Ichank masih di bengkel memperbaiki motornya yang ringsek. Untung saja yang ringsek hanya body depan dan jari-jari yang penyok. Sejenak Ichank menatap sedih ke arah sepeda motor yang merupakan satu-satunya alat trasnportasi untuknya mencari nafkah.
Dua jam motor itu selesai dan kembali bisa digunakan. Ichank senang, sebab besok dia bisa kembali mengantar istrinya ke tempat kerja.
Setelah membayar ongkos perbaikan servis motor, Ichank segera menyalakan motor dan mencobanya. Ichank merasa bersyukur, sebab motornya masih enak dipakai meskipun sudah melewati tahap perbaikan.
Ichank melajukan motornya membelah kota Bekasi. Kali ini tujuannya adalah mencari pekerjaan. Dia berharap hari ini mendapatkan pekerjaan lagi, entah apa saja yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan mertuanya membayar listrik dan air. Sedangkan untuk kebutuhan istrinya sendiri yang memang kewajibannya, untuk sementara bisa dicover dari uang sisa miliknya yang masih ada di bank.
Sepanjang jalan Tambun-Bekasi sudah dia susuri. Setiap Ichank menemukan pabrik, entah itu elektronik maupun non elektronik, dia sambangi dan berharap ada lowongan pekerjaan. Hasilnya nihil.
Sejenak Ichank menepikan motornya untuk sekedar beristirahat melepas lelah, setelah tadi menyusuri jalanan Tambun-Bekasi mencari pekerjaan. Ichank terduduk lemas di atas jok motornya di bawah pohon Suren yang daunnya mampu menaungi dia dari panasnya terik matahari yang kini sudah berada tepat di ubun-ubun kepala.
"Haaaahhh."
Sejenak Ichank menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian melepaskannya membuang lelah yang sejak tadi menggelayutinya.
"Ya Allah, sudah siang begini belum mendapatkan pekerjaan apa-apa," desahnya lelah. Semua perusahaan tidak ada yang mau menerimanya sebagai pegawai. Sungguh ironi di balik pemutusan pekerjaan karena alasan Covid-19, jika masih ada perusahaan yang masih menerima pekerja baru. Ichank bukan tidak paham itu, dia hanya penasaran dan mencoba, siapa tahu keberuntungan masih berpihak padanya.
"Harus kemana lagi aku mencari?" gumannya putus asa.
Ichank kembali ke rumah mertuanya tepat jam tiga sore lewat 10 menit, dengan tubuh yang lelah. Di rumahnya sudah ada Suha dan Ibu mertuanya yang tengah leyeh-leyeh menikmati goreng pisang dengan segelas besar minuman es dingin, menghadap TV.
Ichank masuk ke rumah seperti biasa, mengucap salam dan membuka sepatunya di luar.
"Assalamualaikum."
Ucapan salamnya hanya dibalas dengan gumanan kecil dan sorot mata tajam yang judes dari kedua mata Ibu mertuanya. Kilatan kesal dan tidak suka mendominasi raut wajahnya.
Ichank segera memasuki kamarnya dan bersiap ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, dengan cepat mertuanya mencegat, dengan menenteng segelas minuman es dingin di tangannya. Sejenak Ichank menatap es dingin di tangan mertuanya, seketika rasa haus menjalar di kerongkongannya.
"Gimane, lu udah dapat pekerjaan lagi kagak? Jika belum, lu kagak usah ke kamar mandi dulu. Elu harus bantuin gue cuci piring dan nyuci baju di dalam mesin cuci sono. Piring kotor numpuk, kagak ada buat alas nasi," todongnya membuat Ichank mengurungkan niatnya ke kamar mandi padahal tubuhnya sangat lelah dan lengket.
Ichank tadinya ingin menolak. Namun, Ibu mertuanya menghalangi jalannya untuk ke kamar mandi. Terpaksa Ichank menuruti perintah Ibu mertuanya. Menyalakan dulu mesin cuci dan memasukkan baju kotor yang akan dicucinya di mesin, lalu menyalakan mesin kemudian meninggalkannya untuk mencuci piring kotor yang numpuk di wastafel.
Ichank terheran-heran dengan piring kotor yang menumpuk di wastafel. Tadi pagi dia tidak melihat piring sebanyak itu, sebab setelah sholat subuh sudah dicuci dulu oleh Dita, istrinya. Bekas siapa piring kotor sebanyak itu, Ichank sungguh heran.
Piring kotor sudah selesai dia cuci, kini giliran membilas baju yang sudah selesai digiling dengan mesin cuci.
"Enak banget, ya, nyuci sama mesin cuci. Pemborosan tahu! Cuci sama tangan. Sekarang kita harus menekan pengeluaran listrik sehemat mungkin, sebab elu sudah tidak bekerja. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari elu lagi, uang saja sudah kere," serobot Ibu mertuanya keras yang tiba-tiba muncul menuju dapur dan berdiri di depan mulut pintu. Ichank tidak bisa melawan terlebih yang dihadapinya hanya seorang wanita yang sepatutnya ia hargai.
Ichank segera mengangkat kembali baju yang sudah berada di dalam mesin cuci yang tadinya akan dia bilas sama mesin cuci. Lalu dia bilas kembali dengan menggunakan air ke dalam ember untuk dibersihkannya.
Hari demi hari Ichank lalui dengan nelangsa dan pekerjaan rumah yang selalu ada saja dan menumpuk. Ini semua terpaksa dia lakukan, sebab Ichank sampai hari ini belum juga mendapatkan kembali pekerjaan. Omelan Ibu mertuanya selalu dia dapatkan. Sementara Ayah mertuanya, Pak Kayan, sebagai suami sama sekali tidak berkutik menyaksikan istrinya ngomel tiap hari. Dia saja kalah dalam bertutur kata jika sudah menghadapi istrinya.
Ichank membaringkan tubuhnya di dipan dengan kasur busa yang sudah lepet, untuk sekedar mengistirahatkan pinggangnya yang dia pakai sejak pagi tadi tiada henti, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.
Hari ini Ibu mertuanya butuh uang untuk arisan dan cicilan barang kredit, sementara Ichank sudah tidak memegang uang sepeserpun. Uang tabungannya di bank sudah habis dia pakai untuk memenuhi kebutuhan rumah mertuanya. Bayar listrik dan air serta tabung gas yang bisa menghabiskan kurang lebih tiga tabung sebulan.
Syafa tiba-tiba masuk dan mendapati suaminya terbaring dengan mata yang menerawang jauh. Syafa menghampiri kemudian meraih tangan Ichank lembut. Syafa bukan tidak tahu kecamuk rasa yang dirasakan suaminya, dia juga merasakan kesedihan yang mendalam. Namun, Syafa tidak bisa berkutik melawan Ibunya. Dia akan tetap kalah jika melawan Ibunya.
"Bang," sapanya lembut menatap suaminya. Ichank mendongak lalu menatap Syafa yang ternyata baru disadarinya. Kehadiran Syafa sedikit memberi harapan atas kebingungan yang tadi dia rasakan.
"Dek."
Ichank bangkit dan meraih tubuh Syafa, untuk sejenak dia menenggelamkan tubuhnya untuk sekedar melepas lelah.
"Dek, hari ini Ibu bilang ke abang butuh uang. Tapi, abang sudah tidak memiliki uang untuk diberikan, sedangkan uang tabungan di bank, Adek tahu sendiri sudah habis dipakai kebutuhan kita selama enam bulan ini. Sementara abang sampai hari ini belum mendapatkan pekerjaan yang layak." Ichank mencurahkan unek-uneknya kepada Syafa dengan maksud meringankan beban pikirannya.
"Ngapain, lu masuk kamar? Untuk mengajak senang-senang dengan anak gue? Kasih duit dulu sebelum bersenang-senang, baru lu bisa memakainya," teriak Bu Diah kencang membuat Syafa dan Ichank tersentak di dalam kamar.
Ichank bingung, uang apa lagi yang harus dia berikan pada Ibu mertuanya sementara dia sudah tidak punya uang pegangan lagi? Disaat bingung seperti itu, Ichank sekelebat mendapat ilham, yaitu meminjam emas yang dipakai Syafa untuk diberikan pada Ibu mertuanya.
"Dek, bolehkah abang pinjam emas yang Adek pakai untuk diberikan pada Ibu? Nanti setelah abang memiliki pekerjaan lagi, emas yang terpakai akan abang ganti," ungkap Ichank penuh harap. Sementara Syafa menatap terkejut ke arah Ichank mendengar permintaan Ichank barusan.
Apakah Syafa akan memberikan emasnya untuk Ichank pinjamkan pada Ibunya atau tidak?
Karya ini merupakan karya jalur kreatif
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Edy Sulaiman
Ibu mertua spt ini baiknya di telanjangi dan di eksekusi..hhh
2024-06-07
2
Hary
ibu mertua babi, semoga kena covid langsung mati
2024-05-07
2
anggita
suami kalah sama istri... 😑
2024-02-28
2