Sabtu malam yang indah, Maira duduk sambil sedikit menahan laju feromon yang sudah menggebu-gebu untuk mewujudkan tujuan akhir itu. Namun, ia tidak tahu apakah karena nafsu feromonnya yang terlalu kuat atau terlalu rendah, para lelaki yang ada di hadapannya itu seolah tidak merasakan apa-apa. Maira menyimpulkan hal ini setelah memperhatikan bahwa tak satu pun dari keempat lelaki yang datang untuk menjadi calon pasangan cinta memalingkan mata ke arahnya.
Hampir keempatnya menjatuhkan mata pada Cika yang berada di sebelah Maira. Lebih tepatnya lagi, mereka menjatuhkan pandangannya ke kaki mulus di bawah rok mini dan belahan dadanya yang mengundang. Tidak hanya karena ia mengenakan T- shirt dengan V-neckline dan bra B-cup, tetapi setiap kali ia menggerakkan badannya, belahan dadanya juga turut terlihat. Jujur saja, cara para pria itu mencuri pandang dengan hati-hati
Setiap kali belahan dadanya terlihat adalah hal yang menarik untuk ditonton. Meskipun mereka sudah berkamuflase untuk menutup-nutupinya, mereka tetaplah seekor pejantan jika dihadapkan dengan instingnya. Lalu Maira, yang berada dalam kedudukan lebih tinggi dari mereka, adalah pemberi keputusan. Karena itulah, meskipun menyadari kalau Maira adalah objek yang tidak menarik bagi mereka, ia masih tetap duduk di situ.
Sudah sewajarnya seorang manusia menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ia lakukan. Hal ini adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang yang biasa-biasa saja seperti Maira. Ia tidak pernah merasa marah atau tertekan setiap kali melihat Cika. Karena ia tahu, sekalipun ia mati dan dihidupkan kembali, tetap saja tidak akan bisa secantik dia. Meskipun demikian, Maira sedikit cemburu padanya.
Alasan pertama mengapa Maira tidak bisa menjadi seperti Cika ada hubungannya dengan garis keturunan. Dari segi proporsi badan, jika ia yang bertubuh gemuk ini berani mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Cika, setidaknya Maira harus terlahir dengan sedikit mirip seperti yang dimiliki Rapunzel di wajahnya.
Alasan kedua, Maira memiliki sifat yang sangat tidak hati-hati. Sekalipun memiliki tubuh tinggi dan langsing, ia tetap tidak akan mengenakan rok mini yang hanya menutupi bagian bokong seperti itu. Karena, seandainya ia menemukan uang yang jatuh di pinggir jalan, Maira tidak akan bisa mengambil karena pasti harus tidur telentang untuk mengambilnya.
Karena itulah, sedari awal Maira sudah memutuskan untuk mundur dari posisi bersaing dengannya dan menikmati pertunjukan antara Cika dan para lelaki itu. Sama sekali bukan hal yang buruk. Maira sama sekali tidak merasa kecewa karena di hadapannya masih ada secangkir kopi dan alunan musik lembut yang bisa dinikmati sembari menyaksikan pertunjukan yang ada di hadapannya. Rasa kopi di kafe itu memang tidak enak, tetapi ia sangat menikmati pilihan musik yang diputar.
Lagi ... ada objek yang menarik dipandang mata.
Kalau tidak salah, namanya adalah Rangga. Maira hanya mendengar sekilas saja ketika ia memperkenalkan dirinya tadi. Yah, sebenarnya ia tidak mendengarnya sekilas saja, tetapi mendengarkannya dengan serius. Hal itu dikarenakan penampilan lelaki yang satu itu tampak jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keempat lelaki yang ada.
Layaknya mereka yang hanya memperhatikan Cika, Maira pun menjatuhkan pandangan kepada orang itu saja. Jika melihat situasi itu, ia seolah melihat apa yang dimaksud dengan konsep kecantikan yang universal dan objektif.
Dia sama sekali tidak tampak setua umurnya. Wajahnya sangat mulus. Maira lebih tertarik pada pria yang memiliki wajah bertekstur kasar daripada pria yang berwajah mulus dan bersih. Namun, banyak juga wanita yang tertarik pada pria berwajah mulus dengan daya tarik tersendiri.
Wajahnya bukan sekadar tampan, melainkan juga memiliki pesona misterius. Yang pertama adalah kening yang indah dan garis hidung yang menempel dengan indah itu tersusun rapi serta pas di wajahnya. Cukup dengan hal ini saja, dia sudah lulus sebagai seorang lelaki tampan. Meski begitu, matanya tidak memiliki lipatan kelopak mata sehingga dia tampak seperti orang yang kasar dan angkuh, terlebih lagi caranya menatap orang juga sedikit aneh.
Sedari tadi, dia melirik Cika berkali-kali dan bersikap sinis terhadap ketiga pejantan yang lain. Bisa dikatakan kalau dia bertingkah sama seperti Maira. Meskipun kekesalannya sama, ia masih memiliki kebebasan tersendiri. Dia tidak sama seperti Maira yang tidak punya sisi menarik sejak lahir, dia masih mendapatkan kompensasi dengan menikmati pandangan setiap wanita yang melirik dirinya.
Sudah jelas bahwa dia menyadari dirinya adalah seorang lelaki yang menarik. Berkali-kali mata Maira dan matanya bertemu pandang, dan sebanyak itu pulalah ia memamerkan senyum misteriusnya. Meskipun Maira kesal dan sadar bahwa senyumannya itu tidak berarti apa-apa, jantungnya tetap berdegup setiap kali ia melakukannya.
"Kak?"
Sisil, salah satu gadis lainnya yang juga duduk di sebelah Maira menepuk pundaknya pelan. Seketika, pandangan semua orang yang duduk di meja itu mengarah padanya. Seketika itu pula wajah Maira memucat dan jantungnya terasa berhenti berdetak karena dipikir tepergok sedang mengamati Rangga.
"Sepertinya ponsel Kakak berdering."
Gadis itu langsung menunjuk tas yang berada di sebelah Maira dengan matanya. Maira tidak menyadari entah sejak kapan ponsel di dalam tasnya bergetar dan berbunyi.
Begitu ia mengangkatnya, terdengar suara seorang pria yang masih muda. "Halo, apa benar ini ponsel milik Nona Amaira?" Suaranya yang lembut dan menyegarkan itu membuat gadis itu sedikit gugup hingga kemudian terdengar 'Ck!' dengan kesalnya. Ternyata, pria yang menghubungi bukan mencarinya melainkan Cika.
"Mohon tunggu sebentar, Cika ada di sebelahku. Ini kuberikan padanya ya."
Beberapa waktu yang lalu, Maira bergabung dalam klub bernama Movie Nest. Sepertinya, Cika juga bergabung dengan klub itu. Cika tampaknya tidak mencantumkan nomor ponselnya dalam formulir pendaftaran sehingga mereka menghubungi Maira yang adalah teman satu angkatannya.
"Nomor yang bisa dihubungi? Ah, baiklah ... nol delapan ...." Karena Cika mengecilkan suaranya, para lelaki yang dikuasai instingnya itu pun melebarkan telinga bagaikan Sommers untuk mendengarkan suara Cika dengan teliti dalam keheningan. Entah kenapa, daerah sekitar meja bagaikan dialiri keheningan yang aneh dan yang terdengar hanya suara Cika yang sedang membacakan nomor ponselnya.
Mereka mendadak serius menajamkan telinga seolah kesulitan mendengar dan terlihat seperti sedang mengulurkan pena dan memo sambil memohon Cika menuliskan nomor ponselnya. Namun, suasana itu tiba-tiba berubah. Bahkan, Maira pun berpikir kalau ada kesalahan dalam pendengarannya.
"Enam sembilan enam sembilan. Baiklah, sampai ketemu besok." Cika mengakhirinya dengan ramah. Sembari tersenyum lebar ia pun berkata pada Maira, "Mereka bilang besok adalah pesta penyambutan anggota baru, Kakak juga diajak datang. Omong-omong, aku tidak tahu kalau Kakak juga bergabung dengan klub itu."
Berbeda dengan pakaian yang dikenakannya, Cika adalah pribadi yang ramah dan lemah lembut. Teman-teman satu angkatan yang lainnya memanggil Maira 'kakak' untuk sekadar formalitas, tetapi menggunakan bahasa santai terhadapnya. Meskipun demikian, Cika tetap menggunakan bahasa sopan terhadapnya. Sejujurnya, Maira merasa tidak nyaman dengan bahasa sopan itu. Terlebih lagi di tempat perjodohan seperti ini, ia tampak seperti seseorang yang jauh lebih tua dan merupakan penjaga dari gadis-gadis itu.
Entah ini keberuntungan atau kesialan, pria-pria yang ada di hadapannya itu lebih tertarik pada hal yang lain ketimbang mempertanyakan usia Maira yang para gadis itu panggil 'kakak' berulang kali.
"Apa benar nomornya enam sembilan enam sembilan?" ujar pria berkacamata yang tampak menakutkan, jelek, dan berperawakan kasar, tetapi tampak seperti keturunan kedua dari keluarga ningrat itu. Dengan polosnya, Cika menoleh ke arah pria itu dan mengangguk. Seketika itu juga Maira menahan tawa, dan senyuman aneh pun muncul dari para pria yang duduk di hadapannya. Cika dan kedua gadis lain masih belum bisa memahami situasi itu dan hanya menunjukkan ekspresi bingung.
Sepertinya, para pria merasa lucu akan tingkah para gadis itu sehingga mereka menaikkan nada suaranya dan dengan bangga berkata, "Wah, sangat mudah untuk diingat ya. Enam sembilan enam sembilan... nomor itu bukan nomor yang bisa didapatkan oleh semua orang lho."
"Hahaha! Apa kau menyogok penjualnya ketika membeli ponsel itu? Dulu aku berkali-kali memohon untuk mendapatkan nomor seperti itu, tapi tidak diberikan juga lho."
"Hmm, benar-benar nomor yang bagus, enam sembilan enam sembilan. Jaga nomor itu baik-baik. Mungkin kelak kau bisa menjualnya dengan harga mahal."
Para pria itu tertawa terkekeh-kekeh sembari berkata macam- macam. Namun, Cika yang tidak tahu apa-apa tentang itu membelalakkan matanya yang berlensa kontak sembari berkata, "Apa nomor ini sebagus itu?"
Para pria itu tampak berusaha keras untuk menahan rasa geli akan ucapan Cika. Seolah mengerti akan kepolosannya, mereka pun terus membicarakan hal yang hanya mereka saja yang tahu apa maksudnya.
"Tentu saja. Ditulis juga gampang kan? Enam sembilan enam sembilan."
"Aku juga sangat ingin melakukan enam sembilan enam sembilan. Dek Cika, mau tidak melakukan enam sembilan enam sembilan denganku?" Seketika, meja kami pun dipenuhi pembicaraan mengenai 69. Mereka pun semakin menjadi-jadi dan keasyikan setengah mati begitu melihat para gadis yang lain memiringkan kepala mereka karena masih belum mengerti juga.
Melihat situasi sudah seperti ini, Maira tidak bisa tinggal diam dan hanya menjadi penonton. Sebelumnya ia memang mengatakan bahwa golongan darah A yang penakut sepertinya sangat benci untuk tampil di hadapan orang lain. Lagi pula, ia tidak memiliki kedekatan khusus dengan Cika. Namun, karena cara para pria itu merendahkan kaum wanita sangat tidak menyenangkan, ia memutuskan untuk angkat bicara. Mereka bertingkah seolah hal-hal seperti itu hanya diketahui oleh mereka dan membanggakan bagi mereka.
"Tunggu dulu."
Maira yang tadinya hanya duduk minum kopi dengan tenang dan sama sekali tidak menarik perhatian, mendadak menjadi pusat perhatian dari semua orang yang duduk di meja itu. Wajahnya seketika memucat. Ia memang tidak terbiasa menjadi pusat perhatian orang. Ia memotong pembicaraan karena ketidaksopanan mereka, tetapi sekarang Maira sedikit takut untuk mengutarakannya. Ia sangat ingin menyampaikan apa yang ada di pikirannya dan menggemparkan seisi meja itu, tetapi ia tidak memiliki keberanian dan kelantangan seperti itu. Ah ... memang sudah bawaan lahir.
Dalam keragu-raguan, Maira pun melemparkan senyuman pada pria yang berwatak kotor dan terlihat seperti keturunan kedua dari keluarga ningrat. Dialah yang paling banyak berbicara sedari tadi. "Maaf sebelumnya, bisakah Anda memperlihatkan telapak tangan Anda?"
Pria itu tampak kebingungan dengan apa yang baru saja Maira katakan. Dengan ragu-ragu, ia pun meletakkan tangannya di atas meja. Tangannya sangat tebal dan besar.
"Tangan Anda kecil ya."
"Apakah Anda mau bilang kalau tanganku menarik?" Begitu Maira menyentuh tangannya, dia tersenyum dengan angkuh seolah berpikir kalau Maira ada rasa padanya.
"Kalau begitu, saya boleh mengomentari tangan menarik Anda ini kan?"
Di wajahnya tersirat rasa penasaran layaknya seorang anak kecil. Sepertinya dia berpikir kalau Maira sedang memainkan suatu permainan yang menarik. Maira mengeluarkan penggaris dari dalam kotak pensil yang ada di tasnya. Lalu mengukur tangannya mulai dari bagian ujung telunjuk hingga bagian bawah telapak tangannya.
"Sepuluh koma lima sentimeter, kan? Ukurannya lebih kecil daripada ukuran badan Anda, ya."
Dia langsung menurunkan tangannya ke bawah, seolah mengerti akan ucapan Maira barusan. Namun, ukurannya sudah terlanjur diumumkan.
Pertunjukan ini dilakukan dengan ucapan yang jelas seolah ditujukan kepada orang-orang yang masih belum mengerti akan arti ucapan Maira tadi.
"Ukuran Anda yang hanya sepuluh koma lima sentimeter ketika ereksi memang tergolong pendek dibandingkan ukuran normal rata-rata pria yang berukuran dua belas koma lima sentimeter, tapi hal itu bukan suatu masalah yang besar. Meski begitu, bukankah akan lebih baik jika Anda berusaha untuk mengurangi berat badan Anda? Anda tahu kan, jika bagian perut mengalami kegemukan, milik Anda itu akan terbenam dalam timbunan lemak dan menjadi semakin kecil? Satu hal lagi, jika Anda ingin melakukan posisi enam sembilan, bisa jadi pasangan Anda akan mengalami sesak napas akibat terbenam dalam lemak di perut Anda."
Seketika, para pria yang tadinya meletakkan tangannya di atas meja langsung menurunkan tangannya secara perlahan. Lalu, tampak kekesalan di wajah para gadis yang sepertinya mulai memahami apa yang dimaksud oleh para pria itu tadi.
Maira sangat gugup karena menyadari bahwa semua orang mulai memperhatikan ucapannya, tetapi ia tidak henti-hentinya berbicara. Ia seperti sangat berapi-api dan sulit untuk menghentikannya. Seharusnya, Maira sudahi cukup sampai di situ saja karena sudah membalas mereka lebih dari cukup, juga untuk sedikit mencairkan suasana yang canggung seperti.
"Selain itu, biasanya kalau pria itu seorang player, mereka cenderung tidak berfantasi untuk melakukan posisi enam sembilan lagi. Karena posisi itu adalah posisi paling dasar dan paling normal bagi seorang 'player sejati'."
Ya Tuhan! Apa yang sedang dilakukan? Ia tidak bisa mengendalikannya. Seharusnya Maira berhenti. Ia ketakutan karena tidak tahu entah apa yang akan meluncur dari mulutnya. Mimpi buruk yang dialami semalam bermunculan bagaikan panorama di dalam kepalanya.
Di benaknya selalu terngiang perkataan yang mengalir dari mulut orang-orang tua dan tetangga beberapa waktu lalu setelah peristiwa yang terjadi di salon dulu. Ucapannya kala itu membuat dirinya yang tadinya dicap sebagai siswa teladan terempas menjadi siswa yang harus mendapatkan didikan khusus. Setelah kejadian di salon itu pula, ibunya merampas dan membuang semua buku miliknya yang ada di salon.
Namun, Maira jadi memiliki banyak penggemar. Secara sembunyi- sembunyi, para anak perempuan selalu mencari ketika ia membahas hal-hal vulgar. Selain itu, ia menjadi tempat mereka berkonsultasi mulai dari pacaran hingga hubungan seks. Bahkan, pertanyaan mendetail tentang cara berciuman dan melakukan hubungan seks dengan kaum pria juga datang menghampirinya.
Sejujurnya, ia merasa sedih tiap kali pertanyaan seperti itu muncul. Karena sebenarnya, ia belum pernah mengalami hal itu secara langsung, bahkan hingga berusia 24 tahun seperti sekarang. Seperti pepatah mengatakan "tong kosong nyaring bunyinya", seperti itulah dirinya sekarang. Tidak akan pernah meninggalkan celah adalah hukum bagi seorang 'player sejati'. Seperti yang dilakukan oleh pria bernama Rangga yang duduk di seberangnya sana.
Meskipun yang lainnya tertawa terbahak-bahak ketika mereka membahas posisi 69, dia hanya tersenyum sewajarnya. Ketika Maira juga terlihat 100% belum pernah mengalaminya secara langsung sekali pun, dia hanya memperhatikannya dalam diam, dengan ekspresi yang seolah berkata kalau dia sudah mengetahui semuanya.
Sesaat, keduanya bertemu pandang. Seketika itu pula, Maira merasa kalau ia diperhatikan lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Karena itulah, ia langsung berhenti mengoceh dan tersenyum padanya secara paksa lalu menarik tas dan melangkah keluar dari kafe dengan cepat. Ketika berbalik dan melangkah keluar, ia merasakan tatapan tajam ke arah punggungnya yang membuatnya berkeringat dingin.
Sialan! Pada akhirnya, Maira menyadari kalau seharusnya tidak membuka mulut dari awal. Esok hari, perkataannya hari ini pasti menyebar di antara teman-teman angkatan. Sama seperti ucapan yang vulgar seperti hari ini, semuanya pasti akan mengecapnya sebagai orang yang sudah berpengalaman akan hal itu.
Namun, itu bukan masalah karena ia tidak ingin menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Selain itu, hal ini tak lebih dari bagian ilmu pengetahuan. Maira pun percaya kalau semua bagian dari ilmu pengetahuan adalah hal yang baik. Namun, rasa tidak nyaman dicap seperti itu adalah kenyataan. Ia tidak tahu entah sampai kapan harus bisa menahannya.
Maira naik bus menuju rumah. Untung saja, ada satu kursi yang masih kosong. Ia beruntung karena peruntungan hari ini berakhir dengan biasa-biasa saja. Karena sekarang adalah jam pulang kerja, jalanan menjadi sangat macet dan butuh waktu kurang lebih satu jam untuk mencapai rumah. Perjalanannya akan menjadi sangat melelahkan jika saja tidak kebagian tempat duduk. Ia pun menutup mata. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.
Maira merasa ada bayangan gelap besar yang menutupi kepalanya. Seorang pria dengan celana semi hip hop tampak berdiri di sebelahnya, dengan T-shirt berdesain warna abu-abu dan oranye serta dandanan ala turis backpacker. Tak tahu kenapa, ia seolah mengenalnya. Akan sangat memalukan kalau menoleh ke atas untuk melihat wajahnya karena dia berdiri tepat di sebelah Maira.
Maira pun menolehkan kepala sedikit dan mencuri pandang hingga melihat wajahnya. Ia kaget karena wajahnya semakin mendekat secara tiba-tiba. Tingkat kekagetan ini bisa saja membuatnya berteriak, tetapi ia mengekspresikannya dengan entakan badan. Ah, hari ini benar-benar hari sial.
"Bisa kita berbicara sebentar?"
Ternyata lelaki itu adalah Rangga. Kenapa dia di sini? Seketika itu juga jantung Maira berdebar-debar karena beranggapan kalau dia menyukainya, tetapi juga sedikit takut mengingat kelakuannya di kafe tadi. Secara perlahan, gadis itu membuka mata karena tahu kalau ia sudah tidak bisa lagi berpura-pura tidur di hadapannya. "Me-memangnya ada apa?"
Semangat menghilang entah ke mana dan ia menjawabnya dengan terbata-bata seperti orang yang melakukan kesalahan.
"Aku masih penasaran tentang posisi enam sembilan, bagaimana cara menghilangkan penasaranku ini ya?" Apa maksudnya ini? Enam sembilan?
Maira merasakan wajahnya mulai memucat dan bibir yang tadinya bergetar menjadi diam tak bisa berkata-kata. Tidak mungkin! Dia meminta untuk mengajarinya posisi 69?! Apakah ini permintaan? Dengan cara apa ia mengajarinya? Sekadar teori sajakah? Atau dengan tindakan?
Dia tampak menahan tawanya ketika tampak kerutan di dahi Maira karena memikirkan jawaban apa yang harus diberikan. Lalu, dia berjalan perlahan menuju pintu bus yang terbuka dan melompat turun.
Tak sekali pun dia menoleh ke arah Maira lagi. Bus yang dinaiki pun meninggalkannya di belakang dengan cepat. Setelah melalui beberapa stasiun bus, otak Maira yang tadinya masih terbengong- bengong kembali ke posisi normal. Apa mungkin tadi dia sedang mempermalukannya?
"Kakak, sebenarnya enam sembilan itu apa sih?"
Maira hampir saja menyemburkan jus yang sedang diminum pada orang yang berada di hadapannya. Itu karena Cika menanyakannya dengan wajah yang sangat lugu. Maira pun menoleh ke sekeliling kalau-kalau ada yang mendengarkan perkataannya tadi. Untung saja, semua orang yang ada sedang sibuk dengan cerita mereka masing-masing dan sepertinya tidak ada yang memperhatikan mereka.
Itu adalah tempat acara penyambutan anggota baru dari klub yang dibicarakan oleh Cika tempo hari. Kurang lebih sekitar 40 orang tampak mendirikan rumah tenda di pinggir sana.
Maira menatap Cika dengan wajah sedikit kesal. Ia mengutuk dalam hati. "Cika, ketidaktahuan itu memang tidak salah, tetapi sikap tidak peduli itu salah, apa kau belum paham juga?! Jika aki jadi kau, kalau hal seperti kemarin diketahui semua orang, terlebih lagi soal kenyataan bahwa aku dipermainkan oleh Rangga, aku akan mencari tahu semua hal tentang 69 di waktu luangku."
Menurutnya, sekarang itu dunia seperti apa sih? Hanya dengan menggerakkan beberapa jari saja, semua info yang diperlukan akan bermunculan melalui Internet. Apa dia harus menanyakannya lagi? Selain itu, di tempat banyak orang seperti itu pula.
Sesaat Maira ragu kalau anak itu bertanya karena tidak tahu apa- apa. Namun ketika ia melihat bola matanya yang berbinar-binar seperti itu, ia menyadari kalau Cika memang benar-benar tidak tahu apa-apa. Seketika itu juga, Maira merasa lebih baik darinya. Sepertinya, ada baiknya memberitahukan yang sebenarnya kepada anak yang lugu dan kekanak-kanakan itu agar peristiwa seperti kemarin tidak terjadi padanya. Lalu, Maira memutuskan untuk mengajarkan apa yang diketahui dengan sebenar-benarnya. Maira berniat menceritakan hal itu padanya bukan karena sangat menarik. Sama sekali tidak seperti itu! Maira membasahi sumpitnya dengan jus dan menulis angka '6' dan '9' di atas meja.
"Coba kau bayangkan kedua angka ini sebagai pria dan wanita." Dengan mata yang tampak besar karena mengenakan softlens, Cika mengamati kedua angka itu dengan saksama. Maira melihat bagaikan ada tulisan berbunyi 'aku sama sekali tidak tahu apa-apa' di wajahnya. Tepat seperti dugaannya. Kalau saja anak itu sedikit lebih peka akan sekelilingnya, dia tidak akan mungkin mengalirkan 'apa yang dimaksud dengan 69' dari bibirnya seperti hari ini. "Ini sama seperti posisi badan. Kau mengerti apa yang kumaksud dengan posisi kan?"
Cika mengangguk. Maira bersyukur karena tidak perlu lagi menjelaskan apa yang dimaksud dengan posisi. Sambil mengerutkan dahinya, Cika menundukkan kepala dan mengamati kedua angka yang ada di atas meja itu dengan lebih saksama. Rambut panjangnya terurai di bahunya. Caranya menekukkan kepala ke bawah dengan anggun itu tampak seperti sedang membaca sebuah puisi yang sangat indah. Sementara itu, Maira merasa sedang merusak seorang gadis yang polos.
"Nah, kalau memang kau mulai sedikit memahaminya, apa kau mulai mempertimbangkan untuk segera mengganti nomor ponselmu besok? Kalau tidak, kau akan mencari dan mencekik orang yang membuatmu membeli ponsel ini," ucap Maira dalam hati.
Lalu, Maira meneguk jus dengan santai seolah berkata kalau ia memiliki waktu luang, dan menjatuhkan tatapan pada Cika. Namun, orang-orang mulai memperhatikan mereka seolah mempertanyakan apa yang sedang diperhatikan oleh Cika hingga seperti itu.
Sesaat kemudian, Cika mengangkat kepalanya. Lalu, sembari menunjuk tulisan di atas meja, dia bertanya dengan wajah polosnya, "Tapi kenapa dengan posisi ini? Kalau berposisi seperti ini, bagaimana bisa melakukan 'itu?"
Benar-benar lawan yang sangat berat untuk dikalahkan. Maira mengaku kalah! Melihat jawabannya yang sangat lugu itu, Maira jadi merasa kalau ia terlalu vulgar menanggapinya. Ia merasa seolah tahu terlalu banyak padahal belum pernah menikah.
"Hm ... maksudku begini, pada dasarnya ini bukan untuk sekadar melakukan 'itu' saja tapi ... dalam tingkatan hubungan seks, posisi ini bisa dibilang sebagai posisi yang paling efisien untuk saling memberi dan menerima kenikmatan pada dan dari pasangan," jelasku padanya sembari memperhatikan sekeliling.
"Kalian sedang membahas sesuatu yang menarik ya?" Kakak tingkat wanita yang tadinya duduk di sebelah Cika tiba-tiba bergabung dengan mereka dan wajahnya langsung mengerut begitu melihat angka yang tertulis di atas meja tadi. Sepertinya, dia memahami arti dari angka itu. Situasi ini bukan situasi yang baik, tetapi entah mengapa Maira merasa beruntung karena dia sepertinya memahami artinya. Bagi seorang wanita yang belum menikah, mengetahui hal-hal seperti itu bisa saja dianggap aneh oleh orang lain. Namun, belum sempat Maira berkata apa-apa, dia sudah memotongnya terlebih dahulu.
"Uwaaah, apa-apaan ini. Anak-anak zaman sekarang benar-benar tidak terkontrol ya!"
Kalau tidak salah namanya Alisa. Karena dia mengucapkannya dengan nada tinggi, para senior lain yang tadinya sibuk dengan cerita masing-masing pun menolehkan kepalanya ke arah mereka.
"Coba lihat apa yang mereka tulis di sini. Ini pasti ulahmu kan, Maira?" Seketika itu juga Maira merasa kesal. Ia mengenal Alisa karena dia lebih tua satu angkatan di atasnya, tetapi usianya lebih muda tiga tahun dan seumuran dengan adik Maira. Dia menjadi kakak angkatan karena Maira yang berusia 24 tahun terlambat masuk sebagai mahasiswa baru. Apakah ia harus memarahinya yang lebih muda tiga tahun karena memanggilnya sebagai anak-anak dan menggunakan bahasa nonformal kepadanya?
Maira adalah tipe orang yang berpikiran terbuka dan menghargai pentingnya rasa menghormati. Ia berpendapat bahwa akan lebih baik jika dia menanyakan usianya terlebih dahulu sebelum menggunakan kalimat tidak sopan terhadapnya.
Namun, Maira memilih untuk mengalah karena seperti pepatah mengatakan "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung", angkatan tahun lebih berpengaruh ketika berada di universitas. Selain itu, kalau Maira berulah di tempat seperti itu, mungkin akan memengaruhi kehidupan kampus nanti. Lagi pula, mungkin saja si Alisa ini menganggapnya seusia dengan mahasiswa baru lainnya. Kalau begitu, haruskah ia berterima kasih padanya?
"Enam sembilan? Hahaha ... sepertinya kau pantas jadi penerusnya Casanova," ucap Boy yang tadinya duduk di depan Alisa sembari melihat angka yang tertulis di atas meja. Boy, bukan hanya karena dia seumuran dengan Maira, melainkan karena dia juga adalah satu-satunya pria yang lumayan ganteng dan Maira taksir di klub ini. Namun melihat hal ini menyeruak di acara penyambutan mahasiswa baru seperti sekarang, citra Maira menjadi buruk di pertemuan pertama.
Setiap orang yang masuk ke lingkungan yang baru pasti membuat resolusi terlebih dahulu. Namun, Maira malah menunjukkan sisi berbeda dari dirinya. Ia memang sudah membuat resolusi sebelum masuk ke universitas. Mengikuti pelajaran itu pasti, tetapi sekarang ia sedikit lebih memperhatikan soal penampilan dan bersikap anggun di hadapan kaum pria. Ia juga ingin memiliki couple campus dan mencoba untuk memiliki selingkuhan serta menduakan kekasihnya nanti.
Namun, baru sebulan menikmati kehidupan kampus, Maira merasakan bahwa pepatah yang mengatakan "seseorang hidup sesuai dengan parasnya" sangat mengena ... dulunya. Tadinya, ia mengeluarkan biaya yang gila-gilaan dan menyisihkan banyak waktu hanya untuk memperhatikan penampilan. Meski begitu, tak satu orang pun yang datang menghampiri. Layaknya para gadis lain yang mengikuti perkembangan sosial untuk meningkatkan pesona mereka, beberapa tahun sekali ia membeli barang-barang bermerek yang sebelumnya tidak dimiliki dan meskipun angin dingin menggetarkan kaki, ia tetap mengenakan rok mini ke mana-mana.
Karena itulah, Maira sudah mengalah dari awal untuk menggunakan strategi itu. Sebagai gantinya, ia mengubah strategi menjadi sosok menantu idaman di hadapan para orangtua. Bukannya membanggakan, tetapi ia memiliki wajah yang sangat bisa dipercaya. Karena itu juga, sejak dulu Maira selalu membuat orangtua teman-temannya atau keluarga menyukainya.
Memang diakui, ke mana pun pergi, para orangtua sekitar rumah masih tetap menyerang setelah kejadian di salon dulu. Namun, sekali lagi, tanpa bermaksud apa-apa, banyak dari mereka yang ingin mengambil sebagai menantunya, bahkan jumlah jari tangan dan kaki saja tidak cukup untuk menghitung mereka. Tentu saja, orang yang dijodohkan dengannya selalu menolak.
Entah bagaimana ceritanya, strategi yang digunakan saat ini hanyalah "ketulusan". Para pria di dunia memang selalu menjatuhkan matanya pada pesona gadis cantik. Namun kenyataannya, tipe gadis yang ingin dipacari oleh mereka adalah tipe gadis yang tulus sepertinya.
Namun sekarang, situasi ini menyulitkan untuk mempertahankan citra itu. Bisa-bisanya posisi 69 mengalir dengan lancar dari mulutnya. Ini semua karena gadis sial bernama Cika ini.
"Casanova?"
Dengan lembut dan tatapan mata lugu, Boy mengalihkan topik pembicaraan. Yah, kalau sudah begini siapa yang bisa disalahkan? Ini semua adalah kesalahan Maira dari awal.
"lya, ada seseorang bernama Casanova yang terkenal di klub kita ini." Alisa menyambut perkataan Boy. "Kalau tidak salah, dia teman satu angkatan Bang Boy, kan? Dengar-dengar dia sedang cuti. Kapan berakhirnya?"
"Katanya dia akan kembali di semester ini. Aku tidak tahu entah apa yang terjadi, dia tidak pernah sekali pun menghubungiku."
Untung saja, topik pembicaraan mereka teralihkan pada seseorang yang bernama Casanova. Maira juga mengikuti pembicaraan mereka dengan sangat hati-hati seolah penasaran tentang apa yang sedang mereka bahas.
"Kakak senior itu dipanggil Casanova karena setiap wanita pasti akan jatuh cinta jika melihatnya. Dia tidak hanya menarik, tapi sangat memikat hati para wanita."
Apa mungkin yang dimaksud olehnya adalah seorang playboy? Bagaimanapun caranya, Maira harus bertemu dengan orang ini.
Lalu, Boy yang adalah teman satu angkatan Casanova ini pun berkata lagi, "Itu hanya gosip. Ketika masih menjadi mahasiswa baru, dia sama persis sepertimu, Maira. Pada umumnya, para gadis tidak menyukai hal-hal vulgar seperti itu, tapi entah kenapa dia bisa membuat para gadis itu menjadi sangat tertarik dengan ceritanya. Bisa dibilang kalau dia memiliki bakat dalam menceritakan hal-hal porno menjadi tidak terasa setabu itu."
"Sepertinya senior yang satu itu menarik ya."
Entah apa yang sedang dipikirkannya, lagi-lagi Cika tertawa dengan kedua matanya yang berbinar-binar. Maira pun teringat hasil perkataannya terhadap Cika belakangan ini. Ekspresi sempurna dari wajah itu sepertinya dibuat-buat dan ia sudah melatih setiap sudut wajahnya dengan baik di rumah, melihat caranya menaikkan pundak, menurunkan kepala, dan senyuman kecil sembari membelalakkan matanya. Dan tentu saja, tambahan maskara untuk menambah panjang lengkungan bulu matanya. Namun, terserah mau berkata apa pun, pada dasarnya dia memiliki wajah yang cantik.
Kemudian, seorang senior laki-laki lain yang ada di sebelahnya pun berkata lagi, "Boy, apakah cerita yang itu benar? Katanya ada senior perempuan yang pingsan ketika berciuman dengan Casanova itu?"
Seketika itu juga, Boy menjawabnya sambil tertawa. "lya, cerita itu benar. Ada senior wanita yang datang menghampiri dan langsung menciumnya. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk sekadar mengecupnya dan berlari kabur. Tapi, anak ini memeluk pinggang senior wanita itu dan tidak melepaskannya. Pada akhirnya, senior wanita itu pingsan begitu saja. Entah karena dia kaget atau pura-pura pingsan, gosip pun mencuat dan berkata kalau si Casanova itu sangat mahir dalam berciuman sampai-sampai orang lain pingsan dibuatnya."
"Bagaimana dengan pacar senior itu? Kalau tidak salah, katanya dia punya pacar kala itu, apa mereka tidak bertengkar?"
"Oh, Raisa? Itu lebih tua dua angkatan dari kami dan dia hanya bilang kalau cerita itu menarik. Raisa emang orang yang supel dari sananya sih." Entah bagaimana, acara penyambutan mahasiswa baru ini berubah menjadi acara pengeksposan sosok seseorang yang bernama Casanova. Belum lagi, orang yang bernama Boy ini menceritakan temannya dengan berapi-api seolah itu adalah dirinya sendiri. Ckckck, entah mengapa rasa tertarik Maira padanya langsung berkurang drastis begitu melihat dirinya yang berapi-api menceritakan temannya seperti itu. Padahal, awalnya dipikir dia itu lumayan.
Setelah mendengar cerita tentang Casanova, Maira sama sekali bukan tandingannya. Ia hanya mengetahui hal ini secara teori saja. Kalau soal pengalaman langsung, sama sekali belum merasakannya. Terlebih lagi, yang namanya "pesona" untuk menarik wanita itu tidak bisa didapatkan begitu saja.
Namun, ia tetap masih merasa penasaran terhadap sosok Casanova ini sama seperti yang lainnya. Casanova ... apakah sosoknya seperti om-om dengan vitalitas tinggi? Atau, bersosok kurus langsing yang temperamen dan sensual? Atau mungkin, sosoknya seperti playboy yang berlebihan seperti biasa? Atau, seseorang yang liar tetapi menyembunyikannya dalam wajah lembut dan lugu?
Malam itu, Maira dibayangi oleh sosok Casanova dan bermimpi bergandengan tangan dengannya, sama seperti orang lain yang penasaran akan sosoknya. Lalu, tepat sebelum berciuman dengan Casanova, ia terbangun dari tidur tanpa mengingat bagaimana bentuk wajahnya. Meski itu hanya mimpi, setelah terbangun sekalipun, jantungnya tak henti-henti berdebar karena bibirnya terlalu seksi dan sensual. Maira mengomel sambil mengelap air liur yang mengalir di bibirnya.
"Hah ... Casanova ... Kenapa kau tidak menciumku dengan cepat sih. Aku jadi semakin penasaran."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!