EVAKUASI

Aku bisa melihat kembali saat garis-garis cahaya kebiruan perlahan menyala di sepanjang dasbor, tepi jendela, pintu, dan atap dalam mobil, pertanda fitur keamanan darurat mobil telah aktif secara otomatis.

"Kamu tidak apa-apa?"

Yang pertama kali kupastikan adalah kondisi Kencana. Ia membungkuk di kursinya, lengannya terlipat ke atas untuk melindungi kepala.

Aku mengguncang pelan bahunya. Kencana menurunkan tangannya dan menegakkan punggungnya perlahan. Matanya membulat dan wajahnya sangat pucat.

Aku masih hidup...? pikirnya terguncang.

"Apa... apa yang terjadi, Arya?" Kencana memandang sekitar dengan nanar.

Ia tidak terluka sama sekali, untunglah.

"Ledakan," aku menyentuh layar di dasbor tengah hingga menyala kembali. "Mungkin bom..."

Indikator mobil menunjukkan semua berfungsi normal dan baik. Tentu saja, sebab mobil ini dirancang anti-peluru, anti-bom, anti-rudal, bahkan anti-nuklir. Ledakan aneh barusan tak berefek apapun, menggores sesenti permukaan mobil pun tidak. Namun kini puing bebatuan besar menimpa mobilku, menguburku dan Kencana hidup-hidup dalam kegelapan.

Aku membuka riwayat fitur pendeteksi mobil. Tak ada riwayat senjata, peledak, atau bom terdeteksi dari lingkungan sekitar mobil sejak kami masuk ke Lapangan Momentum Negara.

Jadi ada yang baru masuk dan membawa bomnya? Tetapi bagaimana?

Arlojiku bergetar. Pesan darurat seputar ledakan di Menara Putar pun beredar ke setiap Agen Pelindung dan Intelijen Negara.

"Ledakan di puncak Menara Putar. Jumlah korban belum diketahui. Pelaku dan jenis bom belum diketahui. Misi Penyelamatan diaktifkan. Tim Penyelamat, Lidah Katak Kilat. Agen Pelindung terdekat, Rajawali Siaga dan Terbang. 1-1-1."

Aku buru-buru merogoh ponsel di saku celanaku dan secepat kilat menelepon Randu.

"Halo?" Randu mengangkat teleponku dalam hitungan detik.

"Aku di puncak Menara Putar. Terjebak di reruntuhan. Izinkan aku melakukan proses evakuasi darurat sekarang juga," kataku cepat.

"Bagaimana kamu bisa ada di sana? Apa kamu baik-baik saja?" Randu terdengar kaget.

"Aku baik-baik saja. Aku sedang berjalan-jalan bersama temanku. Kami menaiki wahana Menara Putar dengan mobilku, lalu tiba-tiba terjadi ledakan. Aku mengecek riwayat fitur pendeteksi, tak ada riwayat bom terdeteksi. Sepertinya bom masuk ke puncak Menara setelah aku masuk," sahutku.

Sesaat Randu tak bersuara. Hanya terdengar suara tombol ditekan secepat kilat dan suara monitor berkedip di seberang telepon.

"Sampai saat ini tak ada riwayat bom terdeteksi juga dari sistem keamanan Menara maupun satelit," kata Randu dengan suara rendah. "Tapi melihat kerusakannya, ini pasti bom. Kamu berada di reruntuhan jalur, lima belas meter dari puncak Menara. Ada sekitar sepuluh mobil lain terjebak reruntuhan. Sekitar tiga orang tewas. Empat belas orang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan."

Arlojiku bergetar. Data terbaru dari hasil unduhan dan olahan pindai satelit itu masuk, lengkap dengan citra gambar puncak Menara yang hancur dan posisi sebelas mobil yang terpindai ada di dalam reruntuhan raksasa, termasuk aku.

"Izinkan aku melakukan evakuasi darurat," pintaku. "Aku akan membantu sebisaku."

"Diizinkan," jawab Randu. "Setelah selesai, segera kembali ke Istana. Temui aku di kantorku. Kita akan membahas kasus ini lebih lanjut dalam rapat darurat."

"Siap," aku menutup telepon, dan menyimpan ponselku kembali di kantong.

"Siapa itu tadi...?" tanya Kencana lemah. Ia masih terguncang dan ketakutan.

"Bosku. Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Dia sudah mengizinkanku melakukan proses evakuasi. Aku tahu ini mengguncangmu, tapi bisakah kamu sabar dulu dan menunggu? Setelah ini semua selesai, aku pasti mengantarmu pulang dengan selamat."

Aku mengambil tablet layar sentuh di dasbor tengah dan mengaktifkan fitur perisai elektrik. Bola perisai elektrik langsung muncul menyelubungi mobil dan reruntuhan di sekitarku.

"Jangan kaget," aku memperingatkan Kencana, lalu mengaktifkan fitur rudal, yang meluncur dari bagian bawah mobil dan meledakkan segala yang ada di dalam bola perisai.

Kencana menjerit dan menutup wajahnya. Sensasinya memang absurd dan mengerikan. Rudal itu menghancurkan reruntuhan bangunan dalam satu ledakan dan pusaran badai api mengerikan. Ledakannya mengguncang seisi mobil dengan dahsyat, namun karena mobil ini anti-rudal, permukaan mobil tak tergores sedikit pun, dan kami yang ada di dalamnya baik-baik saja.

Rudal yang kuluncurkan berhasil melebur puing-puing baja dan beton dalam perisai elektrik hingga menjadi serpihan dan tumpukan abu. Aku bisa kembali melihat potongan langit dan cahaya matahari di depan mataku.

Aku mematikan perisai elektrik begitu pusaran badai api mereda, lalu mengembalikan tablet kendali fitur mobil ke dasbor tengah. Serpihan dan abu kehancuran puing beterbangan absurd saat angin bertiup kencang di luar sana. Aku menekan tombol merah di samping kemudi, dan mode terbang aktif.

Mobil bergetar halus ketika sepasang sayap muncul di atas bemper roda. Kemudi di depanku terbenam masuk ke dalam dasbor yang terbuka, dan sebagai gantinya panel kendali terbang dan seperangkat alat navigasi udara muncul. Aku langsung menekan tombol aktivasi bahan bakar tenaga surya ke level maksimal, lalu menekan tombol aktivasi mesin pendorong, yang kali ini kupilih empat mesin pendorong bawah untuk aktif.

Ada dua jenis mesin pendorong di mode terbang mobil ini---mesin pendorong samping seperti pada pesawat terbang pada umumnya, dan mesin pendorong bawah seperti pada roket. Karena medanku kali ini adalah jalur dari menara yang hancur, aku tak bisa membuat mobil ini lepas landas seperti pesawat. Cara teraman adalah meluncurkannya ke atas seperti roket.

Setelah mesin pendorong menyala, aku mengecek indikator-indikator dengan teliti. Bahan bakar oke. Tekanan dan kekuatan mesin oke. Kondisi mobil oke. Radar oke. Fitur-fitur kendali oke.

Tangan kiriku mendorong sebuah tuas kecil ke atas, tangan kananku memegang tuas kemudi untuk mengendalikan arah mobil.

Mesin pendorong bawah menderu. Mobil terangkat dan melayang di udara. Kutarik tuas kemudi ke kanan, mobil pun terbang berputar menjauhi reruntuhan.

Kencana terkesiap di sebelahku. Bisa kulihat hantu pikirannya terguncang.

Aku mengendalikan mobil untuk terbang berputar-putar sejenak di puncak Menara. Tiga lantai teratas hancur. Puing-puingnya berserakan di jalur-jalur dan lantai yang masih utuh di bawahnya. Aku memutar tombol arloji di pergelangan tangan kiriku dan menayangkan hologram pindaian reruntuhan dan mobil-mobil yang terjebak. Dengan panduan hologram itu, aku mendekati titik tempat korban terperangkap.

Aku menekan tombol biru di bawah tombol merah di sisi panel navigasi dan kemudi mode terbang. Tombol biru itu adalah mode selam.

Panel kendali mode selam muncul di bawah panel kendali mode terbang, hadir dalam posisi horisontal, seperti meja kecil yang dipenuhi tombol dan tuas. Aku menekan tombol aktivasi khusus, kemudian mengaktifkan fitur sepasang capit besar yang muncul dari sisi-sisi kap depan mobil.

Capit-capit baja dengan fitur khusus itu bergerak-gerak saat aku mengatur tuas kendalinya dengan tangan kiriku. Aku berkonsentrasi penuh mendekati puing yang menimpa korban terdekat dari posisiku, lalu mengatur capit-capit itu agar mengapit salah satu puing besar. Kutekan tombol aktivasi daya gelombang elektromagnetik khusus, yang membuat capit-capit itu dengan mudah menggenggam dan mengangkat puing beton hangus setinggi satu meter.

Aku memindahkan puing itu dengan hati-hati ke sisi lantai menara yang masih utuh. Pekerjaan ini agak lambat karena harus dilakukan satu per satu dan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai puing-puing itu bergeser jatuh ke bawah Menara atau semakin menimbun korban.

Setelah lima belas menit, aku berhasil menyingkirkan semua puing yang menimpa sebuah mobil biru yang ringsek parah. Tepat di saat itu, Tim Penyelamat muncul di langit dengan pesawat-pesawat besar khusus yang peralatannya jauh lebih mumpuni dan bisa mengevakuasi dengan lebih cepat.

"Kerja bagus, Agen Arya. Sekarang biar kami yang melakukan evakuasi--tolong pergilah ke tempat yang aman," suara salah satu Agen dalam Tim Penyelamat menggema dari arlojiku, membuat Kencana terlonjak.

"Siap," aku menarik kembali alat capitku, menonaktifkan panel kendali mode selam hingga terbenam kembali ke dalam dasbor, lalu menerbangkan mobilku untuk menjauh dari Menara Putar.

Aku bisa melihat Agen-Agen Pelindung sudah bersiaga di setiap sudut Lapangan Momentum Negara yang sudah dipasang garis kuning dan disterilkan dari masyarakat umum. Mobil-mobil pemadam kebakaran dan Unit Darurat Penyembuhan sudah bersiaga di lapangan. Dari kejauhan aku bisa melihat dan mengenali sosok Dokter Kama dengan jas putih panjangnya bersiaga di salah satu mobil Penyembuhan, bersiap menangani korban luka yang sedang dievakuasi Tim Penyelamat di puncak Menara yang hancur.

Aku menatap reruntuhan itu. Jelas itu akibat ledakan bom. Jika tidak terdeteksi, maka itu berarti...

Napasku tertahan. Sesuatu mencengkeram jantungku, rasanya tidak nyaman. Kemarahan menjalari nadiku. Aku tahu penyebab ledakan itu, dan tahu siapa dalangnya.

Rasa bahagia dan hangat dalam dadaku tadi lenyap, digantikan dendam dan kebencian lama yang kembali membara.

"Sudah selesai...? Kita bisa pulang sekarang...?"

Kencana bertanya dengan suara gemetar. Aku tersentak. Sesaat lupa kalau Kencana masih di sini bersamaku.

"Ya... tapi aku mau berpatroli sebentar. Aku harus mengecek situasi sudah benar-benar aman di sini, baru aku akan mengantarmu pulang," sahutku pelan.

Kuterbangkan mobil lebih rendah dan berputar di sekitar lapangan. Kutelusuri area sekitar dengan tatapan setajam elang. Tak ada yang aneh dan mencurigakan.

Setelah lima belas menit berputar-putar, aku memutuskan mendarat kembali di jalanan kosong dekat lapangan. Kunonaktifkan mode terbang mobilku, dan ketika kemudi bundar kembali muncul, aku langsung tancap gas menuju ruko tempat Kencana tinggal.

"Kamu baik-baik saja?" aku menanyai Kencana saat sudah memarkir mobilku dengan mulus di depan rukonya yang ramai pengunjung.

Jelas tidak. Wajah Kencana pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Pikirannya terus memutar ingatan ledakan yang mengerikan, dan ketakutan mencengkeram batinnya.

Aku mendesah. Kutingkatkan gas penenang di pengatur suhu dan udara mobilku hingga skala menengah.

Sekitar lima menit kemudian, Kencana kembali tenang. Gas penenang juga membuat emosi yang membakar dadaku kini meredup nyaris lenyap. Kami sejenak tenggelam dalam keheningan kata maupun pikiran.

"Maaf kamu jadi mengalami semua itu tadi," kuputuskan untuk memulai pembicaraan lebih dulu. "Aku tidak menduga akan ada serangan seperti itu saat kita di sana..."

Kencana menghela napas panjang. "Bukan salahmu, Arya... tapi kurasa, ini artinya, kita harus semakin cepat bergerak untuk mengungkap kebenaran. Kematian ayahku... dan ledakan tadi... aku merasa itu ada hubungannya."

Aku mengangguk. "Ya, kamu benar. Karena itu, mumpung di sini, aku boleh meminjam semua berkas tentang ayahmu? Aku perlu memeriksanya dengan detail. Oh ya, apa ayahmu menggunakan ponsel atau komputer juga? Kalau iya, apakah barangnya masih ada? Bisakah aku meminjamnya juga?"

"Ya... bisa. Tunggu di sini."

Kencana keluar dari mobil dan masuk ke dalam ruko. Ia berjalan cepat di antara kerumunan, menyelinap ke belakang meja kasir dan menaiki tangga menuju lantai dua.

Aku mengamati kedai kopi dengan interior hangat, sederhana, serba putih dan cokelat itu dipenuhi pengunjung yang memesan kopi dan roti. Aku mengenali sosok seorang wanita kurus berwajah ramah melayani dengan sabar di balik meja kasir. Bisa kurasakan kesedihan masih menjalari hatinya meski ia terus tersenyum sambil memberikan gelas kopi dan uang kembalian.

Wanita itu adalah ibu Kencana Wungu. Aku pernah melihatnya dalam benak Kencana saat kami berjumpa semalam.

Sekitar lima belas menit kemudian, Kencana muncul dari tangga di belakang meja kasir, lalu mengajak bicara ibunya. Aku mengerahkan kekuatanku untuk menjangkau hantu pikiran keduanya.

"...apa maksud Ibu, ada Agen Pelindung kemari dan mengambil semuanya?" Kencana ternganga.

"Ya, Nak... dia datang kemarin malam, saat kamu pergi keluar mencari udara segar. Ia mengambil semua barang-barang peninggalan ayahmu. Katanya itu penting untuk penyelidikan."

Kencana masuk kembali ke dalam mobilku, raut wajahnya betul-betul sedih dan marah.

"Maaf, Arya, aku tidak bisa memberikan apa-apa padamu..."

Ia menceritakan segala yang kusaksikan dengan kekuatanku tadi. Aku diam saja sambil memandangnya datar.

"Tidak apa-apa. Bukan salahmu," kataku pelan.

"Lantas apa yang bisa kita lakukan? Apa kamu akan menghentikan penyelidikan karena tidak punya cukup bukti?"

Guratan emosi Kencana perlahan memudar dan ekspresinya menjadi datar setelah kembali menghirup gas penenang.

"Tentu tidak," sahutku tenang. "Kamu jangan khawatir. Aku punya metodeku sendiri. Kasus ini pasti terungkap."

Kencana mengerjap.

"Apa aku boleh membantu?"

Aku menggeleng.

"Tidak. Kasus ini berbahaya, dan kamu bukan Agen Pelindung atau Agen Intelijen yang mumpuni. Kamu lihat sendiri betapa mengerikannya serangan tadi. Kamu bisa terluka bahkan terbunuh kalau terlibat kasus ini. Jadi jangan ikut campur lebih jauh lagi."

"Tapi--"

"Pulanglah. Aku harus segera menemui bosku. Urusan kita selesai sampai di sini."

Tatapan Kencana hampa. Batinnya ingin mengekspresikan jerit kecewa, tapi gas penenang telah membuatnya sejenak mati rasa.

Aku menekan tombol kecil di sisi pintuku sendiri, dan pintu mobil di sisi Kencana terbuka otomatis. Kencana tak punya pilihan selain melangkah keluar dan masuk ke dalam ruko. Wajahnya tertunduk.

Setelah menutup kembali pintu dengan tombol, aku meluncur cepat menuju Istana Negara.

Usai parkir di garasi dan mematikan mesin mobil, aku mengambil tabletku dan mengakses server internal Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Aku mencari data Agen yang menangani kasus penyerangan acak ini, dan menemukannya.

Bayu Tarum.

Aku ingat dia Agen yang kutemui saat penyerangan di Stasiun Ibukota dan memberi informasi padaku. Ia masih muda, gagah dan tampan dengan rahang tegas, mata kecil tajam, dan rambut pendek cepak. Usianya dua puluh dua tahun, namun sangat cakap dan sudah berhasil menyelesaikan banyak misi sejak menjadi Agen tiga tahun lalu. Ia diangkat Randu sebagai Agen Pelindung Elit sejak setahun lalu, dan ia juga ditunjuk sebagai penanggung jawab utama untuk pemecahan kasus ini sejak kasus penyerangan pertama mencuat sebulan lalu.

Laporan yang diunggahnya ke server tidak menunjukkan banyak perkembangan berarti. Kesimpulan sementaranya adalah pelaku kriminal meningkat dan menjadi gila karena tidak tahan menghadapi kerasnya hidup sehingga berani berbuat nekat.

Aku mendecak kesal. Jika orang ini bisa mengumpulkan barang bukti sebanyak itu, bagaimana dia bisa membuat laporan sepayah ini?

Tapi Randu memercayainya dan menerima laporannya. Ada yang ganjil di sini. Apa mereka sengaja mengunggah laporan seperti ini? Jika iya, maka ada sesuatu yang ditutupi di sini... ada yang dirahasiakan bahkan di kalangan Agen Pelindung dan Intelijen Negara...

Sepertinya, aku tahu persis alasannya.

Ponselku tiba-tiba bergetar. Randu menelepon.

"Kamu di mana?" tanyanya tanpa basa-basi setelah aku mengangkat panggilannya.

"Aku sudah di beranda depan Istana. Aku akan segera sampai di kantor Anda."

"Bagus. Cepatlah," kata Randu, nada suaranya tak sabar. "Rapat darurat akan segera dimulai."

...***...

Terpopuler

Comments

Kasadasa

Kasadasa

Tesla aja kalah canggih ini mah 😭

2024-04-22

0

Kasadasa

Kasadasa

Nggak sekalian anti-korupsi?

2024-04-22

0

Suryavajra

Suryavajra

kalau ketauan Elom Musk, teknologi ini akan dia beli 🤭🤭🤭

2024-04-05

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!