Cika yang hanya menangis dan tidak membalas perkataannya membuat Maira menjadi orang yang bersalah. Tetapi, jika Maira keluar dengan kondisi seperti ini, ia merasa bahwa ia akan benar- benar dianggap salah oleh mereka semua. Maira pun menampik tangan mereka kembali.
"Apa menurutmu perkataanku tadi keterlaluan? Apa kau tidak tahu kalau tingkahmu selama ini keterlaluan? Kau selalu mempermainkanku seperti ini. Apa kau pikir aku terus-menerus tidak tahu perbuatanmu? Sepertinya kau tahu dengan jelas apa maksud perkataanku ini."
"Huhuhu ... maafkan aku ... Kak ... aku mengaku salah. Huhu, aku mengaku salah. Maafkan aku."
Cika terus menangis sambil memohon maaf pada Maira. Dia menangis sembari menyeka air mata dengan kedua tangan hingga maskaranya berantakan. Melihatnya seperti ini membuat Maira tidak ada pilihan lain selain memaafkannya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan sangat mengasihaninya.
"Hei, bisa diam tidak!"
Terdengar suara melengking. Alisa pun maju melindungi Cika. Sembari mendudukkan Cika, dia bertingkah seolah menerima baton estafet untuk melanjutkan pertandingan, lalu menatap Maira tajam.
"Hei kau, Maira! Kau bangga ya masuk kuliah di umur setua ini? Sialan! Mau sampai kapan anak-anak yang lain harus berhati-hati padamu? Dari awal aku menolak untuk menerima mahasiswa dengan umur tua sepertimu. Orang-orang seperti kalian pasti tidak akan mengikuti kegiatan klub secara rutin dan hanya menimbulkan masalah. Kalau kau memang jarang masuk klub, sebaiknya kau pergi saja baik-baik! Memang apa bagusnya dari berumur tua? Bisa-bisanya kau mabuk dan membuat keributan seperti ini! Apa kau tidak malu dengan anak-anak yang lebih muda darimu?"
Perkataannya sangat mengagetkan Maira. Setiap perkataannya bagaikan jarum yang menusuk hatinya. Padahal, Maira selalu berusaha untuk bersikap manja pada anak-anak lainnya agar tidak terlihat tua dan selalu menyapa mereka lebih dulu ketika berpapasan. Maira bahkan berpikir kalau mereka bisa menganggap remeh ia karena melakukan hal itu. Tetapi ternyata, mereka masih tetap tidak menganggapnya sama seperti mereka. Maira mulai merasa kalau ia adalah makhluk asing di antara mereka.
"Alisa, berhenti!"
Akhirnya Boy menariknya keluar hingga suaranya tidak terdengar lagi. Kaki Maira kehilangan tenaga. Air matanya seolah akan mengalir seketika.
Maira pun melangkah ke kamar mandi dengan kaki lemah. Ia yang sudah setua ini akan tampak sangat memprihatinkan jika sampai menangis di depan mereka.
"Kakak ...."
Maira berkata bahwa ia tidak apa-apa pada anggota wanita lain yang berusaha mengejarnya.
Maira lantas terduduk di dalam kamar mandi. Awalnya hanya air mata saja yang mengucur dari matanya, tetapi kemudian, isak tangis mulai keluar dari mulutnya.
"Huhuhuhuhuhuhuhu!"
Maira terus menangis sambil menekan flush toilet karena takut ada yang mendengar suaranya. Perkataan Alisa tadi masih terus terngiang di telinga. Di tengah-tengah isakan tangis, terdengar bunyi ponsel berdering. Maira mengabaikannya karena merasa sekarang bukan saat yang tepat untuk mengangkat telepon. Namun, ponselnya tak berhenti berdering. Barulah ia mulai menenangkan isak tangis dan berniat untuk mengangkat telepon karena mungkin telepon ini sangat penting sehingga orang itu menelepon berulang kali seperti ini.
Saat Maira menyeka air mata dan mengambil ponsel, tampaklah nama 'Casanova' di layar. Seketika itu juga, jantungnya berhenti berdetak. Apakah Maira harus mengangkatnya atau tidak? Ketika ia merasa ragu, dering telepon pun berhenti dan entah kenapa Maira menghela napas kecewa. Namun, ponselnya kembali berdering. Yang menghubungi masih tetap Rangga.
"Ha ... halo."
"Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?"
Maira berusaha menyembunyikan suara tangis dengan mengecilkan suara. Mendengar suara Rangga membuatnya nyaman.
"Tidak terdengar tadi."
"Katanya anak-anak yang lain minum-minum ya? Di mana?"
"Mmmm ... semua sudah selesai minum."
"Lalu, sekarang kau ada di mana? Dari suaramu, sepertinya kau sedang ada di luar ya?"
"Aku mau pulang."
"Kenapa? Padahal aku belum datang."
"Semuanya sudah pulang."
"Kalau begitu, kita minum berdua saja."
Saat ini Maira membutuhkan semangat. Ajakan untuk minum berdua dengannya, bagi Maira terdengar seperti ucapan yang ingin menyemangati. Apakah suaranya yang selalu terdengar memanjakan dan sangat ramah itu membuatnya menjadi lemah?
"Benarkah ...?"
"Kalau kau bilang kau membutuhkanku, aku akan datang."
"Aku butuh."
"Baiklah, tunggu aku ya."
Rangga menutup teleponnya tanpa bertanya di mana Maira. Entah kenapa ia merasa bersemangat ketika ada seseorang yang berada di sisinya dalam situasi seperti ini. Saat Maira keluar dari toilet, tampak mahasiswa pekerja sambilan sedang membersihkan meja tempat mereka minum-minum tadi.
Sepertinya yang lain sudah pulang. Di tempat kosong itu, tampak tas Maira yang seolah ditinggalkan sendiri begitu saja. Tas itu tampak persis sepertinya. Benda yang layak untuk dibuang oleh kebanyakan orang. Padahal, Maira sudah berusaha untuk mendekati mereka, ia sudah berusaha untuk menyingkirkan perbedaan di antara mereka ...
Maira merasa bahwa hubungan manusia memang benar-benar rumit.
"Anda harus bayar dulu."
Pemilik toko yang ada di kasir menarik tangan Maira ketika ia berniat untuk keluar sambil menenteng tasnya. Manusia ini memang benar-benar keterlaluan.
"Berapa semuanya?"
Begitu melihat tagihan di meja kasir, Maira menyadari kalau ia kekurangan 300.000. Ia kembali mengecek apakah ini semua berasal dari meja mereka. Namun, pertanyaan itu sia-sia. Ah ... benar-benar hari yang menjengkelkan. Ketika Maira sedang memikirkan cara untuk bisa keluar dari tempat ini sambil menutup mata sesaat, tiba-tiba terdengar suara yang familier di telinganya.
"Ini."
Begitu Maiea membuka mata, tampak sosok Rangga yang tengah membayar minuman tadi di kasir. Baru kali ini Maira merasa senang akan kehadirannya, juga pada lembaran uang yang ada di tangannya. Maira sungguh tidak menyangka kalau dia bisa datang secepat ini. Padahal, belum ada lima menit waktu berselang sejak mereka bertelepon tadi.
"Aku berpapasan dengan anak-anak yang lain di jalan. Mereka menyuruhku untuk membantumu membayar kekurangannya. Seharusnya Boy menjagamu, tapi dia sibuk bertengkar dengan Alisa. Sekarang pun mereka masih bertengkar. Tapi, dia mengalah karena ucapan Alisa sangat kasar. Sebenarnya ada masalah apa?"
Maira merasa lega karena Rangga tidak ada di sini ketika hal tadi terjadi.
"No comment."
"Terserah kau saja. Aku hanya penasaran melihat matamu yang bengkak seperti itu."
Begitu Maira menyentuh matanya yang dikatakannya bengkak, dia tersenyum singkat sembari memasangkan topi sport yang dikenakannya ke kepala. Topi besarnya itu jatuh hingga menutupi matanya. Rangga tertawa terbahak-bahak lalu mengecilkan ukuran topi itu di kepala Maira.
"Di luar sudah malam. Kalau kau mengenakannya, orang-orang tidak akan menyadari matamu itu. Soal hidungmu yang memerah, bisa kau tutupi dengan foundation saja."
Hari ini dia sangat perhatian. Dia bersikap seolah memahami perasaan Maira hari ini, dan tidak menjaili karena tahu kalau mungkin Maira akan marah.
Begitu mereka melangkah keluar dari Blue Ball, anak-anak klub lainnya sudah pulang. Meski Maira tidak tahu pertengkaran Alisa dan Boy tadi dimenangkan oleh siapa, sepertinya mereka sudah berdamai dan pulang. Sisa alkohol tadi langsung menghilang begitu diterpa oleh angin dingin musim semi.
"Mau minum kopi? Tidak-tidak, karena tadi kau minum alkohol, kita minum teh hijau saja."
Rangga berlari ke dalam toko 24 jam dan kembali dengan teh hijau kaleng dalam genggamannya. Setelah membuka kalengnya, dia mengeluarkan sapu tangan dari dalam kantong dan membersihkan kalengnya lalu diberikan pada Maira. Sikapnya itu benar-benar sikap seorang playboy sejati.
Begitu melihat kaleng minuman, Maira teringat akan umpan yang dilemparkan padanya beberapa hari yang lalu.
"Sepertinya aku tidak melihat Senior beberapa hari ini."
"Ah, aku pergi ke Bandung selama beberapa hari."
Begitu rupanya. Karena itulah, dia tidak menghubungi Maira.
"Oh iya, kemarin aku pergi ke fakultas seni keramik lho."
"Apa? Benarkah?"
Apa dia tidak tahu? Pantas saja Maira memiliki perasaan tidak enak soal hal ini.
"Aku melihat Senior dengan kaki berlumuran tanah liat di atap, tapi aku langsung pergi karena kupikir Senior sedang tidak ingin diganggu."
Seketika itu juga, Rangga berhenti melangkah. Dia menggunakan bibirnya untuk menahan kaleng minuman tadi, sementara tangannya sibuk mengacak-acak isi dompetnya seolah teringat akan sesuatu.
"Apa jangan-jangan kau yang menulis ini?"
Yang tertulis di dalam memo itu hanyalah 'thanks'. Kata 'plester yang ada di depannya sulit dibaca karena tulisannya memudar.
"Ckckck ... orang bodoh itu memang menyusahkan ya," ucapnya sambil menggeleng dan menjulurkan lidah.
"Apa!"
"Menurutmu apa yang akan terjadi jika kau meninggalkan memo di atas kaleng dingin? Tetesan air dari kaleng itu memudarkan tulisan yang ada di depan dan hanya menyisakan kata 'thanks' saja. Aku tidak tahu siapa yang memberikannya padaku. Aku jadi penasaran, makanya aku selalu membawanya."
Jelas saja Rangga tidak tahu siapa yang memberikannya karena kata 'plester' itu sudah tidak bisa dibaca. Ucapan ibunya tentang Maira yang bertingkah bodoh terasa benar kali ini.
"Kata yang ada di belakangnya itu apa?"
"Senior tidak perlu tahu."
Maira menjadi kesal terhadap tingkah bodohnya itu begitu mendengar omelan Rangga.
"Jangan-jangan ... kau menuliskan 'aku mencintaimu', iya kan?"
Maira menatap Rangga dengan ekspresi aneh.
"Dasar, kenapa Senior berpikir kalau kata-kata 'cinta' akan muncul di sana? Tidak mungkin aku menuliskan kata seperti itu ke dalam kalimat ini kan. Coba ingat-ingat lagi, hal apa yang baru-baru ini Senior lakukan padaku sehingga aku harus berterima kasih pada Senior. Sebenarnya, siapa yang bodoh!"
Bagaikan orang yang sedang mencoba menebak jawaban kuis, Rangga menatap kertas itu lekat-lekat, kemudian bertanya lagi dengan serius, "Enam huruf kan?"
"lya."
"Aha. Kalau begitu plester. Benar kan? lya kan?"
"Ting tong. Senior menjawab pertanyaan gampang dengan rumit ya."
Dia mengabaikan ucapan ketus Maira itu dan kegirangan seperti anak kecil karena berhasil menjawab pertanyaannya.
"Tidak ada hadiahnya?"
"Kan Senior sudah menerimanya. Minuman."
Maira merasa Rangga sangat menggemaskan ketika menunjukkan raut wajah yang seolah tidak terima akan perkataannya tadi. Tanpa sadar Maira pun tertawa.
"Omong-omong, kenapa kau mencariku?"
Maira yang tertawa sambil meminum minumannya tadi jadi terbatuk-batuk karena kaget. Sembari mengusap punggung Maira, Rangga kembali berkata, "Untuk apa kutanyakan hal yang jelas seperti ini? Kau terpesona pada pesonaku kan? Yah, kalau kau jatuh semudah ini, jadi tidak menarik."
"Bukan pesona Senior. Aku hanya mencoba menerima umpan yang Senior lempar padaku melalui plester kemarin."
"Kau juga melempar umpan padaku tapi tidak kena sasaran, begitu?"
"Yah, yang namanya hidup, pasti pernah melakukan kesalahan seperti ini kan."
"Ah, kupikir ... padahal kupikir kau adalah player sejati ketika kau membahas enam sembilan di pertemuan pertama kita dulu, ternyata tidak ya."
Maira melihatnya sangat serius akan perkataannya itu. Sebentar! Maira memiliki pertanyaan yang harus dilontarkan sekarang.
"Sebentar, kalau begitu, alasan Senior memilihku untuk jadi pasangan di perjodohan kemarin jangan-jangan ... karena itu?"
"Memangnya ada alasan lain? Tentu saja aku mengejar orang yang membuatku memucat melalui perkataan vulgar seperti itu kan."
Astaga, kenapa ada pria liar seperti dia di dunia ini? ucap Maira dalam hati, sementara Rangga memasukkan satu tangannya ke saku celana dan terus tertawa seolah merasa hal ini sangat lucu. Tetapi masalahnya, Maira sama sekali tidak membenci tawanya yang tidak tahu malu itu. Inilah yang dikatakan kekuatan super dari seorang player.
"Kalau sudah begini, kau sudah tidak punya pikiran lain kan?"
"Soal apa?"
"Kalau sudah lupa ya sudah."
Lalu, dia melempar kaleng kosongnya ke dalam tong sampah dan menggerakkan otot lengannya lalu berjalan di depan. Begitu Maira melihat sosok belakangnya, ia kembali teringat akan diriku yang menangis tadi. Maira benar-benar lupa akan kesedihan tadi setelah mendengar gurauan darinya. Apa jangan-jangan dia sengaja menghiburku? kata Maira dalam hati, tetapi hal ini sangat sulit untuk dipercayai.
Entah sejak kapan, mereka sudah berdiri di depan jendela kampus. Karena sudah pukul 11 malam, kampus tampak sangat sepi dan lengang tanpa sosok seorang manusia pun.
"Masuk?"
Rangga menunjuk kampus yang gelap itu dengan jempolnya.
"Jam segini?"
Apa jangan-jangan ini adalah awal operasi?
"Hoho, kau takut?"
"Cih, takut apanya. Baiklah! Pokoknya Senior yang bertanggung jawab dan jangan menangis kalau nanti sudah terjadi."
Maira memutuskan untuk jatuh dalam jebakannya. Apakah tingkahnya yang berpura-pura anggun dan malu-malu kucing seperti ini tampak menggelikan? Bagaimanapun, sangat disayangkan jika ia mengakhiri pertemuan dengannya seperti ini. Maira pun ingin tahu sampai tahap mana Rangga akan melakukan skinship terhadapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments