Ichank semakin dilanda kecewa dengan sikap ibu mertuanya, sebab hinaannya sudah keterlaluan. Tapi dasarnya hati Ichank tidak mau kasar pada seorang perempuan, siapapun itu, Ichank hanya mampu menahan rasa sakit itu dalam dada tanpa mau menumpahkan langsung sebagai bentuk kemarahannya.
"Sudah ... abang tahu adek tidak terima dengan omongan Ibu. Tapi mau bagaimana lagi, Ibu memang selalu seperti itu. Abang sudah kebal dengan omongan Ibu." Ichank membesarkan hati Syafa supaya dia tidak larut dalam kesedihan. Sikap Ichank ini hanyalah sebagai bentuk menutupi perasaan dalam hatinya yang sebenarnya sakit. Sakit yang semakin menganga akibat hinaan ibu mertuanya.
Enam bulan sudah Ichank kerja di proyek, dan selama itu pula dia mencari sampingan lain yaitu menjadi pemulung rongsokan untuk nambah-nambah penghasilan. Namun, di mata Ibu mertuanya Ichank sama saja, hanya dianggap suami yang tidak berguna bagi Syafa anaknya. Penghasilan Ichank disepelekan. Ichank hanya bisa mengelus dada yang sesak sambil beristighfar.
Dan parahnya lagi pekerjaan di proyek itu sudah berakhir. Bangunannya sudah jadi dan siap pakai. Kini Ichank harus memutar otaknya kembali untuk mendapatkan pekerjaan lagi selain mulung rongsok yang tidak seberapa. Tiba-tiba saja Ichank ingat akan Handi sang sohib yang lumayan banyak kenalan dalam bidang pekerjaan, entah kuli bangunan atau di dermaga peti kemas.
Ichank menghubungi Handi di kamar. Pembicaraan Ichank tidak lepas dari kuping kepo Bu Diah.
"Assalamualaikum, Han. Apa kabar?" (Ichank)
"Waalaikumsalam. Gua alhamdulilah baik. Elu bagaimana? Kerjaan aman?" (Handi)
"Gua baik juga Han, kalau secara fisik. Tapi, kerjaan gua sekarang sedang tidak aman. Proyek sudah kelar dua hari yang lalu. Nah, elu ada lowongan apa gawean sekarang? Proyek lagi, juga tidak apa-apa, Han." (Ichank)
"Wahhh, jadi elu sekarang jualan anggur, Chank? Wak wak wak. Sekarang elu benar-benar kagak gawe, dong?" (Handi)
"Ya, kagak juga sih Han, gua masih gawe, tapi jadi pemulung rongsok. Elu ada info lowongan kerja kagak, Han?" (Ichank)
"Oh begitu. Sayangnya gua belum ada info loker untuk saat ini. Kalau lowongan kerja di proyek luar Bekasi ada, tapi jauh di Jawa Timur." (Handi)
"Hahhhhh." (Ichank mendesah)
"Nanti jika ada lowongan di peti kemas, gua info sama lu." (Handi)
"Ok, makasih, ya, Han. Gua tunggu infonya." (Ichank)
Perbincangan dua arah antara Ichank dan Handi berakhir. Raut wajah Ichank seketika bermuram durja. Namun perbincangan dua arah antara Ichank dan Handi, sohibnya, berhasil Bu Diah kuping dengan jelas. Walaupun hanya suara Ichank yang jelas terdengar, di sini Bu Diah bisa menyimpulkan bahwa lelaki muda itu kini sedang kesusahan mencari pekerjaan setelah proyek bangunan di Jababeka kelar.
"Kesempatan ini tidak boleh gue sia-siakan. Gue harus mulai beraksi dan bikin siasat. Ha ha ha. Kebetulan banget si Ichank sekarang sedang dalam kesusahan mencari gawean, keder dia jika gue mintain duit. Mampus lu, Ichank. Kagak akan bisa berkutik sama permintaan gue." Bu Diah sangat girang mendengar Ichank sekarang tidak bekerja lagi. Itu tandanya rencana yang jauh hari telah disusun Bu Diah, kini akan segera dilancarkan dan seakan mendapat celah yang tepat.
Bu Diah segera menyusup ke dalam kamarnya dengan hati girang yang sejak tadi belum mau minggat dari pikirannya, sejak mendengar perbincangan Ichank bersama temannya di telpon.
"Jadi si mantu tidak berguna itu kini tidak punya gawean. Dia kemarin pergi itu bukan ke proyek, melainkan mulung. Huhhh kagak sudi gue punya mantu pemulung rongsok, malu gue punya anak hanya bersuamikan pemulung rongsok. Sudah bau, kagak berkelas lagi. Lebih baik gue segera kenalkan si Syafa dengan juragan perabotan itu," cibir Bu Diah dengan mata yang licik.
Besoknya Ichank masih berangkat kerja seperti biasanya. Syafa belum tahu kalau Ichank sudah tidak bekerja di proyek lagi. Dan puncaknya ketika hari Sabtu tiba, Bu Diah yang tahu jika Sabtu merupakan hari di mana Ichank menerima gaji dari bekerja kuli bangunan, dengan tanpa segan meminta uang seperti biasanya.
Tangan Bu Diah menengadah di hadapan Ichank juga Syafa tanpa rasa malu. "Gue minta duit buat berobat si Suha," pintanya seraya menjulurkan telapak tangan di hadapan Ichank dan Syafa.
Ichank diam, dia melirik ke arah istrinya yang hari ini memang belum menerima setoran darinya, sebab Ichank memang tidak bisa setor, la wong dia tidak bekerja lagi di proyek.
"Mak, Suha, kan, sudah mulai sembuh, jadi tidak perlu lagi berobat. Suha hanya perlu rutin diurut sama terapi untuk masa pemulihan," sela Syafa protes.
"Elu tahu apa Syafa? Jangan sentimen sama adik semata wayang elu. Lama-lama gedek gue melihat elu yang lebih perhatiin lelaki kagak berguna itu," cemoohnya lagi tanpa rasa bersalah.
"Emak ini jika dikasih tahu selalu ngeyel dan tidak pernah mendengar sekalipun pendapat anak," sergah Syafa tidak suka sembari menarik lengan suaminya ke dalam kamar.
Akhirnya di dalam kamar, mau tidak mau Ichank berterus terang pada Syafa bahwa dirinya kini sudah tidak lagi bekerja di proyek, melainkan mulung sampah. Syafa kaget dan tidak tahu kalau ternyata suaminya sudah seminggu tidak bekerja lagi di proyek karena proyek pembangunannya sudah kelar.
"Abang minta maaf, Dek. Minggu ini abang tidak setor uang gaji seperti biasanya. Karena abang, kini sudah tidak bekerja di proyek lagi," ungkap Ichank haru dan terdengar terbata. Dia tidak tahu bagaimana jadinya kalau dia harus menyembunyikan keadaan sebenarnya dari Syafa. Lebih baik jujur, walaupun menyakitkan.
"Syafa tidak apa-apa, Bang. Syafa hanya kaget dan baru sekarang Abang kasih tahu yang sebenarnya." Syafa menarik nafasnya dalam berusaha lapang dada. Pembicaraan mereka berakhir, diganti dengan deru nafas teratur, menandakan keduanya sangat lelah dan terlelap.
Seminggu kemudian, Bu Diah mulai melancarkan rencananya. Setelah merasa kesal melihat Ichank yang belum juga mendapatkan pekerjaan.
Malam itu, Bu Diah berbicara di depan semua orang di dalam rumah itu.
"Gue tidak mau anak gue diberi nafkah semakin seret dari elu sebagai laki. Jadi mulai besok elu harus kerja. Mau merantau atau apalah namanya, itu terserah elu. Kalau merantau, jangan nanggung, ke Jepang sekalian biar cepat kaya," tukas Bu Diah serius dengan tatap mata yang bergulir kiri kanan.
"Kalau elu sudah berhasil, elu boleh kembali dan membawa si Syafa semaunya elu. Terus kalau elu sudah ada duit, elu tinggal transfer saja ke si Syafa, kan aman," usulnya tidak biasanya serius dan kata-katanya penuh dukungan yang biasanya tidak pernah dilontarkan, selain hinaan dan cemoohan
"Bang, apakah Abang yakin akan pergi ke kampung halaman abang untuk menjadi petani di sana? Syafa juga ingin ikut sama Abang sekalian," pinta Syafa menatap lekat wajah tampan suaminya yang tertutupi rasa lelah.
"Sepertinya jika Adek ikut sekarang, bukan waktu yang tepat. Lagipula Ibu tidak akan mengijinkan. Abang akan terus menghubungi Adek jika nanti sampai di sana dan Abang sukses," pungkasnya mengakhiri perbincangan malam itu bersama Syafa sang istri.
Dengan ijin Syafa dan doanya, Ichank berpamitan dan membulatkan tekad akan merubah nasibnya dan membawa Syafa kembali ke pangkuannya dan membahagiakannya.
Dengan hati yang berusaha lapang, Ichank tidak lupa berpamitan pada Bu Diah serta tentu saja pada Pak Kayan, bapak mertuanya. Kepergian Ichank diantar dengan berbagai reaksi, ada yang haru ada juga yang bahagia.
Karya ini merupakan karya jalur kreatif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Edy Sulaiman
mc bego...sampah...
2024-06-08
2
Rahman Hartomo
laki2 pda pengecut takut istri
2024-04-12
2