Aku menyusul Adit ke dalam kamar. Ternyata sedang bermain ponsel. Mencoba tenang dengan kejadian tadi. Tidak membahas atau menyinggung apapun. Ikut rebahan disamping nya. Diam. Tapi tetap saja kepikiran. Lebih baik tanya ke Adit atau simpan di hati saja ya? Seperti nya dia sedang tidak ingin diganggu.
"Kamu tidak menelpon mamah yank..?" Aku yang sedang melamun terjengkit kaget oleh nya.
"Eh iya. Lupa yank. Ini mau. hehehe" Buru-buru aku menyambar ponselku. Bisa-bisa nya aku lupa begini.
"Waalaikumsalam. Mah maaf baru ngabarin mamah jam segini. Tadi aku sampai jam tiga pagi di stasiun"
"*Iya tidak apa-apa. Syukur kalau sudah sampai. Kamu baik-baik saja mba*?"
"Alhamdulillah aku baik-baik saja mah. Begitu sampai tadi dijemput bapak, sampai rumah langsung tidur. Istirahat. Jadi baru sempat mengabari mamah sekarang. Maaf ya sudah membuat mamah dan ayah khawatir"
Ingin sekali rasanya aku cerita tentang kejadian barusan. Tapi mana mungkin. Baru sehari aku tinggal disini, masa sudah cerita begitu. Pasti mamah tidak percaya. Sudahlah aku simpan saja cerita ini. Aku tidak ingin mamah khawatir. Apalagi kecewa.
"*Tidak apa-apa. Mamah lega kalau kamu baik-baik saja. Jadi menantu yang baik ya mba, yang rajin, jangan kecewain mamah dan ayah*"
"Iya mah. Aku pasti akan berusaha jadi menantu yang baik" Padahal belum apa-apa saja sudah begini mah. Ucapku dalam hati. Aku tidak mungkin cerita yang sebenar nya. Apalagi saudara ayah sebelum nya sudah mewanti-wanti untuk tidak menikah dengan orang jauh. Pasti mereka malu kalau tau aku mendapat ucapan pedas dihari pertama jadi mantu. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan kembali ungkapan yang hampir saja keluar dari mulutku. Semoga saja aku salah menilai. Semoga saja kedepan nya mereka tidak seperti itu. Aamiin.
"*Adit mana mba, mamah mau bicara sebentar*.."
"Hallo.. Assalamu'alaikum mah.."
"*Waalaikumsalam Dit, sudah sampai*?"
"Sudah mah. Ini kita baru habis sarapan. Jadi baru sempat mengabari mamah. Adit minta maaf kalau kami telat kasih kabar.."
"*Tidak apa-apa yang penting kalian berdua baik-baik saja. Selamat sampai tujuan mamah sudah sangat bersyukur. Mamah titip Yanti ya Dit, tolong ajari dia. Kalau salah ditegur saja, kasih tau yang benar. Tapi jangan kasari dia*"
"Iya mah, Adit janji akan menjaga Yanti sebaik mungkin. Mamah dan ayah jangan khawatir. Kalau ada apa-apa Adit pasti langsung menelpon kesana.."
"*Ya sudah kalian istirahat saja dulu. Mamah tutup telpon nya. Salam buat mamah dan bapak mu ya Dit*.."
"Iya mah. Waalaikumsalam nanti Adit sampaikan salam dari mamah dan ayah"
Tut. sambungan terputus. Aku dan Adit hanya saling diam. Tau kalau kejadian tadi di meja makan tidak mengenakan.
"Maafin mamah aku ya yank. Kamu pasti kecewa.."
"Kecewa itu pasti. Tapi mungkin maksud mereka baik. Supaya kita tidak hidup susah nanti nya. Kamu sendiri bagaimana? Mau punya anak sekarang atau ditunda?" Aku memastikan jawaban Adit. Supaya tidak salah paham nanti nya. Soal larangan mertua itu urusan nanti. Yang penting aku dengar sendiri dari mulut Adit.
"Aku mau punya anak sekarang yank. Tidak usah ditunda. Kamu ngga usah dengerin ucapan mamah ya. Yang jalani rumah tangga itu kita. Aku yang akan biayain hidup kita. In sya Allah rejeki sudah diatur sama yang maha kuasa. Ya.."
"Hm.." Aku hanya mengangguk haru mendengar jawaban Adit barusan. Tidak menyangka dia akan membela aku seperti ini. Bukan membela, tapi lebih ke mementingkan urusan rumah tangga ini supaya kedepan nya hubungan kami selalu harmonis. Soal orangtua sudah pasti setiap anak akan menghormati mereka diatas segala nya. Hanya saja kadang kita beda pendapat.
Sepanjang hari kami tidak keluar kamar. Saling peluk, bercanda, main hp, bercanda lagi. Begitu saja terus sampai kami tidak sadar sudah terlelap lama. Mungkin efek perjalanan jauh.
Saat adzan Dzuhur berkumandang, barulah kami menggeliat bangun. Membuka mata, Adit masih saja mendusel memeluk erat dari belakang.
"Bangun yank. Sudah Dzuhur ternyata. Masa seharian kita dikamar terus" Aku mulai berfikir apa yang dikata orang lain nanti kalau liat pengantin baru seharian ngamar terus. Takut dikira kejar target. Padahal kan kita memang hanya tidur.
"Memang nya kenapa kalau dikamar terus. Semua orang juga tahu kalau kita pengantin baru yank. Biar saja.."
"Apa ngga malu nanti diledek para sepupu mu..?"
"Kenapa harus malu. Mereka hanya tidak tahu saja kalau menikah muda itu enak. Bisa peluk-peluk setiap hari. Hahaha.."
"Mulutmu yank.."
"Nongkrong di warung mamah yuk yank.."
"Ayo. Tapi kita sholat dulu ya.."
"Iya.."
Dengan berjalan kaki kami bersama menuju warung ibu mertuaku. Warung kopi yang terletak tidak jauh dari rumah. Hanya lima menit jika tidak menggunakan motor.
"Hallo guys.." Seperti biasa suamiku ini memang hobi bercanda. Jadi tidak heran jika dia menyapa siapa saja yang ada di warung layaknya artis. Aku hanya geleng kepala. Tidak habis pikir kenapa suamiku bisa sePede ini di depan banyak orang.
"Wedehh.. panganten anyar baru keluar kamar guys.." Jawab salah satu sepupu Adit mulai meledek kami.
"Iya dong. Kejar tayang bikin anak. Hahaha.."
Sontak saja mereka semua tertawa terbahak. Tidak terkecuali ibu mertuaku. Aku melirik nya sebentar. Takut-takut kalau beliau akan berkata pedas seperti tadi pagi. Tapi ternyata tidak. Di depan banyak orang beliau tertawa lepas dengan candaan Adit. Tidak melarang atau menegur untuk tidak punya anak terlebih dahulu.
Kenapa mertuaku ini beda sekali ketika dirumah. Di luar beliau selalu tersenyum lebar dan tertawa lepas. Tapi ketika dirumah beliau berkata pedas seperti saat sarapan tadi pagi. Aku jadi takut mau mendekat. Takut kalau aku mengerjakan sesuatu beliau tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Lebih baik aku jaga jarak saja. Supaya tidak terjadi adu mulut. Tidak melakukan sesuatu jika beliau sedang di tempat yang sama. Tidak menjawab tidak jika beliau sudah berkata A, walaupun sebenar nya ingin menolak. Selalu berkata iya, supaya beliau tidak marah. Apapun itu akan aku lakukan agar menjadi menantu yang baik dimata beliau.
Aku tidak masalah jika diperlakukan seperti itu. Aku hanya tidak ingin orangtua ku kecewa. Asalkan bukan Adit yang berucap, aku yakin aku sanggup dengan itu. Karena urusan rumah tangga itu dengan Adit bukan mereka. Yang menjalani kami berdua. Tentu saja sudah yakin dan penuh perhitungan dengan resiko yang kita ambil. Hanya saja mungkin mereka belum percaya sepenuhnya dengan keputusan kami. Menikah muda dan terkesan mendadak. Padahal sejak pertama dekat dulu Adit sudah mengutarakan niatnya itu. Aku saja yang tidak menanggapi dengan serius.
"Teteh sini, bisa gila lama-lama dekat si Adit" Aku yang sejak datang hanya tersenyum menanggapi candaan Adit menoleh. Melangkah mendekat ketika Maemunah melambaikan tangan. Sepupu Adit yang biasa dipanggil Mae ini sama dengan Adit. Hobi bercanda.
"Kenapa teh.." Mae langsung cengengesan begitu aku duduk disamping nya. Pasti ini hal yang konyol.
"Semalam teteh jalan berapa ronde sama si aa?" Benar saja, tawaku langsung menyembur keluar begitu Mae membisikan kata-kata aneh bin ajaib.
"Hahaha"
"Kenapa yank. Jangan didengar kalau Mae ngomong tuh, pasti menjelek-jelekan aku kan?" Adit menghampiriku penasaran.
"Apa !! Ngga usah kepo kamu. Sana balik lagi ke tempatmu kita lagi asyik ngobrol ya teh.." Mae mengerling cengengesan.
"Yang kepo itu kamu Mae. Ada-ada saja kamu ini. Dia kepo soal.." Tidak jadi melanjutkan bicara, sadar aku sudah kena jebakan Mae.
"Soal apa tuh, kok ngga jadi ngomong.." Melirik senang, Mae menahan tawa melihat aku gelagapan ditanya Adit.
"Mae..!! Awas kamu ya" Yang disebut lari. Kabur entah kemana.
"Biasalah yank. Mae suka usil" Jawabku terkekeh malu.
Terhibur rasanya dengan keberadaan Mae. Tapi tetap saja, hati berkata lain. Aku masih terus menimbang. Apakah keputusanku untuk segera punya anak sudah benar? Lalu bagaimana nanti tanggapan ibu mertuaku jika aku beneran hamil? Ya Allah, luluhkanlah hati ibu mertuaku. Semoga bisa menerima kehadiran calon cucu nya nanti. Aamin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments