"Kakak ternyata ada di sini? Aku mencari-cari Kakak dari tadi, kenapa teleponnya tidak diangkat?"
Cika datang menghampiri Maira yang sedang duduk dan membaca buku di ruangan data setelah membalas Rangga dengan caranya tadi.
"Oh ... aku mematikan dering ponselku jadi aku tidak mendengarnya."
"Kakak sudah menemukan banyak data untuk laporan?"
"Belum. Aku hanya membaca buku kok. Ke ruang istirahat saja yuk?"
Begitu tiba di ruang istirahat, Cika pun tertawa terbahak- bahak sambil berkata, "Kakak, Kakak tahu tidak kalau Kakak tadi hebat."
"Hebat apanya?"
"Senior Rangga tadi benar-benar merasa dipermalukan setelah Kakak pergi. Perasaanku menjadi lega melihatnya tadi."
Maira menoleh dan menatap Cika. Ia tidak memahami Cika padahal tadi dia menjadi pengikut setia Rangga.
"Lega kenapa? Karena kejadian kemarin?"
"Yah ... karena hal itu juga iya, ditambah lagi Senior Rangga tadi bertindak sangat jahat pada Kakak. Aku sedikit emosi melihatnya tidak membagikan kupon makanan pada Kakak padahal aku yang di samping Kakak saja diberi gratis."
"Benarkah?" ucap Maira setengah hati. Ia teringat akan Cika yang berterima kasih dengan bahagia pada Rangga yang memberinya kupon makanan tadi.
"Menurutku, lebih baik kalau Kakak tidak dekat-dekat lagi dengannya. Pagi ini aku bertemu teman satu jurusan Senior Rangga. Ternyata, gosip tentang senior itu sungguh luar biasa."
"Gosip?" Maira sedikit merasa penasaran.
"Kakak belum pernah dengar? Soal pacar Senior Rangga yang tak bisa hidup tanpanya itu. Kakak tahu tidak apa alasan mereka putus? Katanya, banyak gadis yang sudah pernah masuk ke apartemen senior Rangga yang ada di dekat kampus kita ini. Dan sepertinya, pacar senior Rangga engetahuinya. Awalnya, mereka bertengkar dan berbaikan lagi berkali-kali, hingga akhirnya pacarnya pergi meninggalkannya belajar ke luar negeri. Meskipun katanya mereka sudah tidak pernah bertemu lagi, tapi Senior Rangga tidak pernah sepi akan wanita. Katanya, ia akan membawa wanita yang bertemu pandang dengannya di tempat minum-minum ke apartemen dan tidur dengannya. Bahkan, kata senior yang kutemui tadi pagi, dari sepuluh mahasiswi yang ada di kampus kita, satu di antaranya pasti sudah pernah tidur dengannya."
Maira tercengang dan tak mampu berkata-kata. Inilah yang disebut tingkah seorang Casanova. Satu dari antara sepuluh, vitalitasnya juga luar biasa, benar-benar energizer yang luar biasa.
Namun, mengingat kelihaian Cika dalam menjebak orang bernilai 9, sejujurnya Maira tidak percaya padanya. Ditambah lagi, dia sendiri penyebar gosip. Lagi pula, yang namanya gosip pasti selalu ditambah-tambahi dan dibesar-besarkan. Selain itu, percaya atau tidak terhadap suatu cerita tergantung pada tiap-tiap orang.
"Aku tidak tahu siapa yang kau temui tadi, tapi kebohongannya itu apa tidak terlalu berlebihan?"
"Memang ada hal yang sulit untuk dipercaya, tapi tidak menutup kemungkinan kalau ada bagian yang benar juga kan? Kalau begitu, apa Kakak tahu soal ini? Soal pertengkaran Senior Rangga dan mantan pacarnya yang hamil sehingga gadis itu keguguran? Karena itulah ia kabur dan sekolah ke luar negeri. Kalau cerita yang ini, aku mendengarnya langsung dari Senior Boy. Kakak juga tahu kan kalau senior itu tidak pernah berkata sembarangan?"
Maira sulit untuk tidak percaya kalau ia berkata bahwa Boylah yang berkata seperti itu. Maira tahu kalau dia bukan orang yang suka berkata sembarangan dan menjelek-jelekkan orang lain. Namun, Maira sama sekali tidak ingin mendengarkan ucapan Cika lebih banyak lagi.
"Kalau begitu mungkin benar. Cukup di sini saja, aku harus masuk dan mencari data untuk menyelesaikan laporanku. Kau juga ikut?"
"Maaf, Kak. Temanku tiba-tiba menghubungiku dan bilang kalau ia menungguku di depan. Kalau begitu, kita bertemu besok ya, Kak."
Maira jadi berpikir sesuatu begitu melihat Cika yang tersenyum sambil berlalu pergi. Sebenarnya, apa tujuannya datang kemari? Maira bangkit berdiri dari kursi yang diduduki, tetapi kembali kesakitan karena hak sepatu yang digunakan. Begitu Maira melepas sepatu, kulit kakinya sudah terkelupas dan memerah oleh darah yang mengalir dari luka itu. Kalau tahu begini, seharusnya ia beli perban dan menempelnya tadi.
Begitu keluar dari kampus, Maira merasa depresi karena hari ini harus mengalami banyak siksaan. Untuk apa ia mengenakan sepatu berhak tinggi yang menyakitkan seperti ini? Apa ia ingin menarik perhatian seseorang? Tiba-tiba Maira merasa kakinya berdenyut-denyut dan sulit untuk melangkah. Ia pun berniat untuk mengambil tas dari dalam ruang data sambil berjalan pincang.
Namun, ada sesuatu tergeletak tepat di hadapannya. Ternyata, itu adalah plester.
Manusia memang makhluk bodoh dan suka bertindak sesuka hati. Begitu melihat plester itu, Maira langsung berniat untuk menempelkannya di kakinya. Ia kembali berdebar kalau-kalau orang yang meletakkan plester itu adalah Rangga. Padahal, Maira sudah diperlakukan hingga sedemikian rupa, dan bersumpah bahwa ia tidak akan menjalin persahabatan lagi dengannya, dan semakin membencinya setelah mendengar gosip-gosip tadi.
Yah, meskipun Maira membenci orangnya, tetapi ia tidak harus membenci plester ini.
Maira membuka plester itu dan menempelkannya di kedua sisi kaki yang terluka. Ketika berdiri, Maira melihat Boy yang ingin masuk ke ruangan data.
"Mau pergi?"
Dia seolah tahu di mana Maira berada. Apa jangan-jangan yang meletakkan plester ini bukan Rangga, melainkan Boy?
"Iya."
"Bagus kalau begitu. Aku berniat untuk menonton film sekarang, mau ikut tidak?"
Kaki sangat nyeri dan Maira sama sekali tidak berniat untuk menonton film saat ini. Ucapannya tadi siang pun hanya sekadar basa-basi. Namun, Maira melihat satu pesona yang muncul mendekat dari belakang Boy. Kata "pesona" memang sedikit terlalu bagus untuk ditujukan padanya. Namun begitu melihat Rangga, Maira seolah merasa bersemangat..
"Baiklah. Senior Rangga ikut juga?"
"Tentu. Boy yang mengajakku untuk menonton bersama," ucap Rangga sembari tersenyum. Berbeda dengan penampilannya, Maira berpikir kalau tingkah murahannya ini sedikit berlebihan.
Percaya atau tidak, faktanya malah lebih mengerikan.
Pepatah mengatakan 'kepala orang yang suka gratisan pasti gampang botak'. Apa jangan-jangan seluruh anggota keluarganya punya gen terkutuk seperti itu? Seketika, otak Maira yang imajinatif itu terlanjur membayangkan sosok tua Rangga dengan kepala botak. Seketika itu juga, Maira tidak ingin melihat gambaran menjijikkan seperti itu lagi di kepalanya.
"Sedang apa?" tanya Rangga pada Maira. Sementara itu, tanpa sadar Maira mengerutkan dahi dan menatapnya.
"Ckckck ... jangan terlalu suka gratisan. Bagaimana kalau kau sampai botak?"
"Terima kasih karena kau sudah mengkhawatirkanku. Tapi setelah hidup bersama, jadi botak juga tidak akan jadi masalah."
Seenaknya saja berbicara. Apa dia tidak sadar bahwa kata-katanya ini bisa menimbulkan harapan bagi orang yang mendengarnya? Kalau dia memang menyadari ucapannya itu, Maira yakin kalau dia memang seorang playboy. Kalau dia memang sama sekali tidak menyadarinya, dia pasti seseorang yang terlahir untuk menjadi seorang playboy. Karena itu, cara terbaik untuk mengatasi perkataannya adalah dengan mengabaikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments