Perebutan bunda Balqis masih berlanjut hingga pada akhirnya Khalisa terlelap lebih dulu. Saat merasakan putri mereka sudah tidak bersuara dan sudah tidak ada pergerakan lagi, ayah Taqa memberi jarak dan pindah ke sebelah Khalisa. Kini posisi mereka mengapit putri semata wayang.
Ayah Taqa dan bunda Balqis menatap lama wajah teduh putri mereka. Lalu mereka saling lirik, tanpa berkata sepatah katapun, ke dua paruh baya itu seolah-olah bisa membaca pikiran masing-masing. Mereka bergantian mengecup kening Khalisa dan meninggalkan kamar Khalisa dengan langkah pelan agar tidak menimbulkan suara.
...💜💜°°°💜💜...
Menjelang shubuh semua orang tengah sibuk menyiapkan sahur pertama pada bulan suci Ramadhan, dengan di temani suara rintik hujan yang terdengar nyaring di gendang telinga. Hembusan angin masuk melewati celah-celah jendela yang terbuka. Daffa menatap ke arah luar dengan raut gelisah, hatinya seolah-olah mengatakan ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Ternyata hal itu juga di rasakan oleh sang kembaran. Dhafi yang sudah berpindah ke kamarnya juga gelisah menatap layar handphone miliknya. Di dalam kamar yang berbeda, mereka sama-sama menggumamkan sesuatu.
"Adek,"
Ya, ternyata ke khawatiran mereka memang benar. Kini Khalisa tengah jatuh sakit, demamnya begitu tinggi, membuat ke dua orang tua mereka merasa cemas, bahkan mereka belum sempat untuk sahur pada saat itu. Khalisa memang rentan sakit jika ia terlalu banyak pikiran. Hembusan nafas kasar keluar dari mulut ayah Taqa.
"Mas, bagaimana ini? Panas Khalisa belum turun juga, apa kita kabari saja ke dua abangnya?"
"Itu bukan pilihan yang tepat sayang. Biarkan si kembar fokus dengan pekerjaan mereka. Karena hari ini adalah hari peresmian kantor pusat yang ada di Jakarta. Mas tidak ingin mereka tiba-tiba pulang mendengar kabar adik mereka yang tengah sakit. Khalisa hanya belum terbiasa, kamu tahu sendiri bukan? Bagaimana dekatnya mereka sejak Khalisa bayi? Bahkan jika si kembar pergi ke sekolah, Khalisa selalu meminta ikut dan menangis jika di tinggalkan."
"Mas benar, semoga adek pulih dengan cepat. Mas, andaikan kita..."
Belum selesai bunda Balqis menyelesaikan perkataannya, vibrasi handphone bunda Balqis terdengar nyaring. Saat melihat siapa yang menelfon saat itu, bunda Balqis langsung menatap sang suami. Ayah Taqa menyuruh sang istri untuk tetap mengangkat telfon itu, namun ia meminta istrinya untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Bukan bermaksud untuk berbohong, hanya saja ayah Taqa tidak ingin fokus ke dua putranya terbagi.
"Angkat saja sayang, katakan semuanya baik-baik saja."
Bunda Balqis mengangguk dan langsung keluar dari kamar sang putri agar tidak terdengar oleh putrinya itu.
"Assalamu'alaikum, apa kabar nak?"
"Wa'alaikumsalam Bun, Alhamdulillah Dhafi dan Daffa sehat di sini. Belum juga sampai sehari kami di sini, kami sudah merindukan rumah. Sahur pertama tanpa bunda, ayah dan adek sungguh tidak menyenangkan bun. Oh iya Bun, perasaan Dhafi dan Daffa di sini tidak baik-baik saja. Apa ke adaan di rumah baik-baik saja saat ini Bun?"
Degh!
Bahkan ke dua putranya juga merasakan apa yang terjadi pada putrinya. Air mata bunda Balqis mengalir tanpa permisi. Dengan gerakan cepat, bunda Balqis langsung menghapus air mata itu.
"Bun, bunda masih di sana?"
"Eh, iya nak bunda masih disini. Alhamdulillah di sini semuanya baik-baik saja. Kalian jangan terlalu memikirkan ke adaan di rumah. Justru bunda, ayah dan adik kalian khawatir dengan kalian yang hanya tinggal berdua saja di sana. Oh iya, apa kalian sudah sahur?"
"Belum Bun, Daffa sedang menyiapkan menu sahur. Bunda dan yang lain sudah sahur?"
"Ini kami mau sahur nak. Makan yang banyak ya sayang. Bunda, ayah dan adek akan selalu mendoakan kalian dari sini. Jaga diri selalu, dan ingat jangan pernah meninggalkan sholat lima waktu. Kami akan selalu menantikan kepulangan kalian."
Setelah bercakap cukup lama, Dhafi dan bunda Balqis mengakhiri panggilan telfon tersebut, tentu saja setelah mengucap salam. Lagi-lagi bunda Balqis menghembuskan nafas kasar, lalu ia kembali menghampiri sang suami yang tengah mengompres putri mereka. Bunda Balqis duduk di samping sang putri dan menggenggam tangan putrinya dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu mereka langsung berjalan menuju ruang makan untuk bersiap sahur, bagaimanapun mereka tetap harus sahur. Di sahur pertama ini, mereka sahur hanya berdua saja tanpa ke tiga anak mereka. Sang asisten rumah tangga juga sudah menyiapkan makan sahur untuk mereka.
"Ayo sayang, kita sahur dulu. Biarkan adek istirahat. Jika sampai pagi ini panas adek masih belum turun, kita bawa adek ke rumah sakit."
"Baik mas, ayo mas, sebentar lagi imsak."
Saat tiba di ruang makan, hidangan sudah tersaji rapi. Mereka menduduki kursi dengan perasaan masing-masing yang tengah memikirkan putri mereka. Lalu mereka juga tidak lupa mengajak art mereka untuk sahur bersama. Mereka sudah terbiasa duduk semeja dengan art mereka. Dan art mereka juga sudah di anggap seperti keluarga sendiri.
"Ayo mbok, kita sahur bersama."
"Baik Bu,"
Sedangkan di apartemen si kembar, Dhafi dan Daffa sedang menyantap makanan sahur mereka setelah menggumamkan do'a.
"Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardhi syahri Ramadhana hadzihis sanati lillahi ta'ala"
Mereka makan dengan pikiran yang masih mengganggu. Walaupun mereka sudah mendapat kabar bahwa di rumah ke dua orang tua mereka baik-baik saja, tetap saja mereka gelisah. Namun mereka menepis segala rasa ke khawatiran yang berlebihan menurut mereka. Setelah makan sahur, si kembar langsung membersihkan piring kotor mereka, tak lama suara imsak terdengar menandakan waktu makan harus di hentikan. Lalu mereka bersiap untuk ke masjid, masjid tempat mereka bertemu dengan Humaira. Bukan ingin sengaja, akan tetapi masjid itu memang masjid terdekat dengan apartemen mereka.
"Ayo Fi, kamu selalu saja lelet."
"Sabar Fa, kamu ini selalu tidak sabaran."
"Astaghfirullah, sering-sering nyebut aku kalau menghadapi kembaran seperti kamu. Aku tunggu di depan ya, buruan.. ntar keburu azan."
Daffa lebih dulu keluar menuju lobby apartemen. Ia juga memanaskan mobil terlebih dahulu. Ya, mereka memang mengunakan kendaraan roda empat menuju masjid, karena kalau berjalan kaki mereka bisa terlambat jama'ah shubuh itu. Tepat saat mobil selesai di panaskan, Dhafi akhirnya menghampiri. Daffa langsung melajukan kendaraan setelah adiknya itu memasuki mobil.
Tepat saat mereka memasuki gerbang masjid, lagi dan lagi mereka bertemu dengan Humaira yang juga tengah menuju masjid bersama ibu kos tempat ia ngekos. Humaira memang sengaja jama'ah di masjid agar bisa mendengarkan kajian shubuh. Jadilah si kembar menyapa Humaira terlebih dahulu.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam, kalian juga shalat di sini lagi?"
"Iya, kita juga tinggal di dekat sini. Kalau boleh tahu, kamu kenapa ada di sini juga?"
"Karena aku ngekost di dekat sini. Kebetulan aku koas di salah satu rumah sakit tak jauh dari sini."
Si kembar tak menyangka ternyata Humaira koas di rumah sakit di kota yang sama dengan tempat mereka tinggal saat ini. Mereka memang sudah tahu jika Humaira tengah menempuh pendidikan kedokteran, tapi siapa sangka mereka berada di kota yang sama, terlebih tempat tinggal mereka berdekatan.
"Oh iya mas Daffa, mas Dhafi, saya dan ibu permisi ya. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam,"
Humaira dan ibu yang bernama ibu wati itu langsung memasuki masjid. Kebetulan mereka sudah mengambil wudhu di rumah. Ibu Wati sejak tadi mengamati dua pemuda yang baru saja berbicara dengan salah satu penghuni baru kos-kosannya.
"Neng, itu dua cowok yang barusan berbicara sama kamu cakep bener neng. Kok ibu seperti pernah melihat di mana ya. Eh neng, kalau salah satu dari mereka jadi jodoh kamu bagaimana? Kalau ibu sih yes!"
...💜💜°°°💜💜...
...To Be Continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
kasihan Khalisa sampai sakit.. karena tak terbiasa jauh dari abang abangnya. semangat, lanjut thor
2024-03-23
0