Mabuk

"Bodoh, tentu saja yang benar adalah bentuk 'kui'. Kau ini benar-benar jurusan bahasa bukan sih?"

Maira juga tahu. Semua ini karena ulah siapa? Maira menatapnya dan ingin memarahinya, tetapi Rangga tampak tengah mengambil gelas berisi kopinya yang sudah dingin dan beranjak keluar.

"Aku duluan ya. Sampai ketemu nanti, Maira," ucapnya setengah hati. Maira tidak memedulikannya.

Kata 'sampai nantinya' itu karena dia benar-benar ingin mengajak bertemu nanti atau hanya sekadar sapaan saja? Apa dia memanggil nama Maira karena dia menganggapnya spesial atau hanya karena dia tahu namanya saja? Sejujurnya, Maira tidak terlalu memperhatikan apakah dia melirik atau tidak ketika dia masuk tadi. Untuk apa Maira bicara hal tak penting seperti ini? Bukan, bukan begitu, Maira terlalu baik kalau mengalah seperti ini! Seharusnya dia memberi respons pada umpan yang sudah dilemparkan kemarin. Kalau dia memang benar-benar menyukainya, entah bagaimanapun caranya seharusnya dia bisa menunjukkannya pada Maira. Hohoho, kalau begitu, kata-kata 'sampai nanti'nya itu benar-benar berarti ingin bertemu dengan Maira ya? Tunggu, siapa pun yang melihat ini pasti hanya berpikir kalau ini 'sekadar hubungan kakak-adik kelas' saja!

Belum sempat Maira membuat benteng untuk menjaga harga diriku, ia sudah terlanjur memaafkannya.

Padahal, sudah empat hari berlalu. Bisa-bisanya dia hanya mengucapkan dua patah kata saja, padahal Maira sangat merindukannya selama empat hari kemarin. Kalau memang dia menyukai Maira, meskipun sedikit saja, tidak mungkin dia bertingkah seperti ini!

Maira yang mulai pesimis menjadi semakin gila ketika merapikan foto-foto Rangga di dalam foto album. Ia penasaran akan apa yang dipikirkannya ketika sedang berfoto dengan gadis ini?

Maira masih belum bisa menebaknya. Menebak perasaannya pada gadis itu.

Saat ini, Maira sangat ingin menggali terowongan hingga bagian terdalam bumi dan bersembunyi di dalamnya.

"Kak ... Kak Maira?"

Seseorang menepuk pundaknya dan begitu berbalik, tampaklah rombongan anak-anak klub yang entah sejak kapan sudah berada di sini.

"Kami ingin minum-minum bersama, Kakak mau ikut?" ujar seorang pria pada Maira. Minum-minum ... yah, minum-minum adalah cara terbaik untuk menghibur hati yang sedih seperti ini.

"Tentu ikut dong."

"Kalau begitu, datang ke Baraya ya, Kak. Di sana yang paling murah."

Begitu mendengar kata Baraya, Maira langsung merasa jijik karena teringat akan pemberian bonus tumis ayam yang ada kecoaknya dulu. Selain itu, ventilasinya tidak bekerja dengan baik dan di sana sangat bau dengan kursi dan meja yang sudah tidak keruan bentuknya. Sangat tidak sesuai dengan suasana hatiku yang tidak enak seperti ini.

"Kita ke Blue Ball saja yuk, aku yang traktir."

Mendengar Maira berkata seperti itu, dengan lucu semua anak laki-laki langsung berteriak kegirangan sambil berkata 'waah, Kakak memang yang terbaik'. Total semuanya kurang lebih ada lima orang. Mentraktir orang sesedikit ini memangnya bisa semahal apa? Di perjalanan menuju Blue Ball, Maira menarik uang sejumlah 1.000.000 dan memasukkannya ke dompet.

Namun ternyata, semua yang sudah diperhitungkan berubah 180 derajat. Entah bagaimana cara mereka menghubungi yang lain, tempat minum-minum itu sudah dipenuhi lebih dari 10 anak-anak klub. Kalau sudah begini, tidak lucu kan kalau Maira kekurangan uang. Meskipun awalnya khawatir, keadaannya yang sudah sedikit mabuk akhirnya lupa akan hal itu.

Selain itu, Cika yang berada di depan membuatnya sibuk memikirkan hal lainnya. Maira memang bersifat tidak bisa menyembunyikan perasaan pada orang yang tidak disuka. Karena itulah, Maira berusaha keras untuk tidak bertemu dengan Cika di luar jam pelajaran. Namun entah dari mana dia tahu informasi soal minum-minum ini, dia muncul dengan wajah pura-pura lugu dan cantiknya itu. Begitu melihatnya saja, perasaan Maira menjadi tidak keruan. Cika melihat ke arahnya seolah memperhatikan Maira, kemudian tersenyum. Dia tersenyum dengan wajah sok baik bagai malaikat.

"Kak, sepertinya hari ini Kakak minum banyak ya. Kakak bisa sakit perut besok."

"Paling tidak aku masih sadar."

Semua tipuanmu sudah terbongkar. Entah apakah karena pengaruh alkohol, aku yang selama ini mengalah dan berkata kalau 'dia masih anak-anak' seolah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Coba saja kalau dia berani berulah di saat perasaannya sedang emosi seperti ini, ujar Maira dalam hati.

"Senior, ada saus yang menempel di bibirmu."

Cika berkata pada Boy yang duduk di sebelahnya. Tampak saus mayones melekat di bibir Boy yang sedang mengunyah cumi-cumi kering. Di mata Maira, semua tingkahnya itu tampak palsu.

"Di mana? Di sini?" Boy yang tidak tahu apa-apa mengelap bibirnya dengan polos.

"Bukan, Senior, di sini."

Dengan lembut, Cika menyeka saus yang menempel di bibir Boy dengan jempolnya. Lalu, dengan santainya dia mengelap saus itu di sapu tangan. Dia benar-benar licik. Kalau memang dia benar-benar mau membersihkannya di sapu tangan, kenapa tadi dia mengelapnya dengan tangan? Tidak salah lagi, si Cika ini memang benar-benar licik.

Memang dasar laki-laki. Ucapan Boy kemarin yang berkata 'Kita pacaran saja yuk' masih terngiang di kepala Maira, tetapi sekarang wajahnya malah memerah seperti itu. Sementara itu, Cika mendadak sibuk berbincang-bincang dengan orang lain seolah penasaran akan apa yang mereka bicarakan.

Hati Maira mulai kesal melihat Cika yang mencoba mengelabui Boy seperti itu. Maira jadi berpikir apakah dia sengaja melakukan itu karena tahu bahwa Boy menyukainya. Kalau sudah begini, jelas bahwa Cika memang berniat mempermainkan Maira. Saat ia berpikir tentang hal itu, emosinya menjadi meluap-luap seperti akan meledak. Maira mencoba menahannya dengan kekuatan manusia supernya.

"Waahh ... Senior. Senior tidak boleh lupa pada janji Senior. Pokoknya tidak boleh. Senior kan sudah janji kalau besok akan membelikan kami pizza. Janji harus ditepati. Senior janji kan? Nah, janji oke!"

Di sela-sela itu, tampak Cika sedang berpegangan tangan dengan senior lain bernama Radit, mereka bahkan menautkan kelingking dan menempelkan jari tanda janji. Senior Radit hanya bisa mengiyakan permintaan Cika yang membujuknya dengan manja dan mengemaskan.

Meskipun Radit itu senior, dia masih lebih muda 2 tahun dibanding Maira. Dia bekerja sambilan di dua tempat karena keadaan keluarganya yang tidak mencukupi. Dia pernah menanyakan tempat kerja sambilan pada Maira karena semester depan ia mungkin harus pergi untuk sekolah ke luar negeri. Dia ingin berkonsultasi akan hal itu karena Maira sudah pernah masuk ke dunia kerja sebelumnya.

Namun, bisa-bisanya anak-anak yang lain memaksanya untuk membelikan pizza pada seluruh anak klub yang lain. Apa mereka tidak tahu kalau harga pizza sekarang mahal? Melihat dia mengalah pada bujukan wanita tanpa berpikir panjang, membuat Maira kesal. Biasanya, ia yang selalu memoroti Cika. Namun sekarang, Cikalah yang memorotinya.

"Kak, tadi senior Radit janji untuk membelikan kita pizza besok. Besok kakak datang dan tidak usah beli makan siang ya." Ekspresi wajahnya yang seolah memedulikan Maira itu tampak sangat menyebalkan. Ketika itu, Maira sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya.

"Senior Radit, sepertinya Senior punya banyak uang ya?" Wajah Radit memucat setelah mendengar ucapan sinis Maira. Maira tidak peduli lagi soal itu, kali ini ia mengalihkan pandangan pada Cika. "Cika, sebenarnya kau ini nyonya muda ke berapa sih?"

Cika hanya membelalakkan mata seolah tidak mengerti apa yang terjadi. Melihat ekspresi wajah pura-pura bodohnya itu, Maira semakin beranggapan kalau dia memang penipu ulung.

"Melihat tingkahmu seperti ini, kau pikir kita ini di room salon?"

Cika pun akhirnya memucat setelah sadar akan apa yang dimaksud. Semua orang yang tadinya minum-minum beralih menoleh dengan wajah kaget.

Kalau saja Maira tidak mabuk, kata-kata seperti ini tidak mungkin mengalir keluar dari bibirnya. Membuat tidak terkendali dan melampiaskan semuanya dengan enteng adalah hal yang paling menakutkan dari alkohol. Maira sama sekali tidak memperhitungkan dampak dari ucapannya ini. Rasa kecewa terhadap Rangga juga bercampur dan dilampiaskan pada Cika. Maira seolah menyalahkan dia karena hubungannya dengan Rangga tidak berjalan lancar.

"Kak, sepertinya Kakak sudah terlalu mabuk."

"Hei, Kak, jangan begitu ...."

Anak laki-laki yang lain menggenggam lengan dan menarik Maira mundur. Kalau saja ia mengikuti perkataan mereka dengan tenang, mungkin mereka bisa beranggapan kalau Maira hanyalah mabuk dan lepas kendali. Namun, dengan perasaan sekarang, Maira tidak ingin orang menganggap perkataannya hanya sekadar ucapan ketika mabuk saja. Karena itulah, ia menampik tangan mereka.

"Cika, dengarkan. Kau itu jauh lebih muda dan cantik daripadaku. Awalnya aku menganggap semua kepura-puraan, sok manja, dan sok centilmu itu menggemaskan karena kau masih muda. Tapi semakin hari, sepertinya kau menjadikan semua itu senjatamu untuk mengelabui kami ya? Di depan kami kau bersikap sok lugu dengan wajah seolah tidak mengerti apa-apa, tapi kau menipu dan menusuk kami dari belakang. Kau tahu, aku sebagai sesama wanita saja melihat tingkahmu itu sama seperti gadis murahan. Bisa tidak, kau hidup sebagai wanita yang punya harga diri?"

Mungkin baru kali ini dia mendengarkan perkataan kasar seperti ini seumur hidupnya. Wajahnya memucat dan bibirnya tampak gemetaran. Tak lama kemudian, air mata mengalir dari mata besarnya. Lalu, mulailah terdengar suara senior lain dari segala sisi yang berkata 'Maira, cukup sampai di situ', 'ucapanmu keterlaluan'. Anggota klub lainnya kembali berusaha untuk menarik Maira mundur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!