Suamiku tak mendengarkan apapun yang aku ucapkan, dia memaksa untuk mengambil Gozel dari gendonganku. Aku tentu saja tidak mungkin tarik-menarik tubuh Gozel yang masih bayi itu, jadi dibanding harus melihat tubuh Gozel sakit, kubiarkan saja suamiku mengambilnya dari gendongan ku.
“Bicaramu sudah semakin ngawur, kita pulang saja sekarang!” suamiku berucap, nada bicaranya mulai meninggi dan ekspresi wajahnya yang terlihat kesal bisa aku lihat dengan jelas.
Mungkin, suamiku kesal karena mendengar ucapanku yang akan memesan taksi online dan pergi ke rumah kedua orang tuaku. Entahlah, benar atau tidaknya dugaan itu aku sama sekali tidak tahu karena aku tidak bisa membaca pikiran suamiku.
Suamiku sudah mulai menjalankan kakinya lebih dulu, mungkin suamiku sudah tidak sanggup mendengar kalimat yang akan keluar lagi dari mulutku kalau berlama-lama di sana.
Aku tak langsung mengikuti langkah suamiku, sejenak aku menoleh dan menatap Rena yang mulai menangis tanpa suara. Aku berdecih kesal di dalam hatiku, dia menangisi apa sebenarnya?
“Mba, kau sedih karena Bang Arthes pergi? Mau aku panggilkan Bang Arthes untuk kembali? Atau, emba mau tinggal bersama kami di rumah kontrakan yang sempit?” tanyaku tanpa ekspresi, “Eh, pasti tidak mau, ya? Bagaimanapun, lebih nyaman di rumah sendiri, iya kan, mba?” tanyaku tapi acuh.
Aku sungguh tidak peduli apa yang sedang dipikirkan oleh wanita bernama Rena itu, entah dia menangisi apa aku juga sama sekali tidak peduli. Ya, Kenapa juga aku harus memperdulikan perasaan wanita yang sudah menghancurkan kehidupan rumah tanggaku, dia juga tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku, bukan?
Ku langkahkan kakiku menjauh dari tempatku berdiri, Aku tak ingin terus melihat wajah Rena yang terlihat seperti sangat polos. Entahlah, ekspresi wajah yang sedih itu, air matanya yang bercucuran tanpa suara isakan, rasanya membuatku sangat kesal dan juga marah.
“Kalau ada orang luar yang melihat kejadian tadi tanpa mendengar pembicaraan, pasti akan menganggapku sebagai wanita ketiga.”
Aku masuk ke dalam mobil, tak mengatakan apapun sampai suamiku memberikan Gozel padaku karena dia akan mengemudi.
Suamiku membuang nafasnya, dia menatapku seolah ingin mengatakan apa yang ada di benaknya tapi tak dia katakan entah apa juga alasannya.
Selama kami berada dalam perjalanan menuju ke rumah kontrakan, aku terus menatap ke jendela kaca sedang suamiku juga fokus mengemudi. Tidak ada percakapan apapun diantara kami berdua, padahal biasanya kami selalu saja mengobrol hingga tiba-tiba sudah sampai di rumah saja karena tak terasa. Tapi, kali ini rasanya 1 menit seperti 1 tahun, aku sampai merasa sangat lelah.
Sesampainya di rumah, aku bergegas masuk ke dalam kamar karena Gozel sudah mulai rewel dan tentu saja dia membutuhkan ASI. Dengan cepat aku mengganti pakaianku dengan pakaian rumahan yang khusus di desain dengan model busui.
Suamiku baru sampai ke kamar saat aku mulai menyusui Gozel, dia terus menatapku tapi aku juga terus mengacuhkannya, dan enggan membiarkan tatapan mata kami bertemu.
Begitu Gozel kenyang, dia langsung tertidur dan tidak ada alasan bagiku untuk terus membiarkan Gozel berada dalam gendongan ku. Perlahan, ku letakkan tubuh Gozel di tempat tidurnya. Memastikan benar tidak ada nyamuk yang berada di sekitaran Gozel, lalu segera menutup tirainya.
“Sudah selesai? Boleh kita bicara sebentar, Sayang?” ucap suamiku, sebentar aku melihat ke arahnya, dan dia masih menunjukkan ekspresi wajah memohon.
Sebenarnya, aku sedang sangat emosi sekali saat ini, kalau sampai aku berbicara dengan suamiku sepertinya akan terjadi percekcokan yang tidak pernah aku bayangkan pembahasannya nanti.
“Sayang...” panggil suamiku, nadanya yang begitu memohon justru membuatku sangat muak.
Panggilan sayang itu bahkan sudah seperti belati yang menusuk hatiku. Bagiamana tidak? di hadapanku memanggilku dengan sebutan sayang, di hadapan Rena memanggil Rena juga dengan sebutan Sayang. Rasanya, menyebalkan sekali membayangkan hal itu, apalagi kalau sampai aku melihat, dan mendengarnya sendiri.
Suamiku masih berdiri di ambang pintu untuk menungguku, dan aku putuskan untuk keluar dari kamar mendengarkan dengan seksama apa yang sebenarnya ingin dibicarakan oleh suamiku. Jika memang memungkinkan, sepertinya pembicaraan di antara aku, dan juga suamiku akan menjadi sangat panjang Karena ada begitu banyak hal yang ingin aku sampaikan secara langsung kepada suamiku.
Di ruang tamu, kami sengaja pergi ke sana karena tidak ingin nantinya pembicaraan kami membuat Gozel bangun.
Kami duduk bersebelahan karena posisi awalnya aku duduk berhadapan dengan suamiku, tapi dia langsung mengambil sikap untuk pindah di dekatku.
“Sayang, aku mengerti sekali kau masih sangat kesal dan sedih. Tapi, kalau boleh Abang minta, tolong jangan bicara seperti itu lagi dengan Ibu, Rena, dan orang lain, ya.” ucap suamiku, memohon dengan lembut. Tangannya coba menggapai tanganku, tapi secepat itu aku menarik tanganku agar suamiku tak bisa menyentuh tanganku.
Aku masih terlalu enggan untuk menanggapi ucapan itu, aku hanya ingin mendengarkan terus sampai aku bisa mengambil kesimpulan bagaimana sudut pandang suamiku tentang Rena, dan seberapa besar artiku untuk suamiku.
“Abang salah, Ibu salah, Rena salah, semua yang ada di sana memang salah. Tapi, meski kenyataannya memang benar Abang memiliki hubungan dengan Rena, namun tidak se-simple itu, sayang.” Suamiku terus menatap ke arahnya, mungkin dia benar-benar menantikan tanggapan dariku.
“Jadi, yang ingin Abang bicarakan sebenarnya apa? Kisah cinta Abang dan Rena? Mau menjabarkan cerita yang katanya tidak simpel itu padaku?” tanyaku kesal.
Suamiku menggelengkan kepalanya, dia sendiri terlihat sedih, hanya saja aku tidak paham sedih untuk apa.
“Sayang, Abang tidak bohong soal ini, cinta Abang cuma untukmu saja,” ucapnya.
Aku tidak tahan untuk mendengarnya hingga pada akhirnya ku tatap kedua bola mata suamiku yang menatapku dengan tatapan seolah-olah dia merasa bersungguh-sungguh dalam ucapannya. Aku tersenyum, aku benar-benar menertawakan ucapan suamiku barusan.
Konyol, sungguh itu sangat konyol sekali!
“Apa pengakuan yang Abang ucapkan sepenuh hati itu masih terlihat bohong di matamu?” tanya suamiku kecewa.
Kembali ku tatap wajah suamiku, pada akhirnya aku juga tidak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan.
“Bang,” panggilku, “Kemarin, Abang sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa Abang akan berlaku adil baik padaku dan kepada Rena. Tapi, baru satu hari Abang mengatakan akan adil, sekarang pun Abang tidak adil. Kalau abang benar-benar ingin menjadi adil, tentu saja Abang harus mencintai Rena seperti cinta abang untukku. Atau mungkin, Abang juga menggombal dengan kalimat yang sama untuk Rena?” sindir ku.
Suamiku tertunduk lesu, Mungkin dia cukup frustasi mencoba menjelaskan kepadaku hanya saja emosiku sedang tidak stabil, dan membuatku tidak menerima alasan apapun yang diucapkan oleh suamiku.
“Sayang, Rena sudah tahu benar bagaimana perasaanku kepadamu. Dia tidak pernah menuntut untuk cinta, dan dia sebenarnya adalah orang yang baik.”
Aku makin terheran-heran saja mendengar ucapan suamiku barusan. “Sudah tahu tidak dicintai oleh Abang, tapi masih mau dihamili, dan kalau dia memang orang baik, mana mungkin dia mau berada di posisinya sekarang?” tanyaku tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Tri Lani
greget sama yang namanya pelakor
2024-11-19
0
pipi gemoy
masuk logika 😂😂😂😂😂😂👍🏼👻
2024-06-29
0
Naviah
bener bener bikin geram Arthes 🤬
2024-03-07
3