"Gue minta duit buat bawa si Suha berobat," todong Bu Diah sembari menadahkan tangan di depan Ichank yang baru pulang dari kerja kuli bangunan. Ichank terhenyak, belum juga kakinya menginjak teras rumah, ibu mertuanya sudah menodong meminta uang.
Ichank tidak segera menyahut permintaan ibu mertuanya, badan yang lelah dan tenggorokan yang haus, membuat dia menarik nafas sejenak untuk membuang lelah. Bu Diah menatap tajam ke arah Ichank dengan bengis. Melihat penampilan Ichank yang dekil dan kotor begitu, membuat Bu Diah tambah muak.
Bu Diah seperti sudah menandai, jika setiap hari Sabtu, dia pasti tengadah dan meminta uang. "Orang tua ngomong itu disahutin bukan didiemin," protesnya menatap jijik ke arah Ichank.
"Sebentar, Bu. Ichank mau setor dulu Syafa. Bagaimanapun Syafa istri Ichank," sahut Ichank tidak berani membalas tatap Bu Diah.
"Ok, kalau begitu elu sebaiknya sadar diri. Si Syafa sebentar lagi akan gue kenalkan sama lelaki lain yang lebih kaya. Dia pengusaha perabotan di Tambun. Sudah lama lelaki kaya ini mau ke si Syafa. Tapi karena elu kagak mantog-mantog, rencana gue mengenalkan si Syafa dengan lelaki kaya itu tertunda terus gara-gara elu," cerocos Bu Diah membuat Ichank tersentak tidak percaya.
Dengan tega, ibu mertuanya sengaja mau menjual anaknya sendiri yang nyata-nyata sudah bersuami.
"Syafa istri Ichank, Bu. Kenapa Ibu mau menjual Syafa pada lelaki lain?" tanyanya tidak terima.
"Halah. Harusnya gue yang kagak terima anak perempuan gue hidup lebih lama sama elu yang kerjanya kagak jelas. Dengar nih, gue bakal kenalkan anak gue sama lelaki lain yang lebih berduit dan menjamin hidup anak gue daripada ngarepin elu yang cuma kuli bangunan dan pengumpul rongsok. Mau disimpan di mana muka si Syafa? Punya laki cuma kuli bangunan, dekil, kotor dan duitnya kecil," hinanya lagi tidak henti-henti.
Ichank mengurut dada yang seakan sesak, menahan amarah yang ingin meledak, tapi dia tahan. Semakin hari hinaan ibu mertuanya semakin menjadi sejak dia jadi kuli bangunan. Ditambah lagi kini dengan mengumpulkan rongsok sembari pulang nguli. Sisa-sisa barang bekas di proyek dia pulung, seperti kantong semen, dus bekas keramik atau potongan kecil besi atau lebih trend dikalangan kuli bangunan disebut puntung besi. Pantas saja Ichank terlihat lusuh dan dekil, pekerjaan Ichank yang sekarang memang memaksa dirinya terlihat seperti itu.
Semua itu Ichank lakukan demi Syafa dan tuntutan ibu mertuanya. Ichank tidak lelah dan malu menjadi kuli bangunan serta pengumpul rongsok, baginya pekerjaan itu halal, meskipun berat. Tapi tetap Ichank jalani. Namun, rupanya kerja keras Ichank justru dapat hinaan dari ibu mertuanya, Ichank sebenarnya sangat sedih. Namun, dia tidak bisa melawan selain menerima hinaan itu. Kalau bukan karena sang istri yang selalu mendukung dan membesarkan hatinya, sudah dipastikan Ichank segera minggat dari rumah ibu mertuanya yang bagai neraka baginya.
"Dek, ini uang gajihan abang minggu ini, disimpan, ya. Tadi Ibu meminta buat pengobatan Suha, tapi tidak abang kasih, abang bilang mau setor dulu sama Adek. Adek kasih saja secukupnya," setor Ichank menyerahkan semua uang gajih minggu ini. Syafa terlihat mengangguk seraya menerima uang pemberian Ichank.
"Ini buat bensin dan rokok Abang seminggu. Cukup, kan, Bang?" Syafa dengan pengertian memberikan beberapa lembar uang untuk bensin Ichank seminggu ke depan.
Ichank tersenyum melihat Syafa memberikan sebagian gajinya untuk uang bensin dan rokok, "Terimakasih, Sayang." Ichank merangkul Syafa haru. Dia merasa bahagia memiliki istri yang pengertian dan tidak memiliki sifat seperti ibu mertuanya.
"Abang sedih pasti karena Emak. Maafin Emak, ya, Bang. Syafa tidak tahu harus bilang kaya mana sama Emak supaya berhenti mengata-ngatai Abang. Syafa juga sakit hati Emak menghina Abang terus," ungkap Syafa berkaca-kaca, dia tidak tega melihat suaminya dihina terus oleh ibunya.
"Kalau abang ajak Adek pergi dari rumah ini, apakah Adek akan ikut?" Tiba-tiba Ichank memberikan sebuah pertanyaan yang tidak terduga dan membuat Syafa keheranan.
"Dek?" tegur Ichank menyadarkan lamunan Syafa.
"Syafa ikut dong, Bang. Tapi kita mau kemana? Apakah di tempat baru ada pekerjaan buat kita?" Syafa memberikan sebuah pertanyaan yang tidak sanggup Ichank jawab. Syafa menatap Ichank lekat, dia menganggap diamnya Ichank merupakan sebuah jawaban, bahwa di tempat baru belum tentu dapat pekerjaan.
"Kita balik kampung halaman abang, apakah Adek mau?"
"Syafa mau, sih, Bang. Tapi, kita kerja apa di sana? Syafa akan ikut kemana saja Abang pergi, asal di tempat itu ada pekerjaan yang bisa kita lakuin untuk menghidupi hidup kita." Jawaban Syafa terasa damai di hati, tidak ada penolakan. Kesannya Syafa mendukung keputusan Ichank. Ichank yakin, Syafa mau diajak susah, bertani saja sepertinya tidak masalah.
"Lantas kita bisa kerja apa di sana, Bang? Apakah ada lahan pekerjaan di kampung halaman Abang?" tanya Syafa ingin yakin bahwa di kampung halaman suaminya ada lapangan pekerjaan.
"Kita bertani. Kita bercocok taman dan menjadi petani di sana."
"Apa? Elu mau ajak anak gue hidup susah di kampung halaman elu? Enak saja. Elu mau suruh si Syafa jadi petani, turun ke kebon dan menyangkul tanah dan kotor-kotoran main tanah? Nanti dulu, gue kagak bakal biarkan si Syafa ikut elu. Jangan harap bisa mengajaknya. Huhhh," serobotnya membuka paksa pintu kamar yang ditempati Ichank dan Syafa. Mata Bu Diah melotot seraya berkacak pinggang.
Ichank dan Syafa tersentak, mereka berdua melongo melihat Bu Diah merangsek masuk ke dalam kamar seraya mencak-mencak.
"Mak, kenapa Emak masuk begitu saja ke kamar Syafa? Syafa dan Bang Ichank kaget, Mak," protes Syafa seraya mengusap dadanya.
"Gue kagak peduli, mau kaget atau mati sekalian, kagak peduli, asal elu kagak dibawa sama dia. Dia bukan suami yang pantas diikuti. Paling jadi gelandangan kalau elu ikut si kuli bangunan ini," umpatnya kasar. Syafa melotot dan cukup kecewa dengan umpatan ibunya sehingga Syafa mengeluarkan protesnya dengan deraian air mata.
"Mak, cukup, Mak. Jangan teruskan ucapan Emak yang hina itu. Emak sudah menyakiti kami, terutama Bang Ichank," ujarnya tidak terima. Syafa menangis sembari memeluk tangan Ichank dengan erat. Syafa tidak terima ibunya terus-terusan menghina suaminya.
"Halahhh, suami kagak guna saja masih elu bela. Dengar, ya, sampai kapanpun gue kagak ijinin si Syafa dibawa elu. Lebih baik gue mati daripada kehilangan anak gue," tukasnya seraya beranjak dari kamar Syafa dan Ichank.
Syafa terpuruk dan menangis di dalam kamar yang kini tertinggal sisa-sisa amarah dan kecewa yang ditahan antara dirinya dan sang suami.
Karya ini merupakan karya jalur kreatif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Hary
mertua binatang tidak punya akhlak... !!!
2024-05-07
3
Rahman Hartomo
10 bab kok cma ngomel2 thok bosan bacanya
2024-04-12
1
Atang Priatna
smoga novel ini tak mangkrak di tengah jalan.
2024-03-31
1