Ah, otakku masih kepikiran kejadian satu minggu yang lalu, aku harus mulai move on, nih? Kok agak gak rela, ya? Suka sama Azam selama satu setengah tahun tentu akan meninggalkan bekas. Hm, cinta bertepuk sebelah tangan aja segini sakitnya, gak kebayang rasanya kalau cinta dikhianati. Amit-amit.
Untungnya aku bukan orang yang mudah depresi, jadi ditolak Azam tidak membuatku berhenti beraktivitas. Aku masih makan, minum, buang air, ngetawain orang, dan bergosip seperti biasa.
Tapi itu tentu kalau di sekolah, kalau sedang sendirian di kamar aku sering ngerasa ngenes juga. Untunglah banyak orang yang juga tidak bisa berpacaran dengan cinta pertamanya, bahkan ada yang memendamnya terus sampai dewasa. Jadi aku merasa cukup bersyukur karena bisa menyatakan perasaanku, walau diacuhkan. Cih.
Seharusnya aku mengerjakan tugas untuk besok, tapi moodku benar-benar jelek. Jadilah aku hanya rebahan ria di atas kasur. Masih ada Ayu yang bisa aku contek besok, haha. Punya teman pintar itu harus dimanfaatkan dengan baik. Asal bertemannya bukan untuk memanfaatkan aja, tetapi saling memanfaatkan. Soalnya aku juga gak mau kalau cuma dimanfaatkan sama orang lain.
Sebenarnya aku ingin curhat pada Ayu, tapi aku malas jadi bahan tertawaan. Apalagi mulut Ayu itu kayak ember bocor, hari ini aku cerita, besok berita itu pasti langsung diketahui oleh anak-anak di kelas. Tapi, kalau gak curhat rasanya seperti ada yang mengganjal di hati. Benar-benar dilema.
Apa aku curhat aja, ya? Mungkin Ayu masih punya hati nurani, aku kan benar-benar sedih. Hal seperti ini tentu dia tidak akan menyebarkannya kan? Tapi aku kok jadi ragu, ya?
Ah, aku benar-benar tidak bisa memendamnya lagi. Aku butuh pelampiasan. Aku ingin mengeluarkan semua unek-unek di kepala. Aku ingin berhenti memikirkan Azam dan fokus pada kebahagiaanku. Tuh, kalau bahas kebahagiaan, seketika aku ingat bakso, makanan paling enak se-Tasikmalaya. Hm, jadi lapar.
Apa aku pergi beli bakso saja, ya? Memikirian kuah bakso membuat selera makanku tumbuh dan aku yakin aku bisa melupakan Azam walau sedikit.
Aku pun segera berganti baju, lalu meminta izin keluar pada keluarga. Di ruang tengah, ayah sedang menonton TV bersama Kak Ani, Eni, dan Ana. Sungguh kreatif sekali ayahku ini, semua anaknya diberi nama yang sungguh dekat. Mana tiga huruf semua pula. Keluarga ini juga tidak mengikuti program pemerintah, dua anak lebih baik. Jadilah bekalku harus seminimal mungkin ke sekolah.
Tidak apa-apa sih, toh aku sayang mereka. Apalagi Ana, usianya baru tiga tahun, masih lucu-lucunya, walau kadang ngeselin karena ingin pergi ke sana ke mari. Di bawah terik matahari pula.
Sementara Eni sudah duduk di kelas VI SD sekarang, lagi masa-masa lebih suka main sama teman daripada kakaknya. Jadi paling kami hanya bertemu dari sore sampai pagi saja. Siangnya dia sekolah dan main entah di rumah siapa.
Aku paling dekat dengan Kak Ani, mungkin karena usia kami pun cukup dekat. Hanya berbeda tiga tahun. Dia paling sering merecokiku tentang merawat dan menghias wajah, hal yang hanya masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan. Apalagi sekarang dia sudah bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, setiap gajian dia pasti membeli make up baru dan memamerkannya padaku. Menyuruhku mencobanya juga, atau kadang aku jadi kelinci percobaannya untuk didandani.
Aku menghampiri ayah yang duduk di sofa bersama Teh Ani, sementara Eni dan Ana duduk lesehan di bawah.
"Yah," sapaku ikut duduk.
"Mau ke mana, Na, udah rapi gitu?" Malah Kak Ani yang menanggapi, sementara ayah hanya menoleh.
"Aku boleh minta uang gak, Yah? Mau beli bakso." Aku memasang wajah paling memelas yang kupunya, aku baru ingat enggak punya uang, karena minggu ini ada buku yang harus aku beli.
"Makan di rumah aja! Ini nasinya sudah matang." Teriakan ibu dari dapur menghentikan tangan ayah yang hendak mengambil dompet. Aaaahh, gagal deh makan bakso. Ya sudah, makan di rumah saja.
***
Aku sudah selesai makan, masakan ibu memang paling oke deh. Tadi lauknya ada ikan Gurame goreng sama goreng tempe tahu, sambal dan lalapan. Nikmat. Perutku sampai penuh, dan sekarang aku ngantuk, tapi katanya selesai makan gak boleh tidur.
Aku masuk ke dalam kamar, sebenarnya kamar ini bukan hanya punyaku, tapi punya Eni dan Ana juga. Sementara Kak Ani punya kamar sendiri, karena barang-barangnya cukup berbahaya kalau dimainkan Ana. Ya, memangnya siapa yang mau lipsticknya dipakai menggambar di tembok?
Aku menghampiri meja belajar, kukerjakan saja tugas untuk besok. Karena aku benar-benar gabut, dan kalau rebahan dijamin pasti langsung tidur.
Suara nada dering khas HP Samsung terdengar, uh, itu suara panggilan masuk. Di mana aku meletakkan gawaiku tadi? Aku pun membuka laci meja belajar, mencari di bawah tumpukan buku, dan mencari di bawah bantal. Tidak ada.
Suara deringnya berhenti, lalu berbunyi lagi. Ah, aku ingat, gawaiku pasti masih ada di tas sekolah. Segera aku membongkar tas gendong hitam polos yang sudah menemaniku satu tahun setengah ini, dan benar saja, gawaiku ada di sana.
Aku segera menekan tombol hijau saat membaca nama Ayu tertera di layar. "Halo, Yu, kenapa?"
"Besok ada tugas, gak? Aku masih di nikahan sepupu." Ah, aku baru ingat, Ayu memang sedang sibuk dari dua hari lalu. Padahal bukan dia yang mau menikah, tapi malah Ayu yang paling rempong. Sepupunya memang sangat dekat dengan Ayu, jadilah segala hal harus bersama Ayu.
"Ada, tugas Matematika. Kamu gak masuk kan besok?" Aku menyandarkan punggung pada kursi, soalnya baru kukerjakan dua biji. Nanti akan aku lanjut setelah telepon ditutup. Aku bukan Ayu yang masih bisa berpikir meskipun mulutnya sibuk berbicara.
"Enggak, bisa ngamuk Teh Nia kalau aku gak hadir di nikahannya, alamat dipecat jadi sepupu itu mah. Kalau Bu Fira nanyain bilangin aku izin, ya." Terdengar suara berisik dari sebrang, pasti keluarga dari mempelai perempuan sedang berkumpul semua.
Aku mengernyit heran, "Memangnya kamu gak ngirim surat izin ke sekolah?"
"Kirim sih, tapi biasanya guru kan kadang gak tahu."
"Oh, oke, nanti aku bilangin." Lalu hening, Ayu tidak membalas. Aku pun mengungkapkan kecurigaan, "Kamu gabut banget, ya, sampe buang-buang kuota begini?"
Terdengar tawa renyah dari sebrang, "Aku lagi capek, males kerja, jadi aku nelpon kamu biar dianggap lagi sibuk."
Ah, aku menggelengkan kepala. Tidak penting sekali. Lebih baik aku tutup saja. Untungnya aku mengerjakan tugas sekarang, kalau tidak besok aku pasti keteteran karena Ayu gak masuk. Memang masih ada teman yang lain, tapi cuma Ayu yang gak pelit bagi-bagi jawaban. Dia nilainya selalu gede sih, aktif juga di kelas, jadi gak khawatir kalau orang lain akan mengambil posisi juaranya.
"Aku tutup, ya. Belum selesai ngerjain tugas." Aku bersiap menekan tombol berwarna merah, tetapi Ayu berteriak, membuat telingaku berdengung. "Tunggu!"
"Jangan ditutup dulu dong, aku mau cerita nih." Aduh, pasti bakal lama kalau Ayu udah mulai cerita, aku juga lagi males mikir, sih. Tapi ini tugas dikumpul besok, jadilah aku menyalakan loud speaker, dan menyimpan ponsel di atas meja. Biarkan saja Ayu nyerocos, aku akan menyelesaikan tugas dulu.
"Teteh, berisik! Eni sama Ana mau tidur." Ups, aku pun cengengesan, lalu membawa buku dan ponsel pindah ke ruang tengah.
Aku lanjut mengerjakan tugas, sementara Ayu menyerocos yang hanya kujawab dengan wah, oh, hm, dan ya. Untunglah soalnya tentang matriks, jadi tidak terlalu sulit. Sepuluh soal selesai dalam waktu lima belas menit. Ya iyalah, cuma penjumlahan dan penguran mah gampang. Coba kalau udah bahas invers dan determinasi, pening langsung nih kepala.
Aku pun mulai fokus pada suara Ayu, dia masih belum lelah bercerita. Hebat banget ini anak berbicara lima belas menit non-stop. Emang gak salah aku ngasih dia julukan sebagai sahabat tercerewet se-Tasikmalaya.
"Tahu gak sih? Itu cowok ternyata kakak kelas kita! Aku heran juga sih ngapain dia ada di toko pakaian dalam perempuan. Sumpah ngakak banget! Ternyata dia dipaksa sama pacarnya! Gila gak tuh cewek, masa maksa cowok ke tempat begituan." Ayu mengambil napas sejenak, lalu melanjutkan. "Ternyata eh ternyata, si ceweknya nganter adik si cowok buat beli dalaman, dan sialnya si cowok ini kebagian sebagai supir. Untungnya dia cuma nunggu di luar, kalau di dalam dia pasti di keroyok sama cewek-cewek, haha!"
Aku ikutan tertawa, ada-ada saja. Kenapa itu cowok gak nunggu di parkiran aja coba? Bucin banget apa takut sama pacar dia tuh? Heran.
"Terus nih ada satu lagi cerita kocak. Ada bapak-bapak, dia mau beli BH buat istrinya, tapi gak tahu ukurannya. Si Mbak kasirnya bingung dong, terus si Bapak ini dengan polosnya bilang gini, 'Saya gak tahu ukurannya, Mbak. Tapi kira-kira sebesar ini.' Anjir banget gak, sih? Dia mengangkat tangannya ke dada dan memeragakan seolah sedang memegang punya istrinya. Gila, langsung ngakak tuh semua orang yang ada di sana. Porno bener deh ini bapak-bapak."
Aku tertawa ngakak, ni bocah mau beli pakaian dalam aja banyak banget deh ceritanya, mana gak difillter pula omongannya. Untunglah keluargaku sudah pada tidur, kalau enggak, bisa gawat tuh.
"Aduh, Na. Aku capek nih nyerocos terus!" Lah, siapa suruh? Dia yang mau cerita sendiri, kok.
Tapi ditelepon Ayu seperti ini membuat perasaanku cukup tenang, aku bisa melupakan kesedihan karena diabaikan Azam. Walau sekarang jadi ingat lagi, tsk.
"Giliran kamu cerita dong, jangan cuma aku doang yang ngebacot."
Aku meringis, malas banget harus nyerocos kayak Ayu. Kemampuan mulutku untuk bercerita panjang kali lebar jauh di bawah Ayu. Tapi, apa aku ceritakan saja ya kejadian minggu lalu ke Ayu?
Setelah menimbang-nimbang sebentar, aku pun memutuskan untuk menceritakannya.
"Minggu lalu ...." Mulaiku dengan suara lirih.
"Ya, kenapa minggu lalu, Na?" Suara Ayu terdengar penasaran.
Aku menatap langit-langit kamar, "Janji dulu jangan ketawa! Nanti baru aku lanjut cerita."
"Duh, ada apa sih ini? Aku makin penasaran, nih! Janji deh gak bakal ketawa, janji!" Suara Ayu terdengar bersemangat. Suara berisik sudah tidak terlalu terdengar, sepertinya dia pindah tempat. Ya kalau aku jadi dia juga bakal malu sih nyeritain tentang kejadian di toko pakaian dalam dengan suara toa di depan keluarga.
Aku menghembuskan napas berat, lalu mulai bercerita. "Minggu lalu aku nembak Azam."
Terdengar suara benda jatuh dari sebrang. Anjir, apaan tuh? Ayu gak ngejatuhin ponselnya sendiri kan?
"Maaf, maaf. Aku lagi makan, barusan sendokku jatuh." Syukurlah cuma sendok. "Tapi demi apa kamu nembak Azam? Kapan tepatnya? Gimana ceritanya? Jelasin secara rinci! Kok aku gak tau berita besar gini, sih? Kenapa gak cerita dari dulu? Terus gimana respon Azam? Kamu diterima? Jadi sekarang kamu pacarnya Azam?"
Astagfirullah. Aku mengelus dada. Ini bocah satu pertanyaannya banyak banget. Aku sampai bingung harus jawab yang mana dulu.
"Tenang, Bu. Situ nanya yang mau curhat apa interogasi, sih?"
"Maaf, maaf. Terlalu antusias. Ceritain kronologinya coba!" Perintahnya mutlak tidak mau dibantah.
Akhirnya aku menceritakan semua kejadiannya, dan seperti yang kuduga, Ayu ngakak gak ketulungan. Semoga dia keselek! Enak banget ngetawain penderitaan orang!
"Anjir, Na. Kocak banget! Parah! Lagian kamu suka kok sama patung? Seharusnya kamu pukul aja kepalanya waktu itu. Siapa tahu otaknya jadi waras lagi, haha."
Aku mencebik, "Entah, kenapa coba aku suka sama Azam?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang tidak bisa kujawab sampai sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Fie
🥳🤣🤣🤣🤣
2020-09-03
0
Tuti haryati
🤣🤣🤣🤣🤣
2020-07-12
0
Hanifah
ngakak sumpah 🤣🤣🤣
2020-02-11
0