Tak terasa hari-hari ku menjalani peran sebagai menantu sudah hampir satu bulan lama nya. Satu minggu dari sekarang, acara Resepsi ke-2 kami akan digelar. Malam ini juga akan diadakan rapat guna mempersiapkan jalan nya acara nanti.
"Ayo yank. Makan malam dulu supaya cacing mu tidak demo. Nanti pasti akan lama rapat nya" Adit melangkah keluar kamar lebih dulu.
"Iya sebentar.." Aku melanjutkan melipat pakaian dalam yang tinggal beberapa helai lagi.
"Ayo makan teh" Sapa ayah mertuaku begitu aku menyusul duduk di samping Adit.
"Iya pak.." Jawabku mengangguk sopan tak lupa senyum yang mengembang.
"Teteh kenapa itu kok leher nya merah-merah?" Ujar bontot adik iparku.
"Ini.. digigit semut merah kemarin" Jawabku asal.
Malu setengah mati. Apalagi ayah mertua ku terlihat menunduk menahan geli. Bukan tidak ingin menyemburkan tawa nya, tapi beliau tidak ingin aku malu karena sudah pasti ini perbuatan anak laki-laki nya. Biar sajalah, biar Adit kapok tidak membuat tanda se enak jidat nya. Tadi padi aku masih selamat karena sempat menutup nya dengan make up. Kali ini aku apes. Lupa tidak menutup si tanda merah dengan make up seperti tadi pagi.
"Harus pakai minyak putih teh biar ilang merah nya. Nanti habis makan olesin ya. Aku punya minyak putih nya" Dasar bocah, mana tau kalau merah-merah di leher ku ini tanda cinta dari kakak nya. Aku menggerutu dalam hati. Andai tidak ada mertua, sudah aku cubit perut si Adit. Bikin malu saja.
Kali ini ayah beserta ibu mertuaku tidak bisa menahan tawa nya lagi. Mereka terkekeh lebar. Pasti tidak menyangka anak nya bisa membuat maha karya paling indah seperti ini.
"Iya, nanti teteh minta ya?" Jawabku masih sungkan. Malu bukan main. Sedang Adit tetap makan dengan santai nya. Tidak mau ambil pusing.
Selesai makan, adik iparku membawa piring kotor ke dapur. Lalu aku yang mencuci nya. Mulai paham dia, apa saja yang harus dikerjakan sebagai perempuan. Semoga saja kami bisa berpatner sebagai saudara yang baik.
"Ayo sini kumpul semua. Sudah belum cuci piring nya?" Ucap sang mamah mertua dari arah depan.
"Sebentar lagi mah" Sahutku.
"Ya. Sekalian saja buat kopi untuk Adit dan bapak teh"
"Iya.."
Selesai cuci piring aku membawa dua gelas kopi untuk bapak mertua dan Adit ke ruang tamu. Mereka mulai serius berdiskusi. Mulai dari tenda, kursi, menu prasmanan, hiburan panggung, kostum, hingga pelaminan mereka diskusikan semua malam ini. Aku hanya diam menyimak. Merasa tidak berhak ikut campur. Karena disini acara mereka. Sesekali aku menanggapi jika dimintai pendapat. Setelah nya terserah mereka saja. Aku manut.
"Teteh tidak usah pakai pelaminan ya, pakai dekor kecil saja dikasih bangku. Kemarin kan sudah di kampung, disini kecil-kecilan saja. Mamah sudah habis banyak untuk biaya pernikahan kalian kemarin. Belum lagi sekarang, pasti butuh biaya yang tidak sedikit" Saat membahas rencana resepsi seperti ini, bisa-bisa nya beliau masih mempermasalahkan uang. Kalau sekira nya tidak siap, ya sudah tidak usah resepsi saja sekalian.Toh yang terpenting akad nya berjalan lancar di kampung. Batinku.
"Iya mah, tidak usah pakai dekor juga tidak apa-apa. Sewa make up sama baju nya saja" Jawabku
"Eh pakai dong biar kecil tidak apa-apa, malu nanti kalau ada teman mu dan Adit. Masa mau foto tidak ada pelaminan nya"
"Ya sudah, terserah mamah saja. Aku manut"
Kadang aku merasa heran dengan mertuaku ini. Sebentar baik kaya ibu peri, sebentar jahat kaya mak lampir. Apa beliau ini punya kelainan ganda ya? Astagfirullah. Mikir apa sih aku ini. Nikmati saja selagi beliau baik. Siapa tau do'a ku kapan hari terkabul.
"Berarti sudah deal ya ini. Tidak ada yang dirubah lagi. Teteh mau pakai hena tidak?" Tanya mamah mertuaku lagi.
"Tidak usah mah, pakai sendiri saja. Teteh masih ada sisa kemarin akad" Jawabku.
"Ya sudah acara ini ditutup. Silahkan kalian kembali ke tempat masing-masing"
Aku dan Adit bangun lebih dulu menuju kamar. Bontot masih asyik menonton tv. Sedang mereka para orangtua tetap betah berunding. Tidak menyangka aku mampu melewati hari hampir sebulan disini. Menerima perlakuan sinis juga sikap yang kadang pedas kadang manis dari mertua.
Semoga saja, setelah resepsi nanti Adit akan mengajak pindah ke rumah baru. Sudah tidak sabar rasanya. Tinggal berdua dengan suami tanpa ada campur tangan orangtua dan mertua. Pasti hidupnya tenang, nyaman dan damai. Tidak ada omelan mertua jika bangun siang. Tidak ada komentar julid jika masak keasinan. Tidak harus cuci baju tiap hari. Dan lagi aku bisa pakai daster semauku. Apalagi baju s\*\*\*i tidak harus sungkan lagi depan mertua, terlebih mertua laki-laki.
Ah.. membayangkan nya saja aku sudah tidak sabar. Akan sebahagia apa hidupku nanti.
\*\*\*
Tiga hari kemudian..
Kini tiba waktunya masak memasak. Ada yang buat kue kering, keripik, bolu, kupas bawang, kupas kentang, buat bumbu masak, bumbu sambal, dan masih banyak lagi. Ramai sekali pokoknya hari ini.
Masih memakai adat kampung, jadi siapa saja yang mau hajat pasti tetangga dan saudara datang membantu. Bahu membahu membantu melancarkan dan memeriahkan acara. Ada nenek, teh Eni, dan Mae tentu nya disini selain tetangga. Saudara jauh pun turut berdatangan membawa kue. Senang sekali, ternyata adat disini hampir mirip di kampungku. Hanya saja dikampung ku mulai masak memasak sejak seminggu sebelum acara. Sedang disini tiga hari sebelum hari H. Terkesan mendadak menurutku. Tapi memang adat disini begitu ternyata.
"Teteh sini.." Mae melambaikan tangan sambil memegang parutan kentang. Aku yang baru keluar rumah pun mendekat.
"Sini bantu aku. Aku belum ada partner teh" Katanya.
"Memang yang lain pada kemana?" Sahutku.
"Yang lain disana tuh ibu-ibu. Grup perbumbuan. Kita yang muda disini saja ya teh bantu yang gampang" Ucapnya.
"Ini buat kentang mustofa ya"
"Iya. Di parut seperti ini. Teteh bisa tidak?"
"Bisa dong gampang itu.."
"Ayo dong Mae, tuh si teteh saja bisa cepet. Lambat kamu" Ucap ayah mertuaku yang ternyata sudah di belakang kami.
"Apa sih bah. Ledek saja terus" Ujar Mae merengut.
"Huuuu gitu saja marah" Ledek ayah mertuaku lagi sambil ngeloyor pergi.
"Abah yang satu itu memang begitu teh. Suka banget ledekin aku. Awas saja nanti datang ke rumah minta makan ngga akan aku kasih" Gerutu Mae masih saja kesal.
"Hahaha. Sama abah-abah saja marah kamu Mae. Seperti anak kecil yang diambil permen nya"
"Ya habisnya abah suka gitu teh. Tidak pernah muji aku. Mae yang cantik, Mae yang rajin, yang pintar, yang baik gitu teh. Pasti yang jelek-jelek"
"Ya berarti kamu jelek" ucapku spontan.
"Hahaha" Tawaku meledak melihat Mae meletakkan parutan kentang begitu saja. Pergi entah kemana tanpa sepatah kata pun. Dia ini suka meledek orang, tapi kalau di ledek balik marah. Pintar sekali dia. Tidak mau kalah.
Menjelang Dzuhur aku beres mengerjakan parut memarut kentang yang ditinggalkan Mae. Istirahat terlebih dulu, makan dan sholat. Baru setelah itu aku kembali menghampiri kumpulan ibu-ibu yang masih sibuk memasak. Biarpun aku ini adalah penganten nya ratunya ibarat kata. Aku tetap turun tangan langsung ikut membantu. Tidak enak jika hanya berdiam diri saja.
Seperti saat ini, aku mendekat ke arah nenek yang sedang menggoreng donat mini kataku. Tapi disini, mereka menyebut nya kue Ali. Karena bentuk nya yang kecil melingkar seperti cincin.
"Teteh mau coba, sini" Ucap nenek yang melihat aku berjalan ke arah nya.
"Ini teh, pegang bambu nya" Teh Eni bangun dari duduk nya dan memberikan alat tempur nya kepada ku. Stik panjang terbuat dari bambu untuk memisah kue Ali supaya tidak menempel satu sama lain nya. Di angkat setelah warna berubah coklat dan agak keras.
"Begini cara nya teh, bisa tidak?" ujar nenek memberi contoh padaku.
"Bisa.." Aku mencoba mengangkat si donat mini dengan stik panjang satu persatu. Terlihat seperti kumpulan gelang yang dipakai wanita di film India. Haha. Senang nya. Aku bisa belajar buat kue juga ternyata.
"Pelan-pelan saja nanti kalau sudah terbiasa pasti bisa. Tapi awas jangan sampai gosong ya" Ucap nenek tertawa melihat aku yang masih terlihat kaku saat mengangkat kue Ali.
Sampai sore pekarangan rumah mertuaku ini masih ramai. Hilir ibu-ibu yang masih sibuk kesana-kemari dengan tugas masing-masing membuat ku merasa aman. Terbebas dari omelan mamah mertua. Bayangkan betapa bahagianya aku dari pagi sampai menjelang Maghrib begini beliau masih full senyum. No menye-menye klub. Apalagi berteriak pedas mengomentari apapun yang aku lakukan. Itu tidak akan terjadi selama beberapa hari ke depan.
Hal yang harus aku syukuri ketika aku pun bisa full senyum tanpa ada bayang-bayang mertua yang mengomel. Seperti nya aku harus belajar dari hari ini. Jika ingin terbebas dari perlakuan sinis mertua, maka aku pun harus pandai bermuka dua di depan banyak orang.
Berpura-pura lah mengerjakan sesuatu dengan mereka. Maka beliau tidak ada celah untuk mengomel. Beliau pasti tidak berani terlihat kasar ke mantu. Apalagi berteriak tanpa sebab, bakal malu.
Mau ditaruh mana mukanya yang biasa terlihat ramah dan penyayang tiba-tiba berubah galak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments