Khalisa sudah mulai pulih, namun dokter belum memperbolehkan Khalisa untuk pulang. Khalisa harus di rawat untuk beberapa hari lagi. Mau tidak mau Khalisa hanya bisa pasrah dan menurut, apalagi jika ke dua Abang kembarnya sudah mengomeli dirinya jika menyangkut kesehatannya. Bahkan lebih cerewet dari pada kedua orang tua mereka sendiri.
"Bunda, ayah, adek boleh ya pulang. Adek benaran udah sehat bun, yah."
"Sabar ya sayang, adek kan dengar sendiri apa kata dokter. Sehari lagi kok, jika saat pemeriksaan nanti ke adaan adek semakin membaik, InsyaaAllah besok adek udah boleh pulang."
"Benar yang di katakan oleh bunda nak. Lagian hanya menunggu sehari lagi kan."
Khalisa akhirnya diam dan tidak lagi merengek meminta untuk pulang. Apalagi tatapan Daffa dan Dhafi sudah tidak bersahabat. Ia tahu jika ke dua Abangnya sudah mode protektif, ia tidak bisa lagi berkata apapun.
Hingga dokter datang dan memeriksa kondisi Khalisa. Dokter pun mengatakan bahwa kondisi Khalisa sudah benar-benar membaik. Dan sesuai dugaan, esok Khalisa sudah di perbolehkan untuk pulang. Dengan wajah sumringah ia langsung memeluk ibunya yang ada di samping dirinya.
"Alhamdulillah, akhirnya Bun."
Bunda Balqis mengelus kepala putrinya itu. Walaupun Khalisa bukan lagi gadis kecil, namun di matanya Khalisa tetaplah seorang putri kecilnya. Masih terbayang di benaknya bagaimana kelakukan Khalisa kecil yang begitu menggemaskan, bahkan hingga saat ini ia masih sangat menggemaskan. Dengan tubuh kecil dan imut membuat gadis berusia delapan belas tahun itu masih terlihat seperti anak kelas enam SD.
"Lain kali adek jangan nekat begitu ya. Adek tahu, jantung Abang hampir copot rasanya saat melihat adek tenggelam, apalagi adek tidak sadarkan diri."
"Ciee... Abang ternyata sayang banget ya sama adek, segitunya khawatir."
"Fa, susah ni ngomong sama adek kamu. Tentu saja Abang khawatir, tidak hanya Abang, bunda, ayah dan Daffa juga begitu khawatir, kan anak kecil, manja imut-imut seperti anak SD ini cuma ada satu."
"Bunda, lihat Abang Dhafi. Bang Daffa kenapa bisa punya kembaran yang memiliki sifat berbeda seratus delapan puluh derajat seperti bang Daffa sih."
Seperti biasa Dhafi memang selalu suka jail dengan adiknya itu. Dan tiga orang dewasa yang ada di ruangan itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak pernah capeknya Dhafi menjahili adiknya itu. Namun dengan kejahilan Dhafi terhadap Khalisa dan kadang juga kepada Daffa membuat rumah menjadi ramai.
Mereka mengobrol santai hingga suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Daffa yang lebih dekat dengan daun pintu pun berjalan untuk membukakan pintu. Ternyata saat ia membuka pintu, Humaira lah yang datang berniat untuk menjenguk Khalisa. Dengan senyuman manisnya, Daffa mempersilahkan Humaira masuk.
Ceklek!
"Eh, kamu, mau jenguk adik saya? silahkan masuk. Kebetulan di dalam ada bunda dan ayah saya."
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
"MasyaaAllah, kamu yang menolong putri bunda kan nak? Ayo sini sayang. Khalisa masih ingat bukan dengan kakak cantik yang nolongin kamu?"
Khalisa menganggukkan kepalanya, ia senang bisa bertemu dengan sosok wanita yang telah menolongnya. Ya, abangnya sudah menceritakan bagaimana kejadian saat Humaira datang dan langsung menolongnya hingga membuat Khalisa kembali sadar. Khalisa tersenyum manis ke arah Humaira dan mengucapkan terimakasih. Humaira pun balas tersenyum, walaupun tidak terlihat karena tertutup cadar, namun dari sudut matanya, mereka dapat melihat senyuman itu.
"Terimakasih ya kak, berkat kakak Khalisa masih bisa tertolong. Khalisa pikir, Khalisa tidak bisa lagi berkumpul dengan keluarga Khalisa."
"Sama-sama sayang, tidak masalah. Kakak hanya melakukan tugas sebagai hamba-Nya. Bukankah sudah tugas kita untuk saling tolong menolong."
Adem sekali hati mereka saat mendengar perkataan Humaira. Entah kenapa jantung Daffa berdebar kala mendengar suara Humaira yang begitu merdu di gendang telinganya. Sebelumnya belum pernah ia merasakan perasaan seperti ini kepada lawan jenisnya. Andaikan yang lain bisa mendengar suara debaran jantung miliknya, mungkin mereka tahu bagaimana perasaan Daffa saat ini. Bahkan pandangannya tak lepas menatap Humaira, hingga di senggol oleh ayah Taqa.
"Daffa, kendalikan mata kamu nak."
"Astaghfirullah, maaf ayah."
Daffa terlihat canggung setelah ketahuan oleh sang ayah bahwa sejak Humaira datang, pandangannya tak lepas menatap wanita bercadar tersebut. Namun ayah Taqa dapat mengetahui pikiran putranya itu, karena ia dulu juga pernah muda.
"Kalau kamu memiliki perasaan kepada gadis ini, segera lamar dia."
"Ayah ngomong apa sih yah, kenal juga belum. Main lamar-lamar anak orang saja. Mana tahu saja dia sudah menikah. Andaikan belum, mungkin saja sudah memiliki calon."
"Payah kamu ini Fa, contoh ayah dong. Tidak kenal dengan bunda, namun ayah setuju saat di jodohkan dengan bunda kalian. Bahkan pada pandang pertama ayah sudah jatuh cinta kepada bunda kamu."
Hais, kenapa ayahnya malah jadi kompor. Namun Daffa sebenarnya penasaran dengan keseharian Humaira dan juga yang lainnya. Ingin rasanya berkenalan lebih jauh, tapi ia tahu tidak di perbolehkan lelaki dan perempuan yang bukan mahram berdekatan tanpa ada ikatan pernikahan. Benar kata ayahnya, jika suka.. Maka ia harus melamar gadis ini. Kenapa ia malah ingin sat set seperti ayahnya. Beginikah menjadi anak seorang ustadz?
Beruntung pembicaraan dua lelaki beda generasi itu hanya di dengar oleh mereka berdua, karena ayah Taqa dan Daffa berdiri agak jauhan dari yang lain. Mereka pun berbicara dengan sangat lirih, nyaris tidak terdengar.
"Oh iya Tan, Khalisa, kalau begitu Aira kembali dulu ya ke ruang perawatan pak de Aira. Tadi Aira mengatakan hanya sebentar."
"Iya nak, salam ya sama pak de nak Aira."
Mereka cipika-cipiki sebelum Humaira meninggalkan ruang perawatan Khalisa. Lalu Humaira pun mengucapkan salam kepada semuanya.
"MasyaaAllah, andaikan salah satu dari kalian berjodoh dengan nak Humaira. Cantik, baik, lembut. Benar-benar calon mantu idaman sekali itu. Benar kan mas?"
"Benar sayang, mas setuju saja kalau sayang sudah berpendapat begitu."
"Aih, bunda dan ayah selalu saja ngebucin di depan anak-anaknya. Tapi bunda tahu dari mana jika kak Humaira cantik? kan tidak terlihat Bun."
"Feeling seorang ibu nak. Dari matanya saja bunda bisa yakin, bahwa nak Humaira itu sangat cantik."
Mendengar perkataan sang bunda, Daffa kembali tersenyum. Ia benar-benar seperti orang gila saat ini. Bahkan kali ini Dhafi yang melihat dirinya bertingkah tidak seperti biasanya. Sepertinya Daffa benar-benar sedang merasakan apa itu jatuh cinta. Seorang Daffa yang biasanya cuek, cool dan tidak terlalu memikirkan wanita, kini justru malah sebaliknya. Hanya mengingat suaranya saja, membuat perasaan Daffa menghangat.
"Ini kenapa lagi kamu Fa, kamu amankan?"
"Eh!"
...💜💜°°°💜💜...
...To Be Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Hujan dan gugur
VVIP GK tuch😗
2024-11-30
1
Nurgusnawati Nunung
InsyaAllah jodohnya Daffa ya.
2024-03-14
1
Ningmar
pokok e lanjut thor.
2024-03-04
1