Alasan di Balik Dendam

'Tidak usah mengatakan apa pun pada Raina, karena setelah ini aku kembali lagi ke London.'

Nero mengirimkan pesan penting pada Norman ketika dirinya tiba di apartemen pribadi, di Indonesia. Tak ada niat dalam dirinya untuk pulang ke rumah utama, di mana Raina berada. Dalam beberapa hari ke depan dia hanya akan menghabiskan waktu di kantor dan apartemen. Sementara Raina, terserah mau apa wanita itu. Bersedih, terluka, kecewa, biarkan saja. Nero tak peduli sedikit pun.

"Masih baik aku tidak menjadikan kamu pelampiasan naf-su. Seharusnya kamu sangat berterima kasih padaku, Raina," ucap Nero sambil merebahkan tubuh di ranjang.

Tak lama kemudian, wajah polos Raina seolah tergambar di langit-langit kamar. Senyum riang dan sikap manja yang selama ini ditunjukkan, juga tatapan sendu saat terakhir kali mereka bertemu. Semua masih terekam jelas dalam ingatan Nero, berikut dengan alasan yang membuat dirinya sangat membenci Raina.

"Jika kamu benci dengan keadaan ini, jangan salahkan aku, tapi salahkan kakakmu sendiri. Dia yang membuatku memilih jalan ini, Raina," batin Nero dengan mata yang memicing, menyiratkan kebencian yang sangat besar.

"Heh, aku penasaran, seperti apa tampang angkuh Raksa ketika tahu adiknya hanya menjadi istri yang terabaikan." Batin Nero kembali bersuara, seiring bayangan Raina yang kian memudar dan berganti wajah Raksa. Pengkhianat ulung yang berhasil membangkitkan sisi lain dalam diri Nero.

Ketika sedang fokus membayangkan akar dendam yang merajai hatinya saat ini, ponsel di samping Nero berbaring berdering. Ada panggilan dari Ramon—teman dekat Nero. Katanya, lelaki itu kini sudah berada di depan apartemen Nero.

Meski dengan malas dan sedikit terpaksa, Nero bangkit dan turun dari ranjang. Berjalan keluar kamar dan menyambut tamu yang kurang diharap kedatangannya.

"Aku belum lama tiba, masih lelah, harusnya kamu datang besok atau lusa," ujar Nero sambil mendengkus kesal.

Andai Ramon adalah orang asing, pasti sudah tersinggung. Namun, tidak. Sejak kuliah mereka berteman, jadi Ramon sudah hafal dengan sifat, pun sudah kebal dengan sikap yang terkadang sangat angkuh dan egois.

"Justru karena kamu belum lama tiba, makanya aku ke sini. Dari pada terlambat, iya kan?" Dengan tanpa rasa bersalah, Ramon duduk di sofa dan menyulut sebatang rokok yang ia bawa sendiri. Mengisapnya dengan nikmat sembari menatap wajah kesal Nero.

"Kamu sudah menikah, Nero, setidaknya hargai istrimu. Dia perempuan polos, tidak terlibat sedikit pun dengan masalahmu. Sangat tidak adil kalau kamu melampiaskan dendammu padanya," sambung Ramon, mengungkit kembali nasihat yang tadi sempat ditulis lewat pesan—sayangnya malah diabaikan oleh Nero.

Sekarang pun, Nero masih tak acuh. Alih-alih menanggapi dengan serius, lelaki pemilik mata hitam tajam itu justru ikut menyulut sebatang rokok dan mengisapnya kuat-kuat.

"Nero—"

"Salah sendiri dia menjadi adiknya Raksa," pungkas Nero dengan santainya, seolah langkah yang dia ambil adalah sesuatu yang sangat benar.

Cukup lama Ramon memilih diam, menunggu sampai Nero meredam hati yang mungkin saja bergejolak hebat.

"Kamu jangan terlalu angkuh. Dulu kamu juga ikut andil salah, Nero. Kepergian Anne bukan semata-mata karena Raksa, tapi ada sikapmu juga yang menjadi alasan dia pergi," ucap Ramon dengan hati-hati. Dia tahu emosi Nero sangat mudah tersulut, apalagi jika menyangkut harga diri.

"Kamu masih saja membela mereka. Jangan-jangan ... bukan hanya Bryan dan Norman yang dibayar Raksa, tapi kamu juga." Nero tersenyum masam. Meski tidak serius menuduh, tetapi dia cukup kesal dengan Ramon. Bisa-bisanya dari dulu sampai sekarang selalu membela Raksa dan Anne.

Kalaupun kata Ramon pengkhiatan Anne karena dirinya yang tak pernah ada waktu untuk wanita itu, tetapi menurut Nero, tak seharusnya Anne selingkuh. Terlebih dengan Raksa, yang notabenenya adalah orang kepercayaan Nero.

"Coba kamu ingat pelan-pelan, bagaimana awal perkenalan mereka. Dari kamu sendiri, kan? Kamu sering menyuruh Raksa untuk menjemput Anne, mengantar Anne, memberikan ini itu. Yang intinya, kamu membuat banyak kesempatan untuk mereka bertemu. Sedangkan kamu sendiri, berapa bulan sekali bisa menemui Anne?" kata Ramon, tak pernah menyerah menyadarkan Nero. Dia tak ingin temannya itu gagal lagi dalam urusan wanita.

"Seribu kali pun bertemu, jika mereka tahu diri, tidak akan pernah selingkuh." Nada bicara Nero masih sinis, pun dengan lirikan yang dilayangkan.

Ramon menarik napas panjang. "Aku dulu pernah mengingatkan kamu, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan, sisakan sedikit waktu untuk Anne. Kamu tidak mau dengar, dan akhirnya ... kamu kehilangan Anne. Sekarang, aku tidak pernah bosan mengingatkan kamu, hargai Raina. Bagaimanapun juga, kamu sudah menikahi dia dan di antara kalian juga sudah ada anak. Jangan sampai karena terlalu larut dengan masa lalu, kamu gagal memahami perasaanmu sendiri. Menyesal lagi jadinya."

Nero tertawa. "Aku tidak akan pernah mencintai dia."

Ramon menatap Nero dengan senyum mengejek. "Cinta itu bisa datang dari kebiasaan. Sekarang kamu bilang begini, tapi tidak tahu nanti. Sangat mungkin, nanti justru kamu yang tergila-gila dengan Raina dan jungkir balik karenanya."

"Halumu terlalu tinggi," sahut Nero tanpa menoleh. Kekesalannya meningkat berkali-kali lipat setiap kali Ramon mengatakan hal itu. Sebuah hal yang menurut Nero sangat mustahil untuk terjadi.

Ya, walaupun sudah terluka dan benci, tetapi tak dipungkiri hatinya masih terpaut pada Anne. Kekasih sekaligus cinta pertamanya, yang selingkuh dengan Raksa dan akan menikah dalam waktu dekat.

Pikir Nero, kalaupun nanti dia bisa melupakan Anne dan belajar mencintai wanita lain, tentunya bukan Raina. Mana mungkin dia jatuh cinta dengan adik dari seseorang yang sudah menginjak-injak harga dirinya. Ohh, bodoh namanya.

"Kurasa dia perempuan yang baik. Tidak rugi kamu jatuh cinta dengannya." Ramon kembali bicara, dan lagi-lagi mengungkit hal baik tentang Raina.

"Aku tidak pernah bilang dia perempuan yang buruk. Tapi, statusnya sebagai adik Raksa, membuat dia tidak layak untuk kucintai."

Ramon mengusap wajahnya dengan kasar, lantas mengisap rokok dengan lebih kuat.

Dalam situasi yang seperti ini, Ramon selalu merutuki kesalahan Anne dan Raksa dalam hatinya. Ahh, andai dua insan itu lebih bijak lagi dalam bersikap, harga diri Nero tidak akan terluka.

"Pulanglah, aku akan istirahat," usir Nero.

"Kamu yakin tidak pulang?"

Nero menggeleng malas, tanpa menoleh atau sekadar melirik sekilas.

"Dia mengandung anakmu, Nero. Sebenci-bencinya kamu pada Raina, ada darah dagingmu yang akan dilahirkan olehnya. Renungkan itu." Ramon beranjak dari duduknya. "Aku begini bukan karena Raksa atau Anne, tapi karena kamu. Aku tidak mau melihatmu hancur lagi, terlebih karena kebodohan sendiri," sambungnya sembari melangkah pergi, meninggalkan Nero yang masih duduk santai di sofa.

Sembari menatap kepergian Ramon, Nero tersenyum miring di sela-sela isapan rokoknya.

"Darah daging ya? Ahh, aku malah tidak tahu siapa nanti yang akan melahirkan darah dagingku," gumam Nero sambil sedikit mengingat trik liciknya beberapa bulan lalu.

Bersambung...

(Kisah Nero, Anne, dan Raksa ada di novel Skandal Dengan Pacar Bos, sudah tamat)

Terpopuler

Comments

Iges Satria

Iges Satria

tunggu saatnya senjata makan tuan Nero ( benci jadi cinta )

2024-03-16

1

Aditya HP/bunda lia

Aditya HP/bunda lia

kasian banget Raina dia di jebak si Nero dan dia ons dengan orang lain bukan sama si Nero yakin othor akan buat kamu nyesel kejer Nero ....

2024-03-15

1

ria

ria

semangaat❤

2024-03-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!