"Gak kerasa ya kita udah kelas XI aja." Ayu tiba-tiba jadi mellow. "Satu setengah tahun lagi kita bakal bebas dari rutinitas membosankan ini!" Walau mulutnya terus berbicara, tangan Ayu tidak berhenti menulis jawaban di LKS. Keren sih, dia bisa mikir sambil berceloteh gitu. Anak dengan IQ Superior mah emang beda, ya.
"Kalian mau jadi apa setelah lulus nanti? Aku sih masih bingung antara kerja, kuliah, atau nikah. Haha. Sayangnya pilihan terakhir masih terkendala calon yang masih belum kelihatan hilalnya." Lagi-lagi Ayu bersuara. Salut, ini bocah masih berani bersuara walau keadaan kelas sangat sepi. Mental baja banget. "Aku yakin Sopa bakal kuliah, Septi sih antara kuliah atau nikah, Leli kayaknya nikah, kalau Ina aku masih belum bisa melihat masa depan cerah darinya. Gelap. Suram." Suaranya terdengar sangat dramatis di akhir.
Seketika aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang menulis, lalu menendang kursi yang diduduki Ayu. Kebetulan aku duduk tepat di belakangnya. Inginnya sih kujitak juga kepalanya, sayang kejauhan. Aku sedang malas berdiri.
"Tuh mulut minta dicabein banget." Aku menatapnya kesal, kalau udah ngomong Ayu memang suka lupa ngerem. Mana omongannya ngeselin semua lagi. Bikin orang naik darah aja.
"Lah, aku serius loh padahal." Ayu membalikkan badan, menatapku tidak mau kalah. "Kerjaan kamu kan tiap hari cuma mandangin si patung itu, gak ada faedahnya banget."
"Apaan?! Kapan coba aku mandangin dia?" sahutku tidak mau kalah juga, aku mengerti dengan jelas siapa yang dia maksud. Azam, cowok yang aku taksir sejak kelas X.
"Ina mah bucin yang gak sadar diri." Soni menyeletuk, membuatku bertambah kesal.
Lagipula Ayu ngapain sih ngobrolin hal itu di saat kelas kosong begini? Mana pas suasana sepi lagi. Mancing keributan aja. Ketua kelasnya juga acuh banget, bukannya disuruh diam malah ikut-ikutan. Pada senang banget ngeledek aku tuh.
Iya, Soni itu walau wajahnya blangsak, penampilan kayak preman, dan selera humor yang jongkok, tapi dia adalah seorang ketua kelas. Eits, jangan salah sangka dulu, ia dipilih bukan karena pintar, bijaksana, atau sifat lain sebangsanya. Tapi merupakan hinaan karena dia suka bolos. Kelasku memang seaneh itu. Ketika kelas lain mempunyai ketua kelas yang bisa diandalkan, kelas XI MIA 1 ini malah sebaliknya. Kelas bobrok emang.
"Apa-apaan?! Aku enggak bucin, ya!" Inginku membalikkan meja dan menendang orang-orang yang memanggilku bucin, sayang itu hanya akan meredakan kekesalanku sejenak, karena besok mereka pasti akan mengulanginya lagi. Buang-buang energi saja.
Sejak mereka tahu kalau aku suka sama Azam, hampir semua orang di kelas memanggilku bucin. Padahal aku sama sekali enggak ngelakuin apa-apa buat Azam, emang dasar ya teman-temanku ini gak ada yang sadar diri. Padahal aslinya mereka yang tingkat bucinnya gak ketolongan.
Lagi-lagi karena Ayu rahasiaku itu bocor. Mulutnya yang blong itu memang selalu mengundang bencana, terutama untukku. Lama-lama aku pecat juga dia dari jabatan sahabatku. Huh.
Jadilah aku dikenal sebagai Ina si bucin, padahal aku lebih suka dikenal cantik dan manis, karena itu memang kenyataan. Semua ini gara-gara Azam si hidung perosotan itu! Padahal aku nyapa dia aja belum pernah!
"Betewe, Na." Sopa, teman sebangku Ayu memasuki obrolan. "Kamu jadi bucin lemah udah setahun lebih, loh, yakin masih gak mau nembak dia?"
Nah, apa maksudnya bucin lemah coba?! Gak ngerti aku. Kenapa pula dia malah bahas ke situ, sih? Ini teman sebangku emang paling kompak, kompak membuatku terpojok! Seenggaknya bisa kan bahas hal begini kalau yang kumpul cewek aja? Jangan di kelas juga! Aku malas jadi bahan tertawaan! Dasar pada gak peka!
"Iya, Na, Si Patung kan di sekolah cuma tinggal empat bulanan lagi." Leli, gadis yang hobi memakai bros bunga ikut-ikutan, padahal dia udah jadi teman sebangkuku sejak kelas sepuluh, kok masih tega memojokkanku? Dasar gak setia kawan! Dia malah ikut-ikutan manggil Azam patung lagi.
Ini ibu Desti kenapa malah gak masuk, sih? Kenapa ibu harus ada acara di saat yang gak tepat seperti ini? Kenapa, Bu? Kenapa? Jelaskan padaku! Lah, kenapa aku malah ngedrama, sih? Ck, ck, ck, susah sih kalau udah jadi korban sinetron begini.
"Diam kalian! Tahu kan, aku nyapa aja belum pernah, gimana mau nembak? Auto ditolaklah." Kepalang tanggung, aku curhat aja sama semua anggota kelas sekalian.
Nah, kan. Emang durjana semua teman-teman sekelasku, mereka malah ketawa ngakak. Emang bisanya pada bacot doang, nyuruh-nyuruh.
Eh, Ina, jangan kasar begitu! Batin suciku berteriak. Oke, maafkan aku.
"Cup, cup, cup. Kasihan sekali anak ayam kita." Septi menepuk-nepuk pundakku dari belakang, suaranya sarat akan rasa kasihan, dan kalimatnya benar-benar menyebalkan.
"Siapa anak ayam?!" seruku tidak terima. Lalu pecahlah perang antara Ina vs anggota kelas XI MIA 1.
Setelah capek adu mulut, aku kabur ke toilet. Duh, sebenarnya haus, tapi air minumku sudah habis. Mau beli air sayang uang, bentar lagi juga bel pulang. Kalau gerbang dibuka aku bakal langsung pulang. Eits, aku ke toilet bukan buat minum, ya. Emangnya aku apaan minum air keran? Air galon pun sudah cukup untukku.
Aku mau cuci muka sekalian ngadem, karena toiletnya di pinggir mushola, jadi ada tempat duduk di sana. Semoga gak ada guru sih, biar aku bisa nongkrong sebentar. Kalau hoki, bisa aja kan aku ketemu Azam di sana.
Berbicara tentang Azam, meskipun tadi di kelas aku menolak habis-habisan ide mereka untuk menembak Azam, aku akhirnya kepikiran juga. Nyawa Azam di sekolah ini cuma tinggal menghitung bulan, dia bakal lulus dan gak mungkin ketemu aku lagi. Ya, secara aku nyapa dia aja belum pernah, ada angin apa kami bakal ketemu setelah lulus? Ih, kok jadi sedih. Gini amat nasibku.
Apa aku harus nembak Azam aja, ya? Tapi, masa langsung nembak, sih? Gak ada prolognya dulu gitu? PDKT misalnya, gimana kalau nanti dia kaget, terus kejang-kejang dan akhirnya mati? Gagal deh aku pacaran sama cinta pertamaku. Hilih.
Kalau Ayu bisa membaca pikiran, dia pasti akan berkomentar, "Drama mulu."
Ah, gara-gara mikirin Azam, aku jadi kelamaan di toilet. Jiah, untung aku sendiri. Soalnya kalau ke WCnya bareng salah satu dari empat temanku, apalagi kalau sama Ayu, toilet pasti berubah jadi tempat curhat. Heleh. Bisa-bisa empat puluh menitan tuh di WC.
Aku mencuci tangan, lalu keluar dari toilet. Niatnya sih mau langsung balik ke kelas, soalnya tugasku belum selesai. Tadi malah diajak perang, sih. Akan tetapi, kejutan! Aku melihat Azam di sana, duduk di kursi yang menghadap langsung ke toilet. Biasanya tempat duduk itu digunakan buat nunggu antrian masuk ke toilet. Dia menunduk, nampak fokus pada gawainya.
Ah, sial. Kenapa harus ketemu dia di saat aku lagi galau gini, sih? Kan sekarang aku jadi bimbang. Tembak atau jangan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
kim nika
hahaha... sama kyk kelas aq ketua kls dipilih bukan krn hal baik" tpi krn hal yg gk baik"😂😂😂 emang dasar kelas ku bobrok 😂😂😂
2020-07-13
0
Ifha Yuniar
ngomong sendiri.u twrlalu panjang tp tetap lanjut bc
2020-06-13
1
Shesa (Emon)
.semangatt ka, jgn lupa mampir di karyaku y yg judul nya Mr.Tan
2020-04-27
0