Apa Aku Benar-Benar Tidak Punya Daya Tarik?

"Entahlah ...."

Rangga seolah sedang memikirkan sesuatu lalu mengacungkan satu jarinya. Jari yang diacungkannya pada Maira itu tampak panjang dan menggiurkan seperti yang dimiliki oleh So Ji Sub, aktor Korea yang tampan.

"Pertama, ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang senior klub."

Hm, senior dari mananya? Dengan satu mata saja Maira sudah bisa menilai kalau dia adalah orang yang tidak memedulikan junior.

"Kedua, karena ada Boy."

Maira yang tadi mengamati kedua jari panjang itu hanya bisa menatapnya karena tidak mengerti apa maksud perkataannya. Rangga lantas melanjutkan mengacungkan jari ketiganya dengan muka datar.

"Ketiga, itu karena kau menarik."

Mata Maira yang menatapnya sedari tadi semakin terbelalak. Di saat bersamaaan, ia seolah mendengar bunyi lonceng berdentang di telinganya dan bunyi jantungnya yang seperti berhenti berdetak.

Apa jangan-jangan dia serius?

Maira bagaikan menua dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Kalau hal ini berlangsung hingga lima detik sekali pun, sepertinya ia pasti akan kehabisan napas. Belum sedetik Maira menikmati saat-saat ini, Rangga langsung memotongnya dan berkata, "Kau menarik karena sepertinya masih ada banyak hal yang harus kupelajari darimu selain cara mengukur ukuran 'barang'ku."

Begitu Casanova selesai berkata seperti itu, ia pun menyomot beberapa camilan dan membuka minuman dari dalam kulkas kemudian berlalu melewati Maira yang masih terbengong menuju kasir.

Jadi, alasannya menganggap Maira menarik hanya karena banyak tahu soal cerita-cerita seperti itu ya? Jadi maksudnya, dia ingin mendengarnya bercerita soal hal-hal seperti itu lagi? Lalu, anak tak tahu malu dan besar mulut itu akan menceritakannya pada semua orang, begitu?

Maira tak habis pikir dan kehilangan kata-kata. Kalau begini, apa jangan-jangan dia hanya menganggap Maira sama seperti tante-tante? Padahal, tadi Maira menyamakan dia dengan So Ji Sub lho!

Di sela-sela itu, terdengar bunyi 'Pik! Pik!' dari arah kasir lalu camilan dan minuman Rangga dimasukkan ke kantong plastik.

"Totalnya tujuh puluh ribu."

Yang memegang plastik bungkusan adalah Rangga, tetapi pekerja paruh waktu penjaga toko ini tampak berbicara kepada Maira.

"Ah, dua puluh ribunya akan kukembalikan kalau kita bertemu di klub. Kalau dipikir-pikir lagi, uang lima puluh ribuku tadi bisa jadi investasi juga ternyata." Rangga berkata seperti itu pada Maira dengan nada seolah tidak ada masalah, lalu berjalan santai meninggalkan toko 24 jam itu.

"Hei! Kemari kau!"

Maira baru sadar kalau dia sedang mengerjainya dan dia berjalan santai serta pura-pura tidak mendengar teriakannya. Maira tak memiliki pilihan lain selain mengeluarkan uang dari dompet, membayarnya ke kasir, dan berlari mengejarnya.

Tingkahnya benar-benar membuat emosi. Maira tadi harus dipermalukan di hadapan banyak orang hanya untuk mendapatkan lima puluh ribu, sementara dia meminjam uang orang lain dengan santai seperti itu.

Namun, Maira tidak berhasil menyusulnya, dia sudah terlanjur naik ke bus. Pintu bus yang dinaikinya segera tertutup. Maira terengah-engah mencarinya di dalam bus, dan Rangga datang ke arah jendela lalu membuka jendelanya.

"Sampai ketemu besok ya, Maira!"

Suaranya menggema di telinga Maira seiring dengan melajunya bus itu. Poni depannya berayun-ayun ditiup angin. Rangga yang mulai menjauh tampak tersenyum lebar dan melambaikan tangannya.

Senyumannya bersinar putih cemerlang. Senyumnya sangat lebar seolah menunjukkan semua gigi putih yang ada di dalamnya. Senyumnya bagai gelembung putih yang melayang-layang dan terasa menyejukkan bagaikan air terjun.

Dalam diri setiap manusia, ada kalanya otak terasa bagai berhenti dan tak bergerak. Sosoknya saat ini terasa seperti itu bagi Maira. Seluruh tubuhnya bagai tersengat aliran listrik dan hanya mampu berdiri tertegun di tempat itu. Maira bahkan sudah lupa sepenuhnya akan dua puluh ribu tadi.

Waktu yang tadi terhenti berputar kembali normal setelah beberapa saat berlalu. Maira pun tersadar bahwa ini adalah pesona Casanova yang dikatakan orang-orang padanya. Ia menyesal karena orang yang membuatnya seperti ini adalah Casanova.

Di perjalanan pulang, Maira yang masih dalam keadaan linglung melihat pamflet salon bernama Salon Ricuh dan memutuskan untuk mampir ke sana. Salon itu kecil. Di dalamnya ada tiga buah kaca dan tiga buah kursi putar. Banyak kerusakan di bagian lantai dan setiap sudut, busa sofanya juga sudah mencuat di sana-sini.

Begitu Maira masuk, tampak seorang pelanggan yang sudah nenek- nenek usia 70-an duduk di kursi depan kaca itu.

Sudah makan malam belum?" tanya ibu Maira yang sedang melepaskan lingkaran pengeriting rambut dari kepala nenek itu sambil menoleh ke arahnya.

"Belum. Ibu sudah makan?"

"Sudah dong. Hohoho, dia ini putriku. Sekarang masih kuliah."

Begitu memperkenalkan Maira pada tamunya, tampak senyuman di wajah ibu yang tadinya menjawab dengan ketus. Nenek itu pun langsung melihat Maira melalui cermin di hadapannya. Di situasi seperti ini, Maira tidak mungkin tidak memberikan hormat padanya.

"Wah, putri Anda tampak sehat dan baik hati ya."

Terdengarlah ucapan balasan dari nenek yang menerima penghormatannya tadi. Ibu Maira langsung merasa senang seolah dialah yang dipuji nenek itu.

"Iya kan? Sejak kecil dia memang sering dibilang pintar. Sekarang dia kuliah sambil bekerja. Dia kuliah di Jurusan Ilmu Bahasa Universitas Indonesia. Universitas itu kan sangat terkenal, sangat sulit untuk bisa diterima di sana."

"Benarkah? Tahun ini berapa usianya?" tanya si nenek begitu ibu Maira yang cerewet itu menyelesaikan perkataannya.

Ibu pun menjawabnya dengan cepat, "Tahun ini dia dua puluh empat tahun."

"Wah, sebentar lagi dia sudah harus menikah ya."

"Iya. Aku memang sedikit khawatir melihat dia masih tetap ingin belajar di usia yang sepantasnya sudah menikah seperti ini. Tapi yah, menikah telat adalah tren belakangan ini."

Namun si nenek menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju. "Mau bagaimanapun, menikah dengan baik dan menyiapkan makanan untuk suami adalah hal yang terbaik. Apa kau pikir wanita sukses itu ada gunanya? Lihat saja para wanita sukses lainnya. Apa ada yang hidup bahagia? Hal yang paling membahagiakan bagi seorang wanita adalah melahirkan anak dan menjaga suami. Anak muda zaman sekarang selalu berpikiran dangkal."

Percakapan itu berlangsung sejak ibu Maira mencuci rambutnya memasangkan hair-wax, dan terus berlangsung hingga tahap terakhir pengeritingan rambut.

Hal seperti ini selalu terjadi setiap kali Maira mampir ke salon ibunya. Kebanyakan orang yang mampir ke salon kecil di pinggir jalan seperti milik ibunya ini adalah kaum nenek-nenek yang percaya kalau pengeritingan rambut yang baik itu harus dilakukan dalam waktu yang lama. Lagi pula, salon ibunya ini memberikan setengah harga dibandingkan salon-salon lainnya dan digandrungi oleh kaum nenek- nenek yang tidak memiliki cukup banyak uang. Terkadang, ada juga pelanggan yang datang dari jauh melewati tiga halte bus untuk datang ke tempat kecil seperti ini. Ibu Maira pun memberikan diskon khusus pengganti uang ongkos untuk tamu yang datang dan jauh seperti mereka.

Bahkan ketika Maira masih duduk di bangku SMP dulu, ia sering menjawab pertanyaan dari para nenek itu yang bertanya tentang bagaimana kehidupan para remaja belakangan ini. Namun sekarang, Maira menyadari sudah tidak bisa seperti itu lagi karena satu kata darinya beberapa tahun lalu telah mengubah pandangan mereka terhadapnya.

Karena itu, Maira hanya berdiri di samping nenek itu sambil menghela napas dan berpura-pura mendengarkannya. Ketika Maira mengalihkan pandangan ke arah ibunya yang memulai topik ini pertama kalinya tadi, ibunya hanya berpura-pura mengabaikan Maira. Hingga saat ketika Maira membukakan pintu untuknya, nenek tetap mengingatkan Maira untuk menikah dan tidak melupakan nasihatnya lalu pergi meninggalkan salon.

Maira baru bisa mendudukkan diri di kursi yang ada di depan kaca setelah salon tutup. Sembari melepaskan ikatan rambut, Maira pun berkata, "Warnai rambutku dong, Bu."

Itu adalah alasan Maira datang ke salon ini, sama seperti yang dikatakan oleh nenek itu sebagai resolusi dari nasihat mereka.

"Bayar."

Maira dan ibunya tidak mengenal yang namanya gratis.

"Memangnya yang minta gratis siapa? Nih!"

Ibunya menarik lembaran dua puluh ribu yang ada di tangan Maira sembari menatap sinis.

"Dasar kau ini. Kau cuma memberikan uang untuk pewarnanya saja padaku, gayamu sudah seperti ini."

"Bu, aku tahu harga pewarnanya berapa. Memang uangku itu masih kurang sedikit, tapi masih mendingan daripada aku tidak bayar kan?"

"Alah. Kau tahu tidak berapa pajak dan pengeluaran salon yang harus kubayar? Mau dicat warna apa rambutnya?"

"Apa ya ...."

Maira kembali teringat akan sosok Rangga yang muncul dari jendela bus begitu ia duduk dan menatap wajahnya di dalam cermin. Dia dan bayangan Maira di dalam cermin itu tampak sangat berbeda.

Maira menatap pantulan wajah yang bulat-datar dan tidak memiliki belahan kelopak mata. Wajahnya persis sama seperi tokoh utama dalam film Disney. Selain itu, Maira masih bingung mengapa lambaian rambut setengah panjang dari seorang pria bisa terlihat indah seperti itu.

Benar-benar sangat berbeda.

Satu-satunya hal yang sama antara Maira dan Rangga hanyalah mata sipit ini. Namun, aroma tubuhnya benar-benar bagaikan aroma surgawi.

"Bagaimana kalau kuwarnai dengan warna terang seperti bule?"

"Kau mau membuat ibu marah ya?"

"Aku bercanda."

"Kita potong sedikit, lalu warnai dengan warna cokelat kalem saja. Kau tampak cantik dengan dandanan rapi seperti itu."

"Aku tidak mau dipotong. Diwarnai saja. Kalau dipotong sekali, nanti aku bakal repot karena harus dipotong terus."

"Kau ini dasar pelit."

Alasan terbesar mengapa Maira mempertahankan rambut panjang adalah karena uang dan waktu. Maira cukup hanya mengikatnya jadi satu. Selain itu, meskipun ia hanya menggunakan sampo dan tidak merawatnya secara khusus, rambutnya tetap terurai indah bagai rambut para model.

"Bu ... sejujurnya, menurut Ibu penampilanku bagaimana?"

Sembari menyisir rambut Maira, ibunya menatap pantulan diri di cermin dengan serius. Tatapannya tampak seperti merasa malu akan tampang Maira lalu berujar dengan nada bercanda, "Menurut ibu, untuk ukuran wajah yang tidak menghabiskan banyak uang, wajahmu ini termasuk cantik. Kecantikan alami. Ibu benar, kan?"

Meskipun alis mata ibunya tampak bergerak berkali-kali seolah berbohong, ibunya menjawabnya dengan serius sambil tertawa.

"Hei, hei. Meskipun kau adalah putri ibu, ibu masih tetap bisa menilai tahu?! Badanmu pendek dan gemuk seperti kurcaci. Matamu juga sipit dan panjang. Pemarah juga. Lagi pula, meskipun otakmu pintar, terkadang sangat suka bertindak bodoh dan sama sekali tidak bisa beradaptasi."

Ya ampun. Apa yang bisa diharapkan dari ibunya.

"Sudahlah. Warnai saja rambutku."

"Kau marah ya?"

"Tidak. Toh, ini bukan pertama kalinya ibu memperlakukanku seperti ini."

Namun, nada bicara Maira sudah terlanjur kasar. Lalu, seolah ingin menggoda, ibunya pun tertawa sambil berkata, "Tapi, mau dicari ke mana pun, tetap tidak akan ada orang yang menyerupai putri seperti yang ibu miliki. Ibu serius lho. Meski kau terdampar di gurun sekali pun, ibu tidak perlu merasa khawatir."

"Ibu ..."

"Kenapa lagi?"

"Kalau suatu hari nanti aku membawa seorang pria ke hadapan Ibu, Ibu tahu kan kalau pujian itu benar-benar nyata?"

"Apa kau sudah punya pacar?"

"Kan aku bilang 'kalau', Bu!"

"Dasar kau ini, lagi-lagi gampang tersinggung."

Apa jangan-jangan Maira sama sekali tidak memiliki daya tarik di mata lelaki? Apa ia harus benar-benar kaya terlebih dulu baru bisa memiliki daya tarik?

Kalau mau jujur, meskipun Maira adalah mahasiswa mandiri, ia bukan mahasiswa yang tergolong miskin. Tempatnya bekerja adalah perusahaan internasional dengan gaji yang lumayan besar, dan gaji insentif yang diterima setiap akhir tahun juga tidak tergolong sedikit. Maira hanya memerlukan biaya hidup sedikit dan juga tidak terlalu boros menggunakan uang. Selain itu, Maira juga hidup dengan sangat sederhana, meskipun ada orang bilang kalau ia kelewat pelit. Selain untuk biaya transportasi, seluruh pendapatannya dimasukkan ke tabungan atau saham. Secara otomatis, hal itu membuatnya menjadi orang kaya.

Lalu Rangga, dari caranya memandang seperti itu, apa ia benar-benar tidak punya rasa apa pun terhadap Maira? Atau jangan- jangan, Maira sudah memiliki daya tarik yang tidak disadari? Dengan demikian, Maira tidak perlu datang ke klub hanya untuk meredakan gosip yang menyebar di kampus.

Maira selalu teringat akan sosoknya yang tertawa riang dari dalam bus waktu itu. Selain itu, suaranya yang berkata "sampai ketemu besok" juga serasa menggema di dalam telinganya.

Kalau sudah begini, apa Maira harus bilang kalau ia tidak memiliki pilihan lain selain datang ke klub?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!