RENCANA YASMIN

Tubuh Eridanus menggigil. Ia meringkuk sambil meringis di bawah pohon rimbun yang memiliki akar-akar mencuat sebesar lengannya, bahkan lebih besar lagi. Darahnya yang berwarna keperakan kini mulai menutupi setiap jengkal tubuh bagian atasnya yang tanpa busana hingga ia terlihat seperti manusia silver yang memenuhi jalanan-jalanan kota untuk meminta sumbangan.

Sesekali Eridanus menarik napas panjang, menahannya beberapa detik sebelum ia mengembuskannya perlahan. Setiap gerakan di paru-parunya terasa bagai sayatan dan cekikan yang bekerja sama untuk membuatnya menderita.

"Astaga. Apa ada yang patah di dalam sini?" tanya Eridanus, pada udara kosong di sekitarnya. Ia yakin sekali jika tulang rusuknya patah. "Tapi, semalam tidak apa-apa," gumamnya lagi sambil berusaha untuk duduk dengan memegangi dadanya.

Terbiasa bergerak dengan lincah untuk mengayunkan pedang, berkuda dan memanah membuat Eridanus merasa sangat terpuruk sekarang. Ya, harga dirinya jatuh ke dasar lembah yang gelap dan lembab. Ia tidak lebih dari sesosok makhluk tidak berguna yang terasing di tempat asing.

Deus possidet corpus meum et omnia quae in me sunt. Tolle dolorem meum, benedic me corpore bono et anima bona.

Bibir Eridanus yang pucat bergumam. Merapal mantra yang seharusnya dapat menyingkirkan rasa sakit di tubuhnya, dan menghentikan pendarahannya. Mantra itu berhasil saat ia merapalkannya untuk Yasmin, tetapi untuk tubuhnya sendiri mantra itu malah sia-sia. Rasa sakit yang sejak tadi menyiksanya tidak berkurang apalagi menghilang, dan darahnya ... oh, hanya Tuhan yang tahu dari bagian tubuh mana darah sebanyak itu berasal.

Deus poss ... et omnia ... benedic me cor ... et anima ... argh!

Masih sambil memegangi dadanya, Eridanus menggeser tubuhnya yang berhasil duduk untuk bersandar pada sisi lain pohon yang dipenuhi lumut. Terengah-engah ia kembali merapal mantra. Namun, tidak ada yang terjadi.

"Sial! Apa yang terjadi padaku! Kenapa segalanya menjadi kacau seperti ini!" Eridanus mengeluh, frustrasi.

Eridanus mulai menyerah setelah berulang kali gagal memantrai dirinya sendiri. Ia memilih untuk menutup mata, dan bernapas dengan pelan agar rasa sakit di dadanya berkurang. Ia pasrah sekarang. Ia tidak peduli pada apa pun yang akan terjadi padanya. Ia sendirian, kedinginan, kesakitan, dan kelaparan. Ia siap mati. Terdengar pengecut memang untuk ukuran seorang serdadu seperti dirinya, tapi ia memang enggan untuk hidup. Ia putus asa.

***

Bebatuan dalam berbagai ukuran melayang. di udara. Berputar di tempat dengan gerakan perlahan, terlihat indah sekaligus misterius di udara yang dingin dan gelap. Sirius menyingkirkan bebatuan itu dengan sebilah pedang, lalu berteriak, "Kemarilah, Dan. Aku melihat seekor Cervus di sana. Haruskah kita mengejarnya?"

Eridanus mengangguk, menyetujui saran Sirius. memburu Cervus memang terdengar menyenangkan untuk dilakukan di sela-sela tugasnya sebagai seorang serdadu. Menjaga perbatasan cukup membosankan, hingga saran untuk berburu tidak dapat ia tolak begitu saja.

Eridanus menggelung rambutnya yang panjang dalam gelungan asal-asalan, kemudian tubuhnya menukik, sayapnya mengepak, ia terbang melewati bebatuan yang ada di hadapannya untuk menyusul Sirius mengejar Cervus. Masih sambil mengepakkan sayap, ia meraih satu anak panah yang tersimpan rapi di dalam kantong anak panah di punggungnya, lalu ia memasang anak panah itu pada busur, dan mulai membidik Cervus yang berlari cepat di bawahnya.

"Bersiaplah untuk menjadi Cervus panggang malam ini," gumam Eridanus.

Eridanus bersiap untuk memanah Cervus betina tersebut ketika tiba-tiba saja Cervus itu berubah wujud menjadi sosok yang jelita. Cervus itu berubah menjadi Yasmin dalam sekejap.

"Demi Maisie. Dia tidak bisa dimakan!"

"Apanya yang tidak bisa dimakan?" Yasmin mengguncang tubuh Eridanus hingga pria itu benar-benar sadar. "Dan apa itu Maisie?"

Eridanus terperanjat begitu kedua matanya menangkap sosok Yasmin. Ternyata apa yang baru saja ia alami hanya mimpi. Ia mimpi sedang berburu bersama Sirius, dan buruannya tiba-tiba saja berubah menjadi Yasmin. Mimpi yang aneh.

"Kapan kau datang?" tanya Eridanus pada Yasmin

"Baru saja. Aku lega kau masih ada di sini. Aku pikir kau benar-benar menghilang. Aku membawakan selimut, makanan, dan air untukmu."

Eridanus mengalihkan pandangan ke ransel yang menggembung di samping Yasmin.

"Aku tidak mungkin ke mana-mana dalam keadaan yang seperti ini. Aku pun berpikir kau meninggalkanku dan melupakanku," ujar Eridanus.

Yasmin berdecak. "Mana mungkin aku melakukan itu. Aku manusia yang baik hati." Kemudian Yasmin mengeluarkan selimut, membasahi selimut itu dengan air mineral yang ia bawa dari rumah, dan mulai membersihkan darah keperakan di tubuh Eridanus. "Baru kali ini aku melihat makhluk sepertimu. Lihatlah, darahmu berwarna perak. Milikku berwarna merah, asal kau tahu saja."

"Argh! Pelan-pelan," keluh Eridanus saat Yasmin mulai membersihkan tubuhnya.

"Maafkan aku. Apa sesakit itu?"

Eridanus mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Yasmin. Bukannya ia tidak berusaha untuk bersikap ramah pada Yasmin. Ia bersyukur karena Yasmin kembali datang untuk menemuinya. Ia bersyukur karena Yasmin peduli padanya, tetapi rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat dirinya tidak dapat melakukan banyak hal, bahkan berbicara sekali pun terasa sangat sulit.

"Kurasa aku tidak bisa menangani ini. Kau harus ke rumah sakit besar untuk diperiksa. Luka ini bahkan harus dijahit," ucap Yasmin, saat ia melihat luka menganga di punggung Eridanus. Luka itu seperti sayatan, memanjang dari punggung hingga perut Eridanus. Tidak heran jika tubuh Eridanus dipenuhi oleh darah.

"Rumah sakit. Apa itu?" tanya Eridanus. Suaranya terdengar lemah.

"Tempat orang yang sedang sakit dirawat. Lukamu ini akan dijahit. Ditutup menggunakan benang khusus yang memang diperuntukan untuk kulit. Jika tidak dijahit, darahnya akan terus keluar, dan kau akan kehabisan darah." Yasmin menjelaskan, ia terlihat khawatir melihat keadaan Eridanus. Ia ingin membawa Eridanus ke rumah sakit di kota saat itu juga, tetapi kemudian kesadaran menghantamnya. Ia melupakan fakta bahwa Eridanus memiliki sayap, dan darah Eridanus berwarna perak. Mana bisa ia membawa Eridanus ke rumah sakit. Jangankan rumah sakit, klinik biasa pun tidak.

Perubahan raut wajah Yasmin tertangkap oleh Eridanus yang sejak tadi menatap Yasmin tanpa berkedip.

"Ada apa?" tanya Eridanus lagi.

"Kau tidak bisa dibawa ke rumah sakit. Apa yang akan aku katakan pada dokter tentang warna darahmu dan juga sayapmu. Aku tidak bisa mengarang cerita untuk situasi yang serius ini." Yasmin menjawab, sembari menggigiti kukunya.

"Aku tidak bisa muncul di hadapan yang lain. Aku paham itu," ujar Eridanus. "Berikan saja aku makanan. Setelah itu aku akan tidur sebentar, mungkin setelah beristirahat dan cukup makan, keadaanku akan membaik."

Yasmin menggeleng. "Makanan tidak bisa membantu. Kita benar-benar harus ke rumah sakit." Yasmin bersikeras. Ia mendekat ke Eridanus dan menatap pria itu lekat-lekat. "Aku punya ide!"

Dahi Eridanus mengernyit. "Apa?"

"Kau bisa membuat sayapmu tak terlihat, benar?"

Eridanus mengangguk. "Ya, tapi tidak lama, dan aku--"

"Bagus.Kita bisa berangkat ke kota besok pagi-pagi sekali." Yasmin menyatukan kedua telapak tangannya, terlihat puas pada rencana yang kini mulai menari-nari di dalam kepalanya.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!