SI DARAH PERAK

Eridanus menatap kepergian Yasmin tanpa bisa melakukan apa pun. Ia ingin berteriak, meminta Yasmin untuk tidak meninggalkannya, dan tetap bersamanya, toh ia membutuhkan Yasmin saat ini untuk mencari tahu di mana ia berada sekarang. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Selain karena tubuhnya terlalu lemah untuk menghampiri Yasmin, ia juga tidak mungkin muncul begitu saja di hadapan orang-orang asing yang wujudnya sama sekali tidak sama dengannya.

"Argh." Eridanus merintih sesaat setelah ia melepas sihir yang melingkupi dirinya beberapa saat lalu, sihir yang membuatnya tidak terlihat.

Dengan susah payah, Eridanus berusaha untuk duduk. Kemudian ia menunduk untuk menatap bagian atas tubuhnya yang sekarang dipenuhi dengan cairan kental berwarna perak.

"Sial. Sejak kapan aku terluka." Eridanus mengeluh, sembari merobek sisa jubah compang-camping yang masih menutupi bagian atas tubuhnya.

Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya Eridanus dapat menyingkirkan sisa jubah dari tubuhnya, dan melempar kain kumal itu ke sembarang arah.

Dengan sisa tenaga yang ada, Eridanus bangkit berdiri, lalu melangkah menuju puncak bukit, tempat di mana ia mendarat dengan keras semalam.

Sesampainya di atas bukit, Eridanus menatap cekungan yang tercetak di atas tanah. Cekungan itu dalam dengan bentuk yang tidak beraturan, dan gosong.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana bisa aku mendarat di tempat ini, dan di mana ini sebenarnya." Eridanus bergumam, sembari menunduk untuk menyentuh cekungan di bawahnya. Setelah berpikir cukup lama, dan tidak dapat menemukan jawaban di mana sebenarnya ia berada sekarang, Eridanus pun menatap langit, dan berteriak. "Tolong selamatkan aku wahai siapa pun yang ada di sana!"

Eridanus mengatur napas, dan sekali lagi meneriakkan kalimat yang sama. Ia sungguh berharap salah satu dari temannya dapat mendengar teriakannya. Entah itu Sirius, atau siapa saja. Ia hanya ingin kembali, pergi dari tempat asing yang sekarang tengah ia diami.

***

Yasmin mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggigiti kuku di jemarinya. Salah satu kuku di jemarinya bahkan telah habis ia gigiti, dan sekarang terlihat agak kemerahan dengan bentuk yang tidak beraturan.

Yasmin memang selalu melakukan hal itu jika sedang gugup. Ia bahkan sengaja memanjangkan kukunya agar ia memiliki stok kuku yang banyak untuk digigiti jika ia sedang gugup, bingung, atau sedih.

Pikirannya sedang kalut saat ini. Meskipun tubuhnya telah aman berada di dalam kamarnya yang hangat dan tertata rapi, tetapi ia tida bisa menipiskan bayangan Eridanus yang ia tinggalkan di atas bukit. Ia bahkan tidak tahu bagaimana keadaan pria itu sekarang, dan yang lebih membuatnya merasa buruk, ia yakin jika Eridanus sedang kesakitan. Bahkan bisa saja pria itu kelaparan.

Ya, apa pun dan bagaimana pun bentuknya, Eridanus tetaplah seorang makhluk hidup, dan makhluk hidup tentu membutuhkan asupan makanan.

"Jika dia sendirian di atas sana, apa yang akan dia makan, coba!" seru Yasmin tanpa sadar, sembari menendang ujung tempat tidurnya.

"Nak, ada apa?" Kemunculan Liliana--ibu Yasmin--membuat Yasmin terkejut dan segera mengeluh sabil memegangi dada.

"Kenapa Ibu selalu datang tiba-tiba?" keluh Yasmin.

Liliana Mahesa mencembik. "Ibu tidak datang tiba-tiba. Ibu tahu bagaimana aturan untuk datang ke kamar anak gadis ibu. Ibu mengetuk, dan mengetuk, tetapi kau tidak kunjung membuka pintu. Itulah sebabnya ibu langsung masuk. Ibu pikir terjadi sesuatu yang buruk padamu." Liliana mengakhiri penjelasannya sembari melempar tatapan iba ke Yasmin, seolah Yasmin memang layak dikasihani.

"Benarkah? Maaf, aku sama sekali tidak dengar, Bu," ucap Yasmin, sambil tersenyum lebar agar ibunya berhenti menatapnya dengan tatapan sendu dan kedua mata yang berkaca-kaca.

Lilian mengangguk, kemudian mendekat ke Yasmin dan segera menarik lengan Yasmin menuju ranjang.

Setelah mendudukkan Yasmin di tepi ranjang, dan ia ikut duduk di samping Yasmin. Liliana mulai membelai rambut panjang Yasmin yang agak kusut, dan di saat bersamaan Lilian mulai menangis.

Melihat sang ibu yang tiba-tiba menangis, Yasmin mendengus kesal. "Sudahlah, Bu, aku tidak apa-apa. Sungguh!"

"Tapi, Yas, kau telah berpacaran selama enam tahun dengan Mico, dan dia malah menghamili sahabatmu. Bukankah hal itu sangat buruk."

Yasmin mengeluh di dalam hati. Ia tidak percaya jika di hari yang secerah ini ibunya masih tidak bosan membahas tentang hubungan terlarang antara Aurel dan Mico.

"Memangnya kenapa kalau Aurel hamil, Bu? Dan memangnya kenapa kalau Mico yang menghamili Aurel? Bukankah bagus karena semuanya terjadi lebih awal. Bayangkan saja jika hal ini terjadi di saat aku dan Mic telah menikah. Bukankah akan lebih buruk," ujar Yasmin berusaha untuk meyakinkan Liliana bahwa ia tidak terlalu terluka, setidaknya sekarang tidak lagi.

Liliana mengusap air matanya sendiri. Masih dengan suara yang gemetar, ia kembali berujar, "Apa kau sungguh baik-baik saja, Nak?" tanya Liliana.

Yasmin mengangguk cepat. "Tentu."

"Kau tidak akan trauma pada sebuah hubungan, 'kan? Kau tidak akan memutuskan untuk tidak menikah, 'kan? Kau putri ibu satu-satunya, dan hanya kau penerus generasi kita. Ibu sungguh berharap kalau kau--"

"Aku tidak trauma, Bu, dan aku akan jatuh cinta lagi, kali ini pada pria yang tepat," ucap Yasmin, yang tiba-tiba saja membayangkan wajah Eridanus.

Akan tetapi, bayangan Eridanus tidak bertahan lama di kepala Yasmin, karena Lilian yang begitu bahagia mendengar ucapan Yasmin segera merangkul Yasmin, dan kembali menangis.

"Sungguh. Apa kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu, Nak? Kau akan jatuh cinta, menikah, dan memberi ibu cucu."

Yasmin mengangguk lagi. "Aku bersungguh-sungguh, Bu. Ibu jangan khawatir. Aku tidak akan membuang waktuku untuk menangisi Mico, dan hubungan kami yang telah berakhir. Dia tidak begitu penting bagiku, dan aku akan segera mencari penggantinya, Bu, cepat atau lambat." Yasmin tersenyum semringah, kali ini bukan untuk meyakinkan Lilian bahwa ia baik- baik saja, tetapi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.

"Nah, sekarang berhentilah menangisi kisah cintaku, Bu, dan siapkan saja aku makanan yang banyaaak sekali," ucap Yasmin lagi, sembari menyentuh wajah Liliana yang masih menangis.

Mendengar Yasmin meminta makanan padanya, tentu saja Liliana menjadi senang, karena sejak kembali dari kota dengan membawa kabar buruk, belum sekali pun ia melihat Yasmin makan dengan lahap, apalagi meminta untuk dibawakan makanan.

"Akan ibu bawakan, Nak. Apa yang kau inginkan?" tanya Lilian, dengan penuh semangat.

Yasmin tidak langsung menjawab. Ia hanya mengelus dagu sambil berpikir apa kira-kira makanan makhluk dari dunia lain yang memiliki sayap.

Sementara Yasmin berpikir, Liliana menunggu dengan sabar sembari memperhatikan Yasmin yang baginya memang terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Di saat sedang memperhatikan Yasmin itulah Liliana menangkap ada sesuatu yang aneh pada pakaian yang Yasmin kenakan.

"Yas, apa ini!? Padahal tadi tidak ada," tanya Liliana sembari menyentuh cairan kental berwarna perak di lengan pakaian Yasmin, dan cairan kental keperakan itu juga terlihat di sekitar leher Yasmin, lengan, hingga rambut.

Yasmin menyentuh cairan yang Liliana maksud, dan seketika ia pun menyadari sesuatu.

"Ini darah. Darahnya berwarna perak," batin Yasmin.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!