Keesokan harinya, Maira pergi ke jurusan keramik di fakultas seni keramik untuk menemui Rangga. Jurusan keramik berada di bagian terdalam kampus yang dikelilingi oleh pepohonan. Gedung kecil tua yang berdiri di atas rerumputan hijau basah dan dikelilingi oleh pepohonan yang mulai berbunga itu tampak sangat romantis, bagaikan gambaran yang muncul dalam dongeng.
Di bawah sinar matahari yang indah, tampak orang-orang tengah membuka buku sketsanya dan menggambar sketsa; juga ada yang tengah menyelesaikan karyanya, dan ada yang berfoto- foto di sana. Ada pula yang sedang membuka-buka berkas pekerjaan sementara di sisi yang lain ada yang sedang mengobrol sambil menikmati es krim. Semuanya tampak mengenakan celemek berwarna biru tua. Bercak-bercak yang menempel di celemek mereka tampak indah bagaikan bunga-bunga yang mekar dan kebebasan yang tak terbatas.
Maira yang berpakaian rapi dan bersih merasa malu berjalan di antara mereka karena seolah tidak sesuai dengan lingkungan mereka. Berdasarkan jadwal yang ditempel di klub, Rangga sedang ada kelas saat ini. Maira berniat untuk menunggunya hingga pelajarannya selesai. Namun, ia tidak juga berhasil menemukan ruang kelasnya meskipun Maira sudah mencarinya ke mana-mana, orang-orang bercelemek dan membawa tanah liat dalam plastik besar pun berjalan mendekatinya. Mereka pasti mahasiswa dari fakultas seni keramik. Maira menanyakan Rangga pada mereka, tetapi mereka hanya menggeleng.
"Rangga?"
Ketika itu, pria yang lewat di sebelah Maira berkata untuk mencarinya di atap gedung.
Embusan napas hidung Maira pun terdengar berat begitu ia mulai melangkah naik ke atap. Dia terlihat di bawah bayangan pohon besar yang melebihi tinggi atap gedung itu. Sosoknya yang bertelanjang kaki dengan celana panjang digulung selutut dan tubuh langsing yang dibungkus celemek biru benar-benar membawa suasana yang berbeda dengan sebelumnya.
Dia berdiri membelakangi Maira dengan earphone menempel di telinga. Mungkin itu yang membuatnya tidak mendengar kehadiran Maira meskipun berdiri sangat dekat dengannya. Dia menyelipkan kedua tangannya di kantong dan menggumam- gumamkan nada lagu yang sedang didengarkannya. Kedua kaki putihnya bagaikan diselimuti oleh tanah liat kemerahan yang mulai mengering.
Meskipun sendirian, ia tampak seperti anak kecil yang bermain dengan puas. Jika didengarkan dengan tenang, terdengar suara embusan napas dari hidungnya. Maira merasa sangat senang mendengar dengusan napas yang familier itu.
Awalnya Maira ingin memangilnya seolah berpura-pura mengenalnya, tetapi ia mengurungkan niat itu. Saat ini, Rangga tengah menikmati dunianya sendiri. Maira tidak ingin merusak kesenangannya hanya karena pura-pura mengenalnya. Maira tidak ingin merusak kesenangan orang seperti dia yang selalu berbaik hati pada semua orang. Maira pun tak ingin terpengaruh cibiran tentang kehidupannya dengan para gadis lain. Orang seperti dia yang sangat ramah dan sopan pada orang lain, membuatnya yang baru mengenalnya meragukan Rangga sebagai playboy.
Sosoknya saat ini tampak lebih menyenangkan. Dia tampak seperti berlian yang berkilauan diterpa sinar matahari yang menyelusup dari dedaunan hijau. Sinar itu tampak seperti aura yang keluar dari dalam tubuhnya. Ya, meskipun dia 100% orang jahat, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kalau sudah begini, Maira harus membiarkannya menikmatinya.
Pandangan Maira pun beralih pada kedua kakinya yang diselimuti tanah liat. Jari-jari kaki panjang dan tulang kakinya tampak sangat indah. Entah mengapa, otot-otot achilles dan tulang sendi langsingnya itu tampak begitu seksi setiap kali ia menggerak- gerakkan kakinya. Tanah liat itu mengelupas dari kakinya dan tampak pula tetesan keringat bagaikan kristal yang mengucur dari kening yang seolah bertuliskan "aku ini anak raja tentu saja semua hal di diriku tampak indah". Sosoknya itu tampak sangat erotis.
Dari awal, kakinya tampak menggairahkan. Meskipun ini hanyalah berita yang populer di kalangan wanita, ada yang mengatakan kalau kaki kecil berarti "barang"nya kecil. Sama seperti budaya orang China terdahulu yang melilit kaki dengan perban, juga kisah sepatu kaca yang tidak bisa dipakai oleh orang lain selain Cinderella, semua hal itu menggambarkan bahwa wanita dengan kaki berukuran besar mengandung makna yang buruk dari sisi seksualitasnya. Karena itulah, sosok seorang pria yang memakaikan sepatu pada seorang wanita juga tampak erotis. Maira bisa merasakan pesona seksual yang cukup kuat ketika melihat kaki Rangga. Ah, kakinya besar juga. Begitu Maira tersadar bahwa ia berpikiran seperti itu sambil memperhatikan kakinya, ia merasa kalau sudah sama seperti wanita maniak. Bisa-bisanya Maira yang tadinya memandanginya dengan tatapan versi tulus berubah menjadi versi erotik seolah ingin menerkamnya. Namun, tak peduli orang berkata apa, sosoknya yang tampak santai dalam kesendiriannya ini adalah hal baru dari dirinya yang menarik hatinya.
Maira pun turun dari atap secara perlahan agar tidak mengusiknya dan membeli minuman dingin dari mesin penjual otomatis. Maira meletakkan minuman itu di tempatnya berdiri tadi secara perlahan lalu berbalik dan berhenti sejenak. Bukankah akan lebih baik kalau ia meninggalkan memo untuk mengatakan kalau ia sudah dari sini? Maira tidak akan membiarkan si rubah Cika itu menghalanginya lagi.
Maira pergi ke sudut atap itu, duduk dan menuliskan memo singkat.
[Aku tadi sudah datang, tapi aku langsung pulang karena takut mengganggumu. Maira]
Maira membaca ulang tulisan tadi, tetapi diremas dan dibuang. Entah mengapa Maira merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh yang mengejar-ngejarnya. Untuk mengatakan bahwa Maira datang mencarinya saja sudah cukup memalukan, apalagi kalau mengatakan ia langsung pergi karena takut mengusiknya. Karena itu, Maira membuat memo yang baru.
[Terima kasih untuk plester kemarin.]
Namun kemudian, Maira mengganti kata 'terima kasih' dengan 'thanks'. Yah, setidaknya ini tampak kalem dan menyukainya. Dia bisa langsung tahu siapa dia, dan bukankah Maira tampak seperti pemberani dengan datang kemari karena menyukainya?
Maira meletakkan memo di bawah minuman tadi dan turun dari atap secara perlahan. Bagaikan seorang pemancing yang melemparkan umpan, Maira pun memutuskan untuk menunggu Rangga hingga memakan umpan itu. Maira yang penakut ini tidak mungkin mengutarakan perasaan dan mengajaknya berpacaran dengannya.
Namun, penantian sudah berlalu satu hari dan satu hari lagi, hingga akhirnya empat hari pun berlalu begitu saja. Jangankan mendengar respons Rangga, kesempatan untuk bertatap muka dengannya saja tidak ada. Di sela-sela itu, Maira menghubungi nomor rumahnya melalui ponsel, kalau-kalau ponselnya rusak. Maira pun menyerah setelah mencoba dan gagal berkali-kali. Kemudian, ia teringat kalau dulu Maira tidak mau memberikan nomor telepon padanya. Meskipun nomor Maira dapat diketahui dengan jelas dari isi aplikasi mahasiswa baru di klub, apa mungkin Rangga terpikir untuk mencarinya?
Apakah akhirnya Maira harus menemukan titik keberadaannya dengan radar karena tidak berhasil dengan umpan yang dikirim kemarin? Hanya untuk berpacaran sekali saja sudah sulit seperti ini, sulit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments