kaget mendengar kepindahanku yang mendadak. Aku harus mengejar pesawatku satu jam lagi. Cuma sekarang kesempatan yang kupunya untuk bicara dan minta maaf padanya."

"Sebentar saja," pintaku pelan. "Kumohon."

Perawat itu menghela napas. "Baiklah."

Aku menyibak tirai yang melingkupi ranjang dekat jendela. Puri sedang terbaring di sana. Matanya terpejam. Wajah cantiknya begitu polos dan murni, seperti bayi.

Kutatap sosoknya lekat. Aku sudah beberapa kali melihatnya secara langsung maupun tidak langsung. Tapi baru kali ini aku menatapnya dari jarak dekat. Dan entah kenapa, rasanya ada getaran kecil timbul jauh di lubuk hatiku saat menyaksikannya tidur tanpa mimpi seperti ini.

Siapa sebenarnya kamu?

Aku mengingat kembali semua yang dilihatnya tentang masa laluku. Kebenaran tentangku. Aku tahu ia memiliki kekuatan seperti itu, tapi aku tidak menyangka melihatnya secara langsung benar-benar mengguncangku seperti ini.

Ia juga terguncang. Hatinya yang lembut tidak bisa menahan kerinduan dan kesedihan mendalam saat melihat masa lalu yang aneh itu. Ia sangat berduka hingga kehilangan kesadaran.

Tapi apakah masa lalu seperti itu benar-benar sungguh terjadi? Apa benar aku pernah hidup dan mati seperti itu?

Aku menghela napas panjang. Kurasa itu tidak penting. Kalau pun semua itu benar, tidak ada artinya buatku. Justru aku harus semakin fokus dan waspada, jangan sampai kekuatan sebesar itu diketahui dan jatuh ke tangan musuh. Misiku sekarang adalah melindunginya, memastikannya tetap selamat dan hidup, apapun yang terjadi.

Tak heran Dirah sangat mencemaskan keselamatan gadis ini dan seluruh negeri. Kekuatannya sanggup mengguncangku yang setangguh gunung karang. Kekuatannya sanggup mengguncang dunia, dengan menyingkap banyak kebenaran yang tak terduga.

Meski tentu saja ia tidak minta dilahirkan dengan kekuatan seperti ini. Ia juga tak pernah berniat menyakiti siapapun dengan kekuatannya. Dia tidak berhak disakiti hanya karena memiliki kemampuan sebesar ini.

"Aku akan selalu di sisimu. Aku akan selalu melindungimu. Aku janji."

Aku berbisik lembut dan pelan. Tak lama kemudian, kulihat bibir tipisnya bergerak dan tersenyum.

Aku mengerjap. Apa dia bermimpi?

Kutatap benaknya. Gelap dan hening. Ia tidak bermimpi sama sekali.

Apa dia mendengarku? Apa dia sudah sadar?

Kupandang wajahnya lekat dan lama. Ia masih tertidur. Tak bermimpi dan tak bergerak sama sekali.

Dia sangat cantik.

Aku menghela napas dan menggeleng. Kujernihkan pikiran, lalu berjalan meninggalkan klinik dan kembali ke kelas.

Kelas demi kelas berlanjut lambat dan membosankan. Aku nyaris tak mendengarkan setiap guru menjelaskan materi, namun setiap ada pertanyaan terlontar padaku, aku bisa menjawabnya dengan benar meski dengan datar dan ogah-ogahan.

Saat istirahat, beberapa gadis mencoba mendekat, tapi pandangan dinginku membuat mereka segera mundur dan menyerah. Beberapa anak lelaki mengajakku, kutolak mentah-mentah dan kuusir. Ada yang mengejek dan menantangku, tapi begitu aku berdiri dan bergerak maju dengan tinju terkepal dan tatapan setajam elang, mereka gentar dan berlari keluar.

Aku kembali duduk di kursiku, lanjut mengutak-atik tabletku sambil memutar bola mata. Menyedihkan sekali.

Ketika jam pelajaran selesai pada pukul tiga sore, semua murid tampak lega dan menghambur pulang. Aku menghela napas dan memasukkan tabletku ke ransel. Akhirnya hari panjang dan membosankan ini selesai.

Puri belum juga kembali. Ranselnya masih tergeletak di mejanya.

Apa dia masih belum sadar juga? Apa dia baik-baik saja?

Aku bergerak hendak menuju klinik, namun tiba-tiba arlojiku bergetar.

Aku menekan tombolnya, dan melihat pesan yang beredar di grup Agen Pelindung.

"Penyerangan di Stasiun Ibukota. Tiga pelaku bersenjata tajam dan membawa bom. Tujuh korban luka. Dua sandera. Agen Pelindung terdekat, Rajawali Siaga dan Terbang. 2-2-1."

Aku mengerutkan alis.

Penyerangan dan penyanderaan acak di siang bolong begini? Apa tujuannya? Rasanya aneh dan tidak masuk akal sama sekali.

Stasiun ibukota jaraknya hanya lima menit mengendarai mobil dari sini. Aku bisa saja meluncur ke sana, membereskan masalah itu dengan cepat, lalu kembali ke sekolah. Lagipula, Puri masih belum sadar. Aku bisa kembali untuk memastikan keadaan dan melindunginya nanti.

"Kamu mau ke mana?"

Dokter Kama menegurku saat aku sudah hampir mencapai aula depan.

"Stasiun ibukota," aku mengetuk arlojiku. "Ada penyerangan di sana. Agen terdekat diminta datang dan membereskan masalah ini. Anda juga tahu itu, kan?"

"Ya. Maka dari itu, biar aku saja yang ke sana," kata Dokter Kama kalem. "Kamu harus ingat misi utamamu. Kamu tidak boleh meninggalkan Puri sendiri, apapun yang terjadi."

Aku mengerutkan alis. "Tapi dia masih belum sadar. Anda memeriksanya sendiri tadi. Apa dia baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja. Dia akan sadar tak lama lagi. Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh meninggalkan dia sendiri. Kamu wajib melindunginya. Apa kamu mengerti?"

Aku menatap tajam Dokter Kama. "Apa dia pernah diserang sebelum ini?"

Pikiran Dokter Kama sibuk menyimak arahan Randu yang mengatur para Agen Pelindung melalui earpods transparan di telinganya. Meski begitu ia tetap bisa menjawab pertanyaanku dengan lugas.

"Kita tidak tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi. Penyerangan bisa terjadi secara mendadak dan acak, seperti yang terjadi di stasiun sekarang. Akan kubereskan kekacauan di sana. Kamu tetap lindungi Puri. Kamu mengerti?"

Aku menghela napas. "Baiklah."

"Bagus," Dokter Kama tersenyum, dan ia lenyap di depan mataku, seperti hantu.

Aku tak punya pilihan selain berjalan kembali ke kelas. Aku berniat mengambil tas Puri dan menunggunya sadar di klinik. Namun saat aku berbelok, aku melihatnya berjalan terhuyung dan memasuki kelas.

Aku mempercepat langkahku. Dokter Kama benar. Ia akhirnya sadar, meski kelihatannya masih lemah.

Aku memasuki kelas saat Puri tengah memanggul ransel di punggungnya. Wajahnya masih agak pucat.

"Kamu sudah sehat?"

Puri membeku. Kelebatan masa lalu kembali membanjiri benaknya. Semua masa lalu itu mengenai diriku. Bahkan ada masa laluku saat masih berusia tiga tahun dan bermain pesawat kertas sendirian di kamar, yang tidak kuingat sama sekali.

Aku menatap Puri tajam. Rasanya tidak menyenangkan ia bisa melihat kilasan masa laluku seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk memecah konsentrasinya. Namun aku bisa melihat, ia sama sekali tidak menyimak kilasan-kilasan itu. Seluruh perhatian dan pikirannya hanya tertuju padaku sekarang.

Ia juga kesulitan bernapas.

"Kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu akan pingsan lagi. Apa perlu kupanggilkan dokter?" aku bergerak mendekatinya dengan waspada.

"Tidak... tidak usah," Puri menyahut dengan susah payah. "Aku mau pulang saja..."

Aku memandangnya tajam. Kondisinya payah tapi ia ingin menghindariku.

Apa ia merasa terintimidasi olehku?

Aku bisa merasakan ia gugup dan gelisah. Kilasan masa lalu itu masih menghantui pikirannya, dan ia takut untuk melihatnya.

Melihatnya terguncang, lemah, dan kebingungan seperti ini membuatku iba. Aku tak bisa menyalahkannya.

"Kalau begitu, aku akan mengantarmu," kataku lembut. "Namamu Puri Agung kan? Di mana rumahmu?"

"Tidak... aku pulang sendiri saja..."

Puri berusaha melangkah cepat dan menghindariku, tapi ia malah tersandung.

Aku dengan sigap melompat maju. Aku berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum menyentuh lantai.

"Kamu tidak apa-apa?"

Puri berada dalam pelukanku. Ia mendongak. Wajahnya yang sangat cantik begitu dekat, membuat darahku berdesir. Jantungku serasa berhenti berdetak.

Sepasang bola mata hitam lembut itu menatapku nanar. Aku bisa merasakan jantung Puri juga sesaat berhenti berdetak. Kelebatan masa lalu merasuk cepat dalam benaknya. Aku bisa mendengar suaraku sendiri menggema lembut dalam kepalaku. Sungguh asing dan aneh.

Aku bisa merasakan kesedihan dan kerinduan luar biasa muncul dan menjalari hati Puri. Air matanya menetes, membuat hatiku bergetar.

Puri memejamkan mata. Tubuhnya lemas dan ia kembali tak sadarkan diri.

"Hei..."

Aku mencoba menyadarkannya, tapi tak bisa. Ia terguncang berat, lagi. Ia butuh penanganan dokter. Tapi klinik sekolah sudah tutup, dan Dokter Kama juga masih bertugas di lapangan.

Aku menghela napas panjang. Kugendong Puri dalam pelukanku, dan aku membawanya dengan cepat dan aman menuju mobilku.

Aku mendudukkannya di kursi penumpang depan, memasangkan sabuk pengaman, dan dengan cepat masuk ke bangku kemudi. Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan untuk Randu.

Putrimu pingsan. Ia sepertinya tidak sehat seharian ini. Aku akan mengantarnya ke rumahmu dengan aman. Panggilkan dokter untuknya. Ia menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya begitu tiba di rumah.

Pesan balasan Randu muncul dalam hitungan detik.

Baik. Aku mengerti. Tolong pastikan Puri sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih.

Dalam waktu singkat, aku sampai di rumah Puri. Agen Pelindung yang berjaga langsung membuka pintu gerbang begitu mobilku muncul.

Aku memarkir mobilku persis di depan undakan teras. Kumatikan mesin, lalu berjalan keluar dengan cepat dan menggendong Puri yang masih tidak sadar menuju pintu rumahnya, yang sudah dibuka seorang wanita gemuk berwajah ramah, yang sepertinya adalah salah satu asisten rumah tangga.

"Kamu siapa? Puri kenapa?" wanita itu tampak kaget dan cemas.

"Aku Arya, teman sekelas Puri. Ia pingsan saat hendak pulang. Makanya aku mengantarnya," jelasku cepat. "Aku sudah menghubungi ayahnya dan memintanya memanggil dokter. Bisa tolong tunjukkan di mana kamar Puri? Aku harus membaringkannya di tempat tidurnya."

Wanita gemuk itu memanduku menaiki tangga dan memasuki kamar yang cukup luas, rapi, dan berperabot lengkap dengan warna-warni pastel lembut.

Aku membaringkan Puri dengan lembut di atas tempat tidur besar yang hangat dan empuk. Kulepas sepatu dan kaus kakinya. Kuselimuti tubuhnya.

Ia tampak seperti sedang tidur. Cantik dan damai.

Aku menghela napas panjang. Dia sudah aman sekarang.

Aku berpamitan pada wanita gemuk itu, lalu berjalan kembali ke mobilku. Di beranda depan, aku berpapasan dengan seorang dokter wanita cantik dengan kulit pucat, tubuh mungil, wajah bundar ramah, dan rambut ikal panjang.

Kulirik dokter itu sekilas. Pikiran dan hatinya tenang, seperti sedang bermeditasi. Aku tak merasakan intensi buruk atau aneh darinya. Seharusnya dia aman dan terpercaya. Lagipula, Randu yang sudah memanggilnya. Pasti Randu sudah mengenal dan memercayainya. Puri aman di rumah ini. Randu akan selalu melindunginya di sini, seperti yang sudah dilakukannya selama ini.

Aku masuk ke dalam mobilku dan meluncur cepat menuju Stasiun Ibukota.

Saat aku tiba, area sekitar stasiun sudah disterilkan dan dipasangi garis kuning. Beberapa Agen Pelindung bersenjata berjaga dan berseliweran. Pikiran mereka semua berkonsentrasi penuh pada metode pengamanan umum dan strategi penyelamatan. Orang-orang berkumpul dan kasak-kusuk di jalanan di balik garis. Pikiran-pikiran menghambur penuh spekulasi.

Suasana terasa menegangkan.

Aku maju dan mengacungkan arloji perakku. Salah satu Agen Pelindung yang berjaga dekat garis memindai arlojiku dengan arlojinya. Setelah mengonfirmasi identitas asliku, ia membolehkanku lewat.

"Bagaimana situasi terkini di dalam?" tanyaku pelan, sambil terus menyaring informasi melalui hantu-hantu pikiran yang melayang-layang merasuki benakku.

"Dua orang sudah dilumpuhkan dan ditangkap. Tinggal satu pelaku lagi. Ia memaksa masuk dan membajak kereta sambil menyandera seorang anak perempuan. Kami kesulitan mendekat karena ia memasang bom di tubuhnya sendiri dan anak itu, yang akan aktif dengan pemicu yang sama," jelas Agen bernama Bayu Tarum itu.

"Apa tuntutan pelaku?" tanyaku pelan.

"Ia minta bertemu Presiden," sahut Bayu singkat.

"Dia mau membunuh Presiden?"

"Sepertinya begitu."

Pemberontakan, pikirku. Ada yang merancang ini semua. Tetapi siapa?

Aku berlari masuk ke dalam Stasiun, yang hanya berisi Agen-Agen Pelindung yang sibuk berjaga dan berkomunikasi menggunakan arloji. Aku menemukan Dokter Kama bersandar di salah satu pilar, sibuk mengutak-atik arlojinya sendiri.

"Tidak ada yang berusaha mendekati pelaku?" tanyaku sambil menatap kereta yang sepi dan tertutup rapat di salah satu jalur. "Bagaimana dengan Tim Penjinak Bom? Mereka bisa memanipulasi bom dari jauh kan?"

"Bomnya jenis kuno dan manual. Tidak bisa diretas dengan gelombang khusus. Satu-satunya cara mematikannya adalah dengan memotong kabelnya," jawab Dokter Kama. "Mengapa kamu di sini? Bagaimana dengan Puri?"

"Dia sudah aman di rumah Randu," kataku sambil berpikir cepat. "Sudah coba menyerang pelaku dari belakang dan memingsankannya?"

Dokter Kama menggeleng. "Terlalu beresiko. Bomnya langsung meledak jika pemicunya tertekan, atau terkena benturan."

"Kalau begitu, ledakkan saja."

Dokter Kama mengerjap. "Apa?"

"Dia pengkhianat. Tidak masalah dia mati," kataku tenang. "Kita cuma perlu fokus membebaskan sanderanya saja."

"Bagaimana caranya?" Dokter Kama menatapku tajam.

"Gunakan aku untuk menukar sandera," kataku. "Aku keponakan Presiden. Bagi pelaku, aku lebih berharga daripada anak itu."

"Lalu? Bagaimana kamu akan membebaskan diri?"

Aku mengeluarkan pistol perak dari botku.

"Ini bukan pistol biasa. Ada alat anti sadap tercanggih menyatu di gagang pistol, dan juga alat yang bisa menciptakan bola perisai elektrik selama tiga menit. Perisai ini ampuh kalau hanya untuk melindungi diri dari bom receh seperti itu."

Dokter Kama menatapku terkejut. "Bagaimana kamu bisa punya alat semacam ini?"

"Aku menciptakannya sendiri."

Dokter Kama sesaat tak bisa berkata-kata.

"Kamu yakin ini efektif?"

"Seratus persen."

Dokter Kama menghela napas. "Aku harus memberitahu Randu dulu. Dia yang akan memutuskan."

Dokter Kama melepas earpods transparan dari telinga kirinya dan memberikannya padaku. Aku memasangnya di telinga kiriku. Dokter Kama menghubungi Randu dengan arlojinya, lalu bicara cepat menjelaskan rencanaku pada Randu.

"Kamu yakin alat itu efektif?" suara Randu yang terdengar tidak percaya menggema melalui earpods yang kugunakan.

Aku memutar bola mata.

"Menurutmu bagaimana aku bisa bertahan hidup setahun lebih bergerilya di Negeri Tanjung Agung?" kataku dingin. "Para prajurit Negeri Lembah Merah mulai menciptakan perisai yang sama setelah melihat punyaku. Aku yang pertama kali menciptakannya. Kalau kamu terus mengawasi pergerakan Negeri Lembah Merah, harusnya kamu tahu mereka punya senjata baru seperti ini, kan?"

Randu terdiam sesaat.

"Baik. Aku percaya padamu. Lakukan sesuai rencanamu. Aku akan memerintahkan evakuasi sekitar Stasiun. Kama, kamu harus langsung menyelamatkan anak itu begitu Arya menukar dirinya sebagai sandera. Berpindahlah sejauh mungkin dari sumber ledakan."

"Siap," kata Dokter Kama tenang.

Arlojiku bergetar. Pesan darurat evakuasi dari Randu muncul. Agen-Agen Pelindung di sekitar Stasiun membacanya dan segera mematuhinya.

"Jangan sampai terbunuh, Arya," aku mendengar suara Randu berkata tajam di telingaku. "Kamu masih harus terus hidup untuk melindungi putriku."

"Tentu saja," aku menyahut tenang sambil mengantongi pistol di saku celanaku. "Aku tidak akan mati semudah itu. Aku jamin."

Setelah Stasiun dan sekitarnya steril, aku dan Dokter Kama memasuki salah satu gerbong tempat si pelaku duduk mengenakan rompi bom sambil menahan seorang gadis kecil yang terus menangis di pangkuannya. Gadis kecil itu juga mengenakan rompi bom yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.

"Siapa kalian? Jangan macam-macam, atau kuledakkan anak ini!" ia mengacungkan detonator di tangannya. Pikirannya dipenuhi nafsu membunuh. "Mana Presiden?"

"Kamu ingin bertemu Presiden?" tanyaku tenang. "Kalau begitu, kamu bisa menahanku. Aku lebih berharga dari anak itu. Aku keponakan Presiden."

"Kamu keponakan Presiden? Apa buktinya?"

Aku mengacungkan kartu identitasku.

"Namaku Arya Balawa. Lihat, DNA-ku terkonfirmasi 25% sama dengan Presiden Dirah Mahalini. Aku satu-satunya keluarga yang dia miliki."

Si pelaku memicingkan mata.

"Hmm... sepertinya benar begitu. Kelihatannya kamu cuma pelajar biasa. Tapi kenapa kamu mau menawarkan diri sebagai sandera?"

"Ini perintah Presiden. Ia mau kamu membebaskan anak itu. Ia mau bertemu denganmu, tapi saat ini, ia masih berada di ujung negeri. Butuh waktu untuk sampai ke sini. Karena itu, agar kamu mau melepas anak itu dan percaya padanya, ia memintaku bertukar tempat dengan anak itu. Presiden tidak sejahat yang kamu kira, kamu tahu."

Aku mengucapkan semua kebohongan itu dengan sangat lancar dan meyakinkan.

"Tidak jahat? Jangan melawak!" pelaku itu mendengus. "Dia perempuan jahanam. Dia pantas mati."

Aku memandang si pelaku lurus. "Jadi kamu mau menukar anak itu denganku, kan? Lepaskan dia. Dia tidak bersalah."

"Baik. Tapi kalian jangan macam-macam. Atau kuledakkan bom ini untuk menghabisi kalian semua."

Aku maju dengan tenang. Si pelaku melepas rompi bom dari sanderanya dan mendorong gadis kecil itu menjauh dari pangkuannya. Gadis kecil itu terhuyung dan menangis. Dokter Kama dengan sigap menangkap dan menggendongnya.

Aku mengangguk. Dokter Kama menekan leher gadis kecil itu, membuatnya pingsan dalam pelukannya, lalu menghilang seperti hantu.

"Apa--" si pelaku terguncang.

Aku menyeringai. Aku menarik pistol dari saku celanaku dan mundur secepat mungkin, lalu menembakkan peluru tepat ke dahi si pelaku.

Ia tewas dan terjatuh.

Bom seketika meledak.

Aku mengaktifkan bola perisai elektrik yang langsung menyelubungiku begitu ledakan terjadi. Gerbong itu hancur. Aku bergeming dan tetap tenang saat pecahan material dan api berpusar bagai badai mengerikan di luar bola perisaiku.

Begitu pusaran mereda, aku mematikan perisaiku, lalu melangkah tenang di atas puing-puing yang hancur terbakar. Sepatu bot anti-api melindungi kakiku dengan baik. Aku tak terluka sedikit pun.

Agen-Agen Pelindung memasuki Stasiun. Mereka menatapku takjub dan bertepuk tangan.

"Kerja bagus, Agen Arya," aku mendengar Randu memuji dengan sungguh-sungguh di telingaku. "Misi selesai."

Aku melangkah keluar Stasiun dan melihat Dokter Kama bergegas menghampiriku. Ia mengamatiku dengan teliti, lalu menggeleng.

"Kamu luar biasa, Arya," gumamnya. Ekspresinya kagum. "Tidak heran Presiden sangat ingin kamu kembali ke negeri ini. Kamu masih sangat muda, tapi kemampuanmu luar biasa. Sepertinya benar yang dilihat Presiden, kamulah yang akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Kamu akan memenangkan perang di masa depan."

Aku tidak berkata apa-apa. Mendengar Dokter Kama menyebut-nyebut Presiden membuatku tidak senang. Dadaku rasanya ngilu, meski aku tidak mengalami cedera sama sekali.

Karena memang bukan fisikku yang terluka.

Aku masuk ke dalam mobilku, tetapi aku tidak kembali ke Istana. Aku berputar-putar di jalanan ibukota sampai malam, menyaring hantu-hantu pikiran, mencari sesuatu.

Kemudian aku memutuskan berhenti di salah satu kedai kecil di pinggir kota, yang aku tahu diam-diam menjual alkohol secara bebas untuk semua kalangan.

Aku membeli beberapa botol bir, karena mereka tidak punya anggur. Kutenggak botol-botol bir itu sambil duduk di atas kap depan mobilku, menatap kosong jalanan remang-remang yang semakin malam semakin dingin. Tubuhku hangat karena bir. Kepalaku semakin melayang.

Setidaknya, dadaku tak terasa ngilu lagi.

Pukul sebelas malam, aku masuk ke dalam mobil. Kepalaku melayang dan berputar. Aku cegukan.

Kunyalakan mesin mobil, kutekan tombol autopilot setelah menentukan destinasi Istana Negara di layar navigasi di dasbor tengah. Kuinjak pedal gas sekali. Mobil kemudian meluncur otomatis dan aman bahkan setelah kakiku tak lagi menyentuh pedal gas.

Kuatur kursiku hingga rebah. Aku merebahkan diri dan memejamkan mata. Kepalaku berputar perlahan. Hantu-hantu pikiran semakin sayup.

Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

❤️❤️❤️❤️👍👍👍

2024-04-17

1

Tanz>⁠.⁠<

Tanz>⁠.⁠<

butuh nafas buatan gak,kalo butuh ntar ku suruh monkey kasih kamu Nafas buatan /Smirk/

2024-04-13

1

Tanz>⁠.⁠<

Tanz>⁠.⁠<

heis.... ngeri pula kalo gitu, kasihan nya nasib mu Arya 🤣🤣

2024-04-13

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!