Dila dan Zafar berjalan masuk ke dalam rumah dapat mereka lihat Dion yang tertidur di paha adiknya dan Michael yang juga tidur bersandar di sofa.
"Aku teringat ketika mereka kecil juga seperti ini," ujar Dila tersenyum tipis.
"Biarkan saja mereka tidur nanti makan malam saja kita bangunkan," balas Zafar melarang istrinya membangun anak-anaknya.
Dila mengangguk membiarkan kedua putranya tertidur di posisi seperti itu, Dila membawa selimut dan menyelimuti anak-anaknya tidak lupa ia mengecup kening mereka.
"Ayo kita bicara sayang," ajak Zafar merangkul pinggang istrinya.
Dila dan Zafar melangkah ke ruang kerja yang terletak di lantai satu dekat ruang keluarga Zafar mengunci pintu dari dalam, ia mendaratkan bokongnya ke sofa dan begitu juga dengan Dila.
"Bagaimana penilaianmu terhadap Aurora?" tanya Zafar meminta pendapat Dila tentang calon menantunya.
"Aku menyukainya sepertinya dia gadis yang menarik," jawab Dila mengutarakan penilaiannya. "Aku penasaran apa alasanmu memilihnya?" tanyanya.
"Tidak ada alasan. Gadis itu membuatku teringat akan seseorang," jawab Zafar.
"Yang kau katakan benar, gadis itu mengingatkan kita akan seseorang," sambung Dila mengangguk setuju.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aurora berlari tidak tentu arah sampai ia merasa sesak pada dadanya sehingga ia berhenti dan mengatur deru nafasnya yang tidak normal.
Aurora mengedarkan pandangannya menyadari jika ia sekarang lagi berada di taman yang berjarak sekitar 1 KM dari panti asuhan.
Aurora berjalan sedikit lalu menghempaskan bokongnya kasar di atas bangku. Dia menghembuskan nafas kasar sembari menyentuh kepalanya, "ibu jahat!"
Aurora menjerit begitu kuat dan tidak mempedulikan akan tatapan dan penilaian orang-orang yang berada di taman itu.
Setelah dirasa tenggorokannya sakit akhirnya Aurora menghentikan teriakannya, dia juga merasa haus Aurora merogoh sakunya dan ia cukup beruntung terdapat selembar uang hijau di dalamnya.
Dia melangkah kakinya menuju area kolam yang terdapat penjual minuman, ia cuma membeli air mineral saja tidak lupa ia minta kembalian.
Aurora duduk di atas rumput dekat dengan bibir kolam, ia membuka minumannya lalu minum dalam sekali teguk. Aurora menurunkan botol bisa ia lihat orang-orang yang datang ke taman ini ada bersama keluarga, teman maupun kekasih.
Sampai pandangannya jatuh pada sebuah keluarga yang duduk di bawah pohon, keluarga itu terdiri dari dua orang dewasa dan satu orang anak kecil yang berumur sekitar 5 tahun. Keluarga itu terlihat bahagia ayah yang bermain gitar untuk putrinya dan ibu yang menyuapi anaknya.
Melihat hal itu tanpa Aurora sadari ia meneteskan air matanya, dia merasa iri sekaligus sedih.
Aurora berandai-andai jika ia memiliki orang tua pasti dia tidak akan tinggal di panti asuhan, ketika dia pulang ke rumah akan ada orang tua yang menyambutnya, jika ibunya sedang memarahinya ayahnya akan membela, lapar bisa ia rasakan masakan buatan dari ibunya yang dibuat dengan penuh cinta, dan terakhir jika ada seseorang menyakitinya akan ada figur seorang ayah yang memasang badan untuk membela dirinya.
Namun, itu semua cuma khayalan karena sampai kapan pun ia tidak akan pernah merasakan hal tersebut karena dia cuma anak yatim piatu.
Aurora bangkit dan menepuk pelan bagian belakang dan memilih pergi dari sana karena ia merasa seperti ada sebuah pedang yang menusuk hatinya jika berlama-lama di sana.
...----------------...
Rani berjalan mondar-mandir di depan pintu dirinya merasa sangat khawatir dan cemas melihat langit telah gelap namun, Aurora belum pulang.
Dia sudah meminta anak-anak lain untuk mencari Aurora dan mereka tidak menemukan keberadaannya.
Rani berbalik menangkap siluet bayangan menuju ke arahnya, ia melihat siluet itu Aurora berlari kecil ke arahnya dan berhenti tepat di depannya.
Rani bisa melihat mata putrinya yang sembah dan rambut yang acak-acakan, Rani rasa ia tidak perlu berbasa-basi bertanya apa yang terjadi padanya.
"Pergilah bersihkan tubuhmu setelah itu makan," ujar Rani sambil mengusap pundak Aurora.
Aurora melenggang masuk begitu saja tanpa menggubris ibu asuhnya, Rani cuma bisa mengelus dadanya sembari menghembus nafasnya kasar.
Rani masuk ke dalam menuju ruang makan yang sedang dibersihkan oleh petugas dapur karena anak-anak lain telah melaksanakan makan malam.
"Tolong siapkan makanan untu Aurora," pintanya pada petugas dapur bernama Boby.
Boby mengangguk lalu pergi sepertinya dia menjalankan perintah darinya. Rani menarik salah satu kursi dan mendaratkan bokongnya.
Rani menggusar rambutnya ke belakang secara kasar, dan ia memegang kepalanya dengan tangannya bertopang di atas meja. Jika boleh jujur Rani rasanya ingin memarahi Aurora karena telah pergi tanpa izin darinya dan pulang begitu larut, tapi tidak ia lakukan karena dia sadar bahwasannya Aurora itu masih anak-anak dan emosinya belum bisa terkontrol.
Boby kembali membawakan sebuah nampan berisikan sepiring nasi dengan ayam goreng dan semangkuk sup, dan segelas air putih.
Boby menyodorkan secangkir teh pada Rani, "minumlah ini mungkin anda akan merasa lebih baik," ucapnya.
"Terima kasih," balasnya singkat.
Boby pergi dan tidak lama kemudian Aurora masuk ke ruang makan dengan penampilan yang lebih baik daripada barusan.
"Duduklah terus makan," ucap Rani lembut.
Aurora menarik kursi lalu duduk terus ia memasukkan makanan ke mulutnya tidak ada pembicaraan apa pun sampai Aurora menghabiskan makanannya.
Rani menarik nafas dalam sembari menatap lekat wajah putri asuhnya itu dan Aurora juga menatap ibunya.
"Aurora ibu ingin bicara," ujar Rani.
"Bicara saja," jawabnya datar.
"Apa keputusanmu sayang?" tanyanya lembut tapi dengan raut wajah penasaran.
"Aku tidak tahu." Aurora menjawab dengan melipatkan kedua lengannya.
Mendapatkan respon seperti itu dari Aurora hanya membuatnya ingin mengeluarkan kata-kata mutiara tapi ia menahan dirinya.
Aurora melihat ibunya diam memalingkan wajahnya ke samping lalu kembali menatap Rani sampai pandangan mereka bertemu.
"Ibu apa aku boleh bicara?" tanya Aurora.
Rani mengangguk.
"Ibu, berikan aku waktu untuk berpikir tentang permintaan tuan Zafar serta istrinya karena ini hidupku," ujar Aurora dengan tegas dan penuh penekanan.
Mendengar ucapan putrinya yang tegas membuat Rani menarik tipis sudut bibirnya dan menyentuh punggung tangan Aurora.
"Ibu akan berikan kamu waktu untuk berpikir tidak perlu terburu-buru pikirkan ini dengan pikiran dan hati yang tenang. Setelah itu, kamu bisa sampaikan keputusanmu ibu akan menerima dan mendukungnya," tutur Rani lembut seraya mengusap punggung tangan Aurora.
"Makasih ibu."
"Ini sudah larut pergilah tidur," ucap Rani.
Aurora mendorong kursi lalu merapikannya terus ia pergi dari ruang makan meninggalkan Rani seorang diri.
Rani menopang kepalanya dan memijit pelipisnya yang terasa sakit, "aku harap kau membuat keputusan yang tepat Aurora," ucapnya lirih.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments