Setelah akad, kami tidak lama tinggal di kampung. Hanya dua hari. Adit harus bekerja sebelum masa libur berakhir. Berangkat ke kota menggunakan kereta api. Orangtua ku menangis sedih melepas putri nya yang baru saja menikah dua hari lalu. Terutama mamah ku. Sampai menangis sesenggukan.
"Baik-baik disana ya mba, jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa langsung telpon ke mamah.."
"Iya mah, in sya Allah aku baik-baik saja. Kan ada Adit, mamah tidak perlu khawatir.." Aku menjawab dengan sama sedih nya. Merasa belum puas mengakhiri kebersamaan kami dua bulan ini.
"Tolong jaga Yanti ya Dit, jangan sakiti dia.."
"Iya mah, Adit pasti akan jagain Yanti. Mamah tidak usah khawatir, semua pasti akan baik-baik saja.. ya..?"
Mamah hanya mengangguk. Tak bisa menahan tangis nya lagi. Berbalik ke kursi tunggu. Tidak mau melihat kepergian ku dan Adit. Aku melangkah masuk ke gerbong kereta setelah bersalaman dengan ayah juga adikku.
Maaf mah, meninggalkan mamah dalam keadaan sedih begini. Mamah pasti khawatir bagaimana aku nanti dirumah mertua. Padahal baru dua hari menikah. Harus nya kami masih berbahagia kumpul bersama dengan ada nya Adit. Aku pasti kuat mah, aku pasti bisa. Aku sudah terbiasa hidup mandiri tanpa mamah dan ayah. Aku pasti bisa. Ratap ku dalam hati.
"Sudah jangan menangis terus yank. Kan ada aku. Tidak apa-apa. Besok pagi kita langsung telpon mereka begitu kita sampai.."
"Hm.."
Aku tenggelam dalam pelukan Adit. Menumpahkan segala rasa yang ada. Sedih, bahagia, khawatir dan takut semua jadi satu.
Pukul 03.00 dini hari, kami sampai di stasiun kota. Di jemput ayah mertua ku dan keponakan nya. Aku satu motor dengan Adit. Tidak jauh, hanya lima belas menit perjalanan kami sudah sampai rumah.
"Assalamu'alaikum.."
"Waalaikumsalam... capek teh?" Sambut ibu mertua ku dengan senyum nya.
"Hehehe lumayan mah.."
"Sini. Langsung masuk saja. Mau mandi dulu atau langsung istirahat saja?"
"Istirahat saja mah, capek. Lagian ini masih gelap. Dingin kalau mandi malam-malam begini" Sahut Adit lebih dulu menjawab.
"Ya sudah, kalian langsung ke kamar saja. Istirahat. Capek."
"Iya mah, pak. Kami permisi ke kamar dulu"
"Silahkan teh. Istirahat saja dulu biar fresh" Sahut ayah mertua ku.
Begitu menutup pintu, aku langsung rebahan di samping Adit. Memejamkan mata. Capek. Tidur sambil duduk selama berjam-jam itu tidak enak.
"Yank.."
"Hm.." Aku hampir terlelap. Menyahut dengan mata masih terpejam. Tidak aneh lagi jika Adit memelukku layak nya guling.
"Kangen kamu yank.." Adit mulai mengendus ceruk leherku. Seperti nya aku harus begadang lagi malam ini.
"Setiap hari kan kita selalu bersama. Ini juga sudah dipeluk. Apanya yang kangen?" Aneh sekali dia ini.
"Kangen yang ini" Jawab nya cengengesan sambil meraba dua gunung Himalaya.
"Aahhh.." Aku meringis merasakan tangan Adit meremas pelan disana.
"Kenapa?" Masih tanya kenapa. Padahal sejak tadi tangan nya bermain dengan si kembar kenyal disana.
"Aaahhhhh.." Kali ini aku tidak sanggup lagi. Aku menggelinjang. Adit bukan hanya meremas, tapi juga bermain-main dipuncak nya.
"Kamu boleh mendesah sepuasmu yank. Tidak usah ditahan. Itu berarti aku berhasil membuatmu merasa puas" Adit membuka kaos yang dikenakan nya. Mempertontonkan dada bidang yang membuat aku selalu ingin mengelus nya.
Tidak ada kesempatan menolak, Adit menyambar bibirku dengan tidak sabaran. Melumat, menyusup masuk membelit lidah dengan kuat nya. Tangan nya mencoba melucuti pakaian ku hingga tak bersisa. Menciumi leherku tanpa ampun. Tersulut gairah, aku pun ganti membalas membuat tanda indah di leher nya.
"Aku akan membawamu terbang melayang. Apa kamu siap yank?"
"He'em" Sudah kepalang basah begini, mana mungkin aku menolak.
Saling tindih. Meluapkan rasa yang bergejolak yang baru dua hari ini kami rasakan.
"Aku akan pelan-pelan yank. Kamu tahan sedikit ya.."
Aku hanya mengangguk. Mencengkeram lengan Adit menahan rasa perih yang lama-lama berubah menjadi nikmat.
Menghempaskan tubuh ke samping, Adit terengah dengan nafas ngos-ngosan. Kembali memelukku dengan keadaan sama-sama polos dan keringat mengucur.
"Semoga benihku cepat jadi ya yank.." Adit mengelus perutku sambil tersenyum.
"Kamu ini. Memang nya sudah siap punya anak?"
"Tentu saja siap. Memang nya kenapa? Yang sudah menikah lama saja kadang ada yang harus nunggu dikasih kepercayaan sama Allah. Kenapa kita harus menunda?"
"Kamu mau punya anak berapa memang nya yank..?" Tanyaku iseng.
"Empat, enam, atau selusin saja sekalian yank. Tidak apa-apa. Banyak anak banyak rejeki"
"Memang nya aku kucing yang setiap tahun melahirkan"
"Hahaha. Bukan. Kamu istriku sayang.. Yuk tidur. Masih ada waktu sebentar"
"Ya tapi pindah dulu itu kepala kamu. Jangan di situ" Heran. Sekarang dia lebih suka tidur nyungsep di d\*\*a. Bermain dengan si kembar bahkan menghisapnya. Aku berusaha memindahkan kepala nya pun percuma yang ada dia semakin kuat menghisapnya. Tidak akan dilepas sebelum dia puas.
Tak mau ambil pusing. Aku sudah terlalu lelah bahkan menahan kantuk sejak tadi. Membiarkan Adit bermain disana. Memejamkan mata sebelum adzan subuh berkumandang.
"Teteh mau mandi..?" Sapa mertuaku saat aku keluar kamar dengan membawa handuk.
"Iya mah.." Menunduk sopan, aku berlalu ke kamar mandi.
Menghias diri, bersiap keluar kamar. Membantu mertuaku menyiapkan sarapan pagi. Jam 6 lewat, pasti sedang sibuk di dapur.
"Yuk yank keluar.." Ajakku pada Adit karena masih canggung berhadapan langsung dengan mertua.
"Duluan saja yank. Aku rebahan dulu sebentar" Dia pasti sengaja supaya aku adaptasi dengan keluarga nya.
"Masak apa mah, sini biar teteh bantu?"
"Eh teteh keluar. Tidak apa-apa ini sudah mau selesai kok. Teteh istirahat saja dulu. Masih capek habis perjalanan jauh. Nanti kalau sudah siap semua mamah panggil"
Aku yang tidak enak hati mencari kesibukan lain. Ke luar rumah. Seperti nya halaman depan belum disapu. Masih berserakan sampah dimana-mana. Mencari sapu dan tempat sampahnya, aku mulai membersihkan halaman depan tanpa diminta.
"Teteh ayo sarapan dulu. Tinggalkan saja sapunya, nanti dilanjut lagi" Panggil ayah mertuaku dari depan pintu.
"Ehh.. iya pak"
Aku meninggalkan kegiatan ku setelah membuang sampah. Mencuci tangan. Masuk ke dalam rumah menghampiri Adit yang masih di dalam kamar sedang bermain ponsel.
"Ayo yank.. sarapan dulu. Mamah dan bapak sudah kumpul di meja makan"
"Iya.. ayo. Kamu sudah beres nyapu nya? Rajin nyaa.. istriku"
"Alahh kamu pasti sengaja kan ngga keluar kamar. Biar aku dan mamah makin akrab interaksi nya"
"Iya dong. Kan sekarang sudah jadi mamah kamu juga"
"Iya.. iya.."
Kami sarapan bersama tanpa terkecuali adik bungsu Adit. Sri Nadeva. Anak bontot perempuan di keluarga ini.
"Teteh sudah dibuka belum incesnya sama si aa?" Tanya ibu mertuaku disaat kami masih menikmati sarapan. Bukan tidak tahu maksud nya. Tapi aku malu membahas terang-terangan begini. Apalagi sedang kumpul di meja makan, ada si bontot yang belum cukup umur. Takut salah tanggap.
"Eeee.. sudah mah" Jawabku malu-malu. Menyikut lengan Adit meminta bantuan menjawab pertanyaan mamah nya.
"Lahh kok sudah. Bukan nya ke bidan dulu. KB saja dulu teh. Kalian ini masih muda, jangan punya anak dulu. Cari uang saja dulu yang banyak. Nanti kalau sudah mapan baru punya anak"
Jleb. Aku menghentikan makanku. Diam. Tidak tahu mau menjawab apa. Sulit sekali tertelan rasanya.
"Ya pasti sudahlah mah. Menikah saja sudah beberapa hari yang lalu. Masa belum buka segel" Adit menjawab dengan sedikit emosi.
"Bukan nya begitu. Lebih baik ditunda. Urus karir saja dulu. Nanti kalau sudah punya segalanya baru program anak. Seperti mamah ini jarak usia anaknya berjauhan jadi tidak repot soal biaya. Nanti setelah sarapan langsung ke bidan ya. Di bidan desa juga bisa. Mumpung belum terlalu lama. Siapa tahu saja masih bisa dicegah"
"Soal biaya dan anak itu sudah diatur mah. Yang menikah lama saja ada yang harus menunggu bertahun-tahun demi bisa punya anak. Kenapa aku harus menunda?"
Aku mengelus lengan Adit. Tidak ingin mereka mendebat soal ini lebih panas lagi. Aku juga bingung harus menanggapi seperti apa. Baru tadi menjelang subuh Adit berkeinginan segera punya banyak anak. Sekarang ibu mertuaku melarang supaya jangan punya anak dulu.
Adit melangkah ke kamar. Pergi meninggalkan sarapan nya begitu saja.
"Kamu ini kalau dikasih tahu melawan terus. Tidak mau mendengar omongan orangtua" Ucap ibu mertuaku melihat Adit bangun dari duduknya.
Aku yang tidak tahu harus berbuat apa beranjak ke dapur. Membawa piring bekas makanku dan Adit. Lalu mencuci nya.
Aneh sekali Ibu mertuaku ini. Biasa nya orangtua itu senang kalau mau dapat cucu. Lah ini kok dilarang? Jangan punya anak dulu..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments