Khalisa kini sudah di pindahkan ke ruang perawatan, tentunya ayah Taqa menempatkan putrinya di ruang perawatan VVIP. Saat ini Khalisa masih tampak tertidur. Syukur panas badannya juga sudah turun. Ayah Taqa dan Bunda Balqis sudah bisa bernafas lega, begitu juga dengan ke dua putra mereka.
"Ayah, bunda, lebih baik ayah dan bunda istirahat saja di rumah. Untuk menjaga Khalisa, serahkan saja kepada Daffa dan Dhafi. Kami bisa secara bergantian untuk tidur, jika nanti Khalisa tiba-tiba terbangun."
Ya, sejujurnya tubuh yang tak lagi muda membuat ayah Taqa dan bunda Balqis harus mengistirahatkan badan mereka. Mengingat ke dua putranya bisa di andalkan, akhirnya ayah Taqa mengajak sang istri untuk pulang dan kembali lagi besok pagi.
"Ya sudah, kalau begitu ayah dan bunda pulang dulu ya nak. Kabari ayah dan bunda mengenai kondisi adik kalian. Besok ayah dan bunda akan ke sini lagi, sekalian membawakan baju ganti untuk kalian."
"Baik ayah, ayah dan bunda hati-hati di perjalanan. Ini kunci mobilnya, ayo ayah bunda, Daffa antar sampai ke parkiran."
Ayah Taqa menerima kunci mobil tersebut. Sebelum pulang, bunda Balqis mengelus kepala sang putri dan mengecup keningnya lama. Begitu juga dengan ayah Taqa. Mereka merasa iba dengan kondisi putri mereka saat ini. Namun musibah tidak ada yang tahu kapan datangnya. Dengan langkah berat bunda Balqis dan ayah Taqa berjalan keluar meninggalkan putrinya bersama ke dua putranya.
Tak lupa Dhafi menyalami ayah dan bundanya sebelum ke dua paruh baya tersebut benar-benar meninggalkan ruang perawatan tersebut. Daffa bertugas mengantarkan ke dua orang tuanya hingga ke parkiran, sedangkan Dhafi bertugas menjaga Khalisa di ruang perawatan.
Setelah menyusuri lorong rumah sakit, kini mereka sudah berada di parkiran rumah sakit. Daffa menyalami ke dua orang tuanya dengan takzim. Lalu mengucapkan kata penenang agar ayah Taqa dan bunda Balqis tidak terlalu memikirkan khalisa. Ia khawatir akan mempengaruhi kesehatan ayah Taqa dan bunda Balqis jika mereka terlalu memikirkan adik bungsunya itu. Daffa pun membukakan pintu mobil untuk bundanya. Sedangkan ayah Taqa sudah duduk di bagian kemudi.
"Hati-hati ayah, bunda. Kabari Daffa ya jika sudah sampai di rumah."
"Iya nak, kalian juga kabari bunda dan ayah mengenai kondisi adik kalian jika Khalisa sadar nanti. Bunda berharap adik kamu segera pulih."
"Aamiin Allahumma Aamiin."
Saat mobil yang di kendarai oleh ayah Taqa sudah menghilang dari pandangan Daffa, ia pun kembali berjalan menyusuri lorong rumah sakit untuk kembali ke ruangan sang adik. Namun sebelum kembali, Daffa pun berjalan ke kantin rumah sakit untuk membeli dua gelas kopi sebagai teman untuk menjaga adiknya. Namun siapa sangka saat ia menenteng kopi tersebut, ia tidak sengaja menabrak seorang wanita yang juga baru saja membeli sesuatu di kantin tersebut. Nyaris saja kopi yang di pegang oleh Daffa tumpah dan mengenai wanita itu.
Bugh!
"Astaghfirullah, maaf mbak saya tidak sengaja."
"Tidak apa-apa... Eh, mas kan yang tadi di pantai."
"Eh, mbak yang tadi juga saya tabrak di pantai dan menolong adik saya. Sekali lagi maaf ya mbak, ini sudah ke dua kalinya saya menabrak mbak."
Mereka sama-sama terkejut, lagi dan lagi mereka bertemu tanpa di sengaja dengan cara yang sama. Ya, sewaktu di pantai Daffa tidak sengaja menabrak Humaira wanita bercadar tersebut saat mengejar Dhafi yang jahil kepada dirinya hingga barang yang di bawa Humaira berserakan. Dan sekarang seperti de Javu, ke jadian tersebut terulang lagi, untung saja kopi Daffa tidak mengenai Humaira.
"Iya tidak apa-apa mas, kalau boleh tahu bagaimana ke adaan adiknya mas?"
"Huft... Adik saya terkena edema paru mbak. Sepertinya sewaktu tenggelam di pantai tadi siang, adik saya banyak meminum air dan sampai menghirupnya, untuk beberapa hari ke depan adik saya harus menjalani serangkaian pengobatan. Eh, maaf saya jadi curhat. Kalau mbak sendiri kenapa malam-malam begini berada di rumah sakit? kalau boleh tahu siapa yang sakit?"
"Pakde saya mas yang sakit, tadi sore tiba-tiba penyakit jantung pakde saya kambuh. Ini memang sudah sering terjadi. Jadi sebagai keponakannya, saya berinisiatif menjaga beliau di rumah sakit. Kalau begitu saya permisi ya mas, semoga adiknya mas lekas sehat."
"Eh, bareng saja mbak, saya juga mau kembali ke ruangan adik saya.
Humaira mengangguk canggung, ada angin apa tiba-tiba ia bisa mengobrol dengan salah satu anak ustadz yang cukup viral itu. Mana lelaki yang sekarang berjalan tak jauh darinya itu terlihat sopan dan lembut. Sangat berbeda dengan karakternya yang pendiam saat ia melihat Daffa di layar kaca. Ya, karena Daffa dan Dhafi bukan kembar identik, sehingga orang lain dengan mudah membedakan mereka.
Saat tiba di lift tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Ke adaan mendadak menjadi canggung. Walaupun mereka berada di satu ruangan yang sama, Daffa dan Hamaira sama-sama menjaga batasan mereka.
"Eh, lantai berapa mbak?"
"Lantai tiga mas,"
Daffa menekan tombol yang menunjukkan lantai tiga dan lima. Ya, Khalisa di rawat di lantai lima. Mereka berpisah saat suara lift berdenting dan pintu lift terbuka. Humaira lebih dulu keluar dan menganggukkan kepalanya tanda ia menghargai Daffa. Setelah itu pintu lift otomatis tertutup, Daffa memegang dadanya yang berdebar tidak beraturan tiba-tiba saat berdekatan dengan wanita yang barusan ia temui.
"Eh, kenapa ini jantungku. Aku tidak tiba-tiba memiliki penyakit jantung bukan? Aku masih muda, tidak mungkin. Oh tidak..oh tidak.."
Huft...
Daffa mengambil nafas sebanyak-banyaknya hingga detak jantungnya kembali normal. Tepat saat itu pintu lift kembali terbuka. Daffa langsung saja melangkahkan kaki memasuki kamar sang adik. Ia melihat Dhafi sedang duduk di samping bed hospital Khalisa sembari menatap lekat wajah adiknya.
Ceklek!
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam, kok lama banget sih Fa?"
"Tadi aku ke kantin dulu untuk membeli kopi,"
Daffa tidak menceritakan pertemuannya dengan wanita tadi kepada sang kembaran. Ia kembali teringat binar mata wanita yang ia temui, entah kenapa Daffa kembali terngiang saat wanita itu berbicara kepadanya. Kenapa ia tidak menanyakan nama wanita itu. Daffa merutuki kebodohannya sendiri.
"Kamu tidur saja Fi, biar aku yang jagain adek. Nanti kita gantian saja."
"Belum ngantuk aku Fa. Fa, andaikan adek tahu jika kita bukan..."
Perlahan mata itu terbuka, Dhafi langsung menjeda ucapannya. Untung saja Khalisa tidak mendengar apa yang ingin ia katakan. Lalu dengan cepat Dhafi menekan tombol nurse call yang ada di samping sang adik. Tak lama dokter datang memeriksa kondisi Khalisa, beruntung tubuh Khalisa menunjukkan pemulihan yang begitu cepat, kendati ia tetap harus di rawat hingga benar-benar pulih.
...💜💜°°°💜💜...
...To Be Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
apa mungkin bukan saudara kandung ya.
sebab ayahnya juga menyuruh Khalisa memakai hijab dirumah
2024-03-14
1