Setelah permainan usai, dan di menangkan oleh Dhafi, ayah Taqa membawa sang istri untuk ke kamar. Mereka juga akan bersiap untuk melaksanakan shalat ashar berjama'ah. Tinggallah tiga bersaudara di ruang keluarga itu. Lalu perlahan Dhafi memutar badannya dan menatap sang adik yang sepertinya sudah tidak lagi marah kepadanya.
"Khem, adek sudah tidak marah lagi kan? Sebenarnya ada yang mau Abang sampaikan. Maksudnya, ada yang mau Abang dan bang Daffa sampaikan."
Namun Khalisa seperti menghindari obrolan yang sudah pasti kemana arah obrolannya. Hati Khalisa belum sepenuhnya yakin bisa menerima kenyataan itu. Walaupun ia masih ragu dengan apa yang ia dengar serta mimpi yang muncul saat ia tidur, Khalisa tidak ingin terlalu memikirkannya. Ia anggap semua itu tidak pernah ada.
"Eh, sudah mau memasuki waktu ashar, Khalisa juga mau siap-siap shalat. Abang tenang saja, Khalisa tidak marah sama sekali. Assalamu'alaikum abang-abang Khalisa yang tampan."
"Wa'alaikumsalam,"
Khalisa langsung bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya. Sedangkan si kembar menatap bingung punggung Khalisa yang mulai menghilang dari pandangan mereka. Kenapa Khalisa tiba-tiba berbeda. Sikapnya tidak seperti biasanya.
"Fa, kok adek kita beda ya?"
"Sudahlah, buruan mandi. Jangan sampai nanti kamu mengendap-endap ke kamar aku ya Fi, dengan kamu yang belum membersihkan badan setelah dari luar."
"Berlebihan banget sih, Aku kok ragu kita kembar. Jangan-jangan kamu tertukar lagi di rumah sakit. Sedangkan kembaran asliku di bawa orang lain. Apalagi wajah kita tidak terlalu mirip. Secara aku jauh lebih tampan."
Dhafi menaik turunkan alisnya menatap sang kembaran. Sedangkan Daffa hanya memutar bola matanya malas. Tidak terlalu menanggapi perkataan Dhafi. Namun Dhafi yang suka sekali menaiki tempat tidurnya dan ikut tidur di atas kasurnya, tentu saja membuat Daffa selalu mengomeli kembarannya itu, karena Daffa sangat menjaga kebersihan dirinya dan juga kamarnya. Berbeda dengan Dhafi, yang sangat malas jika harus membersihkan dirinya setelah dari luar. Makanya mereka sering berdebat jika salah satu dari mereka tertukar saat di lahirkan karena memiliki kepribadian dan sifat yang sangat berbeda, tentu saja itu hanya candaan saja.
Tanpa menjawab lagi, Daffa pun langsung menuju kamarnya meninggalkan Dhafi yang melongo melihat sikap sang kembaran. Lama-lama ia semakin heran dengan kembarannya itu, super dingin dan irit bicara. Namun ia tidak bisa jauh sama sekali dengan Daffa, lebih tepatnya mereka memang tidak bisa berjauhan, mereka memiliki ikatan bathin yang sulit di mengerti oleh orang lain.
Sedangkan di tempat lain, Humaira sudah berangkat ke stasiun di antarkan oleh para sahabat-sahabatnya. Alhamdulillah sebelum keberangkatannya, sang paman sudah pulih. Beruntung masih ada Budhe nya di rumah itu yang akan merawat pak de-nya.
"Ai, kita pasti bakalan kangen kamu nanti. Sering-sering berkabar ya Ai jika kamu sudah tiba di Jakarta. Dan semoga segala urusan kamu di lancarkan di sana."
Humaira tersentuh dengan para sahabat-sahabatnya yang sampai saat ini selalu ada untuknya. Namun kali ini ia memang harus meninggalkan orang-orang tersayang. Ia ingin sekali menjadi seorang dokter yang hebat, dan beruntungnya ia bisa koas di rumah sakit ternama yang ada di Jakarta sesuai dengan impiannya. Jika beruntung, semoga saja ia bisa di rekomendasikan untuk bekerja di sana.
Setelah berpamitan dan saling berpelukan, Humaira pun berjalan menuju bus yang akan ia naiki dan melambaikan tangannya. Ia harap suatu saat mereka bisa kembali bertemu dengan versi terbaik mereka.
Kini ia telah berada di dalam perjalanan. Sepanjang perjalanan Humaira menatap hamparan jalan-jalan yang begitu indah, ia teringat kembali dengan mendiang ke dua orang tuanya, huh... Jika mengingat mendiang, ia menjadi sangat merindukan mereka, untung saja sebelum berangkat Humaira sudah menyempatkan ke makam ke dua orang tuanya.
...💜💜°°°💜💜...
"Dek, Abang mau bicara sama adek,"
Khalisa yang sudah mau berdiri usai makan malam dengan keluarganya urung mendengar perkataan sang Abang. Ayah Taqa dan bunda Balqis saling melirik. Semoga saja putri mereka bisa mengerti.
"Apa bang?"
Khalisa sudah menguatkan hatinya, sepertinya ia tidak bisa terus menghindar. Dengan mencoba menetralkan perasaannya, ia kembali duduk dan tersenyum menatap ke dua abangnya.
"Dua hari lagi kami berangkat ke Jakarta."
"Maksudnya dinas seperti sebelumnya?"
Khalisa fikir abangnya akan membicarakan perihal wanita paruh baya yang mereka jumpai di mall itu, namun ternyata bukan. Ia merasa sedikit lega, akan tetapi siapa sangka jika perkataan abangnya berikutnya mampu membuat Khalisa terdiam.
"Bukan dek, tapi sepertinya Abang Dhafi dan Abang Daffa akan tinggal di Jakarta untuk waktu yang lama. Karena kantor pusat sudah di pindahkan ke Jakarta."
Degh!
Kenapa mendengar itu membuat Khalisa lebih sakit. Jika ke dua Abangnya pergi, lantas siapa yang akan menemaninya ke manapun ia pergi seperti sebelumnya, siapa yang akan mengingatkannya untuk hal-hal kecil, siapa yang akan menjaganya seperti biasanya, siapa yang akan mengganggu dirinya seperti Dhafi yang selalu usil setiap saat, siapa yang akan membelanya seperti Daffa. Namun, sepersekian detik berikutnya Khalisa tersenyum, tanggapan yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya, termasuk ke dua orang tua mereka.
"Oh untuk pekerjaan, maksudnya Abang Daffa dan Abang Dhafi akan tetap stay di Jakarta mulai sekarang?"
"Iya, adek tidak marah?"
"Tidak, marah untuk apa. Khalisa bukan anak kecil lagi yang sebentar-sebentar marah ataupun merajuk. Khalisa juga tahu tidak ada pilihan lain selain Abang ke Jakarta. Khalisa juga paham, tidak mungkin juga jika Abang Daffa dan Abang Dhafi bolak-balik dari Bandung ke Jakarta bukan. Dan Abang-abangnya Khalisa tidak perlu khawatir memikirkan Khalisa di sini, Khalisa jauh lebih pandai menjaga diri Khalisa sendiri."
Bunda Balqis langsung mengelus kepala putrinya dengan sayang, ia tidak menyangka putri kecilnya selama ini sudah mulai dewasa. Bahkan Khalisa tidak tantrum seperti apa yang mereka pikirkan. Namun entah kenapa perasaan Daffa tidak nyaman saat ini, ia merasa Khalisa sedang menyembunyikan ke khawatirannya.
"Terimakasih ya adek, adek sudah tumbuh menjadi putri ayah yang berpikiran dewasa. Adek jangan khawatir, nanti kita bisa sering-sering mengunjungi Abang Daffa dan Abang Dhafi ke Jakarta."
"Iya dek benar, atau jika Abang Dhafi dan Abang Daffa libur bekerja, kami bisa ke sini, benar kan Fa?"
Daffa hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Namun ia bisa apa. Satu masalah yang ia takuti ternyata tidak terjadi, adik mereka sama sekali bisa mengerti mereka. Lalu ia kembali teringat dengan ucapan sang ibu yang akan menghampiri mereka ke rumah ke dua orang tua mereka. Sepertinya ia harus mengabari ibunya bahwa mereka akan tinggal di Jakarta dalam waktu yang sangat lama, agar ibu mereka tidak bertemu dengan Khalisa, ia belum siap jika Khalisa mengetahui semuanya, walaupun sebelumnya mereka sudah membahas hal ini untuk segera jujur kepada Khalisa.
...💜💜°°°💜💜...
...To Be Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
Khalisa memiliki abang abang yang hebat... lanjut thor
2024-03-16
1