Bukan hal yang mudah untuk menutupi sesuatu yang berukuran sangat besar. Mungkin menutupi tubuh seseorang yang normal masih bisa dilakukan oleh Yasmin, ia hanya harus menyeret seseorang itu ke balik semak yang cukup rimbun, lalu menutupi tubuh itu dengan dedaunan kering yang banyak terdapat di atas bukit, atau menutupi tubuh itu dengan ranting-ranting pepohonan.
Akan tetapi, tidak dengan seseorang yang memiliki kedua sayap di sisi tubuhnya. Seseorang yang saat ini sedang dalam kondisi pingsan di hadapan Yasmin pun tidak dapat disebut orang. Kedua sayap Eridanus yang terbentang sangat membuat Yasmin kerepotan. Yasmin telah berhasil menyeret tubuh Eridanus dengan susah payah ke balik semak tanaman rambat yang cukup rimbun, dan menutupi tubuh Eridanus degan dedaunan juga selimut tipis yang semalam ia bawa dari rumah. Namun,sayap Eridanus adalah masalah terbesarnya saat ini. Apa pun yang ia lakukan tetap tidak bisa menyembunyikan sayap itu. Sayap itu begitu mencolok, dan begitu besar, sesekali bahkan sayap itu mengepak liar, padahal pemiliknya sedang tidak sadarkan diri.
"Apa yang harus aku lakukan? Sebentar lagi pasti warga akan berdatangan ke atas sini." Yasmin menggigiti kukunya sembari melempar pandangan ke puncak bukit, di mana asap masih mengepul dengan cukup tebal disertai bau gosong yang menyengat.
Tebakan Yasmin tidak mungkin salah. Asap dan aroma gosong pasti akan memancing kehadiran warga. Warga di desa tempat Yasmin tinggal memang hidup dengan rukun. Ikatan di antara mereka semua sangat erat. Jika ada satu masalah yang terjadi, seluruh warga desa akan berkumpul, berunding, dan menyelesaikan masalah itu bersama-sama. Tidak diragukan lagi, warga akan berbondong-bondong naik ke atas bukit sambil membawa berember-ember air karena mengira ada kebakaran.
"Sekarang pasti mereka semua sedang berunding di balai desa, lalu kemudian naik ke atas sini bersama-sama. Ayah dan ibu juga pasti ikut serta." Yasmin mengeluh, sembari memukul dahinya berulang kali. Barangkali dengan melakukan itu, akan muncul ide brilliant di dalam kepalanya.
Saat sedang melakukan hal tidak berguna itu, tiba-tiba saja Yasmin merasa ada sesuatu yang mencengkram pergelangan kakinya. Ia pun memekik dan menggerakkan kakinya dengan liar, hingga tanpa sengaja ia menendang wajah Eridanus.
"Argh. Sakit sekali." Eridanus mengeluh. Suaranya begitu lirih dan sedikit serak.
Yasmin kembali menggigit kukunya, kemudian berlutut di hadapan Eridanus.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Siapa suruh mengejutkanku," ucap Yasmin.
Eridanus mengangguk. Mencoba untuk memaklumi reaksi Yasmin. Lagi pula, ia dan Yasmin adalah dua makhluk yang berbeda jenis. Yasmin tidak lari darinya saja ia sudah merasa sangat bersyukur.
"Jangan tinggalkan aku. Itulah yang ingin aku katakan sejak tadi. Aku tidak memiliki siapa pun di sini," ucap Eridanus.
Yasmin menghela napas, kedua matanya menatap Eridanus yang begitu lemah. Wajah Eridanus bahkan masih terlihat pucat, lebih pucat dari sebelumnya.
"Bukannya aku tidak mau membawamu. Tapi aku tidak bisa. Kau akan membuat warga desa ketakutan. Lagi pula, kita tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu apakah kau itu baik atau jahat."
Eridanus meringis. "Apa aku terlihat jahat? Apa aku terlihat akan menyakitimu atau orang lain?"
Tidak. Kau tidak terlihat jahat sama sekali. Justru sebaliknya. Kau terlihat baik, dan memesona.
Kalimat itulah yang saat ini sedang setengah mati Yasmin simpan agar tidak terlontar dari bibirnya. Eridanus memang terlihat baik, menawan, dan memesona. Namun, tidak mungkin ia mengatakan semua itu pada seseorang yang baru ia temui. Lagi pula, menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan hanya akan membuat menyesal. Dulu sekali ia pun menilai Mico demikian, tetapi pada akhirnya Mico mengkhianatinya.
"Ayo cepat! Kalian harus cepat sebelum kebakarannya membesar!"
Deg!
Yasmin bangkit berdiri begitu ia mendengar suara teriakan di kejauhan. Ekspresi datar di wajahnya kini menghilang, dan digantikan dengan kerutan di dahi. Ia cemas.
"Apa itu?" tanya Eridanus, yang juga mendengar suara teriakan seorang pria di kejauhan.
"Bukan apa itu, tapi siapa itu." Yasmin mengoreksi ucapan Eridanus. "Sesuai dugaanku mereka pasti naik ke atas sini. Ini semua karena ulahmu!" kesal Yasmin.
"Apa salahku?" Eridanus kembali bertanya dengan wajahnya yang polos.
"Kau membuat kebakaran di atas sini, itulah sebabnya mereka--"
"Yasmin!"
Yasmin mengatupkan bibir. Itu suara ayahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Ayah dan ibu mencarimu ke mana-mana sejak tadi." Nasir Mahesa menarik Yasmin ke dalam pelukannya, lalu mulai menangis tak keruan. Ia lega sekali, karena dugaannya salah. Ia pikir Yasmin pergi entah ke mana untuk membunuh dirinya sendiri.
"Ayah dan ibumu berkeliling desa sejak jam empat pagi, Yas, untuk mencari kerberadannmu," ujar seorang pria paruh baya yang merupakan tetangga dekat ayah dan ibu Yasmin.
Yasmin mengigit bibir mendengar ucapan pria itu, ia menyesal karena telah membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Maafkan aku, Ayah. Aku hanya berjalan-jalan di atas sini. Ayah kan tahu kalau aku suka sekali berada di atas bukit."
Nasir mengangguk, dan perlahan melepaskan rangkulannya di tubuh Yasmin. "Tidak terpikir olehku untuk mencarimu di atas sini, Nak. Lagi pula, mana ada anak perempuan yang naik ke atas bukit malam-malam."
"Ya, anakmu memang satu-satunya yang melakukan hal ini, Nasir." Tetangga Nasir kembali berkomentar.
"Jadi, apa kau membuat api unggun dan tidak sengaja membuat kebakaran, Nak?" Nasir bertanya dengan lembut pada Yasmin.
Yasmin diam saja. Ia ingin mengatakan iya agar semua warga yang naik ke atas bukit tidak perlu mencari tahu lebih banyak, dengan begitu mereka semua segera turun. Namun, belum lagi ia membuat pengakuan palsu itu, seseorang kembali berteriak.
"Tidak! Bukan Yasmin yang melakukannya. Lihatlah!" Mosi, seorang pria berusia awal 40-an mengarahkan tangannya ke atas, menunjuk dahan-dahan pohon yang terbakar. "Tidak mungkin Yasmin sengaja memanjat dan menyalakan api unggun di atas pohon yang begitu tinggi," tambahnya.
Yasmin dan warga yang lain mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Mosi, dan apa yang terlihat membuat semua warga otomatis menarik kesimpulan yang sama.
"Apa ini? Yang terbakar hanya bagian atasnya saja. Lihatlah, dahan yang paling tinggi ... itu juga. Pohon itu juga, lalu yang itu, dan yang itu." Mosi menunjuk satu per satu jejeran pohon yang berada di jalan setapak menuju turunan.
"Apa ini ulah penunggu bukit?" celetuk Adam, satu-satunya pria muda yang ada di tengah sekumpulan pria paruh baya.
Mendengar ucapan Adam, Yasmin pun mengangguk cepat. Ia mendapatkan ide yang brilliant agar para warga lekas meninggalkan bukit.
"Ya, aku memang melihat sesuatu yang aneh beberapa saat lalu. Seperti ada bayangan yang melayang di atas sana, lalu dahan-dahan itu mulai terbakar tanpa sebab," ucap Yasmin penuh semangat, sambil melirik ke tempat di mana ia meninggalkan Eridanus, dan kebingungan segera melandanya. Ia tidak melihat Eridanus di sana. Eridanus menghilang.
"Serius kau melihat hal yang seperti itu, Yas? " tanya Adam, terlihat tertarik sekaligus ketakutan.
Yasmin mengangguk. "Ya, itulah sebabnya aku bergegas turun, dan malah berpapasan dengan kalian di sini."
Setelah mendengar penjelasan dari Yasmin, Nasir dan warga lainnya bergegas menuruni bukit tanpa banyak berkomentar. Mereka semua menyimpulkan bahwa kebakaran yang terjadi di atas bukit disebabkan oleh makhluk tak kasat mata yang mungkin saja berbahaya, sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang ingin mencari tahu lebih lanjut tentang kebakaran itu.
Yasmin mengekor langkah Nasir, walaupun sebenarnya yang terjadi Nasirlah yang menyeret tubuh putrinya itu agar bergerak dan mengikuti langkahnya. Karena Yasmin terlihat enggan meninggalkan bukit. Ia enggan meninggalkan Eridanus walaupun ia tidak tahu di mana pria bersayap itu sekarang.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments