Mengukur Perasaan

Suasana kampus di malam hari tampak berbeda dengan pemandangan di siang hari. Bunga yang tumbuh berjejer dari samping jendela hingga lobi utama tampak sedang mekar. Di dalam kegelapan malam seperti saat ini, bunga yang mekar itu tampak bagaikan lampu yang bersinar terang.

Kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan karena tertiup angin membawaku ke dalam dunia fantasi. Keheningan ini bahkan membuat Maira bisa mendengarkan suara kelopak bunga yang berjatuhan ke tanah.

Maira ingat bahwa akhir tahun lalu ia pergi untuk melihat bunga mekar di tempat ini. Namun, tempat ini sesak dipenuhi oleh para pedagang dan membuat blus barunya menjadi kotor sehingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi pergi melihat bunga sakura mekar. Bahkan ketika melihat bunga mekar pun, Maira tidak memedulikannya.

Namun sekarang, hanya ada ia dan Rangga yang berjalan di antara ranting pohon yang memanjang ini. Kenyataan itu membuat hatinya bahagia. Pendapat Maira tentang Rangga semakin kuat bahwa dia benar-benar seorang playboy genius. Bisa-bisanya dia membuat hati seorang wanita bergetar semudah ini. Namun entah apakah karena keindahan bunga ini, Maira tidak membenci kenyataan bahwa dia adalah seorang playboy. Ia bahkan beranggapan bahwa seorang playboy juga bukan hal yang buruk jika sedang menjalin cinta.

"Tidak menyesal kan masuk ke sini?"

Rangga lantas duduk di bangku di pinggir jalan. Raut wajah Maira sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya itu.

"Cih, kau ini memang playboy."

"Kau ini ... playboy juga punya ketulusan, kau tidak tahu ya? Aku hanya menunjukkan hal ini pada orang yang benar-benar kusukai."

Hati Maira mulai berdebar mendengar ucapannya yang penuh makna itu. Namun, ia menahan diri karena tidak ingin terharu dengan mudah seperti ini.

"Kalau begitu, ini bukan hal yang sebenarnya ingin kau tunjukkan padaku kan?"

"Kau benar."

Sudah diduga, pria ini memang bukan lawan sembarangan. Maira kembali bertanya sembari duduk di sebelahnya, "Jadi, apa yang sangat ingin Senior tunjukkan padaku?"

"Ini."

Rangga menunjuk dirinya sendiri dengan jari panjangnya. Bukan, lebih tepatnya lagi, dia menunjuk ke arah jantungnya. Sinar mata dan cara bicaranya itu membuat Maira merasakan keseriusannya.

"Dan juga yang ini."

Hal selanjutnya yang dia tunjuk dengan jelas adalah ... alat kelaminnya?

Maira langsung bergerak menjauh dari Rangga ke ujung bangku sembari berkata ketus, "Hei ... tingkah Senior benar-benar sesuai dengan sebutan Casanova ya."

Entah apa yang lucu, lagi-lagi dia tertawa terbahak-bahak. Melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan seperti itu, dia tampak persis seperti anak kecil yang nakal. Maira sama sekali tidak bisa membencinya. Tiba-tiba, dia berhenti tertawa dan menatap Maira lekat-lekat. Lalu tiba-tiba, sinar matanya berubah menjadi tatapan pejantan yang penuh pesona.

Meskipun sulit bagi Maira untuk mengakuinya, ia langsung lumer hanya dengan menatap matanya saja. Dan entah kenapa, bibirnya tampak sangat seksi walau di tengah kegelapan seperti ini. Sinar lampu jalan jatuh tepat di bibirnya. Tahi lalat yang ada di antara bibirnya pun tampak bersinar-sinar karena cahaya lampu dan membuat Maira terpesona.

Kalau sudah begini, mana mungkin ia bisa menahan diri untuk mengecupnya kan? Nah, cepatlah kemari.

Bagaimana rasanya bila berciuman dengan bibir itu ya? Sepanas apakah aliran napas yang beradu di tengah-tengah ciuman itu?Maira teringat akan gosip tentang seorang wanita yang pernah berciuman dengannya. Jika bibir itu melumat bibir Maira seluruhnya, dan jika lidah Rangga beradu kekuatan dengan lidahnya .... Membayangkannya saja sudah membuat Maira kehabisan napas dan mengejang lalu pingsan di tempat.

Apa ini yang dimaksud dengan pesona Casanova? Bibir Maira terasa kering, dan tanpa sadar ia membasahi bibir dengan lidahnya. Maira memutuskan untuk mengikuti apa pun keinginan Casanova. Bibirnya yang seksi dan penuh pesona itu perlahan mulai terbuka.

Baiklah, silakan bertindak sesukamu, wahai Tuan Casanova.

"Kau sudah dengar gosip tentangku kan?"

Eh, apa lagi ini? Maira segera bangun dari mimpi dan membalas ucapannya.

"Go ... gosip apa?"

Rangga pun berkata dengan sangat hati-hati, "Antara aku dan Senior Cayla ...."

Oh, ternyata nama senior yang cantik itu Cayla. Tanpa sadar Maira menelan ludah dan merasa gugup.

"Iya, tapi aku hanya menganggapnya sebagai gosip semata."

Saat Maira menyelesaikan ucapannya dengan terbata-bata, Rangga langsung menjawab lagi dengan tegas, "Aku pernah menyukainya, bahkan sangat menyukainya."

"Aku tahu itu. Aku tidak sengaja melihat foto kalian. Semuanya terlihat seperti itu, lembar demi lembar."

Hati Maira mulai menciut, air mata yang mengalir tadi seolah menggenang kembali dalam kelopak matanya. Ia menundukkan kepalaku sambil menggesek-gesekkan kaki ke tanah karena tidak ingin Rangga melihatnya seperti itu.

"Tapi, kami sudah putus, benar-benar putus."

Mendengar ucapan Rangga yang menekankan kata 'benar-benar putus' membuat Maira merasa lega.

"Bo ... bolehkah aku tahu kenapa kalian putus?"

"Menurutmu, apa yang paling sulit kau hadapi ketika berpacaran?"

Hei, Maira belum pernah berpacaran! Ia memikirkannya dengan lebih serius, karena menurutnya melakukan hubungan seks bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

"Hm ... mengukur besarnya perasaan seseorang? Bagiku ... itulah yang paling sulit."

"Mengukur perasaan?"

"Coba pikirkan rasanya mengkhawatirkan perasaan seseorang terhadapmu. Aku sudah melangkah maju dua langkah karena menyukainya, tetapi orang itu setengah langkah saja pun tidak mau mendekat. Kita akan tampak sangat menyedihkan dan terluka. Begitu pula sebaliknya, jika aku belum mendekat, tapi orang itu malah sudah berjalan mendekat ke arahku. Kalau sudah begitu, ada kalanya kita malah menjadi takut dan tidak enak hati. Melakukan hal seperti itu untuk berhubungan dengan orang lain memang wajar, tapi jika mendekati hati seseorang dengan cara seperti itu justru harus sangat berhati-hati dan sangat melelahkan. Terkadang, aku merasa iri pada orang yang bisa mengabaikan hal seperti itu dan menghadapi orang lain secara langsung dengan mudah. Tapi, aku juga merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan orang seperti itu."

Rangga mengangguk seolah mendengar ucapan Maira dengan serius, kemudian berkata lagi dengan pelan, "Kau benar ... aku sudah mendekati senior itu hingga tidak ada jarak di antara kami, tapi dia itu berbeda. Aku selalu terbebani akan hal itu."

Terbalik. Maira malah berpikir kalau Rangga adalah orang yang bisa dengan mudah menghadapi orang lain secara terang-terangan. Ketika Maira sudah maju selangkah untuk mendekat, dia malah kembali ke posisinya. Tetapi tiba-tiba, dia bisa sudah berjalan kembali mendekat. Itulah alasan terberat Maira untuk mencintainya.

Apa mungkin dia ingin bilang kalau dia merasa terluka setelah mendekati orang itu? Sebentar. Kalau begitu, Rangga yang dicampakkan oleh senior itu? Sulit bagi Maira untuk memercayai bahwa seorang Rangga ditolak.

Rangga menatap Maira sembari tersenyum seolah tidak ingin mengungkit cerita lama lagi. Kalau sudah begini, Maira sangat ingin menggigitnya.

"Karena inilah, aku menyukai wanita yang lebih tua. Bisa saling mengerti."

"Apa!"

"Haha, aku sudah selesai bercerita tentangku, sekarang ceritakan tentang dirimu. Bagaimana ceritanya kau bisa telat masuk kuliah seperti ini?"

"Hm, aku juga berduka karena aku telat masuk kuliah seperti ini."

Maira tersedak karena perkataan telat masuk kuliah tadi. Bisa-bisanya dia membuat Maira teringat kembali akan sesuatu yang membuatnya emosi seperti tadi. Rangga pun langsung meminta maaf dan tertawa melihat Maira.

"Sebenarnya ... aku melihat pertengkaranmu dengan Alisa tadi. Karena situasinya seperti itu, aku tidak mungkin masuk kan. Padahal, tadinya aku berpikir kalau kau akan memenangkan perdebatan itu melihat sifatmu sehari-hari. Tapi ternyata, hasilnya di luar perkiraan ya."

Justru perkataannya ini yang sangat di luar perkiraan Maira.

"Memangnya sehari-hari aku seperti apa?"

"Kau kan liar. Hahaha, saking liarnya kau bahkan mengumumkan ukuran kemaluan seorang pria yang baru pertama kali kau temui."

Maira meliriknya dan berkata, "Manusia pasti akan selalu menutupi kelemahannya dan selalu memberikan kejutan. Tapi, jika dia sampai termakan oleh sifat jahatnya, dia akan kehilangan jati diri. Aku masih lebih baik karena berhenti sebelum kehilangan jati diriku. Hei, aku kan cuma sekadar menghukumnya saja."

Setelah dipikir-pikir, Maira menyesal karena hanya diam bertengkar dengan Alisa tadi. Ia masih duduk di bangku SMA kelas tiga, ayah Maira jatuh ketika mereka pergi ke pantai. Setelah sadar dari koma selama empat hari, sebelah bagian tubuh ayahnya tidak bisa digerakkan. Ayah Maira terpaksa berhenti bekerja, sehingga untuk menyokong kehidupan mereka, ibunya yang tidak bisa berdagang, kembali ke pekerjaan awalnya dulu, yaitu membuka salon. Ibu Maira menurunkan setengah harganya dan menerima pelanggan dua hingga tiga kali lebih banyak. Setiap sore, ibunya akan merendam tangannya yang terluka karena gunting dan memerah akibat obat yang keras ke dalam air es sambil terus meratapi nasibnya.

Setiap sore, Maira selalu mendengarkan radio di atas meja sambil belajar karena tidak mau mendengar ocehannya. Ibunya selalu berada di salon, Mairalah yang selalu mengurus kebutuhan ayahnya. Adik laki-laki yang lebih muda tiga tahun dari Maira pun menjadi urusannya. Maira selalu mendengar nasihat ayahnya yang berkata dengan tidak jelas dan air liur berceceran. Pergi ke tempat- tempat bermain untuk mencari dan memaksa adiknya pulang juga menjadi tanggung jawab Maira. Meskipun begitu, nilainya tetap yang terbaik.

Terpopuler

Comments

Sweet Girl

Sweet Girl

Siapp

2024-03-11

0

Hanisah Nisa

Hanisah Nisa

lanjut

2024-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!