Ichank sudah menunjukkan kembali semangatnya, meskipun sesekali termenung. Tapi itu tidak terlalu jadi masalah bagi Bu Irna dan Pak Halim. Mereka nampak berbahagia, Ichank kini kembali ceria seperti Ichank yang mereka kenal.
"Ada apa sebenarnya, Bu, dengan anak kita? Dia tidak mau cerita apa-apa. Apakah ini berkaitan dengan ketidakhadiran menantu kita Neng Syafa? Sebetulnya ada masalah apa dengan mereka, apakah mereka sedang bertengkar?" tanya Pak Halim kepada Bu Irna istrinya.
Bu Irna hanya membalas dengan gelengan kepala, diapun tidak tahu sebenarnya anak lelaki pertamanya memiliki masalah apa. Dan Ichank tidak mau cerita sama sekali. Kalau ditanya, Ichank hanya berlalu dan menyendiri di belakang rumah. Pada akhirnya mereka tidak bertanya-tanya lagi terhadap Ichank mengenai apa-apa termasuk rumah tangganya.
Ichank kembali ke kebun bersama Pak Halim untuk mencangkul tanah yang kemarin belum selesai dicangkul. Lalu Bu Irna yang menanam tanaman jagung di tanah yang sudah siap tanam.
"Sepertinya yang ini harus lebih dalam menggalinya, A. Sebab tanah ini habis ditumbuhi bambu yang sudah tidak tumbuh lagi tunasnya. Akar-akar keringnya harus diangkat semua dan tercerabut dari tanah, kita tanami palawija saja," tukas Pak Halim memberi instruksi pada Ichank.
Mereka berdua bahu membahu membongkar akar bambu yang sudah kering, kemudian tanahnya akan mereka tanami tanaman palawija dan sayuran.
"Lumayan dalam ini Pak, akarnya. Lalu nanti akan kita ke manakan akar-akar bambu ini?" Ichank bertanya.
"Akar bambu tetap akan kita gunakan untuk kayu bakar di rumah, atau untuk membakar ilalang liar itu di sini," tunjuk Pak Hali menunjuk ilalang dan rumput liar lainnya yang sudah dibabat kemudian nanti dibakar.
Ichank dan Pak Halim terus saja menggali akar bambu itu sampai tercerabut semua akarnya. Sampai waktu zuhur menjelang, pembongkaran akar bambu itu baru selesai, selain lumayan luas, rupanya akar bambu itu sulit juga jika benar-benar dibongkar sampai akarnya.
"Kita istirahat dulu di saung, makan, lalu sholat zuhur," ajak Pak Halim seraya memanggul cangkulnya membawa ke saung. Ichank mengikuti dari belakang. Rasa lelah, dan haus, serta lapar, benar-benar menggelayuti dirinya.
Bu Irna yang menanam jagung juga sudah berada di saung, untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.
"Ayo kita makan dulu. Perut ibu sudah lapar," ajak Bu Irna seraya menyiapkan alas buat suami juga Ichank.
Mereka makan dengan begitu nikmatnya, diiringi angin sepoy yang meniup dedaunan menerpa wajah mereka. Tubuh yang tadi terasa gerah, kini adem karena hembusan angin sepoy. Walau makan alakadarnya, akan tetapi rasa nikmatnya melebihi makan seperti di restoran. Bu Irna sejenak beranjak memetik kacang buncis dan kecipir yang saat ini sedang lebat buahnya merambat di pagar bambu.
Setelah dicuci sebentar dari air yang dialirkan lewat pipa bambu, Bu Irna membawa hasil petikan lalapnya, kemudian disuguhkan untuk cocol sambal terasi. Saat disantap, lalapan kacang buncis dan kecipir terasa nikmatnya saat dicocol dengan sambal terasi.
Mengakhiri makan siang, mereka bertiga sengaja membiarkan makanan dalam perut itu turun dulu dan dicerna dengan baik oleh usus. Sembari ngobrol ngalor ngidul dan menikmati sajian terakhir yakni air teh panas rasa melati dari teko. Sungguh nikmatnya luar biasa, teh panas itu ketika diminum hangat-hangat di bawah terpaan angin sepoy, malah semakin membuat tubuh bersemangat.
"Ayo, A. Kita sholat zuhur dulu, setelah itu kita selesaikan tugas kita. Sekarang tinggal satu gundukan lagi, itu tidak sulit. Setelahnya, kita akan bikin galengan buat ditanami besok," instruksi Pak Halim sembari berdiri menuju pancuran air yang ditadah pipa bambu. Mereka bisa juga mandi di sana, sebab tempat wudhunya dipagar oleh terpal, sehingga tidak kelihatan orang jika ingin mandi.
Menyudahi sholat zuhur, Pak Halim, Ichank, dan Bu Irna kembali melakukan pekerjaannya yang tadi tertunda. Bu Irna kembali melanjutkan menanam jagung, dan singkong, serta cabe, dalam satu galengan, sebab cara bertani mereka menggunakan sistem tumpang sari. Biasanya pekerjaan mereka berakhir saat kumandang asar tiba.
"Wahhh, sebentar lagi, Pak," seru Ichank seraya terus menggali akar terakhir yang masih kuat melekat pada dasar tanah. Pak Halim tersenyum melihat semangat juang sang anak. Dia tidak khawatir lagi Ichank akan kembali seperti dua minggu yang lalu melamun dan terlihat sedih.
"Pak, ini sepertinya agak susah ya, akarnya seperti melekat," ujar Ichank terlihat putus asa.
"Benar sekali. Sepertinya akar bambu ini nyangkut pada sebuah batu di bawahnya. Hati-hati A, cangkulnya nanti mengenai batu itu, bisa-bisa memantul mengenai kaki kita. Perlahan saja ayunannya," ujar Pak Halim memberikan arahan. Ichank mengikuti arahan sang bapak, dia pun tidak mau cangkulnya cepat rusak karena mengenai batu.
"Brakkkkk, prutttttt."
Akhirnya akar bambu yang terakhir itu tercerabut, suaranya sampai terdengar ngejeprut. Ichank yang menarik batang bambu ikut terpental ke tanah, untung saja di belakangnya tidak ada benda berbahaya apapun sehingga Ichank tidak mengalami luka apa-apa.
"Berhasil, Pak," serunya senang. Pak Halim tersenyum puas sembari membantu menarik lengan Ichank yang tadi terpental.
Tugas mereka kini mengumpulkan akar-akar bambu dalam satu gundukan, untuk dipergunakan sewaktu-waktu jika akan membakar ilalang yang liar, dan membahayakan, serta untuk dibawa ke rumah sebagian, untuk dipakai memasak menggunakan tungku.
"Ayo, sekarang kita rapikan tanah yang seperti lubang itu menjadi tanah galengan untuk menanam palawija besok," seru Pak Halim seraya mengayunkan kembali cangkulnya pada tanah bekas tercerabutnya akar bambu tadi.
"Sebentar, Pak. Ichank akan menggali batu itu, sepertinya ini agak berbeda," tahannya tanpa menjelaskan apa yang menjadi Ichank merasa berbeda dengan tanah itu. Yang jelas Ichank merasa heran dengan kilatan yang membekas di gigi cangkulnya yang tajam. Pak Halim membiarkan Ichank melakukan hal yang dia suka.
Ichank menggali lebih dalam lagi bekas galian akar bambu yang tadi susah tercabut. Ichank semakin menganga ketika matanya melihat serpihan kilatan yang berkilau yang kini menepel pada gigi cangkulnya.
"Berkilau seperti emas," bisiknya dalam hati sembari tertegun.
"A, ada apa?" heran Pak Halim menatap Ichank.
"Coba lihat sini, Pak. Ichank menemukan ini di cangkul Ichank, berkilau seperti emas." Ucapan Ichank mendapat respon terkejut dari Pak Halim. Pak Halim mendekati Ichank lalu melihat ke dalam galian.
"Coba gali lagi lebih dalam, A. Tapi pelan-pelan jangan sampai merusak benda itu," suruh Pak Halim penasaran. Ichank patuh. Ichank menggali tanah itu lebih dalam dan memperluas lingkarannya. Semakin dalam dan luas Ichank menggali dan membuat lingkarannya, semakin terkesima dia dibuatnya.
"Pak, ini~ini, seperti e~emas," ujar Ichank mendadak gugup. Pak Halim menatap lebih dalam seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ichank.
"Emas?!!!!"
Karya ini merupakan karya jalur kreatif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Hary
SISTEM PEWARIS HARTA KARUN
muanthab ceritanya
2024-05-07
3
Hary
hmm... klo cerita sistem lebih asik lagi ne
2024-05-07
2
DPras
jangan smp tetangga liat
2024-03-22
2