“Meskipun memang benar ini adalah zaman modern, tapi memberikan nama anak juga tidak usah yang terlalu berlebihan,” peringat ibu mertuaku.
Suamiku hanya bisa memaklumi ibunya, dia menghalau nafas dan mencoba untuk menenangkan dirinya agar tak terbawa suasana.
Aku sendiri, saat itu sudah tak lagi bisa berpura-pura untuk tersenyum atau menunjukkan ekspresi lain selain aku sangat sedih saat itu.
“Nama itu tidak berlebihan, tidak berbelit, dan juga sulit pengucapannya. Nama itu sudah kami pikirkan matang-matang dari jauh-jauh hari, Ibu.” Suamiku menjawab.
Ibu mertuaku menghela nafas kasarnya, jelas dia tidak menerima alasan yang diberikan oleh suamiku.
Rasanya, Aku ingin sekali membentak ibu mertuaku seperti menantu yang tak kenal takut. Tapi, ajaran Ibuku untuk mengedepankan sopan santun begitu melekat pada diriku, sulit sekali rasanya aku menghilangkan kebiasaan itu.
“Ganti saja namanya!” Kukuh mertuaku. “Lisa, nama itu sangat bagus dan mudah pengucapannya,” ujar mertuaku tapi sama sekali tak melihat ke arahku saat mengatakan itu.
Suamiku mengernyitkan dahi, jelas suamiku tidak menyukai nama itu.
“Dengar, Arthes. Nama itu tidak terlalu penting, yang paling penting adalah pendidikan yang kau berikan kepada putrimu dan juga pengajaran bagaimana dia akan menjalani hidupnya. Percuma nama yang super modern dan juga bagus, tapi cara dia menjalani kehidupan sama sekali tidak berkelas,” ungkap ibu mertuaku.
Sebenarnya, aku sendiri tidak terlalu memahami apa maksud ibu mertuaku mengatakan hal semacam itu. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa sangat tersinggung seolah-olah ibu mertuaku sedang mengutuk diriku meski tak secara langsung.
Sejak awal pernikahan, ibu mertuaku memang sudah memperlihatkan dengan jelas rasa tidak sukanya padaku. Aku mencoba untuk memakluminya, aku hanyalah gadis yang lulusan sekolah menengah atas saat itu. Bahkan, Aku juga belum mendapatkan ijazahku karena biaya sekolah yang belum bisa dibayarkan atau dilunaskan oleh kedua orang tuaku. Berkat suamiku lah, akhirnya aku mendapatkan ijazahku!
Aku terus mencoba untuk memahami ibu mertuaku dan segala rasa tidak sukanya padaku.
Suamiku adalah lulusan sarjana ekonomi, kakaknya suamiku juga adalah seorang dokter. Tentu aja aku sudah paham sejauh apa perbedaan antara keluargaku dan juga keluarga suamiku.
Hanya saja, Aku merasa sangat lelah untuk mengerti ibu mertuaku saat ini.
“Sudah, cepat sana kau urus tentang nama anakmu supaya nanti saat pembuatan akte nama anakmu tidak keliru lagi,” peringatan lagu mertuaku lagi.
Suamiku menghela nafasnya, dia tersenyum kalau sembari menggelengkan kepalanya saat kedua bola matanya menatap ibunya.
“Maaf, Bu. Aku benar-benar tidak menyukai nama itu, meskipun aku tahu nama itu juga sangat bagus. Ibu berikan saja nama itu untuk anaknya Kakak nanti kalau kakak memiliki rencana untuk melahirkan anak ketiga,” ujar suamiku mulai menggunakan nada bicara yang bercanda agar ibu mertuaku tidak tersinggung.
Pada akhirnya, ibu mertuaku terlihat malas untuk memperpanjang masalah itu.
Dia terus mengajak bicara putriku, menyanjung fisiknya yang sangat cantik dan terus menyamakannya dengan suamiku.
Beberapa saat lalu aku memang merasa sangat bahagia mendengarnya, tapi lama kelamaan aku benar-benar menjadi sangat muak.
Apakah wajahku sangat jelek?
Aku sampai ngobatin seperti itu di dalam hatiku karena ucapan ibu mertuaku.
Terus mencoba untuk bertahan, lagi pula di ruangan itu juga ada suamiku yang terus mengajakku untuk mengobrol.
Tidak lama kemudian, kedua orang tuaku tiba di rumah sakit.
“Nak?” Panggil kedua orang tuaku kompak.
Mereka berdua langsung menghampiriku, memelukku, dan menatapku dengan sangat intens seolah-olah mereka sedang memastikan bahwa aku sedang dalam keadaan yang baik-baik saja.
Aku tersentuh melihat hal itu, kedua orang tuaku selalu mengkhawatirkanku dan tidak pernah lupa menanyakan bagaimana kabarku setiap kali mereka menghubungiku begitupun sebaliknya.
“Maaf baru sampai jam segini, susah sekali kami dapat bus tadi,” ucap Ibuku mana takut dengan tatapan soalnya dia merasa bersalah.
Ku genggam tangan ibuku, rasanya lembab karena berkeringat. Mungkin, Ibuku benar-benar berjalan dengan sangat cepat untuk bisa melihat keadaanku. Ayahku juga tampak terus menyeka keringat dahinya, dia juga pasti sangat kelelahan.
“Ayah dan Ibu tidak perlu merasa tidak enak, lagi pula aku baik-baik saja, kan?” Ujarku, berharap kedua orang tuaku tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri.
Ayahku tersenyum, meski tidak mengatakan apapun aku bisa melihat bahwa dia merasa lega saat mendapati aku dalam keadaan baik-baik saja.
Ya, Ayahku adalah pria yang paling tulus dalam mencintaiku!
Aku bersumpah, tidak ada pria sebaik ayahku di dunia ini, menurutku!
Ibuku melihat ke sekitar, dia tersenyum saat melihat ibu mertuaku yang berdiam diri terus menggendong putriku.
“Bu?” Sapa Ibuku kepada ibu mertuaku dengan senyuman yang sangat tulus.
Ibu mertuaku hanya sedikit tersenyum, jelas juga senyum itu adalah senyum yang sangat terlihat terpaksa.
Suamiku dengan segera menghampiri ayah dan juga ibuku, berjabat tangan dengan mereka.
“Bagaimana gambar ayah dan juga Ibu?” tanya suamiku sopan.
Ayahku tersenyum. “ Alhamdulillah, kami baik-baik saja.” jawab Ayahku.
Ibuku seperti merasa tidak nyaman, tentu saja aku tahu sekali itu karena ibu mertuaku yang selalu saja tak pernah mau berinteraksi dengan ibu kandungku sendiri.
Tersinggung, Mungkin memang benar Ibuku merasa seperti itu. Tapi, Aku juga yakin benar Ibuku merasa tidak perlu terlalu banyak berinteraksi dengan ibu mertuaku karena dia cukup tahu diri dan tidak ingin membuat orang tidak nyaman dengan dirinya.
“Bu, saya izin melihat cucu kita ya?” izin ibuku dengan sangat sopan kepada ibu mertuaku.
“Boleh saja,” jawabnya. “Tapi, lihat saja dan tidak usah digendong. Tangan Ibu kan kotor,” ujar Ibu mertuaku.
Ayahku langsung terdiam, sementara Ibuku hanya bisa memaksakan senyumnya saja.
Suamiku terlihat sangat tidak menyukai jawaban dari ibunya, tapi terpaksa dia menahan diri karena ada orang tuaku di sana.
Aku sendiri, tentu saja hatiku sangat sakit dan aku lagi-lagi mengutuk ucapan ibu mertuaku.
“Nak,” panggil Ibuku lembut kepadaku. “Putrimu siapa namanya?” tanya Ibuku yang pasti sangat penasaran tentang itu.
Aku tersenyum. “Gozeline Amertha, Ibu. Panggil saja, Gozel.”
Ibuku tersenyum lebar, kebahagiaan yang muncul di wajah Ibuku benar-benar terlihat sangat tulus.
“Namanya bagus sekali, Nak!” Ungkap Ibuku.
Ibu mertuaku kembali membuat ulah, dia memutar bola matanya seolah jengah.
Aku sakit melihat ekspresi ibu mertuaku barusan, tapi karena ada orang tuaku aku Tentu saja tidak boleh memperlihatkan ekspresi kesakitan pada hatiku.
Melihat ibu dan juga ayahku yang terus mencoba untuk bersikap biasa saja, jelas mereka sedang mencoba sebaik mungkin untuk tidak memulai percekcokan yang mereka anggap tidak perlu.
“Nak, anakmu punya lesung pipi juga! Saat tersenyum nanti, dia pasti akan semanis dirimu, kan?” Ujar Ibuku senang.
Gozel menguap beberapa detik lalu, dan saat menguap lesung pipi Gozel terlihat jelas.
“Dari mananya yang mirip putrimu? Kau ini ada-ada saja,” pangkas Ibu mertuaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Husna Farahdiba
Thor kok punya 13 toko baju di 3 mol tp tinggal di Kontrakan sepertinya kurang masuk akal, walaupun hnya rumah sederhana pasti punya sendiri,masa punya toko baju bnyk tp gak mikirin rumah,untuk kehidupan anak istrinya
2025-01-31
0
Yani
Ibu mertua nyebelin
2024-06-25
0
Naviah
sikap mertua yang bikin emosi, ikut campur urusan anak
2024-03-07
2