MIMPI MASA LALU

Suara klakson dan deru mesin mobil beradu, mengudara bersamaan dengan asap yang berasal dari beberapa kendaraan bermotor yang memenuhi jalanan pagi ini.

Pemandangan yang membuat sesak, tetapi tentu tidak dapat dihindari oleh orang-orang yang memilih untuk tinggal di perkotaan.  Macet, polusi udara, dan kebisingan di jam-jam sibuk merupakan hal yang sering terjadi, sehingga semua itu terlihat wajar. Jika jalanan lapang dan tenang, justru akan terlihat aneh. 

"Berisik sekali!" seru Yasmin di tengah keramaian, semakin mempercepat langkahnya agar ia segera tiba di tempat tujuan, yaitu rumah.

Yasmin, baru saja meninggalkan rumah kontrakannya yang terletak di dalam gang sempit di tengah kota beberapa waktu lalu. Ia berlari sepanjang trotoar sambil menjinjing high heels-nya agar dapat mengejar bus selanjutnya menuju kantor, karena sejak kemarin mobilnya telah bersemayam di bengkel karena ulah Mico. Ya, Mico menyetir dalam keadaan mabuk, dan akhirnya menabrak tiang reklame di tepi jalan.

Akan tetapi, sesampainya di halte, tiba-tiba saja Yasmin ingat bahwa ia telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Sambil menepuk dahi dan mengumpat, Yasmin memutar tubuh dan berlari kembali ke rumah. Tidak mungkin ia bekerja seharian tanpa ponsel, 'kan?

Setibanya di halaman depan rumah yang tidak terlalu luas, Yasmin melempar high heels-nya ke sudut teras, lalu membuka pintu yang memang tidak terkunci.

"Tidak masalah. Kita bisa menikah. Aku akan melamarmu ... aaah!" 

Dahi Yasmin mengernyit begitu ia mendengar suara Mico dari dalam kamar tamu. Ia pun mendekat dan menempelkan telinganya di daun pintu kamar yang masih tertutup rapat.

"Lalu, bagaimana dengan Yasmin. Apa yang akan kita katakan padanya?"

Kali ini suara Aurel yang terdengar. Padahal saat Yasmin berangkat beberapa waktu lalu, Aurel masih tidur.

"Tentu kita akan mengaku, Sayangku. Kita katakan saja padanya kalau kita saling mencintai, dan sekalian saja kita katakan padanya kalau kamu sedang hamil."

Hening, dan dalam keheningan itu dada Yasmin berdentum kencang, seolah ada penabuh gendang di dalamnya yang sedang asyik memukul-mukul gendang sambil menari. Apa yang baru saja ia dengar sukses membuatnya terkejut bukan main. Andai ponselnya tidak tertinggal, dan ia tidak memutuskan untuk kembali ke rumah, mungkin ia tidak akan pernah tahu perselingkuhan antara kekasihnya dan juga sahabat baiknya.

Selang beberapa menit kemudian suara desahan Aurel kembali terdengar, disusul dengan suara menjerit yang membuat Yasmin jijik. 

Refleks Yasmin melangkah mundur, berlari ke kamarnya sendiri dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia menolak untuk membuka pintu kamar tamu yang ditiduri Aurel. Ia menolak untuk melihat apa yang tengah terjadi di dalam kamar itu, yang ia tahu pasti akan membuatnya mati berdiri.

Tok, tok, tok!

"Buka pintunya, Yasmin."

Yasmin tersentak. Matanya terbuka, dan ia disambut dengan ruangan yang gelap. 

"Mimpi sialan!" gerutu Yasmin, sembari mengusap pipinya yang basah karena air mata. "Air mata sialan," ucap Yasmin lagi, lalu dengan cepat ia turun dari ranjang, dan melangkah menuju pintu. 

"Aku mengetuk sejak tadi, Yas. Astaga, gelap sekali. Di mana saklar lampunya."

Elvira, salah satu teman Yasmin sejak masih duduk di taman kanak-kanak kini berada di hadapannya, mengoceh sembari meraba dinding untuk mencari saklar lampu.

Klik!

Kegelapan memudar saat Elvira berhasil mendapatkan apa yang ia cari-cari.

"Kau tidur?" tanya Elvira.

Yasmin mengangguk kikuk.

"Pantes saja wajahmu penuh dengan iler." 

Mendengar komentar Elvira, Yasmin segera mengusap wajahnya dengan cepat, dan tindakan Yasmin itu membuat Elvira tertawa.

"Tidak. Aku bohong. Tidak ada iler, kok."

Yasmin menghela napas panjang, tetapi ia tidak mengatakan apa pun.

Sebenarnya hubungan antara Yasmin dan Elvira tidak baik-baik saja sejak mereka berdua duduk di bangku SMA. Masalah percintaan tentu saja menjadi masalah utama di antara mereka. Ya, cinta segitiga. Elvira menyukai Alan, Alan menyukai Yasmin. Lalu, Yasmin pun menyukai Alan juga. Jadi, Elvira yang cintanya bertepuk sebelah tangan saat itu memilih untuk menjauhi Yasmin, dan menuding bahwa Yasmin begitu tega merebut pria yang Elvira incar mati-matian.

Akan tetapi, kejadian itu sudah berlalu belasan tahun. Elvira terlihat santai sekarang, tetapi Yasmin masih saja merasa tidak nyaman.

"Tante Lili memintaku untuk datang ke sini dan menemanimu selama kau ada di desa ini." Elvira kembali berujar, sembari menghempaskan bokongnya di atas ranjang. 

"Ibuku meminta hal itu padamu?" tanya Yasmin.

Elvira mengangguk. "Ya. Katanya, kau kesepian," ujar Elvira, menatap Yasmin dengan iba. "Aku tahu kisahmu, tapi aku tidak akan membahasnya denganmu. Hal tidak baik, tidak seharusnya terus dibahas."

Kedua pipi Yasmin merona. Ia merasa seperti terkena karma saat melihat Elvira di hadapannya. Dulu, ia berkencan dengan Alan tanpa memedulikan perasaan Elvira, dan sekarang ia tahu bagaimana sakitnya menjadi Elvira, walaupun kasusnya tidak sama persis karena Alan dan Elvira tidak berpacaran sebelumnya, tetapi tetap saja ia merasa sama buruknya seperti Aurel.

"Terima kasih untuk niat baikmu, Vir, tapi jujur saja aku tidak kesepian, dan aku tidak ingin membuatmu repot dengan terus menemaniku selama aku di sini," ujar Yasmin, berharap Elvira segera berlalu dari hadapannya.

"Ck, jangan sungkan. Kita kan teman. Hem, setidaknya dulu kita berteman." Elvira mengibaskan tangan di hadapan Yasmin, lalu kembali berujar. "Bagaimana kalau kita mulai pertemuan kita ini dengan makan malam bersama di luar. Kau pasti tidak tahu kalau desa kita sekarang memiliki kafe-kafe yang--"

"Tunggu dulu." Yasmin mengangkat tangannya ke udara, meminta Elvira untuk berhenti berbicara. "Makan malam katamu. Memangnya sudah jam berapa sekarang?"

Elvira menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Hampir jam sembilan. Kau tidak tahu? Apa kau tidur seharian, hah?"

Mendengar jawaban dari Elvira, Yasmin segera melangkah menuju lemari, menarik beberapa selimut dari dalam lemari dan memasukan selimut itu ke dalam ransel miliknya, lalu dengan cepat ia melangkah menuju dapur, membuka lemari pendingin dan meraih makanan apa saja yang ada di dalam lemari pendingin.

"Kau akan minggat?" tanya Elvira, begitu ia melihat apa yang Yasmin lakukan. "Ayolah, jangan begini, Yas. Ayah dan ibumu sudah cukup cemas karena kau menghilang kemarin malam."

Yasmin berbalik untuk menghadapi Elvira.

"Vira yang baik hati, cantik, manis, dan pengertian, aku mohon padamu untuk kali ini saja jangan banyak bertanya. Ya, aku akan menerima kehadiranmu, dan memulai pertemanan denganmu seperti beberapa tahun lalu, tapi bisakah untuk malam ini saja kau tutup mulut."

Elvira tidak menjawab. Ia hanya menatap Yasmin dengan bingung.

"Aku akan pergi sebentar. Jika ibuku bertanya, katakan saja aku menginap di rumahmu. Jadi, aku sarankan kau harus segera pergi dari sini setelah aku pergi, oke."

"Tapi, kau akan ke mana? Dan kapan kau akan kembali? Aku tidak ingin berbohong pada Tante Lili." Elvira terlihat tidak terlalu setuju pada rencana Yasmin.

Yasmin mengatur napas. Ia tahu akan sulit untuk mengajak Elvira bekerja sama. Bagaimana pun juga Elvira adalah sosok yang jujur. Ia jarang sekali berbohong.

"Ada pria yang akan aku temui. Aku rasa aku menyukainya. Jadi kami berdua akan berkemah malam ini," jawab Yasmin, berbohong. "Kami akan menghabiskan malam di atas bukit berduaan."

Mendengar jawaban Yasmin, Elvira menyunggingkan senyumnya yang menawan. Elvira memang cantik, walau tidak secantik Yasmin, tetapi Elvira memiliki wajah yang menarik, bentuk tubuh yang ramping, dan rambut panjang yang berwarna hitam kelam.

"Dasar nakal. Tidak aku sangka kau sangat mudah move on," komentar Elvira, sembari mendaratkan cubitan di pinggang Yasmin. 

Yasmin meringis, tetapi tidak mengatakan apa pun.

"Ya, sudah pergi sana. Aku akan kembali ke rumahku dan mengunci pintu kamarku rapat-rapat seolah kau sudah tidur dengan nyenyak." Elvira mendorong tubuh Yasmin menuju pintu belakang yang sedikit terbuka.

"Trims, Vir, aku akan kembali sebelum pagi. Bye!"

Yasmin mendorong pintu belakang hingga terbuka lebar, lalu melompat ke dalam kegelapan malam, dan menghilang di balik kabut yang mulai menyelimuti desa untuk bertemu dengan Eridanus.

"Semoga dia masih ada di sana!"

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!