Aldi tidak henti-hentinya menatap Eridanus melalui kaca spion yang menggelantung di atas dashboard. Ia masih tidak percaya jika ada makhluk selain manusia yang duduk di jok bagian belakang mobilnya, dan makhluk itu sejak tadi sibuk menyentuh apa saja, lalu mengomentari apa saja yang disentuhnya.
Sebelumnya Aldi tidak pernah percaya jika ada kehidupan lain di dunia ini selain kehidupan yang ada di bumi. Ia seorang dokter, dan ia harus realistis. Namun, seketika kepercayaannya itu runtuh begitu ia melihat Eridanus dengan mata kepalanya sendiri.
Awalnya Aldi berharap bahwa apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata, tetapi setelah Yasmin menjelaskan dengan singkat dan mendetail, harapan Aldi buyar. Eridanus adalah kenyataan, kenyataan yang sulit diterima oleh akal sehat. Eridanus bagai dongeng, dongeng dalam dunia nyata.
"Apa di tempat asalmu tidak ada mobil?" tanya Aldi, tidak tahan lagi akan sikap Eridanus yang tidak bisa diam.
Eridanus yang sedang asyik menaik-turunkan kaca jendela mobil kini menatap Aldi. "Tidak ada." Ia menjawab singkat, terlihat sekali jika ia tidak tertarik untuk mengobrol dengan Aldi.
"Jadi bagaimana caranya kau dan makhluk sebangsamu bepergian kalau mobil saja kalian tidak punya?" tanya Aldi lagi, masih menatap Eridanus melalui kaca spion.
"Kami punya sayap. Kami bisa pergi ke mana pun yang kami mau. Untuk apa kami harus memiliki benda kecil aneh yang menyesakkan ini," jawab Eridanus, sambil mendongak, menatap langit-langit mobil yang jaraknya begitu dekat dengan puncak kepalanya. "Jujur saja aku kesulitan bernapas."
Elvira yang duduk di jok bagian depan, tepat di samping Aldi hanya bisa tertawa mendengar jawaban Eridanus yang masuk akal. Untuk apa makhluk bersayap memiliki mobil, jika dengan sayap saja Eridanus bisa menjelajahi seluruh dunia.
Aldi berdeham, lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Jalanan tidak terlalu padat sore ini. Jika biasanya sore hari jalanan akan dipenuhi oleh pejalan kaki, dan orang-orang yang bersepeda, kali ini tidak terlihat satu pun orang-orang di tepi jalan. Cuaca yang tidak bersahabat membuat jalanan menjadi lebih lenggang daripada biasanya, hingga tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di kediaman Yasmin yang berada di tengah-tengah kota, dekat dengan taman kota.
Aldi melambatkan laju kendaraannya, lalu berbelok ke sisi kiri jalan, dan kemudian berhenti tepat di depan rumah Yasmin yang Pagarnya masih tertutup rapat.
"Tunggu di sini, aku akan buka pagarnya dulu," ucap Yasmin, bersiap untuk keluar dari dalam mobil.
Akan tetapi, Eridanus menahan Yasmin. Ia menarik lengan Yasmin agar Yasmin tetap berada di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Yasmin, bingung.
"Biar aku saja. Di luar sedang hujan." Eridanus menawarkan bantuan.
Yasmin menggeleng. "Tidak usah. Lagi pula, kau pasti tidak tahu caranya memasukan anak kunci ke dalam lubang kunci, dan--"
"Pagarnya terbuka!" Elvira memekik, lalu bertepuk tangan, membuat Yasmin menghentikan ucapannya dan kini menatap pagar rumahnya dari dalam mobil.
"Wah," gumam Yasmin, menatap Eridanus dengan takjub.
"Dia hebat!" komentar Elvira, sambil menatap Eridanus dengan tatapan kagum. "Dia keren."
"Aku tidak butuh kunci." Eridanus berujar, membalas tatapan takjub yang Yasmin beri untuknya.
"Bagaimana caramu melakukannya?" tanya Yasmin.
"Mudah saja." Eridanus mengangkat bahu, menyombong di hadapan Yasmin dan Elvira.
Tingkah Eridanus yang menarik perhatian Yasmin membuat Aldi kesal. Tanpa memberitahu penumpangnya terlebih dahulu, Aldi pun menginjak pedal gas hingga membuat mobil meluncur ke halaman diiringi pekikan dari mulut Yasmin dan Elvira yang terkejut.
"Aah, pelan-pelan dong, Al," jerit Yasmin.
"Aduh kepalaku." Elvira menyentuh bagian depan kepalanya yang menghantam dashboard di hadapannya.
Melihat Yasmin yang terkejut, Eridanus melingkarkan lengan di pinggang Yasmin, dan menarik wanita itu agar lebih dekat dengannya.
"Kau aman. Tenang saja," ujar Eridanus.
Mendapat perlakuan demikian dari Eridanus, pipi Yasmin merona, dan jantungnya berdentum-dentum kencang.
Ciiit!
Aldi menginjak pedal rem, menghentikan mobil di bawah kanopi kediaman Yasmin yang asri.
Mobil berhenti sepenuhnya sekarang. Aldi menoleh ke belakang dengan alis bertaut.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan dia." Aldi berujar, kesal.
"Aku sedang melindunginya. Apa kau tidak lihat?"
"Melindungi dia dari apa lebih tepatnya?" Aldi bertanya, tatapannya terlihat semakin kesal.
"Dari apa saja." Eridanus menjawab santai, sesantai yang selalu pria itu lakukan.
Yasmin menghela napas, lalu menjauhkan diri dari Eridanus. "Aku tidak apa-apa. Sekarang ayo kita turun."
Elvira yang lebih dulu menanggapi ucapan Yasmin, karena Eridanus dan Aldi sedang saling melotot sekarang.
"Ckck, apa mereka berdua sedang adu tahan kedip!" gerutu Elvira, lalu mendorong pintu mobil hingga terbuka dan segera menjejakkan kaki di halaman berumput.
Yasmin menyusul Elvira, dan seketika aroma rumput yang basah karena hujan menyambut kedatangannya.
"Selamat datang di rumah," gumam Yasmin, sambil tersenyum menatap bangunan sederhana berwarna gading di hadapannya.
***
Sirius berdiri di atas tebing tertinggi yang ada di La Hortus. Tatapannya memandang jauh ke bawah lembah yang ditutupi kabut. Iris kemerahannya terlihat begitu terang di malam yang gelap, seterang lidah-lidah api yang menari di kedua sayap kelabunya.
Bibir sirius yang berwarna kemerahan sejak tadi bergerak tanpa henti, mengeluarkan bait demi bait mantra seperti alunan lagu yang indah. Mantra yang Sirius rapal adalah mantra pemanggil yang biasanya digunakan para serdadu untuk mencari keberadaan rekannya yang tersesat.
Biasanya mantra yang hanya berupa suara itu akan berubah wujud menjadi jalinan benang berwarna perak dan emas, lalu mulai meliuk di udara, turun perlahan ke daratan seperti tanaman rambat yang bergerak. Sementara mantra-mantra itu mulai bekerja, para serdadu yang tersesat akan melihatnya, atau bahkan membaui aroma yang manis seperti gula dan kemudian mereka mulai mengikuti jalinan benang itu menuju ke pemiliknya.
Harapan Sirius saat ini adalah Eridanus muncul entah dari mana, dan kemudian mengucapkan terima kasih padanya karena telah mengirimkan mantra untuk mencarinya. Namun, sia-sia. Sirius telah berdiri beberapa hari di sana, di atas tebing sambil merapal mantra, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Eridanus. Jalinan benangnya selalu kembali tanpa membawa umpan yang berusaha ia pancing.
Sirius terhenyak sekali lagi saat jalinan benangnya perlahan memudar dan menghilang di udara.
"Ke mana perginya dia," gumam Sirius, sedih.
"Bagaimana kalau kita mencarinya." Lyrae muncul di samping Eridanus dalam gumpalan asap putih dan merah muda yang indah. Jubahnya yang berwarna putih dan jingga berkibar karena embusan angin.
Sirius menoleh untuk menatap Lyrae. "Menurutmu apa yang aku lakukan? Aku mencarinya."
Lyrae tersenyum. "Kau tidak akan menemukannya di sini."
Sirius mengernyit. Bingung.
"Kita harus ke sana. Ke bola biru yang ada di sana!" Lyrae menunjuk gumpalan berwarna biru terang yang ada di kejauhan.
"Ada apa di sana?" tanya Sirius.
"Ada kehidupan lain di sana. Perjalanan untuk tiba di sana sekitar 199 hari. Persiapkan saja fisikmu, dan jangan lupa pastikan sayapmu siap untuk bepergian jauh."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments