Senyum Tipis Nero

Indahnya dekorasi pesta di ballroom Deluxe Hotel, sedikit mengalihkan kekacauan hati Raina, setelah beberapa menit satu mobil dengan Nero, duduk berdampingan pula. Rasanya seperti tertekan. Aura dingin Nero tetap terasa meski tak ada kalimat sinis yang terlontar.

Kini, dalam balutan gaun panjang warna merah maroon yang senada dengan jas yang dikenakan Nero, Raina melangkah anggun menghampiri kakak dan juga ibunya.

Ia dan Nero sempat menjadi pusat perhatian, dari beberapa pasang mata milik saudara dan teman terdekat yang kala itu sudah tiba lebih dulu.

Namun, wajar. Malam itu Nero terlihat gagah dan rupawan. Rambut bagian samping yang sedikit memanjang, seolah menambah kadar ketampanan yang seakan enggan pudar dari wajahnya.

Sementara Raina, berkat sentuhan MUA profesional, wajah polosnya tak terlihat lagi. Yang tersisa kini adalah wajah cantik ala wanita dewasa, tetapi ... sungguh menawan. Dengan rambut yang disanggul rapi, leher jenjang Raina terpampang jelas. Tampak sama mulusnya dengan bahu yang juga terbuka, karena gaunnya model halterneck.

"Raina," sapa Raksa ketika sang adik sudah tiba di hadapannya.

Raksa tersenyum senang, memandangi lengan Raina yang menggamit mesra lengan Nero. Sepertinya hubungan mereka cukup hangat dan harmonis, begitulah pikir Raksa.

"Selamat ya, Kak Raksa, aku turut bahagia dengan pernikahan kalian," ujar Raina sembari memeluk Raksa. Sangat erat.

Banyak harapan yang terucap dalam batin Raina ketika hangat pelukan Raksa mendekap dirinya, salah satunya semoga karier Raksa tetap cemerlang.

Usai memeluk Raksa, Raina memeluk Anne dengan erat. Sebisa mungkin dia menahan diri agar tenang dan tidak canggung. Setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah wanita yang dicintai Nero, luka dalam hati Raina seolah menganga lagi setiap berinteraksi dengannya.

"Selamat ya, Kak, akhirnya ... resmi jadi kakak iparku sekarang. Maaf ya, Kak, kemarin nggak bisa datang langsung ke sana. Kesehatanku belum pulih total," kata Raina setelah berhasil menenangkan hati dan perasaannya.

"Iya, nggak apa-apa, Ra. Aku udah senang banget kamu mau datang sekarang," jawab Anne, juga dengan senyuman ramah.

Lantas, keduanya pun saling mengurai pelukan.

Sesaat setelah itu, Nero yang mengucapkan selamat untuk Raksa dan Anne. Tatapannya terlihat tenang, pun dengan kalimat yang terlontar dari bibirnya. Bahkan, ada senyuman lebar yang turut menyertai ucapan itu. Jika begini, siapa yang menduga bahwa Nero masih menyimpan dendam.

"Selamat, Anne. Semoga kamu dan Raksa bahagia."

Tepat ketika Nero menjabat tangan Anne, Raina menatapnya dengan lekat. Meski tak ada kejanggalan dalam sikap Nero, tetapi Raina merasa tak nyaman dengan sendirinya. Terbayang dalam otaknya, apa kira-kira yang dipikirkan Nero kala itu. Mungkin ... kenangan manisnya bersama Anne. Ahh.

"Kalian berdua di sini saja ya, ikut menyambut tamu. Sebentar lagi pasti berdatangan," timpal Yeni. Dia berkata sembari menatap Raina dan Nero secara bergantian.

Raina sekadar tersenyum. Dia tak punya jawaban, antara iya atau tidak. Dia tak tahu apa yang diinginkan Nero kala itu. Andai salah membuat pilihan, bisa saja membangkitkan emosi lelaki itu.

"Baik, Ma." Nero menjawab, menerima tawaran Yeni tanpa pikir panjang.

Alhasil, keduanya pun turut serta mengambil peran di sana. Berdiri di antara Yeni, Raksa, Anne, dan juga orang tua Anne. Layaknya keluarga, Nero dan Raina ikut menebar senyum menyambut tamu yang mulai datang satu per satu.

Nero tak peduli meski keberadaannya di sana makin memantik tanda tanya di kalangan pebisnis sekelasnya. Biarkan saja orang mau berpendapat apa, pikir Nero, yang penting dia terlihat baik-baik saja dengan Raina, pun dengan keluarganya.

"Sayang, sebaiknya kita istirahat di sana. Kata dokter, kamu masih tidak boleh kelelahan, kan?" ujar Nero setelah cukup lama ikut menyambut tamu.

"Iya, Om." Raina tersenyum manis, seolah ingin menunjukkan pada keluarga dan juga semua orang bahwa semanis itu hubungan mereka.

Setelah mohon izin kepada Yeni, Raina dan Nero turun dari pelaminan. Masih dengan tangan yang menggamit mesra, keduanya melangkah di antara lalu lalang tamu undangan, menuju tempat duduk yang ada di sudut ruangan. Sedikit lengang dibanding tempat duduk yang lain.

Beberapa waktu duduk di sana, tak ada satu pun perbincangan di antara Nero dan Raina. Sedari tadi, Nero terus menatap ke pelaminan. Tepatnya ke arah Anne. Entah apa saja yang dia pikirkan, yang jelas sepasang itu terus memandang dengan ekspresi dingin dan datar. Sementara Raina, sesekali melihat Nero, sembari berpura-pura sibuk dengan minuman di tangannya.

"Andai aku nggak mencintai kamu, pasti rasanya nggak sesakit ini, Om," batin Raina sambil menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Nero!"

Suara lelaki yang datang mendekat, membuyarkan pikiran Raina dan Nero, yang tadi larut dalam dirinya sendiri.

Raina mendongak dan menatap lelaki yang pernah ia temui sewaktu menikah dulu—Ramon.

"Kamu," sahut Nero asal-asalan. Tidak ada senyum di bibirnya, justru Raina yang melakukan itu.

"Kamu cantik sekali, Nona. Sangat beruntung Nero bisa menikahi kamu," puji Ramon sambil mengerling nakal pada Raina.

Namun, hal itu justru membuat Raina canggung dan akhirnya memilih menghindar—dengan alasan ke kamar mandi.

"Jika tidak ingin kuhajar di sini, lebih baik jaga mulutmu!" geram Nero setelah Raina pergi.

Ramon tertawa. "Kamu cemburu?"

Nero mendengkus kesal. "Kamu sudah menikah. Jangan sampai karena istrimu punya bayi, kamu jadi jelalatan di luar. "

"Aku nggak jelalatan, cuma ya ... ngomong fakta saja. Raina memang cantik kok. Bandingkan dengan yang di sana. Sama-sama di-make up, bukannya lebih cantik Raina? Ada manisnya, ada imutnya, paket komplit deh." Ramon terus bicara, sembari menatap Anne yang masih berada di pelaminan.

Nero tidak menjawab. Namun, dalam hati ia membenarkan apa yang dikatakan Ramon. Raina memang cantik, bahkan ... mungkin lebih cantik dari Anne, meski dengan versi yang berbeda.

"Kalau aku jadi kamu, pasti setiap malam sudah kupeluk, kucium, kuajak bercinta sampai pagi. Nggak akan bosan atau capek kalau partnernya secantik dia," lanjut Ramon, sok serius.

"Diam atau gelas ini akan kujejalkan ke mulutmu!" Nero kembali menggeram, dengan tangan yang mencengkeram erat gelas bekas Raina.

Ramon menarik napas panjang, lantas duduk di sebelah Nero sambil menepuk bahunya.

"Coba sekali saja buang jauh-jauh gengsi dan angkuhmu itu. Kamu cemburu, kan?" ucapnya.

Nero berdecak kesal.

"Jawab dalam hati saja. Karena yang butuh jawaban itu kamu, bukan aku," sambung Ramon.

"Jangan banyak bacot!" Nero berpaling, sangat enggan menatap Ramon.

"Sebagai teman, aku cuma nggak mau kamu menyesal. Jangan sampai kehilangan permata untuk kedua kali," kata Ramon sesaat kemudian.

Tak ada jawaban dari Nero.

"Tanyakan ke hati kamu sendiri, kenapa malam itu nggak nidurin Raina? Padahal kamu udah membuka semua baju dia, dan dia pun dalam keadaan pingsan. Mudah banget kalau kamu mau ngelakuin itu. Mau bilang nggak cinta jadi nggak naf-su, itu alasan khas anak SD. Yang namanya laki-laki normal, pasti punya naf-su meski nggak ada cinta, karena dua hal itu jauh berbeda. Sekarang renungkan, kenapa kamu nggak meniduri Raina?" lanjut Ramon.

"Jangan salah paham. Bukan tipeku tidur dengan sembarang wanita. Kamu juga tahu itu," sahut Nero sembari menyulut rokok.

Ramon tersenyum meski Nero tak menatapnya. "Iya, aku tahu. Tapi, sekarang kalian sudah menikah. Raina bukan sembarang wanita lagi. Terlepas dari apa alasanmu, yang jelas sekarang dia sudah menyandang gelar Nyonya Nero. Lalu, pernahkah kamu meniduri dia?"

Nero diam, sekadar mengisap rokoknya kuat-kuat.

"Kalau pernah, coba renungkan lagi, kenapa kamu mau menunggu sampai dia sah menjadi istrimu. Kira-kira karena menurutmu dia nggak pantas diperlakukan dengan rendah atau bukan?" Ramon menjeda kalimatnya. "Jika belum, kamu harus merenung lebih dalam, Nero. Kenapa nggak kamu tiduri? Padahal, membuat dia menjadi tempat pelampiasan has-ratmu adalah bentuk balas dendam yang lebih menyakitkan. Lantas, kenapa nggak kamu lakukan?" lanjutnya.

Meski diam, tetapi Nero merasa tertampar dengan ucapan terkahir Ramon. Menjadikan Raina sebagai pelampiasan has-rat memang sudah terpikir sejak awal. Namun, wajah polos Raina selalu sukses menahan niat buruk itu. Bahkan, pada malam di mana dia menelanja-ngi Raina, Nero malah rela meredam has-ratnya dengan berendam air dingin. Padahal, terbentang kesempatan untuk melakukan 'itu'.

Sampai sekarang pun, Nero hanya sanggup berkata kasar, sinis, atau mengintimidasi yang membuat Raina menunduk takut. Sedangkan memaksa tidur, Nero belum sanggup melakukannya.

"Kenapa diam? Kamu memikirkan sesuatu, kan?" tegur Ramon.

Namun, Nero justru bangkit. "Kamu terlalu banyak bicara. Sudahlah, aku yang lebih tahu dengan pernikahan ini."

Sebelum Ramon bicara lagi, Nero sudah melangkah pergi. Kebetulan, Raina juga baru kembali dari kamar mandi. Saat itu pula, Nero mengajaknya pamit dengan alasan kesehatan Raina belum pulih total, harus banyak istirahat.

Saat melangkah keluar dari ballroom, Nero menggenggam jemari Raina dengan erat. Sampai tiba di dekat mobil, barulah ia melepaskan genggaman itu.

Sayangnya, tadi Raina terlalu banyak menunduk, jadi tak tahu bahwa Nero sempat tersenyum tipis.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

ria

ria

semangaat nero raina❤
jgn sampai km bucin loo nero ..malux mau ditaruh dimana ..
sekarang2 sik jual mahal🙊

2024-03-19

1

ria

ria

semangaat ramon..nasihat yg bijak

2024-03-19

1

ria

ria

masih kencur lagi ya ramon..
makin suegeer❤

2024-03-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!