NovelToon NovelToon

THE KNIGHT

MISI MULIA

Pukul tiga pagi, alarm digital berbunyi lirih di meja sebelah tempat tidurku. Mataku langsung terbuka lebar. Aku melompat bangun dan terjaga sepenuhnya, jemariku dengan gesit menyentuh sensor jam hingga deringnya berhenti seketika.

Tak ada sisa kantuk sama sekali di kepalaku. Meski aku hanya tidur selama tiga jam, tapi itu sudah lebih dari cukup buatku. Aku pernah tidak tidur berhari-hari di situasi yang menjadi mimpi buruk banyak orang. Aku bisa bertahan saat itu. Maka dari itu, tidur selama tiga jam di atas ranjang empuk dan kamar hangat seperti yang kulakukan sekarang adalah suatu kemewahan yang sangat mudah kulakukan.

Mataku yang tajam memandang sekitar dengan waspada. Tentu saja ini konyol--tidak ada yang mencurigakan atau membahayakan sama sekali di kamar yang luas dengan perabotan kayu berukir dan lampu tidur bergagang emas. Hanya ada aku di kamar ini. Seragam sekolah baruku menggantung rapi di pintu lemari kayu jati besar di sisi dinding barat. Tabletku tergeletak di ujung tempat tidur usai kulempar semalam sebelum kuputuskan memejamkan mata.

Materi pelajaran satu semester sekolah tinggi yang kupelajari semalam benar-benar membosankan. Aku sudah hafal dan mengerti semua isinya dalam waktu singkat, dan aku sama sekali tak melihat teori-teori itu akan berguna di kehidupan nyata, kecuali teori dasar Ilmu Penyembuhan, yang isinya sudah kukuasai sejak sepuluh tahun lalu saat aku belajar di tingkat pertama Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi.

Ini bukan pertama kalinya aku sekolah. Aku sudah lulus empat tahun lalu, mendapat gelar lulusan termuda dan terbaik dari sistem pendidikan dan pelatihan keras khas Akademi Militer. Saat itu, aku merasa prestasi seperti itu biasa saja, hambar dan tak ada artinya. Itu hanyalah angka di atas kertas, meski semua ilmu yang kupelajari sedikit berguna setelah aku lulus.

Ya, hanya sedikit. Setelah merasakan hidup bertahun-tahun dalam pertempuran antara hidup dan mati di tanah dingin dan asing sepertiku, kau juga pasti akan yakin bahwa hampir semua teori yang diajarkan di papan tulis adalah dongeng pembodohan, dan praktek pertarungan hanyalah permainan anak kecil yang merasa sudah menaklukkan dunia padahal ia baru bisa menendang bokong lawan hingga terjungkal keluar arena.

Jika Akademi Militer saja sekonyol dan setidak berguna itu, apalagi ini, sekolah tinggi yang isinya kebanyakan remaja-remaja yang masih tidak tahu mau menentukan tujuan hidupnya seperti apa. Mereka hanya sibuk menggosip, mencari pacar, mengebut di jalan, dan gerilya mereka adalah mencuri kesempatan yang bisa mereka dapat untuk melakukan semua hal yang dilarang norma dan hukum negara karena belum genap usia--rokok, alkohol, seks.

Dan mulai hari ini, aku harus menghabiskan hidupku di situasi seperti itu.

Aku menghela napas panjang. Aku paham betul hidup tidak pernah menawarkan kepastian. Aku sudah terbiasa dengan segala ketidakpastian dan peristiwa-peristiwa dramatis yang bisa menghantam kesadaranku sewaktu-waktu. Berkali-kali berada di batas tipis hidup dan mati barangkali sudah membekukan jiwaku. Aku sudah jarang merasakan perasaan apapun sejak bertahun-tahun lalu.

Tapi sekarang aku mulai merasa sedikit jengkel. Perubahan kali ini tidak bisa dibilang dramatis--meski tentu saja cukup drastis. Bagaimana tidak? Seminggu lalu aku masih bertaruh nyawa memburu musuh, berlari di antara ledakan bom dan desingan peluru, bahkan hampir mati dikepung senjata, namun sekarang aku menghabiskan waktuku dengan duduk di ruangan hangat sambil membaca materi sekolah yang tak ada gunanya, sesekali berolahraga, menembak papan sasaran, dan kalau bosan hanya bisa keliling kota yang setiap jalanan dan persimpangannya langsung kuingat hanya dengan sekali melintas.

Kalau saja aku tidak ingat apa tujuanku sebenarnya berada di Istana Negeri Laut Pasir, mungkin sejak kemarin aku sudah terbang meninggalkan negara ini. Mungkin aku akan kembali ke Negeri Bukit Tinggi. Meski aku tak punya siapa-siapa di sana, tapi setidaknya atmosfer dan daratannya lebih menyenangkan buatku. Lebih hijau, segar, asri. Sejak kecil aku terbiasa hidup di lingkungan seperti itu. Dan sekarang aku harus beradaptasi tinggal di lingkungan kering dan panas menyengat hampir sepanjang waktu.

Tak ada aroma hujan, rumput, kayu-kayu segar yang sangat kusukai.

Aku bahkan terpaksa terus menyemprotkan parfum wangi hutan basah ke tubuh dan udara sekitarku agar aku bisa merasa sedikit rileks. Aroma gurun tandus tak pernah bisa menawarkan perasaan nyaman dan menenangkan seperti rumah. Dan aku butuh sedikit merasa tenang daripada lama-lama aku sinting karena bosan dan diliputi gelisah yang memuncak, sebab energi dan daya juangku yang biasanya meluber di medan perang, kini tak punya tempat yang cukup memadai untuk dialirkan secara benar.

Aku membayangkan kabur ke Negeri Bukit Tinggi, menghabiskan beberapa waktu dengan damai sambil menyusun strategi dan senjata. Aku tidak berniat tinggal di surga selamanya. Aku memutuskan kembali ke neraka pertempuran. Aku akan kembali dan menyusup ke utara. Ke Negeri Lembah Merah. Aku akan mencari cara untuk mendekati kepala musuh dan memenggalnya. Aku perlu membalaskan dendamku. Setelah itu, aku bisa mati dengan tenang..

Tapi itu tidak akan terjadi sekarang.

Aku membuka lemari dan menarik sehelai kaos olahraga hitam tanpa lengan. Setelah berganti pakaian, aku melenggang meninggalkan kamar menuju gym dan arena menembak di halaman belakang Istana, tak jauh dari paviliun tempat kamarku berada.

Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk berolahraga, setengah jam untuk berlatih bela diri, setengah jam untuk menembak.

Latihan-latihan ini bisa kulakukan sambil memejamkan mata. Meski mudah, aku tak boleh melewatkannya sehari pun. Otot dan otakku tak boleh lengah dan lupa setiap gerakan yang diperlukan untuk tetap sigap dan waspada.

Walau sekarang sedang tidak bertempur, aku memiliki misi untuk melindungi seseorang. Sesuatu tak terduga bisa saja terjadi saat aku menjalankan misiku. Aku tak boleh mengendurkan standar dan kemampuanku dalam bertarung. Aku harus bisa memenangkan setiap pertempuran yang terjadi. Sebab pilihannya hanya ada dua, menang atau mati.

Selalu seperti itu.

Saat fajar menjelang, aku sudah menyelesaikan latihanku dan duduk di beranda paviliun sambil menyeruput susu hangat dan menyantap berbutir-butir telur rebus. Aku fokus kembali pada tabletku. Kuakses server khusus dan rahasia milik Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Kupelajari unggahan terbaru mengenai data dan laporan terkini pergerakan musuh yang dihimpun Pasukan Intelijen. Tak ada yang mencurigakan atau berarti. Kupelajari data dan laporan harian markas keamanan. Semuanya aman.

Namun aku melihat ada satu laporan yang dikirim dari kantor pusat Kepolisian Negara, yang menurutku sedikit aneh. Jumlah kriminalitas seperti perampokan dan perusakan sebulan terakhir sedikit meningkat. Dan para pelaku yang tertangkap bertingkah seperti orang gila hingga agak sulit dikendalikan. Kepolisian Negara sampai melibatkan Pusat Penyembuhan dan Rehabilitasi Mental terdekat untuk menangani pelaku yang diduga mengidap gangguan kejiwaan.

Aku mengerutkan alis. Orang-orang mengidap gangguan jiwa dan berbuat onar di saat yang sama? Apakah ini adalah bentuk kesengajaan? Siapa yang sengaja menimbulkan kekacauan seperti ini?

Kasus ini menggelitikku. Tapi aku tidak boleh mengurusnya. Kasus itu sudah ditangani Agen lain. Selain itu aku punya misiku sendiri. Perintah itu langsung diturunkan oleh Presiden sejak aku bergabung menjadi Agen Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir lima hari lalu.

Aku harus melindungi seorang gadis bernama Puri Agung. Ia adalah putri Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negeri Laut Pasir, yang karena dirinyalah, mulai hari ini aku harus mengenakan seragam sekolah dan menjadi murid di sekolah tinggi yang sangat membosankan.

Aku menghela napas dan membuka kembali data dan informasi yang menjadi pekerjaan utamaku. Data terbuka begitu jariku mengetuknya, menampilkan foto seorang gadis sangat cantik bermata hitam lembut dengan rambut lurus tebal panjang dan berwarna hitam. Raut wajahnya polos dan bibir tipisnya tersenyum hangat ke arahku.

Saat melihat foto itu, aku tak bisa mencegah ingatan ketika aku pertama kali melihatnya dalam benak Dirah Mahalini, Presiden Negeri Laut Pasir.

Dirah memperlihatkan padaku kilasan gadis ini tersenyum dan memelukku hangat. Aku juga melihat kilasan saat ia menangis disergap musuh, dan aku melihat diriku mati-matian bertarung untuk melindunginya dari ancaman kematian.

"Gadis ini akan menjadi takdirmu, Arya. Seperti halnya kamu yang bisa membaca pikiran, dan aku yang bisa melihat masa depan, ia juga memiliki kekuatan magis yang tak kalah hebat--ia bisa melihat masa lalu dan segala kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran adalah kekuatan. Siapapun yang menggenggam kebenaran lawan, maka ia akan mengetahui semua kekuatan dan kelemahannya, dan itu akan membantu memenangkan perang. Gadis ini adalah kunci kemenangan perang yang akan kita hadapi di masa depan. Jika kita bisa melindunginya dan mempertahankannya, kita menang. Tapi jika dia sampai jatuh ke tangan musuh... kita akan kalah dan musnah."

Aku menghela napas lagi. Tentu cerita seperti itu terkesan tidak masuk akal. Tetapi faktanya, aku memang bisa membaca pikiran, dan aku cukup terkejut saat pertama kali bertemu Dirah dan mengetahui bahwa ia bisa melihat masa depan.

Aku bisa membaca pikiran sejak aku masih sangat kecil. Suara-suara di kepala, perasaan, hingga terkadang apa yang tertangkap mata manusia di sekitarku saat itu mengalir deras memasuki benakku. Aku seperti dirasuki jutaan hantu setiap harinya, yang memaksaku untuk melihat, mendengar, berpikir, dan merasa di posisi mereka. Tapi didikan keras ala militer yang kuterima sejak kecil tidak membuatku goyah atau takut menghadapi hantu-hantu itu. Seperti halnya bergulat dengan musuh, aku bisa bergulat dan menghalau hantu-hantu itu dengan mudah.

Aku tahu pikiranku adalah milikku sendiri, dan hantu-hantu itu seperti rakyat yang ingin masuk dan hidup di kerajaanku. Sebagai raja, aku yang memerintah, mengatur, dan menguasai mereka.

Aku bisa menentukan dengan mudah mana pikiran yang mau kubaca sepenuhnya, setengahnya, atau tidak sama sekali.

Menjangkau pikiran seseorang, dan mengusir kilasan pikiran seseorang dalam benakku, sama mudahnya dengan menembak dan menghindari peluru buatku.

Tetapi bagiku, sejauh ini, hantu-hantu pikiran itu justru terbukti sangat mempermudah hidupku.

Aku hampir tak pernah kalah bertarung, karena aku selalu mengetahui pikiran lawanku, gerakan apa yang akan diambilnya, suasana hati dan sudut pandangnya, sehingga aku bisa menentukan langkah yang tepat untuk mengantisipasi dan menaklukannya.

Aku hampir tak pernah tertembak di medan perang, karena aku selalu tahu kapan dan dari mana arah datangnya peluru.

Aku hanya akan terluka dan mampus jika aku kalah cepat dan kalah jumlah.

Sejauh ini, aku baru sekali dikepung pasukan dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap. Hal itu terjadi seminggu lalu, dan kukira itu adalah pertempuran terakhirku di medan perang yang menjadi hidupku selama hampir dua tahun.

Aku sudah bersiap mati dalam ledakan bom, saat tiba-tiba sosok misterius muncul dan memingsankanku, lalu membawaku bertemu Dirah di Negeri Bukit Tinggi dalam sekejap mata.

Sosok itu Agen Pelindung Negeri Laut Pasir, sekaligus seorang dokter, bernama Kama. Ia juga memiliki kekuatan yang tidak biasa--ia bisa bergerak dan berpindah secepat kilat. Dialah yang diperintahkan Dirah untuk menjemputku dari medan perang dan menyelamatkanku dari maut. Dirah memanggilku, membutuhkanku, karena aku ada dalam visinya, dan aku adalah keponakan jauhnya.

Aku yatim piatu sejak kecil. Aku diangkat anak dan dibesarkan oleh Kepala Akademi Militer Negeri Bukit Tinggi bernama Galang Bintang. Didikan kerasnyalah yang membentuk sifatku menjadi kuat dan setangguh sekarang. Ia meninggal saat usiaku tiga belas tahun.

Dua tahun sebelum meninggal, Galang memberitahuku bahwa Dirah Mahalini yang saat itu kulihat di televisi tengah dilantik menjadi Presiden Negeri Laut Pasir adalah bibiku, dan ibuku adalah sepupu jauhnya yang meninggal tak lama setelah melahirkanku.

"Jika dia bibiku, kenapa dia tak merawatku? Kenapa aku tidak tinggal di Negeri Laut Pasir? Siapa ayahku?" tanyaku tajam.

Galang menjelaskan bahwa sebelum menjadi Presiden, Dirah adalah Agen Pelindung yang memiliki resiko pekerjaan tinggi. Selain itu, aku lahir saat situasi Negeri Laut Pasir tidak kondusif dan terjadi banyak pertumpahan darah selama bertahun-tahun. Karena itu, Dirah sebagai satu-satunya keluargaku, menitipkanku pada Galang dan aku pun tumbuh besar sebagai anak militer Negeri Bukit Tinggi.

Tak ada yang tahu siapa ayahku.

Ketika aku bertemu Dirah seminggu lalu, mendengar semua penjelasan dan permintaannya agar aku pulang bersamanya dan menjadi Agen Pelindung Negeri Laut Pasir, membuatku tidak senang. Aku sempat menolaknya. Sampai ia menunjukkan visinya tentang gadis yang bisa melihat masa lalu itu.

"Gadis ini punya peran penting untuk menyelamatkan kita semua dari kehancuran. Ia butuh ksatria sepertimu untuk melindunginya dan menjaganya tetap hidup. Kamu sudah tahu sendiri sekeji apa Negeri Lembah Merah dalam menghancurkan satu negeri. Mereka tidak akan berhenti. Menurutmu, apa yang akan terjadi pada gadis ini jika kekuatannya sampai diketahui musuh? Apa kamu tega melihatnya disiksa dan mati, dan satu negeri kembali hancur di bawah kaki Negeri Lembah Merah? Itukah yang kauinginkan, Arya?"

Aku melihat banyak visi dalam benak Dirah, salah satunya perang besar antara Negeri Laut Pasir dan Negeri Lembah Merah di masa depan. Visi aku dan gadis itu saling jatuh cinta. Visi aku menjalani hidupku sebagai Agen Pelindung di Negeri Laut Pasir, dan menua di negeri ini.

Jujur saja aku tak bisa memercayai seluruh visinya, kecuali mengenai perang itu, yang memang paling masuk akal. Aku teringat semua yang kualami saat bertempur melawan Negeri Lembah Merah, dendamku yang membara setelah menyaksikan kekejian mereka membunuh jutaan manusia tak berdosa hanya demi menaklukkan Negeri Tanjung Agung, membuatku akhirnya setuju ikut kembali ke Negeri Laut Pasir.

"Untuk memuluskan langkah kita, aku akan menjodohkan Puri denganmu," jelas Dirah saat aku setuju mengikutinya dan menjadi Agen Pelindung di negerinya. "Dengan begitu, kamu akan punya alasan untuk selalu berada di sisinya. Itu akan lebih memudahkan misimu daripada sekadar menjadi teman sekelas atau pengawal pribadinya. Selain itu, kalian memang ditakdirkan bersama. Aku melihatnya. Sekarang kamu mungkin tidak akan percaya, tapi seiring berjalannya waktu, kamu akan tahu."

Tentu saja aku tidak percaya. Tapi di sinilah aku. Menjalani hari pertamaku sebagai Agen Pelindung dengan misi melindungi gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki kekuatan melihat masa lalu, menggenggam kebenaran. Melindunginya demi mencegah kehancuran dunia.

Seharusnya, ini akan menjadi misi yang mulia dan tidak membosankan.

...***...

PERTEMUAN PERTAMA

Aku menggulir layar tablet dan membaca semua informasi mengenai Puri Agung, yang sebetulnya sudah kubaca puluhan kali dan aku hafal setiap detilnya. Dia putri Randu Agung, Kepala Pasukan Pelindung dan Intelijen Negara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya bernama Sagara Agung. Catatan hukum dan perbuatannya bersih. Ia tidak menonjol dalam prestasi apapun, tetapi nilai-nilai akademisnya sempurna.

Sepintas, dia adalah gadis cerdas yang tidak pernah membuat masalah.

Selama empat hari ini, aku mencoba mengumpulkan informasi lebih banyak seputar dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Penyelidikanku dimulai dari ayahnya, Randu Agung.

Dirah mempertemukanku dengan Randu begitu kami tiba di Istana Negeri Laut Pasir. Randu laki-laki yang dingin dan memancarkan kekuatan.

Saat melihat isi pikirannya, aku tahu ia memiliki kemampuan istimewa juga--ia bisa melihat menembus segalanya. Ia jenius dan tangan dinginnya mampu menciptakan berbagai terobosan teknologi luar biasa di bidang militer.

Itulah sebabnya kekuatan militer Negeri Laut Pasir semakin besar dan kuat sejak dipimpin langsung olehnya. Ia tangan kanan yang paling dipercaya Dirah untuk membantunya mengurus negeri tandus ini.

Atas rekomendasi Dirah, di hari itu juga aku dilantik menjadi Agen Pelindung dan diberi semua fasilitas terbaik mulai dari mobil hingga senjata dengan teknologi tercanggih. Randu juga sudah tahu Dirah akan menjodohkanku dengan putrinya, dan salah satu misiku adalah melindunginya.

Randu menerima semua itu dengan datar dan tanpa komentar. Pikirannya bahkan seperti tidak peduli. Ia lebih fokus mengawasi pergerakan musuh setelah ia mendapat informasi bahwa Negeri Lembah Merah berusaha menyusup dan menghancurkan Negeri Laut Pasir dari dalam.

Randu tipikal orangtua yang lebih suka mengurus pekerjaannya daripada anaknya yang masih remaja. Ia tidak dekat dengan Puri. Aku tidak bisa mendapat informasi apa-apa seputar Puri darinya, kecuali kesimpulan pribadi bahwa Puri mungkin saja mendapat kekuatan magis seperti itu karena Randu juga memilikinya.

Penyelidikanku beralih ke Sagara Agung. Sosok Saga mirip Randu. Jangkung, tegap, tampan dengan garis rahang tegas, mata tajam, dan rambut keriting. Ia seperti Randu versi remaja, namun kelakuannya sama sekali tidak mirip ayahnya. Setelah kuamati, ia ternyata jarang berada di rumah dan lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong di luar atau menginap di rumah teman-temannya.

Melihat tingkah Saga membuatku memutar bola mata--selera humornya receh, sikapnya kekanakan, dan ia tak punya pikiran selain bersenang-senang khas remaja yang tidak tahu apa tujuan hidupnya, dan tidak mau mencari tahu. Ia sering berulah dan malas belajar. Ia kadang berkelahi di sekolah dan di jalanan. Ia sudah dua kali tidak naik kelas.

Sangat kontras dengan adiknya yang rajin, cerdas, dan tidak pernah membuat masalah.

Aku memutuskan tak lagi menyelidiki Saga secara diam-diam, namun saat aku hendak pergi meninggalkan kafe tempatnya sedang nongkrong bersama gengnya, aku melihat isi benaknya yang berencana melanjutkan agenda rahasianya untuk meretas satelit negara malam itu.

Aku mengerutkan alis.

Malam itu aku nyaris tidak tidur. Aku duduk di kamarku, memantau tabletku yang sudah terkoneksi secara legal dengan satelit negara atas izin Dirah dan Randu, karena aku terdaftar sebagai salah satu Agen Pelindung Elit sejak hari pertama menginjakkan kaki di Negeri Laut Pasir.

Dan aku melihatnya--ada yang mengunduh komunikasi rahasia antara Presiden dan Randu, melalui komputer di rumah Randu... padahal malam itu, Randu sedang menginap di kantornya.

Jadi Saga meretas komputer ayahnya sendiri, yang tentunya memiliki sistem keamanan terbaik di seluruh negeri.

Aku pun melaporkan temuanku lewat pesan pribadi ke Randu malam itu, lalu mengabaikan sepenuhnya apa yang terjadi selanjutnya. Urusan mereka bukan urusanku, meski aku tak menduga, ternyata Saga mewarisi kejeniusan teknologi dari Randu, seperti halnya Puri mewarisi kekuatan magis dari Randu.

Selama tiga hari terakhir, aku berusaha menyelidiki Puri secara diam-diam. Aku membuntutinya hampir sepanjang hari--yang ternyata kegiatannya hanya pergi ke sekolah dan berdiam diri di rumah.

Aku menatapnya dari jauh saat ia berjalan kaki berangkat sekolah di pagi hari. Ia selalu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tak jarang ia ditemani sahabatnya yang bernama Laras, gadis berparas manis dengan rambut ikal yang selalu dikuncir, wajah kecil, dan mata besar ramah.

Kuamati sepanjang jalan Laras yang banyak bicara, sementara Puri tersenyum dan mendengarkan, tampak tulus dan tidak keberatan sama sekali.

Aku berkonsentrasi penuh untuk menjangkau pikirannya dari jauh. Benaknya riuh dengan kilasan masa lalu dunia. Ia tampak sangat tenang dan pandai mengatur fokus untuk tidak mudah terdistraksi jutaan kilasan itu. Ia memilah dan memilih kenangan mana yang relevan dan ingin dilihatnya, tapi ia tidak menutup atau mengusir kilasan lainnya seperti aku berkuasa mengusir pikiran-pikiran orang lain yang mencoba menghantuiku. Ia membiarkan semuanya mengalir.

Puri tidak banyak bicara. Temannya di sekolah hanya Laras, yang ternyata juga memiliki kekuatan bisa mendengarkan apa saja tanpa batas. Puri bisa mengetahui kemampuan temannya dan ayahnya dengan kekuatannya, namun tak ada satu pun yang mengetahui kemampuannya--kecuali Dirah dan aku.

Dirah benar. Puri bisa melihat semua masa lalu dan kebenaran. Ia juga merahasiakan kekuatannya dari siapapun, bahkan dari ayahnya sendiri. Ia sepertinya tidak sadar bahwa kekuatannya sangat menakjubkan dan bisa membuatnya dalam bahaya jika sampai diketahui musuh.

Sepulang sekolah, ia betul-betul hanya berdiam diri di rumah. Aku memarkir mobilku di seberang rumahnya, mengawasi pikirannya sampai larut malam. Di rumah ia hanya mengerjakan tugas, menonton film, membaca buku, mendengarkan musik, bermeditasi. Kegiatannya datar dan membosankan.

Tak heran aku merasakan hatinya sering diliputi kesepian. Ia juga masih merasa sedih dan rindu setiap kali mengingat ibunya yang meninggal enam tahun lalu karena kanker darah.

Aku menutup tabletku dan juga ingatanku beberapa hari terakhir. Untuk saat ini, misi melindunginya tampaknya tidak sulit. Ia gadis rumahan yang tertutup. Aku hanya perlu melindunginya selama dia berada di luar rumah--ia akan aman selama berada di rumah ayahnya yang dipasang sistem keamanan tingkat tinggi dan dijaga Agen Pelindung selama dua puluh empat jam. Dan kegiatannya di luar rumah ternyata hanya berpusat di sekolah yang jaraknya sepuluh menit dari rumah.

Bagaimana seseorang bisa tahan punya kehidupan datar dan sangat membosankan seperti itu?

Aku menghabiskan sisa susu di gelasku yang sudah dingin. Aku kira diriku yang paling tegar dan tangguh karena selalu berhasil bertahan dari pertempuran sekeras apapun. Kalau aku jadi dia, aku pasti tak sanggup hidup lagi. Hidup tanpa arti sama saja dengan mati buatku.

"Roti lapis daging panggang Anda, Tuan Arya," Kepala Pelayan Istana Negara, lelaki pendek dengan tubuh berisi dan wajah bundar putih bersih, Mada Brata, mengantarkan sarapan utama yang kupesan melalui tablet beberapa menit lalu. "Dan jus jeruk. Tuan Arya butuh lainnya lagi?"

"Tidak, terima kasih," jawabku singkat, sambil menggigit roti. Rasanya enak.

Mada membereskan gelas susu dan piring saji telur rebusku yang sudah licin. Aku bisa mendengar pikirannya tentangku.

Masih muda, tapi luar biasa tampan... dan lihat otot-otot itu... dia menarik sekali!

Aku nyaris memutar bola mataku. Aku mengusir hantu pikiran Mada dari benakku dan menghabiskan sarapanku sambil termenung memandang pekarangan berumput rapi.

Seminggu lalu, hidupku tidak senyaman ini. Makananku adalah roti kering atau ransum nyaris kadaluarsa yang baru sempat kumakan saat aku sedang tidak bergerilya, atau setelah memastikan markasku aman dari serangan musuh. Kadang aku tidak makan berhari-hari. Setelah semua itu, sekarang aku disuguhkan kehidupan yang berputar seratus delapan puluh derajat--tenang, cenderung membosankan, nyaman.

Meski nyaman, namun aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak terbiasa. Aku tidak boleh terlena. Pantang.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku beranjak mandi. Usai mengeringkan tubuh, kukenakan seragam yang ukurannya sangat pas. Aku mengancingi kemeja putih berlabel hitam dengan tulisan "Arya Balawa" sambil mematut bayanganku di cermin.

Ekspresiku datar seperti biasa. Tatapan mataku setajam elang dan bisa mengintimidasi. Tubuhku sedikit lebih berisi sejak aku berada di sini dan rutin makan sehari tiga kali.

Aku menelengkan wajahku dan menyeringai. Senyumku bisa menakutkan. Bagus. Dengan ini aku bisa mengusir siapa saja di sekolah nanti agar tidak mendekati Puri dan aku, tanpa perlu banyak bicara.

Kumasukkan dompet, tablet, dan ponselku ke dalam ransel. Kukenakan arloji khusus Agen Pelindung, dan kuselipkan sepucuk pistol perak mungil berpeluru penuh di balik botku. Ini saja sudah cukup sebagai alat penunjang misiku hari ini.

Saat aku berjalan menyusuri lorong-lorong menuju halaman depan Istana, aku berpapasan dengan beberapa pegawai pemerintah dan mendengarkan lintasan-lintasan pikiran mereka. Hanya seputar pekerjaan yang membosankan. Tidak ada kabar terbaru yang ganjil atau aneh.

Aku menyeberang halaman tengah menuju bangunan depan Istana. Air mancur bergemericik tenang. Bunga-bunga aneka warna bermekaran. Sepasang kupu-kupu kecil keemasan beterbangan serasi di udara hangat, melintas tanpa ragu tepat di depan hidungku.

Firasatku mengatakan, hari ini akan menjadi hari yang sangat damai dan membosankan.

Aku sudah melewati beberapa lorong di bangunan depan Istana dan hampir mencapai beranda, ketika kudengar Dirah memanggilku lembut, "Kamu sudah mau berangkat, Arya?"

Dirah melenggang keluar dari celah dinding yang terbuka--salah satu pintu lorong rahasia yang ada di Istana. Ia masih mengenakan mantel tidur satin warna ungu di atas gaun tidur berenda warna putih.

Meski baru bangun tidur, ia tetap tampak cantik dan anggun, dengan proporsi wajah sempurna, mata tajam, hidung mancung, dan bibir merah alami. Rambut hitamnya yang lurus dan tebal terurai agak berantakan di punggungnya.

"Ya," jawabku singkat, lalu melenggang tanpa menoleh lagi.

Kudengar Dirah mendesah. Pikiran dan pandangannya tertuju sepenuhnya padaku. Hatinya diliputi kasih sayang dan kesenduan.

"Hati-hati, ya," gumamnya lembut. "Kupercayakan dia padamu."

Aku mengangguk, dan dalam waktu singkat sudah mencapai mobilku yang terparkir rapi di garasi Istana.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, aku berhasil tiba dan memarkir mobilku di parkiran sekolah.

Orang-orang yang melihat mobilku berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk. Aku bisa mendengar pikiran mereka yang penasaran dan kagum, dan aku sepenuhnya mengabaikan semua itu.

Arloji menunjukkan waktu masih pukul tujuh lebih lima belas menit. Kelas dimulai lima belas menit lagi. Aku keluar dari mobilku, tak peduli tatapan dan bisikan orang-orang bahkan pikiran mereka saat aku berjalan menyusuri pekarangan dan aula depan, menuju gedung tengah tempat kelas pertama dimulai.

"Ya ampun, ganteng banget..."

"Siapa dia?"

"Murid baru, ya?"

"Orang asing?"

Bisikan dan pikiran mereka terdengar jelas di kepalaku, membuatku memutar bola mata.

Aku berjalan sambil menaksir bangunan sekitar. Aku sudah hafal denah gedung tua ini sejak pertama kali melihatnya. Tak ada yang istimewa. Terlalu banyak remaja dan hal-hal tak penting lainnya di sini.

Kalau aku bisa tahan digempur musuh dengan bom dan peluru, maka aku juga bisa tahan berada di tempat menyedihkan seperti ini.

Saat aku menyusuri lorong dan merenungkan kilasan pertempuran brutal yang pernah kujalani di masa lalu, sepasang gadis berjalan melewatiku dengan penuh semangat. Satunya berambut ikal dikuncir kuda, satunya berambut lurus panjang yang dibiarkan tergerai sampai punggung. Aku mengenali sosok-sosok itu dan mendongak.

Puri dan temannya, Laras.

Tiba-tiba hantu pikiran masa lalu merasuki benakku. Aku melihat diriku sendiri berdiri di masa dan tempat yang jauh. Tubuhku penuh luka. Aku memandang dalam ke satu titik, suaraku bergema, terdengar asing di kepalaku sendiri.

"Jika aku harus terlahir kembali, meski itu seribu tahun lagi, aku janji aku akan menemukanmu, dan aku akan kembali jatuh cinta padamu."

Aku terbelalak, kaget. Apa maksud semua itu?

Puri menghentikan langkahnya dan berbalik. Laras nyaris menabraknya dan menjerit kaget, tapi tak ada satupun dari kami yang memerhatikannya.

Puri menatapku nanar. Aku balas memandangnya, terguncang saat kilasan masa laluku membanjiri benaknya, dan secara alami merasuki kepalaku juga.

Ia melihatku berangkat sekolah pagi ini dengan dilepas Dirah di Istana. Ia menebakku sebagai murid baru di kelasnya. Ia tahu aku baru saja kembali ke Negeri Laut Pasir, dan aku sempat mengenyam pendidikan militer di Negeri Bukit Tinggi. Kilasan pertempuranku di Negeri Tanjung Agung yang sudah musnah juga melintasi pikirannya. Ia melihat segala aktivitas yang pernah kulakukan--berolahraga, bela diri, menembak. Ia bisa tahu aku sangat suka menerbangkan pesawat. Ia bahkan tahu aku terkadang memainkan gitar di malam hari sambil menulis puisi jika aku sedang sendiri...

Ia tahu namaku Arya Balawa, tanpa melihat label nama di seragamku.

Tak berhenti sampai di situ, ia tahu aku bisa membaca pikiran. Ia tahu aku selama ini bertahan hidup dengan mengandalkan kekuatanku.

Dan yang paling mengguncangku, aku bisa melihat benaknya menyaksikan aku lahir dari rahim Dirah Mahalini pada pertengahan November tujuh belas tahun lalu...

"PURI, AYO KITA SUDAH TERLAMBAT!" Laras menjerit dan menarik Puri pergi.

Puri tak punya pilihan selain mengikuti Laras. Wajahnya pucat pasi.

Sebelum dia menghilang di tikungan, aku bisa melihat diriku di masa ribuan tahun lalu sebagai ksatria yang berjuang di medan perang, lalu menghembuskan napas terakhirku di pangkuannya...

Aku membeku selama beberapa waktu. Napas dan detak jantungku seakan menyelinap lenyap entah ke mana. Tubuhku gemetar padahal udara tidak dingin sama sekali.

Semua yang dilihat Puri tentangku barusan benar-benar mengguncangku. Ia tahu semua masa lalu dan kebenaranku semudah menghirup napas. Termasuk masa lalu dan kebenaran yang tak pernah kuketahui, hingga aku menyaksikannya sendiri setelah kekuatanku menyentuh kekuatannya pagi ini...

Dirah Mahalini adalah ibu kandungku.

Sudah lama aku tidak merasa benar-benar terguncang dan kehilangan pijakan seperti ini. Dadaku terasa nyeri.

"Arya, mengapa kamu masih di sini?"

Dokter Kama menepuk bahuku lembut. Sosoknya jangkung dan tampan seperti biasa, mengenakan jas putih panjang, dengan wajah tirus dan rambut hitam lurus panjang yang hari ini dibiarkan tergerai. Matanya berkilauan di balik kacamatanya yang aku tahu merupakan kacamata dengan fitur khusus untuk Agen Pelindung Elit. Hari ini ia ada jadwal mengajar di Kelas Ilmu Penyembuhan, kelas pertama yang akan kuikuti beberapa menit lagi.

Wajahku sekaku batu saat menatapnya. Aku tak sanggup bicara.

"Ada apa?" tanya Dokter Kama, tatapannya menyelidik. "Apa semua baik-baik saja?"

Aku memaksa diriku menarik napas panjang dan kembali bergerak. "Ya, tak ada masalah..."

"Bagus. Ikut aku. Setelah ini kamu harus memperkenalkan diri pada teman-teman barumu di kelas."

Dokter Kama memasuki ruang kelas terlebih dulu. Aku menunggu di sisi luar pintu sambil memejamkan mata dan mengatur napasku. Aku bisa melihat dan mendengar hampir seisi kelas bergosip hal-hal receh, beberapa di antaranya membicarakanku.

Kubuang hantu-hantu pikiran itu jauh-jauh.

Aku mendengar Dokter Kama menyapa beberapa murid, termasuk Puri, yang tidak menyahut sama sekali.

Pikiran Puri kembali menghambur masuk benakku. Sesekali kilasan diriku sebagai ksatria yang terluka dan tewas di zaman lampau itu membayang. Sesekali lengang.

Tapi aku bisa merasakan, Puri terguncang berat. Tubuhnya gemetar. Napasnya putus-putus. Dadanya terasa sakit.

Sama sepertiku.

"Hari ini ada murid baru di kelas kalian. Ia pindahan dari Negeri Bukit Tinggi," kata Dokter Kama tenang. "Masuklah, Arya, dan perkenalkan dirimu dengan baik kepada teman-teman barumu."

Aku menarik napas dalam-dalam, dan melangkah masuk dengan kaku.

Seisi kelas memandangku penuh minat dan ingin tahu. Beberapa di antaranya bahkan terpesona.

Tapi aku tidak memedulikan mereka.

Sejak awal, tatapanku terkunci ke arah Puri, yang duduk persis di depan meja guru di sudut kelas.

Duduknya kaku. Wajahnya pucat pasi.

Ia balas menatapku. Air matanya menggenang.

"Namaku Arya Balawa. Kalian bisa memanggilku Arya. Senang bisa bertemu kalian," ucapku datar.

"Senang bisa bertemu denganmu juga, Arya," seru beberapa gadis. Beberapa murid lelaki mengejek.

Dokter Kama menyuruh seisi kelas untuk tenang dan mempersilakanku duduk di kursi kosong di sudut belakang kelas, lalu meminta semua murid fokus pada materi yang sudah disiapkannya di proyektor depan.

Aku berjalan dan duduk di kursiku, mengabaikan total segala jenis suara, tatapan, pikiran. Aku bahkan tidak mendengarkan penjelasan Dokter Kama sama sekali.

Pikiranku dan kekuatanku sepenuhnya tertuju hanya pada Puri Agung.

Isi kepalanya masih sama. Kilasan perang dan kematian itu berputar ulang bagai tayangan film yang cacat. Aku bisa merasakan sesuatu seperti bergeliat dan bangkit dalam hatinya, seperti emosi dan ingatan yang akhirnya kembali muncul setelah begitu lama dilupakan.

Saat kembali menyaksikan kilasan sosokku yang meregang nyawa, air mata Puri tumpah. Napasnya terputus. Ia terkulai lemas di kursinya.

Aku mendongak dan menatapnya lekat. Entah mengapa, hatiku cemas.

"Puri? Kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit?" Dokter Kama sudah berdiri di sebelah Puri, tangannya meraba kening dan mengecek denyut nadi di leher Puri

"Eh... apa es jus jeruk tadi pagi membuat perutmu sakit, Puri?" tanya Laras gugup. "Dokter... apa sebaiknya Puri kuantar ke klinik sekolah?"

Dokter Kama mengangguk. "Ya, sebaiknya begitu. Tolong ambilkan kursi roda."

Laras dengan cepat bangkit dan berlari keluar kelas. Tidak sampai lima menit, ia sudah kembali dengan sebuah kursi roda.

Dokter Kama memindahkan Puri dengan lembut dan hati-hati ke atas kursi roda, lalu mendorongnya keluar kelas menuju klinik.

Saat melihat Puri tak sadarkan diri dengan jejak air mata di pipinya, aku merasa batinku pedih dan merana.

Tapi kenapa...?

...***...

SERANGAN BOM

Dokter Kama kembali sekitar lima belas menit kemudian. Puri tidak bersamanya. Jelas ia membutuhkan perawatan khusus di klinik.

Aku menghela napas panjang, tidak menyangka awal misiku jadi begini. Tapi keadaan aman dan baik-baik saja. Tidak ada situasi yang membahayakan nyawa. Jadi harusnya aku tetap bisa fokus dan tenang untuk melanjutkan misi...

Namun aku tidak bisa tenang. Begitu bel berbunyi, aku langsung melesat keluar kelas menuju klinik. Dan seseorang juga berlari menuju klinik dengan tergesa di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu betul siapa dia.

"Berhenti."

Aku memberi perintah, menghentikan lajuku dan berbalik. Laras menjerit saat ia hampir menabrakku.

"Kamu...," Laras kesulitan bicara. Ia tampak bingung dan ketakutan saat aku menatapnya dengan tatapan tajamku dan ekspresi sedingin es.

"Namamu Laras, kan? Mulai sekarang, kuperingatkan kamu. Jangan dekati Puri lagi."

Laras membelalak. "Apa?"

"Jangan dekati Puri lagi. Jauhi dia," aku melangkah maju. "Atau kubocorkan rahasiamu. Kamu punya kekuatan seperti sihir kan? Kamu bisa mendengar segalanya."

Wajah Laras pucat pasi. Tubuhnya seakan mengerut di bawah pandanganku yang menusuknya tanpa ampun. Benaknya bertanya-tanya bagaimana aku bisa tahu rahasianya.

"Jangan tanya bagaimana aku tahu," bisikku dingin. "Yang harus kamu tahu, aku bukan orang sembarangan. Aku adalah calon suami Puri."

Laras tampak seperti disambar petir. Otaknya bahkan tak lagi bisa berpikir.

"Ya, Puri sudah dijodohkan denganku. Aku adalah keponakan Presiden Dirah Mahalini. Dia akan menjadi menantu Presiden," sambungku tenang. "Karena itu, ia harus dijaga dan dilindungi dengan baik. Aku akan melindunginya. Ini perintah Presiden."

Aku tahu aku menang. Laras meneteskan air mata saat aku melanjutkan tanpa perasaan, "Jauhi Puri. Jangan sebarkan fakta perjodohan kami pada siapapun. Aku akan selalu mengawasimu. Jika sampai kamu melanggar, kamu akan merasakan akibatnya."

Laras menangis dan berjalan pergi. Aku memutar tubuhku dan berjalan menuju klinik sekolah.

Klinik kecil itu dijaga seorang perawat yang menatapku waspada saat aku masuk.

"Ada perlu apa?"

"Aku mau menjenguk temanku," jawabku datar. "Namanya Puri Agung. Dia dibawa ke sini oleh Dokter Kama setelah pingsan di kelas tadi. Boleh aku tahu apa yang terjadi padanya dan bagaimana kondisinya sekarang?"

"Ah, ya," perawat itu mengecek tabletnya. "Dia pingsan karena stress atau terguncang berat. Tapi selain itu, dia baik-baik saja. Dokter Kama sudah memberinya suntikan penenang. Dia sedang tidur sekarang, dan akan terbangun beberapa jam lagi."

Aku menghela napas panjang. "Boleh aku menjenguknya?"

Perawat itu memandangku dengan sorot mata aneh dan curiga. "Dia sedang tidak sadar. Kamu jenguk dan ajak bicara juga percuma."

"Tidak akan percuma. Aku pacarnya. Dia jadi begini gara-gara aku. Aku perlu minta maaf padanya. Aku yakin dia bisa mendengarku," aku mengucapkan kebohongan itu dengan ekspresi sedih yang meyakinkan.

Namun perawat itu bergeming sambil mengangkat alisnya. "Kamu bisa minta maaf setelah dia sadar nanti."

"Tidak bisa... setelah ini aku harus pergi. Dia pingsan karena kaget mendengar kepindahanku yang mendadak. Aku harus mengejar pesawatku satu jam lagi. Cuma sekarang kesempatan yang kupunya untuk bicara dan minta maaf padanya."

"Sebentar saja," pintaku pelan. "Kumohon."

Perawat itu menghela napas. "Baiklah."

Aku menyibak tirai yang melingkupi ranjang dekat jendela. Puri sedang terbaring di sana. Matanya terpejam. Wajah cantiknya begitu polos dan murni, seperti bayi.

Kutatap sosoknya lekat. Aku sudah beberapa kali melihatnya secara langsung maupun tidak langsung. Tapi baru kali ini aku menatapnya dari jarak dekat. Dan entah kenapa, rasanya ada getaran kecil timbul jauh di lubuk hatiku saat menyaksikannya tidur tanpa mimpi seperti ini.

Siapa sebenarnya kamu?

Aku mengingat kembali semua yang dilihatnya tentang masa laluku. Kebenaran tentangku. Aku tahu ia memiliki kekuatan seperti itu, tapi aku tidak menyangka melihatnya secara langsung benar-benar mengguncangku seperti ini.

Ia juga terguncang. Hatinya yang lembut tidak bisa menahan kerinduan dan kesedihan mendalam saat melihat masa lalu yang aneh itu. Ia sangat berduka hingga kehilangan kesadaran.

Tapi apakah masa lalu seperti itu benar-benar sungguh terjadi? Apa benar aku pernah hidup dan mati seperti itu?

Aku menghela napas panjang. Kurasa itu tidak penting. Kalau pun semua itu benar, tidak ada artinya buatku. Justru aku harus semakin fokus dan waspada, jangan sampai kekuatan sebesar itu diketahui dan jatuh ke tangan musuh. Misiku sekarang adalah melindunginya, memastikannya tetap selamat dan hidup, apapun yang terjadi.

Tak heran Dirah sangat mencemaskan keselamatan gadis ini dan seluruh negeri. Kekuatannya sanggup mengguncangku yang setangguh gunung karang. Kekuatannya sanggup mengguncang dunia, dengan menyingkap banyak kebenaran yang tak terduga.

Meski tentu saja ia tidak minta dilahirkan dengan kekuatan seperti ini. Ia juga tak pernah berniat menyakiti siapapun dengan kekuatannya. Dia tidak berhak disakiti hanya karena memiliki kemampuan sebesar ini.

"Aku akan selalu di sisimu. Aku akan selalu melindungimu. Aku janji."

Aku berbisik lembut dan pelan. Tak lama kemudian, kulihat bibir tipisnya bergerak dan tersenyum.

Aku mengerjap. Apa dia bermimpi?

Kutatap benaknya. Gelap dan hening. Ia tidak bermimpi sama sekali.

Apa dia mendengarku? Apa dia sudah sadar?

Kupandang wajahnya lekat dan lama. Ia masih tertidur. Tak bermimpi dan tak bergerak sama sekali.

Dia sangat cantik.

Aku menghela napas dan menggeleng. Kujernihkan pikiran, lalu berjalan meninggalkan klinik dan kembali ke kelas.

Kelas demi kelas berlanjut lambat dan membosankan. Aku nyaris tak mendengarkan setiap guru menjelaskan materi, namun setiap ada pertanyaan terlontar padaku, aku bisa menjawabnya dengan benar meski dengan datar dan ogah-ogahan.

Saat istirahat, beberapa gadis mencoba mendekat, tapi pandangan dinginku membuat mereka segera mundur dan menyerah. Beberapa anak lelaki mengajakku, kutolak mentah-mentah dan kuusir. Ada yang mengejek dan menantangku, tapi begitu aku berdiri dan bergerak maju dengan tinju terkepal dan tatapan setajam elang, mereka gentar dan berlari keluar.

Aku kembali duduk di kursiku, lanjut mengutak-atik tabletku sambil memutar bola mata. Menyedihkan sekali.

Ketika jam pelajaran selesai pada pukul tiga sore, semua murid tampak lega dan menghambur pulang. Aku menghela napas dan memasukkan tabletku ke ransel. Akhirnya hari panjang dan membosankan ini selesai.

Puri belum juga kembali. Ranselnya masih tergeletak di mejanya.

Apa dia masih belum sadar juga? Apa dia baik-baik saja?

Aku bergerak hendak menuju klinik, namun tiba-tiba arlojiku bergetar.

Aku menekan tombolnya, dan melihat pesan yang beredar di grup Agen Pelindung.

"Penyerangan di Stasiun Ibukota. Tiga pelaku bersenjata tajam dan membawa bom. Tujuh korban luka. Dua sandera. Agen Pelindung terdekat, Rajawali Siaga dan Terbang. 2-2-1."

Aku mengerutkan alis.

Penyerangan dan penyanderaan acak di siang bolong begini? Apa tujuannya? Rasanya aneh dan tidak masuk akal sama sekali.

Stasiun ibukota jaraknya hanya lima menit mengendarai mobil dari sini. Aku bisa saja meluncur ke sana, membereskan masalah itu dengan cepat, lalu kembali ke sekolah. Lagipula, Puri masih belum sadar. Aku bisa kembali untuk memastikan keadaan dan melindunginya nanti.

"Kamu mau ke mana?"

Dokter Kama menegurku saat aku sudah hampir mencapai aula depan.

"Stasiun ibukota," aku mengetuk arlojiku. "Ada penyerangan di sana. Agen terdekat diminta datang dan membereskan masalah ini. Anda juga tahu itu, kan?"

"Ya. Maka dari itu, biar aku saja yang ke sana," kata Dokter Kama kalem. "Kamu harus ingat misi utamamu. Kamu tidak boleh meninggalkan Puri sendiri, apapun yang terjadi."

Aku mengerutkan alis. "Tapi dia masih belum sadar. Anda memeriksanya sendiri tadi. Apa dia baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja. Dia akan sadar tak lama lagi. Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh meninggalkan dia sendiri. Kamu wajib melindunginya. Apa kamu mengerti?"

Aku menatap tajam Dokter Kama. "Apa dia pernah diserang sebelum ini?"

Pikiran Dokter Kama sibuk menyimak arahan Randu yang mengatur para Agen Pelindung melalui earpods transparan di telinganya. Meski begitu ia tetap bisa menjawab pertanyaanku dengan lugas.

"Kita tidak tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi. Penyerangan bisa terjadi secara mendadak dan acak, seperti yang terjadi di stasiun sekarang. Akan kubereskan kekacauan di sana. Kamu tetap lindungi Puri. Kamu mengerti?"

Aku menghela napas. "Baiklah."

"Bagus," Dokter Kama tersenyum, dan ia lenyap di depan mataku, seperti hantu.

Aku tak punya pilihan selain berjalan kembali ke kelas. Aku berniat mengambil tas Puri dan menunggunya sadar di klinik. Namun saat aku berbelok, aku melihatnya berjalan terhuyung dan memasuki kelas.

Aku mempercepat langkahku. Dokter Kama benar. Ia akhirnya sadar, meski kelihatannya masih lemah.

Aku memasuki kelas saat Puri tengah memanggul ransel di punggungnya. Wajahnya masih agak pucat.

"Kamu sudah sehat?"

Puri membeku. Kelebatan masa lalu kembali membanjiri benaknya. Semua masa lalu itu mengenai diriku. Bahkan ada masa laluku saat masih berusia tiga tahun dan bermain pesawat kertas sendirian di kamar, yang tidak kuingat sama sekali.

Aku menatap Puri tajam. Rasanya tidak menyenangkan ia bisa melihat kilasan masa laluku seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk memecah konsentrasinya. Namun aku bisa melihat, ia sama sekali tidak menyimak kilasan-kilasan itu. Seluruh perhatian dan pikirannya hanya tertuju padaku sekarang.

Ia juga kesulitan bernapas.

"Kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu akan pingsan lagi. Apa perlu kupanggilkan dokter?" aku bergerak mendekatinya dengan waspada.

"Tidak... tidak usah," Puri menyahut dengan susah payah. "Aku mau pulang saja..."

Aku memandangnya tajam. Kondisinya payah tapi ia ingin menghindariku.

Apa ia merasa terintimidasi olehku?

Aku bisa merasakan ia gugup dan gelisah. Kilasan masa lalu itu masih menghantui pikirannya, dan ia takut untuk melihatnya.

Melihatnya terguncang, lemah, dan kebingungan seperti ini membuatku iba. Aku tak bisa menyalahkannya.

"Kalau begitu, aku akan mengantarmu," kataku lembut. "Namamu Puri Agung kan? Di mana rumahmu?"

"Tidak... aku pulang sendiri saja..."

Puri berusaha melangkah cepat dan menghindariku, tapi ia malah tersandung.

Aku dengan sigap melompat maju. Aku berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum menyentuh lantai.

"Kamu tidak apa-apa?"

Puri berada dalam pelukanku. Ia mendongak. Wajahnya yang sangat cantik begitu dekat, membuat darahku berdesir. Jantungku serasa berhenti berdetak.

Sepasang bola mata hitam lembut itu menatapku nanar. Aku bisa merasakan jantung Puri juga sesaat berhenti berdetak. Kelebatan masa lalu merasuk cepat dalam benaknya. Aku bisa mendengar suaraku sendiri menggema lembut dalam kepalaku. Sungguh asing dan aneh.

Aku bisa merasakan kesedihan dan kerinduan luar biasa muncul dan menjalari hati Puri. Air matanya menetes, membuat hatiku bergetar.

Puri memejamkan mata. Tubuhnya lemas dan ia kembali tak sadarkan diri.

"Hei..."

Aku mencoba menyadarkannya, tapi tak bisa. Ia terguncang berat, lagi. Ia butuh penanganan dokter. Tapi klinik sekolah sudah tutup, dan Dokter Kama juga masih bertugas di lapangan.

Aku menghela napas panjang. Kugendong Puri dalam pelukanku, dan aku membawanya dengan cepat dan aman menuju mobilku.

Aku mendudukkannya di kursi penumpang depan, memasangkan sabuk pengaman, dan dengan cepat masuk ke bangku kemudi. Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan untuk Randu.

Putrimu pingsan. Ia sepertinya tidak sehat seharian ini. Aku akan mengantarnya ke rumahmu dengan aman. Panggilkan dokter untuknya. Ia menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya begitu tiba di rumah.

Pesan balasan Randu muncul dalam hitungan detik.

Baik. Aku mengerti. Tolong pastikan Puri sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih.

Dalam waktu singkat, aku sampai di rumah Puri. Agen Pelindung yang berjaga langsung membuka pintu gerbang begitu mobilku muncul.

Aku memarkir mobilku persis di depan undakan teras. Kumatikan mesin, lalu berjalan keluar dengan cepat dan menggendong Puri yang masih tidak sadar menuju pintu rumahnya, yang sudah dibuka seorang wanita gemuk berwajah ramah, yang sepertinya adalah salah satu asisten rumah tangga.

"Kamu siapa? Puri kenapa?" wanita itu tampak kaget dan cemas.

"Aku Arya, teman sekelas Puri. Ia pingsan saat hendak pulang. Makanya aku mengantarnya," jelasku cepat. "Aku sudah menghubungi ayahnya dan memintanya memanggil dokter. Bisa tolong tunjukkan di mana kamar Puri? Aku harus membaringkannya di tempat tidurnya."

Wanita gemuk itu memanduku menaiki tangga dan memasuki kamar yang cukup luas, rapi, dan berperabot lengkap dengan warna-warni pastel lembut.

Aku membaringkan Puri dengan lembut di atas tempat tidur besar yang hangat dan empuk. Kulepas sepatu dan kaus kakinya. Kuselimuti tubuhnya.

Ia tampak seperti sedang tidur. Cantik dan damai.

Aku menghela napas panjang. Dia sudah aman sekarang.

Aku berpamitan pada wanita gemuk itu, lalu berjalan kembali ke mobilku. Di beranda depan, aku berpapasan dengan seorang dokter wanita cantik dengan kulit pucat, tubuh mungil, wajah bundar ramah, dan rambut ikal panjang.

Kulirik dokter itu sekilas. Pikiran dan hatinya tenang, seperti sedang bermeditasi. Aku tak merasakan intensi buruk atau aneh darinya. Seharusnya dia aman dan terpercaya. Lagipula, Randu yang sudah memanggilnya. Pasti Randu sudah mengenal dan memercayainya. Puri aman di rumah ini. Randu akan selalu melindunginya di sini, seperti yang sudah dilakukannya selama ini.

Aku masuk ke dalam mobilku dan meluncur cepat menuju Stasiun Ibukota.

Saat aku tiba, area sekitar stasiun sudah disterilkan dan dipasangi garis kuning. Beberapa Agen Pelindung bersenjata berjaga dan berseliweran. Pikiran mereka semua berkonsentrasi penuh pada metode pengamanan umum dan strategi penyelamatan. Orang-orang berkumpul dan kasak-kusuk di jalanan di balik garis. Pikiran-pikiran menghambur penuh spekulasi.

Suasana terasa menegangkan.

Aku maju dan mengacungkan arloji perakku. Salah satu Agen Pelindung yang berjaga dekat garis memindai arlojiku dengan arlojinya. Setelah mengonfirmasi identitas asliku, ia membolehkanku lewat.

"Bagaimana situasi terkini di dalam?" tanyaku pelan, sambil terus menyaring informasi melalui hantu-hantu pikiran yang melayang-layang merasuki benakku.

"Dua orang sudah dilumpuhkan dan ditangkap. Tinggal satu pelaku lagi. Ia memaksa masuk dan membajak kereta sambil menyandera seorang anak perempuan. Kami kesulitan mendekat karena ia memasang bom di tubuhnya sendiri dan anak itu, yang akan aktif dengan pemicu yang sama," jelas Agen bernama Bayu Tarum itu.

"Apa tuntutan pelaku?" tanyaku pelan.

"Ia minta bertemu Presiden," sahut Bayu singkat.

"Dia mau membunuh Presiden?"

"Sepertinya begitu."

Pemberontakan, pikirku. Ada yang merancang ini semua. Tetapi siapa?

Aku berlari masuk ke dalam Stasiun, yang hanya berisi Agen-Agen Pelindung yang sibuk berjaga dan berkomunikasi menggunakan arloji. Aku menemukan Dokter Kama bersandar di salah satu pilar, sibuk mengutak-atik arlojinya sendiri.

"Tidak ada yang berusaha mendekati pelaku?" tanyaku sambil menatap kereta yang sepi dan tertutup rapat di salah satu jalur. "Bagaimana dengan Tim Penjinak Bom? Mereka bisa memanipulasi bom dari jauh kan?"

"Bomnya jenis kuno dan manual. Tidak bisa diretas dengan gelombang khusus. Satu-satunya cara mematikannya adalah dengan memotong kabelnya," jawab Dokter Kama. "Mengapa kamu di sini? Bagaimana dengan Puri?"

"Dia sudah aman di rumah Randu," kataku sambil berpikir cepat. "Sudah coba menyerang pelaku dari belakang dan memingsankannya?"

Dokter Kama menggeleng. "Terlalu beresiko. Bomnya langsung meledak jika pemicunya tertekan, atau terkena benturan."

"Kalau begitu, ledakkan saja."

Dokter Kama mengerjap. "Apa?"

"Dia pengkhianat. Tidak masalah dia mati," kataku tenang. "Kita cuma perlu fokus membebaskan sanderanya saja."

"Bagaimana caranya?" Dokter Kama menatapku tajam.

"Gunakan aku untuk menukar sandera," kataku. "Aku keponakan Presiden. Bagi pelaku, aku lebih berharga daripada anak itu."

"Lalu? Bagaimana kamu akan membebaskan diri?"

Aku mengeluarkan pistol perak dari botku.

"Ini bukan pistol biasa. Ada alat anti sadap tercanggih menyatu di gagang pistol, dan juga alat yang bisa menciptakan bola perisai elektrik selama tiga menit. Perisai ini ampuh kalau hanya untuk melindungi diri dari bom receh seperti itu."

Dokter Kama menatapku terkejut. "Bagaimana kamu bisa punya alat semacam ini?"

"Aku menciptakannya sendiri."

Dokter Kama sesaat tak bisa berkata-kata.

"Kamu yakin ini efektif?"

"Seratus persen."

Dokter Kama menghela napas. "Aku harus memberitahu Randu dulu. Dia yang akan memutuskan."

Dokter Kama melepas earpods transparan dari telinga kirinya dan memberikannya padaku. Aku memasangnya di telinga kiriku. Dokter Kama menghubungi Randu dengan arlojinya, lalu bicara cepat menjelaskan rencanaku pada Randu.

"Kamu yakin alat itu efektif?" suara Randu yang terdengar tidak percaya menggema melalui earpods yang kugunakan.

Aku memutar bola mata.

"Menurutmu bagaimana aku bisa bertahan hidup setahun lebih bergerilya di Negeri Tanjung Agung?" kataku dingin. "Para prajurit Negeri Lembah Merah mulai menciptakan perisai yang sama setelah melihat punyaku. Aku yang pertama kali menciptakannya. Kalau kamu terus mengawasi pergerakan Negeri Lembah Merah, harusnya kamu tahu mereka punya senjata baru seperti ini, kan?"

Randu terdiam sesaat.

"Baik. Aku percaya padamu. Lakukan sesuai rencanamu. Aku akan memerintahkan evakuasi sekitar Stasiun. Kama, kamu harus langsung menyelamatkan anak itu begitu Arya menukar dirinya sebagai sandera. Berpindahlah sejauh mungkin dari sumber ledakan."

"Siap," kata Dokter Kama tenang.

Arlojiku bergetar. Pesan darurat evakuasi dari Randu muncul. Agen-Agen Pelindung di sekitar Stasiun membacanya dan segera mematuhinya.

"Jangan sampai terbunuh, Arya," aku mendengar suara Randu berkata tajam di telingaku. "Kamu masih harus terus hidup untuk melindungi putriku."

"Tentu saja," aku menyahut tenang sambil mengantongi pistol di saku celanaku. "Aku tidak akan mati semudah itu. Aku jamin."

Setelah Stasiun dan sekitarnya steril, aku dan Dokter Kama memasuki salah satu gerbong tempat si pelaku duduk mengenakan rompi bom sambil menahan seorang gadis kecil yang terus menangis di pangkuannya. Gadis kecil itu juga mengenakan rompi bom yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.

"Siapa kalian? Jangan macam-macam, atau kuledakkan anak ini!" ia mengacungkan detonator di tangannya. Pikirannya dipenuhi nafsu membunuh. "Mana Presiden?"

"Kamu ingin bertemu Presiden?" tanyaku tenang. "Kalau begitu, kamu bisa menahanku. Aku lebih berharga dari anak itu. Aku keponakan Presiden."

"Kamu keponakan Presiden? Apa buktinya?"

Aku mengacungkan kartu identitasku.

"Namaku Arya Balawa. Lihat, DNA-ku terkonfirmasi 25% sama dengan Presiden Dirah Mahalini. Aku satu-satunya keluarga yang dia miliki."

Si pelaku memicingkan mata.

"Hmm... sepertinya benar begitu. Kelihatannya kamu cuma pelajar biasa. Tapi kenapa kamu mau menawarkan diri sebagai sandera?"

"Ini perintah Presiden. Ia mau kamu membebaskan anak itu. Ia mau bertemu denganmu, tapi saat ini, ia masih berada di ujung negeri. Butuh waktu untuk sampai ke sini. Karena itu, agar kamu mau melepas anak itu dan percaya padanya, ia memintaku bertukar tempat dengan anak itu. Presiden tidak sejahat yang kamu kira, kamu tahu."

Aku mengucapkan semua kebohongan itu dengan sangat lancar dan meyakinkan.

"Tidak jahat? Jangan melawak!" pelaku itu mendengus. "Dia perempuan jahanam. Dia pantas mati."

Aku memandang si pelaku lurus. "Jadi kamu mau menukar anak itu denganku, kan? Lepaskan dia. Dia tidak bersalah."

"Baik. Tapi kalian jangan macam-macam. Atau kuledakkan bom ini untuk menghabisi kalian semua."

Aku maju dengan tenang. Si pelaku melepas rompi bom dari sanderanya dan mendorong gadis kecil itu menjauh dari pangkuannya. Gadis kecil itu terhuyung dan menangis. Dokter Kama dengan sigap menangkap dan menggendongnya.

Aku mengangguk. Dokter Kama menekan leher gadis kecil itu, membuatnya pingsan dalam pelukannya, lalu menghilang seperti hantu.

"Apa--" si pelaku terguncang.

Aku menyeringai. Aku menarik pistol dari saku celanaku dan mundur secepat mungkin, lalu menembakkan peluru tepat ke dahi si pelaku.

Ia tewas dan terjatuh.

Bom seketika meledak.

Aku mengaktifkan bola perisai elektrik yang langsung menyelubungiku begitu ledakan terjadi. Gerbong itu hancur. Aku bergeming dan tetap tenang saat pecahan material dan api berpusar bagai badai mengerikan di luar bola perisaiku.

Begitu pusaran mereda, aku mematikan perisaiku, lalu melangkah tenang di atas puing-puing yang hancur terbakar. Sepatu bot anti-api melindungi kakiku dengan baik. Aku tak terluka sedikit pun.

Agen-Agen Pelindung memasuki Stasiun. Mereka menatapku takjub dan bertepuk tangan.

"Kerja bagus, Agen Arya," aku mendengar Randu memuji dengan sungguh-sungguh di telingaku. "Misi selesai."

Aku melangkah keluar Stasiun dan melihat Dokter Kama bergegas menghampiriku. Ia mengamatiku dengan teliti, lalu menggeleng.

"Kamu luar biasa, Arya," gumamnya. Ekspresinya kagum. "Tidak heran Presiden sangat ingin kamu kembali ke negeri ini. Kamu masih sangat muda, tapi kemampuanmu luar biasa. Sepertinya benar yang dilihat Presiden, kamulah yang akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Kamu akan memenangkan perang di masa depan."

Aku tidak berkata apa-apa. Mendengar Dokter Kama menyebut-nyebut Presiden membuatku tidak senang. Dadaku rasanya ngilu, meski aku tidak mengalami cedera sama sekali.

Karena memang bukan fisikku yang terluka.

Aku masuk ke dalam mobilku, tetapi aku tidak kembali ke Istana. Aku berputar-putar di jalanan ibukota sampai malam, menyaring hantu-hantu pikiran, mencari sesuatu.

Kemudian aku memutuskan berhenti di salah satu kedai kecil di pinggir kota, yang aku tahu diam-diam menjual alkohol secara bebas untuk semua kalangan.

Aku membeli beberapa botol bir, karena mereka tidak punya anggur. Kutenggak botol-botol bir itu sambil duduk di atas kap depan mobilku, menatap kosong jalanan remang-remang yang semakin malam semakin dingin. Tubuhku hangat karena bir. Kepalaku semakin melayang.

Setidaknya, dadaku tak terasa ngilu lagi.

Pukul sebelas malam, aku masuk ke dalam mobil. Kepalaku melayang dan berputar. Aku cegukan.

Kunyalakan mesin mobil, kutekan tombol autopilot setelah menentukan destinasi Istana Negara di layar navigasi di dasbor tengah. Kuinjak pedal gas sekali. Mobil kemudian meluncur otomatis dan aman bahkan setelah kakiku tak lagi menyentuh pedal gas.

Kuatur kursiku hingga rebah. Aku merebahkan diri dan memejamkan mata. Kepalaku berputar perlahan. Hantu-hantu pikiran semakin sayup.

Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!