KEPINGAN PUZZLE

Aku mengenyakkan diri di kursi depan paviliun kamarku, tepat saat matahari sudah bersinar sepenggalah dan Mada muncul membawakan sarapan. Ia meletakkan segelas jus jeruk dingin, yang langsung kusambar dan kuhabiskan dalam sekali tenggak.

Mada menata makanan di atas meja. Aku kepanasan dan memutuskan melepas kaos hitamku yang kuyup.

Ya ampun... tubuh itu... aku jadi ingin...

Aku tak tahan lagi mendengar kelanjutan pikirannya. Kepalaku mendidih dan aku benar-benar menggebrak meja hingga permukaannya retak dan makanan yang disajikan Mada tumpah ke mana-mana.

"Tuan Arya, kenapa...?" Mada tampak kaget.

"PERGI SANA!" bentakku.

Wajah Mada pucat dan ia buru-buru menyingkir.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan diri. Menu sarapanku berserakan di meja yang hampir terbelah. Tanpa pikir panjang aku menghabiskan sisa susu di gelas dan memutuskan berangkat ke sekolah lebih awal. Aku akan sarapan di kantin sambil menunggu Puri datang.

Aku mandi dan berpakaian secepat kilat, nyaris berlari menuju mobilku di garasi Istana, dan mengebut di jalan yang masih sepi. Dalam waktu kurang dari lima menit, aku sudah sampai di halaman depan sekolah sialan itu.

Aku sudah menghabiskan dua mangkuk bubur ayam dan sepiring sate telur puyuh di sudut meja kantin, saat ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Randu.

Puri masih belum bisa sekolah hari ini. Kamu tidak perlu bertugas menjaganya. Dia tidak akan keluar rumah hari ini.

Aku menggeram dan nyaris meremukkan mug berisi kopi hitam pahit di tanganku. Kenapa tidak bilang dari awal? Sia-sia saja aku meluncur pagi-pagi ke tempat ini.

Setelah menghabiskan kopiku, aku kembali ke mobil dan menyetir lebih pelan meninggalkan sekolah menuju rumah Randu. Kuparkir mobilku di seberang gerbang seperti biasa. Kukerahkan seluruh kekuatanku untuk menjangkau dan mengawasi pikiran Puri.

Dia sedang duduk di kamarnya, sebuah kotak musik yang mengalunkan nyanyian merdu wanita tak kukenal terbuka di dekatnya. Ia tidak melakukan apa-apa selama beberapa saat. Bisa kurasakan hatinya galau dan murung.

Aku mengerutkan alis. Dia baik-baik saja, tidak sakit maupun terluka. Kenapa dia tidak berangkat sekolah? Masa dia masih kepikiran soal visi masa laluku yang tidak penting itu?

Wanita gemuk yang kutemui dua hari lalu, bernama Amba, dua kali mengetuk masuk dan menanyakan keadaannya, namun Puri hanya menggeleng dan memintanya keluar, enggan menjawab. Sarapan dan makan siang disajikan hangat di meja sebelah tempat tidurnya, tapi ia tidak menyentuhnya sama sekali. Ia tetap saja duduk muram di atas tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi ingatan akan kilasan masa laluku, perasaannya kalut.

Aku menghela napas dan memutar bola mata.

Aku tidak pernah berurusan dengan perempuan sebelumnya, yang konon memang diciptakan dengan kelebihan emosional ketimbang akal. Kupikir itu hanya mitos atau olok-olok yang merendahkan. Tapi kalau melihat gadis satu ini bertingkah, rasanya ungkapan itu benar. Khusus yang satu ini, memang sepertinya kurang waras, entah karena tak kuat menanggung bakat magis sebesar itu, atau memang sejak lahir daya berpikirnya kurang.

Dan aku harus berurusan dengan gadis seperti ini untuk mencegah kehancuran satu negeri? Bagus.

Aku mengetuk kemudiku dengan kesal. Sepertinya, aku perlu bicara dan menegurnya soal ini. Jelas dia tak boleh sebodoh dan selemah ini. Walau ada aku yang melindunginya, kombinasi sifat yang tak menguntungkan ini bisa membuatnya jatuh dan hancur sendiri sewaktu-waktu. Aku bisa saja melindunginya dari pembunuh paling berbahaya di dunia, tapi aku belum tentu bisa melindunginya dari hati dan pikirannya sendiri.

Hanya si pemilik hati dan pikiran yang bisa menguasai dan mengendalikan hati dan pikirannya sendiri.

Aku menghela napas panjang dan menyalakan kembali mesin mobilku ketika petang menjelang. Entah mengapa aku juga jadi ikutan bodoh, menghabiskan nyaris sepanjang hari dengan duduk diam dan mengawasi semua gerak-gerik dan pikiran Puri, yang jelas-jelas sedang tak butuh perlindunganku karena dia aman dalam sistem perlindungan rumah ayahnya.

Kuluncurkan mobilku ke jalan raya. Aku memutuskan pergi ke toko bahan kimia untuk membeli bahan-bahan pembuatan bomku. Aku akan merakitnya dengan desain terbaru yang kurancang kemarin dan menguji cobanya di tempat aman. Aku juga perlu pergi ke toko elektronik dan komputer untuk mendapat material lainnya. Harusnya kulakukan ini dari tadi daripada duduk memerhatikan gadis yang larut dalam sentimental konyolnya sendiri.

Tidak konyol, tahu... dia memikirkanmu sepanjang hari, seperti kamu memerhatikan dan memikirkannya sepanjang hari ini...

Aku tersentak. Bagaimana hantu pikiran seperti itu bisa muncul dalam kerajaan benakku--terlebih itu ternyata hantu pikiranku sendiri? Aku nyaris menggampar diriku sendiri, saat aku melihat seorang gadis berambut lurus pendek sebahu berdiri dekat rel yang membentang di sisi kiri jalan raya.

Hantu pikirannya yang ingin bunuh diri merasuki benakku, menggusur hantu pikiran sok sentimental milikku sendiri.

Entah mengapa aku menepikan mobil dan berhenti. Kereta akan melintas tak lama lagi. Aku melepas sabuk pengamanku, keluar dari mobil, lalu berlari sangat cepat dan melompat menuju gadis yang nyaris melempar dirinya ke depan kereta yang membunyikan klakson panjang. Aku berhasil menyergap dan mengunci tubuhnya tepat waktu. Aku menariknya dan ia melawan. Kami terguling di atas pasir berbatu tajam tepat saat kereta melintas secepat kilat.

"Lepaskan aku!" gadis itu menjerit dan menangis.

"Dasar bodoh! Apa yang kamu lakukan?" bentakku. Aku baru benar-benar melepasnya saat kereta sudah menjauh dan situasi betul-betul aman.

"Aku mau mati!" gadis itu histeris. "Aku mau menyusul ayahku! Kenapa kamu menghalangi?"

Aku mendelik. "Kamu mau mati sia-sia hanya untuk menyusul orang mati?"

"Dia ayahku! Aku tak bisa melanjutkan hidup tanpa ayahku! Kamu tahu apa soal perasaanku?" jerit gadis itu.

Hantu pikiran gadis itu merasukiku, dan aku mengejang. Ayahnya adalah laki-laki yang dua hari lalu menjadi pelaku penyerangan di stasiun dan kutembak mati sebelum jasadnya hancur dalam ledakan bom.

Sesaat aku tak bisa berkata atau bereaksi apapun. Gadis itu terus meratap di permukaan pasir tajam yang menggumpal. Aku bisa merasakan duka dan kepedihan hatinya yang mendalam. Aku tidak bisa menyalahkannya.

Perasaan bersalah itu malah muncul menusuk jantungku sendiri. Tapi aku tidak boleh rentan sekarang. Aku harus melakukan sesuatu... apa saja agar gadis ini tidak menghabisi dirinya sendiri, gara-gara perbuatanku.

Aku harus menebus dosaku.

"Aku juga tidak punya ayah. Tapi aku tidak memutuskan mati sia-sia sepertimu," kataku pelan. "Kamu baru saja ditinggal ayahmu, kan? Sementara aku sudah ditinggal sejak aku lahir. Tapi ya kamu tahu apa soal itu?"

Gadis itu terkejut. Jelas ia tidak menyangka aku akan mengatakan hal seperti itu. Pikirannya yang masih ingin mati teralihkan, sesuai rencanaku.

Ya, aku sengaja bertingkah sentimental dan bodoh agar bisa mengambil hati gadis itu. Meski itu sama sekali bukan diriku.

Akan kulakukan apa saja, asal ia tidak bunuh diri gara-gara aku.

"Bukan cuma itu. Aku juga dibuang ibu kandungku setelah aku dilahirkan. Sementara kamu masih punya ibu kan? Kalau kamu merasa nasibmu paling sial di dunia, aku jadi mau ketawa."

Aku tersenyum sambil pura-pura berekspresi pedih. Mirisnya, hatiku sungguhan kembali ngilu.

Gadis itu diam seribu bahasa.

"Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan ibumu kalau kamu mati bunuh diri? Dia sangat menyayangimu, kamu tahu itu," kataku dengan suara lembut, setelah bayangan ibu si gadis muncul dalam benaknya.

Gadis itu menutup wajahnya dan menangis.

Kubiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Heran juga aku bisa bersikap sebaik dan sesabar ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Kurasa kalau aku punya tujuan, aku memang sanggup melakukan apa saja.

Tak ada orang tidak bersalah yang boleh mati gara-gara aku.

Setelah tangisnya mereda, gadis itu berdiri perlahan dan berkata, "Kamu benar... aku harusnya tidak bersikap seperti tadi... aku hampir saja menghancurkan hati ibuku... dan sekalipun ayahku mati dalam kondisi seperti itu, tapi aku tahu ia selalu menyayangiku... ia sakit parah dan tak ada yang memahaminya... namun setidaknya, ia sudah tenang sekarang..."

Aku mengerutkan alis. Kilasan ingatan si gadis tentang ayahnya menyapu benakku--laki-laki itu menggendongnya saat kecil, membacakan cerita, mengajaknya pergi ke taman bermain, mengantarnya sekolah... bahkan sampai si gadis beranjak remaja, laki-laki itu tak berhenti memanjakannya, dengan memberinya kue dan hadiah setiap ulang tahun, mengajaknya liburan setiap pekan, membelikan makanan kesukaannya setiap ia pergi keluar...

Sampai laki-laki itu mulai bertingkah agak aneh, terutama beberapa bulan terakhir. Ia sering mengeluh sakit kepala. Ia sering menghilang entah ke mana. Dan tiba-tiba ia sering mengamuk tanpa alasan. Saat ia tanpa sengaja memukul istrinya di hadapan anak gadisnya, laki-laki itu pun pergi dan tak pernah kembali.

Tahu-tahu media memberitakannya tewas dalam ledakan sebagai pelaku penyerangan di Stasiun Ibukota.

"Terima kasih... sudah menyelamatkanku...," kata gadis itu sungguh-sungguh.

"Mau kuantar pulang?" tanyaku pelan.

Gadis itu menggeleng. "Tidak usah. Rumahku dekat sini."

Aku tahu ia tinggal di sebuah ruko sederhana, dua blok jauhnya dari tempat ini. Orangtuanya membuka usaha kedai kopi kecil-kecilan, dan gadis itu sering membantu di kedai sepulang sekolah.

Ternyata ia satu sekolah denganku, meski beda kelas. Semua hantu pikirannya memberitahuku itu, saat ia membayangkan rumah dan memutuskan kembali melanjutkan hidup.

"Sekali lagi, terima kasih, ya...," gadis itu tersenyum dan melambai pergi.

Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali ke mobilku. Cukup lama aku duduk diam di kursi kemudi, merenungkan segala yang baru saja terjadi.

Aku hampir saja menjadi penyebab seseorang mati bunuh diri. Aku merasa bersalah, meski sebetulnya itu bukan sepenuhnya salahku juga. Laki-laki itu sudah melukai banyak orang dan mengancam nyawa anak kecil tak berdosa di Stasiun Ibukota. Aku harus menjalankan tugasku untuk menyelamatkan anak itu.

"...ia sakit parah dan tak ada yang memahaminya..."

Kata-kata dan ingatan gadis itu menggelitikku. Ada yang tidak beres di sini. Dan aku merasa sangat terdorong untuk menyelidikinya. Aku tahu kasus ini bukan urusanku, tapi jika kepingan kecil puzzle yang luput dilihat Randu dan anak buahnya muncul di depan mataku seperti saat ini, aku jelas tak bisa mengabaikannya begitu saja.

Aku akan diam-diam menyelidikinya sampai tuntas. Aku hanya bertugas melindungi Puri selama di luar rumah--dan kebanyakan hanya berpusar di kegiatan sekolah. Setelah dia kembali ke rumah, aku bebas melakukan apapun.

Mulai besok, aku tahu persis apa yang harus kulakukan.

...***...

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

Mada, gak usah fikir macem2😁 yg punya body denger tuh😄

2024-04-15

1

Suryavajra

Suryavajra

diaduk apa gak diaduk? hehehe

2024-04-03

1

anjurna

anjurna

Pikiran awal Arya tentang Puri begini, ya. Padahal Arya manis banget kalau udah jatuh cinta/Scowl/

2024-04-02

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!