Membantu Cika

"Kakak sibuk tidak hari ini?"

Entah mengapa pelajaran Tata Bahasa kali ini sangat membosankan dan membuat Maira terkantuk-kantuk hingga akhirnya sebuah pesan mendarat di ponselnya. Itu adalah pesan dari Cika. Maira menoleh ke arahnya, lalu tersenyum dan memberinya kode mata.

Meskipun Maira tidak begitu menyukainya, Cika adalah jenis orang yang sulit untuk dibenci. Setiap kali bertemu di jalan, ia selalu berlari menghampiri dan menggandeng tangan Maira sambil memanggil 'Kak' dengan ramah. Sejujurnya, Maira tidak terlalu menyukainya, tetapi melihat Cika yang lebih muda empat tahun darinya ini bertingkah seperti itu, Maira merasa dia cantik dan sangat menggemaskan.

"Tidak juga, kenapa?"

Maira mengirimkan balasan SMS-nya.

"Tolong bantu aku, Kakak."

"Bantu apa?"

"Aku akan memberitahukannya seusai kelas."

Lalu, sesaat setelah kelas usai, Cika berlari menghampiri Maira. Meskipun biasanya dia adalah anak yang selalu berdandan dengan sempurna, entah kenapa hari ini Maira melihatnya mengenakan pakaian yang sedikit berbeda.

Dia tampak mengenakan blus berwarna kuning lembut dengan trim berwarna gading yang terbuat dari bahan sifon tipis, dan rok selutut bermotif bunga-bunga sebagai bawahannya. Lalu, rambut panjangnya digerai begitu saja.

Sosoknya saat ini sangat menarik bagaikan bunga yang mulai mekar. Maira di sebelahnya, dengan celana panjang dan cardigan tebal berwarna abu-abu, tampak tidak menarik sama sekali. Ditambah lagi, rambut yang berwarna hampir memudar selalu diikat. Padahal sekarang sudah musim semi, bukankah akan lebih baik jika Maira sedikit mengeluarkan uang untuk rambutnya? Dengan anehnya hal itu terbersit dalam pikirannya.

"Memangnya kau mau minta tolong apa?"

"Kakak pasti haus, kan? Kita cerita sambil minum saja, yuk." Cika segera merangkul tangan Maira. Meskipun ia berjalan dengan sedikit tidak nyaman karena Cika lebih tinggi kira-kira 10 cm darinya, Maira tetap berjalan timpang seperti itu bersamanya ke lantai bawah dan berhenti tepat di depan mesin minuman. Cika lantas memilih minuman kesukaannya, bahkan mengisinya ke dalam cangkir dan menyerahkannya dengan dua tangan pada Maira.

"Sebenarnya kau mau minta tolong apa sih, sampai segitunya? Pasti sesuatu yang sulit ya?"

Begitu melihat Cika mengangguk, Maira membuka mulut dengan berat.

"Hari ini aku berniat menembak seseorang."

"Siapa orangnya? Aku?"

".... "

Dasar. Maira kan cuma bercanda, tidak harus menunjukkan ekspresi seperti itu kan. Membuat malu saja.

"Maaf. Leluconku tidak seru ya?"

Maira mengangkat bahu dan meminum teh itu. Ketika itulah, Cika tertawa lucu. Pokoknya, dipikir dulu dia adalah tipe orang yang berbuat seenaknya saja. Namun ternyata, dia juga tidak memiliki selera humor dan kepekaan yang tinggi.

"Hoho. Ah, Kakak bisa saja .... Aku kaget kan ... sebenarnya, ada seseorang yang kusukai. Meskipun aku ingin menembaknya, aku sama sekali tidak punya keberanian. Bisa tidak kalau Kakak mendampingiku?"

Seketika itu juga, Maira hampir saja memuntahkan minuman yang baru ditenggak. Baru kali ini ia menerima permohonan aneh seperti ini. Padahal, yang namanya penembakan itu, dua orang pria dan wanita seharusnya berada dalam mode percintaan. Untuk apa Maira ada di tengah-tengah mereka? Lagi pula, ia bukan tim penyemangat atau pengamat mereka berdua. Apa dia ingin membuat Maira yang masih single di usia segini merasa sedih?

"Maaf. Aku memang tidak sibuk, tapi sepertinya aku tidak pantas untuk berada di tempat itu."

"Kakak ...."

Cika menatap Maira dengan raut wajah setengah menangis. Dia bertingkah begitu seolah ia akan melemah begitu menatap matanya. Ia pun seolah berpikir kalau teh yang dibelikannya untuk Maira ini dapat dimanfaatkannya.

"Meskipun begitu, ini adalah urusan kalian berdua."

"Orang itu masih tidak tahu."

"Apa?"

"Aku yang menyukainya."

"Jadi, kau bertepuk sebelah tangan?"

Dengan raut wajah menyedihkan, Cika menganggukkan kepalanya.

"Belakangan ini, aku seperti mau gila saja. Hanya dengan memikirkannya saja aku jadi tidak bisa tidur dan wajahku serasa panas. Karena itulah, aku memutuskan untuk berpura-pura gila dan mengutarakan perasaanku padanya. Meskipun aku sudah mengajaknya bertemu hari ini, sampai sekarang pun aku masih ingin lari sembunyi. Kalau Kakak tidak mau menemaniku hari ini, aku mungkin akan lari dan bersembunyi di rumah."

Apa? Lihat ini. Bisa-bisanya dia menimpakan masalah ini pada Maira?

"Kalau begitu, hari ini pulang saja ke rumah dan temui dia lain kali."

"Uunngg, ayolah, Kakak ...."

Cika langsung duduk dan seperti akan segera menangis. Lalu, Maira menyadari kalau ia sudah berada dalam cengkeramannya.

Hei! Berhentilah bertingkah seperti ini. Memang apa susahnya sih duduk di sebelah Cika? Toh Maira hanya perlu ikut dengannya ke kafe, duduk, dan membiarkan mereka berdua sendirian, lalu Maira tidak akan merasa terganggu lagi oleh rengekan Cika.

"Baiklah. Tapi, aku akan duduk di meja yang berbeda."

"Kak, jangan begitu ...."

"Kalau tidak mau ya sudah."

"Baiklah. Tapi, Kakak harus duduk di dekatku ya."

Kalau itu tidak masalah. Terserah mereka berdua mau melakukan apa,Maira di meja yang lain sambil membaca buku sepertinya sudah cukup. Sembari mengangguk, Maira mengutarakan satu permintaan lagi.

"Satu hal lagi, kau yang akan membayar pesananku ya."

"Iya, Kak, tenang saja."

"Tidak apa-apa kan kalau aku memesan yang mahal?"

"Tidak apa-apa."

"Aku mau memesan frappe lho."

"Aku mengerti. Dua cangkir frappe."

Cika kembali tersenyum dan menggenggam tangan Maira. Pada akhirnya, Maira terjatuh ke dalam rayuan teh dan frappe dari Cika dan berhasil tertarik ke lokasi penembakan.

Cika berkata dia sudah janji akan bertemu dengan orang itu pukul lima sore. Mereka sudah sampai ke tempat itu 20 menit lebih awal dari waktu janjian. Secara keseluruhan, suasana kafe yang didominasi oleh warna-warna terang dan hijau ini terasa hangat.

Dia memperbaiki dandanannya dengan hati-hati sembari menoleh ke arah Maira agar ia memperhatikannya.

"Bedaknya rapi tidak, Kak?"

"Iya, kamu jadi kelihatan putih."

"Alis mataku terlalu tebal tidak?"

"Tidak, bagus kok."

"Lebih bagus pakai lipstik atau lip-gloss?"

"Kalau menurutku, lip-gloss lebih bagus."

Melihat Cika memoles lip-gloss di bibirnya, Maira pun teringat akan satu paragraf dalam buku yang pernah dibaca dulu.

Di zaman manusia primitif dulu, setiap wanita akan mewarnai bibirnya agar terlihat lebih dewasa ketika musim kawin. Sementara dalam dunia hewan, jika sang betina mewarnai bibirnya, maka itu adalah pertanda kalau dia sudah siap untuk kawin.

Memakai lipstik akan tampak terlalu memesona. Pria pada umumnya akan langsung mengerti apa artinya berdasarkan insting mereka, sedangkan wanita tidak tahu apa artinya itu. Meskipun sudah mengetahui hal itu, aku tidak terlalu sering mengenakan lipstik karena sedikit merepotkan. Intinya, Maira hanya tahu teori saja tanpa pernah mengalami secara langsung.

Begitu waktunya sudah hampir tiba, Maira pun duduk di meja yang bersebelahan dengan Cika. Lalu, ia kembali membaca buku yang sempat dibaca tadi. Tentu saja Maira tidak lupa untuk memesan frappe. Ketika jam menunjukkan pukul lima lewat lima menit, raut wajah Cika yang tadinya sempat khawatir akhirnya tersenyum riang.

Pria itu akhirnya datang juga.

Terpopuler

Comments

Dear_Dream

Dear_Dream

cerita yang penuh kejutan, aku tidak pernah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

2024-03-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!