Saking penasarannya terhadap pria yang bisa memikat hati Cika hingga seperti itu, Maira pun menolehkan kepala. Ternyata, ia mengenali pria yang baru masuk lewat pintu depan kafe itu. Rangga! Dialah pria yang datang. Seketika itu juga, Maira langsung mengalihkan pandangan dan memikirkan situasi kali ini. Maira selalu tertimpa kesialan setiap kali dia muncul. Untung saja, situasi kali ini tidak mengharuskannya untuk berhubungan langsung dengannya.
Maira hanya sedang menikmati frappe sambil membaca buku di kafe ini. Buku yang dibaca ini tergolong kajian yang cukup berat, bahkan pernah mendapatkan penghargaan dalam dunia sastra. Meskipun demikian, orang yang belum pernah membacanya tidak akan tahu apa isinya. Karena itulah, Maira berpura-pura membaca buku dengan serius dalam pose yang elegan. Namun, kenapa orang seperti Rangga bisa datang ke kafe ini?
Apa jangan-jangan orang yang ingin ditembak Cika adalah dia? Dengan kaki panjangnya, Rangga melangkah santai dan mendekat ke arah mereka. Maira dan Cika duduk di meja terpisah yang berseberangan yang hanya dipisahkan oleh lorong untuk berjalan. Khawatir kalau mereka yang berasal dari fakultas dan klub yang sama sedang duduk terpisah seperti ini tampak mencurigakan, Maira langsung menundukkan kepala. Anehnya, jantungnya berdebar-debar mendengar langkah kaki yang kian mendekat.
Setelah kemunculannya di klub beberapa saat lalu, Maira tidak pernah muncul lagi di klub. Bagaimana kalau dia mengenali Maira? Apakah ia harus berpura-pura kaget sambil berkata 'Astaga, Senior apa kabar?' dan menyapanya? Apa yang harus dikatakan kalau lelaki itu bertanya mengapa ia tidak pernah muncul lagi di klub? Tidak mungkin kan Maira berkata kalau ia malu melangkah ke klub karena Rangga? Apa Maira harus beralasan dan berkata kalau sedang sibuk?
Langkah kakinya sudah berada persis di hadapan Maira. Namun, entah Rangga melihat atau tidak, dia langsung melangkah ke arah Cika dan duduk di hadapannya. Maira tak tahu mengapa, tetapi denyut nadinya berdebar kencang.
"Maaf, aku agak telat. Mau minum apa?"
Sembari tersenyum lembut, ia membuka dan menyerahkan buku menu pada Cika. Sikapnya benar-benar luar biasa mengagumkan layaknya playboy lainnya.
"Aku kopi saja."
"Kopi saja?"
Baru kali ini Maira mendengar nada suaranya terdengar ramah.
"Senior minum apa?"
"Aku juga minum yang sama sepertimu saja. Kopi di tempat ini cukup enak lho."
Sepertinya Maira sudah tahu apa alasan orang-orang menyebutnya sebagai Casanova. Tutur kata dan tingkah lakunya disesuaikan dengan orang yang sedang dihadapi. Meskipun dia tidak berkata banyak, entah mengapa jantung Maira masih tetap berdebar. Belum lagi, senyumannya setiap kali melihat Cika itu tampak sangat menawan. Mata sipitnya yang panjang itu seakan ikut tersenyum setiap kali bibirnya menyunggingkan senyum. Jika tetap seperti itu juga, Cika bisa jadi santapan malam baginya.
Maira kembali menyembunyikan wajah di balik buku yang dibaca tadi. Namun, apa yang dibaca sama sekali tidak melekat di otak. Maira hanya terfokus pada isi pembicaraan dari meja sebelah. Karena ia sudah terlanjur menerima suap dari Cika, apakah Maira harus sedih kalau ia ditolak?
"Oh iya, kenapa kau ingin bertemu denganku?" tanya Rangga sambil tetap tersenyum. Raut wajahnya seolah siap menerima apa pun yang akan dikatakan Cika. Cika tampak menoleh ke arah Maira dan mengumpulkan keberaniannya. Maira pun mengangguk untuk menyemangati. Setelah itu, dia mengeluarkan suara setengah berteriak, "Sebenarnya ...."
"Senior ..."
"Sebenarnya ada apa sih sampai kau sulit berbicara?"
Cika kembali mengumpulkan keberaniannya begitu mendengar suara lembut Rangga. Lalu sambil menutup mata, ia pun berkata, "Senior ... punya pacar tidak?"
"Tidak ada."
Apa? Kalau dari apa yang dikatakan senior lainnya, bukannya dia sedang berpacaran dengan wanita yang lebih tua dua tahun darinya? Selain itu, dia juga muncul di acara perjodohan. Dia ini benar-benar playboy ya? Lagi pula, Cika juga sudah mendengar cerita tentang Rangga, apa dia mau memacari beberapa orang sekaligus?
"Kalau begitu ... aku ... bagaimana?"
Mata Cika yang besar terbelalak semakin besar dan memperhatikan gerakan bibir Rangga. Saking penasaran akan jawaban apa yang akan diberikannya, Maira juga ikut memperhatikannya. Tahi lalat yang ada di bawah bibirnya itu, entah mengapa terlihat sangat seksi. Kalau dibandingkan, bibirnya sama seperti artis Hollywood, Brad Pitt, atau bibir artis Korea Ju Jin Mo.
"Bagaimana ya ...."
Dengan bibir seksinya itu, ia menenggak kopinya. Dia lantas tersenyum kembali. Namun entah mengapa, senyumannya tampak dingin dan berbeda dengan yang sebelumnya.
"Aku sudah dengar kalau Senior sudah putus dengan pacar yang terdahulu. Kalau Senior masih belum bisa melupakannya, aku akan menunggu Senior."
Cika benar-benar hebat. Dari mana dia tahu kata-kata seperti itu. Meskipun Maira hanya berpura-pura akrab dengannya, ia kecewa padanya karena Cika tidak pernah menceritakan hal itu kepadanya.
"Maaf, tapi aku tidak mau terbebani."
"Aku tidak akan membebani Senior. Anggap saja aku sebagai tempat sandaran. Terserah Senior mau berpacaran dengan siapa, atau kalau Senior sedang tidak ingin sendirian, Senior bisa mengingatku atau bahkan memanggilku. Karena itu ...."
Maira sedikit kaget akan apa yang baru saja dikatakan oleh Cika. Apa dia tahu apa yang sedang dia ucapkan? Kata-katanya memuat hal-hal yang berbau seksual. Tidak mungkin kalau orang seperti Casanova tidak mengerti akan arti ucapannya itu.
"Apa maksudmu kau rela jadi pasangan one nightstand-ku?" Sudah diduga, Casanova. Kali ini dia sama sekali tidak tersenyum. Namun, matanya tersenyum tajam dan tampak menakutkan.
"One ... one night stand?"
Begitu melihat raut wajah Cika yang bengong seperti itu, ingin rasanya Maira berkata 'astaga'. Maira berani mempertaruhkan frappe-nya ini kalau Cika seperti itu bukan karena sakit hati akan perkataan Rangga barusan. Raut wajah bingungnya itu muncul karena dia sama sekali tidak tahu apa arti one night stand. Maira langsung tahu dari wajahnya. Maira bingung apakah harus menjelaskan arti dari one night stand di atas kertas lalu secara sembunyi-sembunyi memperlihatkannya pada Cika dari belakang Rangga.
Namun, dari cara Rangga memandangnya, Maira merasa bersyukur karena sepertinya dia berpikir kalau Cika merasa tersakiti.
"Makanya, kalau bicara jangan sembarangan. Aku akan menganggap apa yang terjadi hari ini tidak pernah ada. Dan jangan pernah menghubungiku lagi untuk hal ini, karena kalau tidak, hubungan kita sebagai kakak dan adik kelas sepertinya akan terasa tidak nyaman," ucap Rangga dingin sembari bangkit berdiri. Dasar jahat. Anehnya, meskipun Maira merasa kasihan pada Cika, di satu sisi merasa lega karena dia ditolak.
"Dan lain kali, jangan pernah mengajak teman ikut bersamamu," ujarnya sambil bangkit berdiri dan membawa struk pemesanan tadi. Maira pun emosi mendengar dia yang tiba-tiba berkata seperti itu kepadanya. Kalau begitu, apa dia sudah mengetahui keberadaan Maira sejak awal? Bisa-bisanya dia pura-pura tidak mengenal dan mengabaikan begitu saja. Maira yang datang sebagai pengiring mereka tampak seperti orang yang kurang kerjaan. Ia benar-benar emosi. Maira menjadi semakin emosi begitu mendengar isak tangis Cika. Ia bingung kenapa gadis itu menangisi hal ini karena ditolak adalah hal yang wajar dan bukan akhir dari hidup. Lebih baik tidak usah berhubungan dengan pria hidung belang seperti dia.
Namun, Maira tidak bisa menahan lagi begitu melihat Rangga yang melangkah dengan dingin menuju kasir, meninggalkan Cika yang sedang menangis. Maira pun mengejarnya.
"Kau tahu tidak kalau kau sudah keterlaluan? Dia sedang menangis."
Rangga mengabaikannya dan menyelesaikan pembayaran lalu berbalik pergi begitu saja. Maira pun melempar belakang kepalanya dengan struk pembayaran yang tertinggal di kasir. Setelah melemparnya, Maira kaget dan hampir menyesali tindakannya itu. Kalau saja tadi ia melemparnya dengan besi atau semacamnya dan melukai kepalanya, bisa-bisa Maira yang diserang balik. Struk itu persis mengenai punggungnya dengan pelan dan terjatuh ke bawah sesuai harapan.
"Dia junior Anda kan, bukan orang lain? Dia itu masih sangat muda. Tidak bisakah Anda menolaknya dengan sedikit lebih lembut?"
Dia kaget mendengar suara Maira yang lantang. Dia pun berbalik dengan wajah marah. Seketika itu juga Maira merasa ketakutan.
"Jadi karena itu, orang tua sepertimu ikut datang kemari untuk membela dia?"
Ketika itu, Maira lupa kalau dia adalah senior. Itu karena dia berbicara dengan enteng tentang usia yang begitu sensitif bagi Maira. Meskipun ia pengecut, terkadang ada saat ketika ia tidak bisa menahannya lagi.
"Apa kau bilang?"
"Bukannya menenangkan teman yang sedih adalah tugas suporter sepertimu?"
"Apa ...?"
"Sepertinya aku salah menilaimu."
Ketika Maira sibuk memikirkan kata apa yang harus dikatakan selanjutnya, Rangga berbalik dengan raut wajah kecewa. Salah menilai apanya? Memangnya sejak kapan dia memperhatikannya?
"Hei, Rangga! Ternyata kau benar-benar kurang ajar ya. Aku tidak sama sepertimu yang mengejar para gadis dengan uang dari orangtuamu dan tidak mengkhawatirkan apa pun di dunia ini. Aku mengumpulkan uang untuk biaya sekolah, karena itulah aku telat masuk, ada yang salah dengan itu? Apa aku salah karena aku sudah tua dan sedikit memperhatikan teman sekelas yang lebih muda darinya? Ayo jawab? Dasar manusia tak berperasaan!"
Maira mendengar dari para senior bahwa orang tua Rangga adalah pemilik perusahaan besar yang sukses. Karena itulah, dia punya apartemen sendiri di dekat kampus dan mengendarai mobil ke mana-mana. Dia juga gampang mengeluarkan uang sehingga teman-temannya tidak perlu khawatir akan biaya minuman mereka. Kehidupannya hanya sekadar impian bagi Maira.
Semua tatapan orang-orang yang ada di kafe ini tertuju pada Maira karena suaranya yang keras. Lalu, Cika berlari keluar sambil menangis dengan wajah berantakan. Maira melirik Rangga dengan ketus sekali lagi dan mengejar Cika. Tetap saja berdiri seperti itu di sini. Dia pasti akan merasa malu.
"Permisi!"
Namun, seseorang mendadak menahan tangan Maira. Itu adalah pelayan kafe.
"Anda harus membayar frappe Anda dulu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments