Mico menepikan mobil yang ia kendarai, lalu ia keluar dari dalam mobil sembari meneriaki kendaraan di belakangnya yang masih sibuk membunyikan klakson untuknya.
"Iya, iya, lewatlah kalian! Dasar tidak sabaran!" teriak Mico, menunjuk beberapa kendaraan di belakangnya dan langsung menyebrang, menghampiri Yasmin yang masih berdiri dengan wajah cemas di seberang jalan.
Tidak membutuhkan waktu lama, Mico akhirnya tiba di hadapan Yasmin.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Mico langsung bertanya.
Yasmin tersentak. Ia terlihat benar-benar terkejut akan kehadiran Mico yang begitu tiba-tiba, dan keterkejutan yang tampak di wajah Yasmin membuat dahi Mico mengernyit.
"Aku tidak berteleportasi untuk tiba di sini. Aku menyebrang dengan kedua kakiku dari sana," Mico menunjuk ke seberang jalan, di mana mobilnya terparkir di bawah sebuah pohon rindang. "Apa kau tidak melihat saat aku menyeberang sampai-sampai kau terkejut begini begitu melihatku?"
Yasmin menggeleng. "Tidak. Aku tidak melihatmu sama sekali."
Mico menyisir rambut dengan jemari, ia tidak suka ketika dirinya tidak menjadi pusat perhatian, alias diabaikan, apalagi diabaikan oleh mantan kekasih yang pernah cinta setengah mati padanya.
"Bagaimana bisa kau tidak melihatku. Aku saja melihatmu saat sedang berkendara."
Yasmin mengembuskan napas dengan kasar. "Kau kan memang jelalatan." Yasmin menjawab seadanya, kemudian ia beranjak dari hadapan Mico. Ia tidak ingin berlama-lama berada di hadapan Mico. Bukan karena ia merasakan sesuatu di dadanya saat kembali bertemu dengan pria itu, tetapi karena ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan. Saat ini Mico adalah objek yang paling tidak penting untuknya.
Mico menaikan sebelah alisnya begitu Yasmin tidak lagi berada di hadapannya. Harga dirinya terluka karena Yasmin berpaling darinya. Ia pun memutuskan untuk mengekor langkah Yasmin yang kini menyusuri trotoar, lalu masuk ke dalam sebuah gang sempit yang sepi dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan besar terbengkalai.
"Untuk apa kau datang ke sini?" Mico bertanya, kebingungan.
Yasmin kembali tersentak. "Kau mengikutiku?"
Lagi-lagi dahi Mico mengernyit. "Kau tidak sadar aku ikuti? Kau tidak mendengar suara sepatuku?" Mico menghentak-hentakkan kakinya di atas tanah yang dipenuhi krikil.
"Tidak. Aku tidak dengar, dan pergilah dari sini." Yasmin mendorong Mico menjauh, tetapi Mico tidak lantas pergi begitu saja.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Yas? Kau tidak sedang terlibat dalam tindak kejahatan, 'kan? Gerak-gerikmu mencurigakan sekali."
"Tentu saja tidak. Pergilah." Sekali lagi Yasmin mendorong Mico.
Akan tetapi, alih-alih meninggalkan Yasmin, Mico malah melewati Yasmin, memasuki bangunan tua yang tidak memiliki daun pintu dan jendela.
"Kartel obat terlarang, mafia senjata, atau perdagangan manusia. Mana dari salah satu itu yang sedang kau jalani?" Mico berkomentar, sambil terus mengedarkan pandangan ke setiap sudut bangunan yang dindingnya dipenuhi lumut juga retak di sana-sini. Nada bicaranya sangat merendahkan saat ia menuduh Yasmin dengan tuduhan yang tidak masuk akal.
Yasmin memutar matanya dengan malas. Kemudian menghampiri Mico yang kini menatapnya dengan alis terangkat. Mico memang sering melakukan itu saat sedang bicara dengan seseorang. Mico sadar jika pesonanya akan bertambah puluhan kali lipat saat ia mengangkat sebelah alis hitamnya.
"Perdagangan organ. Itu yang sedang aku kerjakan sekarang. Jadi pergilah sebelum bosku datang dan tertarik pada kedua bola matamu yang berwarna kecokelatan itu!" Yasmin menjawab pertanyaan Mico dengan kebohongan. Hanya itu satu-satunya cara yang terpikir olehnya untuk mengusir Mico dari hadapannya.
Benar saja, Mico mundur menjauh dari Yasmin, wajahnya terlihat pucat, dan tangannya gemetar.
"Jangan bercanda, Yas," gumam Mico.
"Tentu tidak. Aku tidak memiliki selera humor lagi. Jadi pergilah selagi bisa." Yasmin berdesis sambil menyeringai untuk melengkapi kebohongannya. Ia yakin sekali jika wajahnya sekarang pasti terlihat begitu kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Tidak perlu diperintah untuk kesekian kali, Mico segera berbalik, dan berlari menjauh dari Yasmin.
"Dasar pengecut. Dia benar-benar sayang pada bola matanya!" Yasmin berkomentar, lalu segera berbalik dan berlari menuju salah satu ruangan yang berada tepat di bawah tangga. Hanya ruangan itulah yang memiliki pintu di bangunan itu.
"Dari mana saja kau? Apa temanmu yang dokter itu sudah datang? Lalu, di mana dia? Dan di mana pereda nyerinya?" Elvira mencerca Yasmin dengan banyak pertanyaan begitu Yasmin memasuki ruangan tersebut.
Yasmin menggeleng. "Dia belum datang."
"Belum? Lalu kenapa kau kembali?"
"Aku bertemu dengan mantan kekasihku yang sialan itu. Bagaimana keadaannya?" Yasmin bertanya, sambil berjalan menghampiri Eridanus yang terbaring lemah di lantai.
"Parah. Dia semakin lemah. Apa menurutmu dia bisa bertahan?" Elvira menjawab, mengikuti langkah Yasmin hingga mereka berdua tiba di samping Eridanus.
Yasmin diam saja. Ia sedih sekali melihat keadaan Eridanus yang memburuk dengan begitu cepat, padahal saat mereka berangkat dari desa menggunakan bus, Eridanus masih baik-baik saja. Eridanus bahkan sempat memuji keindahan desa tempatnya tinggal.
Tangan Yasmin terulur untuk menyentuh dahi Eridanus, dan ia tersentak saat merasakan kulit Eridanus yang sedingin es.
"Dia kedinginan," ucap Yasmin.
"Ya, aku tahu, tapi aku sudah menggunakan semua kain yang kita bawa dari desa untuk menyelimuti tubuhnya. Aku bahkan menumpuk pakaian dalamku di atas dadanya."
Yasmin memperhatikan setiap jengkal tubuh Eridanus yang tertutup kain, mulai dari selimut, celana, kaos, hingga pakaian dalam. Elvira benar-benar memanfaatkan semua bawaan mereka untuk membuat Eridanus menjadi lebih hangat.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Elvira.
Yasmin menggeleng. "Aku tidak tahu. Andai sayapnya bisa terbuka, aku rasa hal itu bisa sedikit membantu. Tapi, melihat keadaannya yang seperti ini mana mungkin dia bisa membuka sayapnya."
Elvira mengangguk paham. "Ya, sayapnya memiliki lidah api. Api bisa menghangatkannya. Apa kita buat api unggun saja atau ...." Elvira menggantungkan ucapannya, dan kilat nakal terlihat di kedua mata indahnya.
"Atau apa?" tanya Yasmin penasaran.
"Bercinta dapat membuat suhu tubuh meningkat. Kau tahu itu." Elvira berkata sambil memperlihatkan giginya yang seputih kapas.
Mendengar saran dari Elvira, Yasmin terbatuk. "Jangan gila. Aku tidak akan membuka pakaianku dan menggerayanginya."
Suara tawa Elvira memenuhi ruangan, menggema seperti suara nenek sihir yang tertawa di dalam gua berhantu.
"Ck, siapa yang memintamu untuk bercinta dengannya. Aku bisa kok. Biar aku saja." Elvira bangkit berdiri dan mulai melepas satu per satu kancing pada blus yang ia kenakan.
Akan tetapi, suara sirene yang tiba-tiba muncul membuat Elvira menghentikan kegilaannya.
"Yah, ambulansnya datang," gerutu Elvira.
Yasmin bangkit berdiri dan menatap Elvira dengan bingung. "Tapi aku tidak memanggil ambulans. Aku menelepon Aldi, temanku yang dokter itu, dan secara pribadi memintanya untuk datang ke sini. Jadi, tidak mungkin dia datang dengan ambulans."
Sekarang Elvira pun terlihat kebingungan, sama seperti Yasmin.
"Lalu itu sirine apa?" tanya Elvira.
Sebelum Yasmin sempat menjawab, terdengar suara tembakan dari luar bangunan.
"Serahkan diri kalian. Tempat ini telah kami kepung!" teriak seorang pria, disusul suara belasan pasang langkah kaki yang mulai menyebar ke sekitar gedung.
"Polisi!" seru Elvira.
Yasmin meringis. "Mico sialan. Pasti dia yang melapor!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments