"Kakak, sebenarnya enam sembilan itu apa sih?"
Maira hampir saja menyemburkan jus yang sedang diminum pada orang yang berada di hadapannya. Itu karena Cika menanyakannya dengan wajah yang sangat lugu. Maira pun menoleh ke sekeliling kalau-kalau ada yang mendengarkan perkataannya tadi. Untung saja, semua orang yang ada sedang sibuk dengan cerita mereka masing-masing dan sepertinya tidak ada yang memperhatikan mereka.
Itu adalah tempat acara penyambutan anggota baru dari klub yang dibicarakan oleh Cika tempo hari. Kurang lebih sekitar 40 orang tampak mendirikan rumah tenda di pinggir sana.
Maira menatap Cika dengan wajah sedikit kesal. Ia mengutuk dalam hati. "Cika, ketidaktahuan itu memang tidak salah, tetapi sikap tidak peduli itu salah, apa kau belum paham juga?! Jika aki jadi kau, kalau hal seperti kemarin diketahui semua orang, terlebih lagi soal kenyataan bahwa aku dipermainkan oleh Rangga, aku akan mencari tahu semua hal tentang 69 di waktu luangku."
Menurutnya, sekarang itu dunia seperti apa sih? Hanya dengan menggerakkan beberapa jari saja, semua info yang diperlukan akan bermunculan melalui Internet. Apa dia harus menanyakannya lagi? Selain itu, di tempat banyak orang seperti itu pula.
Sesaat Maira ragu kalau anak itu bertanya karena tidak tahu apa- apa. Namun ketika ia melihat bola matanya yang berbinar-binar seperti itu, ia menyadari kalau Cika memang benar-benar tidak tahu apa-apa. Seketika itu juga, Maira merasa lebih baik darinya. Sepertinya, ada baiknya memberitahukan yang sebenarnya kepada anak yang lugu dan kekanak-kanakan itu agar peristiwa seperti kemarin tidak terjadi padanya. Lalu, Maira memutuskan untuk mengajarkan apa yang diketahui dengan sebenar-benarnya. Maira berniat menceritakan hal itu padanya bukan karena sangat menarik. Sama sekali tidak seperti itu! Maira membasahi sumpitnya dengan jus dan menulis angka '6' dan '9' di atas meja.
"Coba kau bayangkan kedua angka ini sebagai pria dan wanita." Dengan mata yang tampak besar karena mengenakan softlens, Cika mengamati kedua angka itu dengan saksama. Maira melihat bagaikan ada tulisan berbunyi 'aku sama sekali tidak tahu apa-apa' di wajahnya. Tepat seperti dugaannya. Kalau saja anak itu sedikit lebih peka akan sekelilingnya, dia tidak akan mungkin mengalirkan 'apa yang dimaksud dengan 69' dari bibirnya seperti hari ini. "Ini sama seperti posisi badan. Kau mengerti apa yang kumaksud dengan posisi kan?"
Cika mengangguk. Maira bersyukur karena tidak perlu lagi menjelaskan apa yang dimaksud dengan posisi. Sambil mengerutkan dahinya, Cika menundukkan kepala dan mengamati kedua angka yang ada di atas meja itu dengan lebih saksama. Rambut panjangnya terurai di bahunya. Caranya menekukkan kepala ke bawah dengan anggun itu tampak seperti sedang membaca sebuah puisi yang sangat indah. Sementara itu, Maira merasa sedang merusak seorang gadis yang polos.
"Nah, kalau memang kau mulai sedikit memahaminya, apa kau mulai mempertimbangkan untuk segera mengganti nomor ponselmu besok? Kalau tidak, kau akan mencari dan mencekik orang yang membuatmu membeli ponsel ini," ucap Maira dalam hati.
Lalu, Maira meneguk jus dengan santai seolah berkata kalau ia memiliki waktu luang, dan menjatuhkan tatapan pada Cika. Namun, orang-orang mulai memperhatikan mereka seolah mempertanyakan apa yang sedang diperhatikan oleh Cika hingga seperti itu.
Sesaat kemudian, Cika mengangkat kepalanya. Lalu, sembari menunjuk tulisan di atas meja, dia bertanya dengan wajah polosnya, "Tapi kenapa dengan posisi ini? Kalau berposisi seperti ini, bagaimana bisa melakukan 'itu?"
Benar-benar lawan yang sangat berat untuk dikalahkan. Maira mengaku kalah! Melihat jawabannya yang sangat lugu itu, Maira jadi merasa kalau ia terlalu vulgar menanggapinya. Ia merasa seolah tahu terlalu banyak padahal belum pernah menikah.
"Hm ... maksudku begini, pada dasarnya ini bukan untuk sekadar melakukan 'itu' saja tapi ... dalam tingkatan hubungan seks, posisi ini bisa dibilang sebagai posisi yang paling efisien untuk saling memberi dan menerima kenikmatan pada dan dari pasangan," jelasku padanya sembari memperhatikan sekeliling.
"Kalian sedang membahas sesuatu yang menarik ya?" Kakak tingkat wanita yang tadinya duduk di sebelah Cika tiba-tiba bergabung dengan mereka dan wajahnya langsung mengerut begitu melihat angka yang tertulis di atas meja tadi. Sepertinya, dia memahami arti dari angka itu. Situasi ini bukan situasi yang baik, tetapi entah mengapa Maira merasa beruntung karena dia sepertinya memahami artinya. Bagi seorang wanita yang belum menikah, mengetahui hal-hal seperti itu bisa saja dianggap aneh oleh orang lain. Namun, belum sempat Maira berkata apa-apa, dia sudah memotongnya terlebih dahulu.
"Uwaaah, apa-apaan ini. Anak-anak zaman sekarang benar-benar tidak terkontrol ya!"
Kalau tidak salah namanya Alisa. Karena dia mengucapkannya dengan nada tinggi, para senior lain yang tadinya sibuk dengan cerita masing-masing pun menolehkan kepalanya ke arah mereka.
"Coba lihat apa yang mereka tulis di sini. Ini pasti ulahmu kan, Maira?" Seketika itu juga Maira merasa kesal. Ia mengenal Alisa karena dia lebih tua satu angkatan di atasnya, tetapi usianya lebih muda tiga tahun dan seumuran dengan adik Maira. Dia menjadi kakak angkatan karena Maira yang berusia 24 tahun terlambat masuk sebagai mahasiswa baru. Apakah ia harus memarahinya yang lebih muda tiga tahun karena memanggilnya sebagai anak-anak dan menggunakan bahasa nonformal kepadanya?
Maira adalah tipe orang yang berpikiran terbuka dan menghargai pentingnya rasa menghormati. Ia berpendapat bahwa akan lebih baik jika dia menanyakan usianya terlebih dahulu sebelum menggunakan kalimat tidak sopan terhadapnya.
Namun, Maira memilih untuk mengalah karena seperti pepatah mengatakan "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung", angkatan tahun lebih berpengaruh ketika berada di universitas. Selain itu, kalau Maira berulah di tempat seperti itu, mungkin akan memengaruhi kehidupan kampus nanti. Lagi pula, mungkin saja si Alisa ini menganggapnya seusia dengan mahasiswa baru lainnya. Kalau begitu, haruskah ia berterima kasih padanya?
"Enam sembilan? Hahaha ... sepertinya kau pantas jadi penerusnya Casanova," ucap Boy yang tadinya duduk di depan Alisa sembari melihat angka yang tertulis di atas meja. Boy, bukan hanya karena dia seumuran dengan Maira, melainkan karena dia juga adalah satu-satunya pria yang lumayan ganteng dan Maira taksir di klub ini. Namun melihat hal ini menyeruak di acara penyambutan mahasiswa baru seperti sekarang, citra Maira menjadi buruk di pertemuan pertama.
Setiap orang yang masuk ke lingkungan yang baru pasti membuat resolusi terlebih dahulu. Namun, Maira malah menunjukkan sisi berbeda dari dirinya. Ia memang sudah membuat resolusi sebelum masuk ke universitas. Mengikuti pelajaran itu pasti, tetapi sekarang ia sedikit lebih memperhatikan soal penampilan dan bersikap anggun di hadapan kaum pria. Ia juga ingin memiliki couple campus dan mencoba untuk memiliki selingkuhan serta menduakan kekasihnya nanti.
Namun, baru sebulan menikmati kehidupan kampus, Maira merasakan bahwa pepatah yang mengatakan "seseorang hidup sesuai dengan parasnya" sangat mengena ... dulunya. Tadinya, ia mengeluarkan biaya yang gila-gilaan dan menyisihkan banyak waktu hanya untuk memperhatikan penampilan. Meski begitu, tak satu orang pun yang datang menghampiri. Layaknya para gadis lain yang mengikuti perkembangan sosial untuk meningkatkan pesona mereka, beberapa tahun sekali ia membeli barang-barang bermerek yang sebelumnya tidak dimiliki dan meskipun angin dingin menggetarkan kaki, ia tetap mengenakan rok mini ke mana-mana.
Karena itulah, Maira sudah mengalah dari awal untuk menggunakan strategi itu. Sebagai gantinya, ia mengubah strategi menjadi sosok menantu idaman di hadapan para orangtua. Bukannya membanggakan, tetapi ia memiliki wajah yang sangat bisa dipercaya. Karena itu juga, sejak dulu Maira selalu membuat orangtua teman-temannya atau keluarga menyukainya.
Memang diakui, ke mana pun pergi, para orangtua sekitar rumah masih tetap menyerang setelah kejadian di salon dulu. Namun, sekali lagi, tanpa bermaksud apa-apa, banyak dari mereka yang ingin mengambil sebagai menantunya, bahkan jumlah jari tangan dan kaki saja tidak cukup untuk menghitung mereka. Tentu saja, orang yang dijodohkan dengannya selalu menolak.
Entah bagaimana ceritanya, strategi yang digunakan saat ini hanyalah "ketulusan". Para pria di dunia memang selalu menjatuhkan matanya pada pesona gadis cantik. Namun kenyataannya, tipe gadis yang ingin dipacari oleh mereka adalah tipe gadis yang tulus sepertinya.
Namun sekarang, situasi ini menyulitkan untuk mempertahankan citra itu. Bisa-bisanya posisi 69 mengalir dengan lancar dari mulutnya. Ini semua karena gadis sial bernama Cika ini.
"Casanova?"
Dengan lembut dan tatapan mata lugu, Boy mengalihkan topik pembicaraan. Yah, kalau sudah begini siapa yang bisa disalahkan? Ini semua adalah kesalahan Maira dari awal.
"lya, ada seseorang bernama Casanova yang terkenal di klub kita ini." Alisa menyambut perkataan Boy. "Kalau tidak salah, dia teman satu angkatan Bang Boy, kan? Dengar-dengar dia sedang cuti. Kapan berakhirnya?"
"Katanya dia akan kembali di semester ini. Aku tidak tahu entah apa yang terjadi, dia tidak pernah sekali pun menghubungiku."
Untung saja, topik pembicaraan mereka teralihkan pada seseorang yang bernama Casanova. Maira juga mengikuti pembicaraan mereka dengan sangat hati-hati seolah penasaran tentang apa yang sedang mereka bahas.
"Kakak senior itu dipanggil Casanova karena setiap wanita pasti akan jatuh cinta jika melihatnya. Dia tidak hanya menarik, tapi sangat memikat hati para wanita."
Apa mungkin yang dimaksud olehnya adalah seorang playboy? Bagaimanapun caranya, Maira harus bertemu dengan orang ini.
Lalu, Boy yang adalah teman satu angkatan Casanova ini pun berkata lagi, "Itu hanya gosip. Ketika masih menjadi mahasiswa baru, dia sama persis sepertimu, Maira. Pada umumnya, para gadis tidak menyukai hal-hal vulgar seperti itu, tapi entah kenapa dia bisa membuat para gadis itu menjadi sangat tertarik dengan ceritanya. Bisa dibilang kalau dia memiliki bakat dalam menceritakan hal-hal porno menjadi tidak terasa setabu itu."
"Sepertinya senior yang satu itu menarik ya."
Entah apa yang sedang dipikirkannya, lagi-lagi Cika tertawa dengan kedua matanya yang berbinar-binar. Maira pun teringat hasil perkataannya terhadap Cika belakangan ini. Ekspresi sempurna dari wajah itu sepertinya dibuat-buat dan ia sudah melatih setiap sudut wajahnya dengan baik di rumah, melihat caranya menaikkan pundak, menurunkan kepala, dan senyuman kecil sembari membelalakkan matanya. Dan tentu saja, tambahan maskara untuk menambah panjang lengkungan bulu matanya. Namun, terserah mau berkata apa pun, pada dasarnya dia memiliki wajah yang cantik.
Kemudian, seorang senior laki-laki lain yang ada di sebelahnya pun berkata lagi, "Boy, apakah cerita yang itu benar? Katanya ada senior perempuan yang pingsan ketika berciuman dengan Casanova itu?"
Seketika itu juga, Boy menjawabnya sambil tertawa. "lya, cerita itu benar. Ada senior wanita yang datang menghampiri dan langsung menciumnya. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk sekadar mengecupnya dan berlari kabur. Tapi, anak ini memeluk pinggang senior wanita itu dan tidak melepaskannya. Pada akhirnya, senior wanita itu pingsan begitu saja. Entah karena dia kaget atau pura-pura pingsan, gosip pun mencuat dan berkata kalau si Casanova itu sangat mahir dalam berciuman sampai-sampai orang lain pingsan dibuatnya."
"Bagaimana dengan pacar senior itu? Kalau tidak salah, katanya dia punya pacar kala itu, apa mereka tidak bertengkar?"
"Oh, Raisa? Itu lebih tua dua angkatan dari kami dan dia hanya bilang kalau cerita itu menarik. Raisa emang orang yang supel dari sananya sih." Entah bagaimana, acara penyambutan mahasiswa baru ini berubah menjadi acara pengeksposan sosok seseorang yang bernama Casanova. Belum lagi, orang yang bernama Boy ini menceritakan temannya dengan berapi-api seolah itu adalah dirinya sendiri. Ckckck, entah mengapa rasa tertarik Maira padanya langsung berkurang drastis begitu melihat dirinya yang berapi-api menceritakan temannya seperti itu. Padahal, awalnya dipikir dia itu lumayan.
Setelah mendengar cerita tentang Casanova, Maira sama sekali bukan tandingannya. Ia hanya mengetahui hal ini secara teori saja. Kalau soal pengalaman langsung, sama sekali belum merasakannya. Terlebih lagi, yang namanya "pesona" untuk menarik wanita itu tidak bisa didapatkan begitu saja.
Namun, ia tetap masih merasa penasaran terhadap sosok Casanova ini sama seperti yang lainnya. Casanova ... apakah sosoknya seperti om-om dengan vitalitas tinggi? Atau, bersosok kurus langsing yang temperamen dan sensual? Atau mungkin, sosoknya seperti playboy yang berlebihan seperti biasa? Atau, seseorang yang liar tetapi menyembunyikannya dalam wajah lembut dan lugu?
Malam itu, Maira dibayangi oleh sosok Casanova dan bermimpi bergandengan tangan dengannya, sama seperti orang lain yang penasaran akan sosoknya. Lalu, tepat sebelum berciuman dengan Casanova, ia terbangun dari tidur tanpa mengingat bagaimana bentuk wajahnya. Meski itu hanya mimpi, setelah terbangun sekalipun, jantungnya tak henti-henti berdebar karena bibirnya terlalu seksi dan sensual. Maira mengomel sambil mengelap air liur yang mengalir di bibirnya.
"Hah ... Casanova ... Kenapa kau tidak menciumku dengan cepat sih. Aku jadi semakin penasaran."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments