"Ada apa Kamu memanggilku ke sini, Le? terus mengapa kamu tidak sekolah, ini masih jam sekolah kan?" tanya Jelita beruntun. Tampaknya Jelita memang sangat penasaran dengan Leon yang tiba-tiba mengajaknya bertemu setelah sekian lama.
Setelah hampir beberapa bulan lamanya menghilang, tiba-tiba Leon mengirimnya pesan.
Jelita tampak tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Berada di kosan laki-laki bersama Leon membuatnya sangat ingin untuk pergi.
Lalu, melihat ekspresi tidak nyaman di wajah Jelita, hati Leon seketika terhenti. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mengambil tangan Jelita dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kehangatan dalam momen yang sejenak terasa canggung.
Mereka berhenti sejenak, tangan mereka saling tergenggam erat. Leon merasakan denyutan lembut dari tangan Jelita, seolah mengirimkan pesan bahwa ia juga merasakan getaran yang sama. Dalam keheningan yang indah, Leon melihat mata Jelita yang penuh keraguan dan kebencian.
Tiba-tiba, dengan keberanian yang tak terduga, Leon melanjutkan langkahnya. Ia mendekatkan bibirnya ke punggung tangan Jelita yang tergenggam, memberikan kecupan lembut yang penuh kasih sayang. Sejenak, waktu berhenti berputar, dan mereka berdua merasakan getaran kecil yang mengalir di antara mereka.
Namun, sebelum kehangatan itu bisa meresap lebih dalam, Jelita dengan cepat melepaskan tangan dari genggaman Leon. Ada kegelisahan di matanya, seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh.
"Jelita, saya adalah Ramona, Mama dari Leon. Saya tahu seberapa besar Leon begitu mencintai kamu dan sejauh mana kalian berhubungan. Memang dulu anak saya sempat selingkuh, dia menduakanmu dengan wanita lain. Terlebih itu temanmu sendiri ...,"
"Tapi nak. Dia tidak pernah mencintai wanita itu. Leon hanya tergoda sesaat dengannya, kemudian setelah ingat denganmu, Leon segera memutuskan gadis itu. Kamu adalah wanita yang dicintai Leon, nak. Anak tante mencintaimu ...,"
"Sebelum kami pergi, alangkah baiknya kalian perbaikan, mengobrol dan mencurahkan perasaan kalian. Saya yakin kalian masih saling mencintai." jelas perempuan paruh baya yang dilihat Jelita di awal, perempuan yang membuat Jelita terpesona olehnya karena kecantikannya. Rupanya dia adalah mama Leon. Sejauh mengenal Leon, baru kali inilah Jelita melihat ibunya.
Ramona terlihat menyentuh bahu Jelita dan tersenyum ke arahnya. Senyum elegan yang sialnya membuat Jelita terpesona.
Ibu dari Leon ini memiliki kecantikan yang melebihi ekspektasinya. Di wajahnya sama sekali tidak nampak kerutan yang biasanya Jelita lihat dari kebanyakan wanita seumurannya.
Namun, Jelita juga melihat hal yang sama pada ibunya. Widya, seperti Ramona, memiliki wajah yang bebas dari kerutan dan jerawat. Meskipun Jelita memahami bahwa ibunya sering pergi ke salon dan melakukan perawatan kecantikan, tetapi itu tidak mengurangi kekagumannya terhadap kulit ibunya yang tetap awet muda.
Widya sering kali menghabiskan waktu di salon, bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi hampir setiap hari. Ia selalu mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk perawatan tersebut. Bahkan, pernah terjadi satu kali di mana kartu kredit hampir mencapai batasnya karena keborosan Widya.
Tetapi, di balik sifat borosnya, jelas terlihat bahwa wajah dan fisik Widya semakin cantik. Sementara teman-teman seumurannya mulai memiliki uban dan keriput di wajah mereka, Widya tetap terlihat cantik dan energik. Seolah-olah ia masih berusia dua puluhan, sejajar dengan putrinya, Jelita.
Lalu Jelita yang mendengar ucapan Ramona dan perkataannya jika ia dan Leon masih saling mencintai, cukup membuat Jelita tersinggung. Ia sama sekali tidak menyukai pandangan Ramona terhadapnya.
Dulu Leon dengan sadar mengatakan tidak menyukai Jelita lagi. Wajah Jelita membosankan dan sekarang sifatnya sudah jauh berubah.
Ada beberapa kali Leon mengejek Jelita sesaat dia berpapasan dengan Jelita. Memang saat itu Leon tengah menggandeng mesra kekasihnya, yang dalam artian mantan temannya.
Dalam tingkahnya itu Leon seperti sengaja membuat Jelita cemburu padanya. Seperti apa yang dilakukannya memang dengan tujuan membuat Jelita sakit hati.
Namun, setelah ada kabar berita jika Leon putus dengan kekasihnya, tiba-tiba saja lelaki itu ada mendatangi Jelita kembali.
Dengan senyum ramahnya, Leon meminta maaf terhadap Jelita. Dia menyesali perbuatannya serta berjanji takkan mengulangnya lagi. Leon memohon pada Jelita untuk menerima cintanya lagi, seperti jika dalam pernikahan Leon menginginkan rujuk dengan Jelita.
Namun, setelah apa yang Leon lakukan terhadapnya, bagaimana bisa dia mengatakannya dengan begitu mudah? seperti apa yang dilakukannya itu bukanlah sesuatu yang besar. Seolah apa yang dilakukannya tidaklah menyakiti Jelita.
Lalu dengan tersenyum ramah serta tatapan yang mencerminkan kesedihan, Jelita menghela nafas panjang. "Ibu tidak tahu ya seperti apa kelakuan anak ibu dulu terhadap saya? Dia yang dengan sengaja mengejek saya, mengatakan tidak suka dengan saya lagi serta mengatakan jika wajah saya membosankan, masih bisa dibilang mencintai saya?
"Setelah semua rasa sakit yang dia berikan, bagaimana bisa Anda mengatakan saya masih mencintainya. Semua rasa cinta saya padanya sudah mati semenjak dia menghianati saya dengan teman saya ...,"
"Oh iya, tadi ibu mengatakan tergoda sesaat kan? Jika hanya sekedar tergoda sesaat, bagaimana bisa anak ibu itu berciuman dengan kekasihnya hampir setiap hari di tempat-tempat sepi di sekolah?
"Bu, maaf ya jika saya lancang, tapi sepertinya ibu harus mengurangi rasa sok tahu ibu. Ibu mengatakan kami saling mencintai, tanpa melihat bagaimana luka yang saya terima atas kelakuan anak ibu ...,"
"Huufftt ... Sepertinya saya tidak ada banyak waktu, masih ada beberapa tempat yang perlu saya kunjungi. Sebenarnya kamu mengajakku bertemu Ada urusan apa sih, Le? Cepat katakan sekarang, aku tidak ada banyak waktu."
Segala rasa sakit yang terpendam dalam hati Jelita akhirnya meledak, ia dengan tegas dan jujur mengungkapkannya kepada Leon dan ibunya yang menyatakan bahwa Jelita dan Leon masih saling mencintai.
Dengan penuh kemarahan yang tak terbendung, Jelita meluapkan segala emosinya tanpa memedulikan tata krama atau kesopanan. Ia mengungkapkan dengan tegas dan lugas tanggapannya terhadap ucapan Ramona, ibu dari Leon.
Sementara itu, Leon dan Ramona terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Jelita. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Jelita akan mengatakan hal ini kepada Ramona.
Seperti terkena sengatan listrik, keduanya terdiam dalam keheningan yang tegang. Beberapa saat berlalu, Leon menghela napas panjang dan akhirnya membuka suaranya.
"Aku mengajakmu bertemu bukan tanpa alasan, Jel. Memang aku merindukanmu, tapi aku sudah tahu Kamu takkan mau kembali lagi denganku. Jel, tak lama lagi aku akan pindah sekolah ke Singapura tempat papaku bekerja. Aku akan mencoba untuk membantu bisnisnya sambil belajar-belajar di sana ...,"
"Maafin aku ya, Jel. Aku sudah mengecewakanmu, membuatmu sedih dan patah hati. Lagi-lagi aku sudah menyakiti hatimu, Jel. Tapi aku melakukannya juga ada alasannya ...,"
"Jel, setelah pulang nanti, Jangan lupa baca surat dariku ya. Di sini aku mencurahkan semua perasaan serta maksud dari perkataanku barusan. Mungkin kamu membenciku saat ini, tapi setelah membaca suratku rasa bencimu padaku akan sedikit berkurang." jelas Leon sembari menyerahkan secarik kertas pada Jelita.
Ada beberapa saat sampai Jelita menerima surat itu dan pergi dari sana. Meninggalkan Leon dan mamanya yang masih termenung di tempatnya.
"Semoga di sini kamu bahagia ya, Jel. Kuharap apa yang kamu inginkan tercapai. Mungkin setelah ini aku takkan menemuimu lagi, takkan pernah. Tapi di sana Aku akan selalu mendoakanmu. Mendoakan kebahagiaanmu dengan lelaki yang kamu pilih ...,"
"Kuharap dia adalah orang yang baik dan dapat menjagamu." batin Leon sesaat setelah kepergian Jelita dari taman kosannya.
.......................................
Lima menit berlalu setelah kepergian Jelita dari kosan Leon. Sebuah Lamborghini putih mengkilap datang dan berhenti tepat di hadapannya.
Seorang pria dengan kacamata gelap mendekati Jelita, pakaian kantornya tampak rapi di sebalik jaketnya. Lengan bajunya tergulung sampai siku, menampilkan kulit coklat tangannya yang terlihat kekar di balut otot.
Dia menghampiri Jelita yang masih termenung di pinggir jalan setelah beberapa saat sebelumnya pergi dari kosan Leon. Dia beranjak mendekati Jelita dan melepas kacamata hitamnya.
Menampilkan manik mata hazel miliknya yang tengah menatap Jelita dengan senyum mengembang. Senyum yang sejak kemarin malam berubah menjadi senyum yang membuatku trauma.
Sejak apa yang ia lakukan bersama pria itu, sejak asetnya terenggut Jelita semakin risih dengan keberadaan lelaki itu. Memang tujuannya untuk mendekatinya, namun entah mengapa Jelita sangat merasa risih berada di dekatnya.
Manik matanya masih menatap ke arah Jelita dengan tatapan lembut yang sama. "Ayah, bagaimana bisa ayah berada di sini?" tanya Jelita memecah keheningan pada hari itu. Dia tersenyum dan menghela napas.
"Tadi ayah sedang dalam perjalanan menuju ke kantor. Memang sebenarnya bukan jalan ini yang biasa ayah lewati saat hendak ke kantor namun karena beberapa saat tadi ada teman ayah yang meminta jemput ya otomatis ayah datang menjemputnya lewat jalan ini. Biasalah rekan kantor ...,"
"Tapi setelah ayah sampai di sini, tiba-tiba dia bilang kalau dia nggak ke kantor dulu katanya sakit perut. Ya udah deh ayah lanjut aja pergi ke kantor. Ehm, Kamu sendiri lagi apa di sini, sendirian lagi?" tanya Revan.
Jelita sempat melamun sebelum akhirnya tepukan Revan pada punggungnya berhasil menyadarkannya dari lamunannya.
"Kamu kenapa sih, kok kayaknya lagi banyak masalah gitu? kamu lagi mikirin masalah kemarin ya? Ayah minta maaf ya, gara-gara ayah aset mu jadi terenggut. Ayah benar-benar menyesal kemarin sudah tidak mencegahmu ...,"
"Andai kemarin ayah mencegahmu mungkin semua itu tak akan terjadi. Kamu takkan--" ucap Revan terpotong karena sebelum ucapannya usai Jelita tampak menghentikan ucapan Revan dengan menaruh jari telunjuknya tepat di depan bibir Revan.
"Aku nggak papa, ayah nggak usah mikirin soal aku. Yang kemarin nggak usah dipikirin lagi, nggak masalah. Lagi pula itu emang sudah salah aku. Aku yang kemarin mabuk berat terus langsung masuk kamar ayah, ehm, sudahlah tidak usah mikirin itu lagi." sahut Jelita.
Revan yang masih merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi, tanpa ragu segera meraih tangan Jelita dengan lembut. Dalam genggamannya yang hangat, ia mencoba mengungkapkan penyesalannya.
Manik matanya penuh dengan rasa bersalah saat ia menatap Jelita dengan penuh perhatian.
"Tidak, ini semua salah ayah, ayah sudah mengambil harta berhargamu. Sekali lagi maafkan ayah, ayah rela melakukan apapun yang kamu mau atau memberikan apapun yang kamu minta asalkan jika dengan itu kamu mau memaafkan ayah ...,"
"Bahkan, jika kamu ingin ayah mengatakan apa yang sudah terjadi kemarin malam kepada bunda kamu maka ayah akan mengatakannya." Revan terlihat begitu tulus dalam pandangannya. Kedua matanya menyorot lurus ke arah Jelita, mencerminkan ketulusan dan kesungguhan dalam kata-katanya.
Sementara itu, Jelita mendengarkan dengan seksama semua yang diucapkan oleh Revan. Ia terdiam sejenak, matanya menatap Revan dengan pandangan yang penuh keseriusan. Ide brilian tiba-tiba muncul dalam pikiran Jelita.
Meskipun awalnya enggan, namun ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan yang dapat digunakan untuk memperlancar ambisi balas dendamnya.
Dengan hati yang berdebar, Jelita memutuskan untuk mengambil langkah maju dan menjalankan ide cemerlangnya. Ia tahu bahwa ini bukanlah hal yang mudah, tetapi tekadnya yang kuat mendorongnya untuk melangkah.
Dalam keheningan yang penuh dengan rencana jahat, Jelita siap untuk mengubah takdir dan mewujudkan ambisinya.
"Ayah benar-benar mau menuruti apa kemauanku kan? aku tidak ingin ayah melakukan apapun untukku, tapi jika ayah memaksa, maka baiklah, aku ingin ayah melakukan satu hal untukku." dengan perlahan, Jelita mendekatkan tubuhnya ke arah Revan, hingga mereka saling berhadapan secara dekat.
Dengan suara yang lembut, Jelita membisikkan beberapa kata tepat di depan telinga Revan.
"Apa itu? katakan saja," sahut Revan tanpa ragu.
Setelah mendengar jawaban Revan, Jelita yang tahu apa yang akan dikatakannya langsung saja tersenyum miring.
Ia kembali mendekatkan wajahnya ke arah Revan, menciptakan kedekatan yang intens di antara mereka. Dengan suara yang lembut, ia membisikkan beberapa kata yang hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. "Jadilah kekasihku, ayah. Maka aku akan melupakan apa yang terjadi kemarin malam."
Ucapan yang keluar dari bibir Jelita membuat Revan terkejut. Ia tidak percaya bahwa Jelita mengatakan semua itu dengan sengaja. Tubuhnya menegang, dan matanya membulat sempurna, mencerminkan kebingungan dan kejutan yang melanda dirinya.
Pertanyaan bergejolak di pikiran Revan. Apa itu? mengapa Jelita menginginkan hal itu? menjadi kekasih Revan, bukankah itu tandanya ia akan menjadi pelakor di dalam rumah tangga bundanya sendiri?
"Jelita, kamu .."
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments